1. Masuk BAPPEDA Dengan “Ice
Breaking”
Hari itu, tanggal 8 Oktober
2008. Adalah hari yang direncanakan
untuk acara serah terima jabatan kepala Bappeda; dari Bapak Dr. H. Lalu
Fathurrahman, MSc ke saya. Sekaligus juga
acara halal bihalal keluarga besar Bappeda. Maklum hari itu masih dalam suasana
Idul Fitri.
Singkat cerita, acaranya
dimulai. Tempatnya di lapangan tengah kantor Bappeda, yang juga berfungsi
sebagai lapangan bulutangkis. Keluarga besar Bappeda sudah hadir semua. Saya
lihat penceramah yang diundang juga sudah hadir, yaitu Bapak H Ahmad Fathoni.
Acara pertama, pembacaan ayat-ayat suci alqur’an. Setelah itu laporan ketua
panitia, kalau tidak salah ingat. Pak h. supran, sekretaris Bappeda kala itu.
Lalu, sambutan Kepala Bappeda lama, Bapak Dr. H. Lalu Fathurrahman, M.Sc. yang
saya rasakan cukup tegang. Juga cukup mengharukan. Suasana sepi sekali.
Beliau banyak menceriterakan
hal ihwal tentang program pembangunan yang telah berhasil dilaksanakan,
khususnya selama kepemimpinan Bapak Drs. H. Lalu Serinata sebagai Gubernur NTB
periode 2003-2008. Dimana tentu Bappeda sebagai think tank nya. Diantaranya
adalah pembangunan Bandara Internasional dan Bendungan Pandandure. Beliau juga
menyebutkan beberapa staf Bappeda yang telah promosi dalam masa kepemimpinan
beliau. Karena memang salah satu tugas seorang pemimpin adalah menciptakan
pemimpin-pemimpin baru.
Suasana memang agak
emosional, agak menegangkan, sampai pada akhirnya beliau mengakhiri sambutannya
dengan tidak lupa meminta maaf sekiranya dalam masa kepemimpinan beliau ada hal
hal yang kurang berkenan di hati para karyawan Bappeda. Normatiflah. Namun yang saya fikirkan kala
itu, apa yang harus saya sampaikan dan bagaimana cara menyampaikan agar suasana
yang demikian tegang itu dapat mencair. Saya terus berfikir sambil mendengarkan
sambutan beliau.
Dan alhamdulillah, saya
mendapat inspirasi, mendapat ide, entah dari mana, apa yang harus saya
sampaikan sebagai Ice Breaker, sebagai pemecah suasana yang demikian
menegangkan itu. Dalam hati saya harus bisa membuat suasana ini mencair. Dan ini sekaligus akan menjadi penanda bagi
saya pribadi, apakah saya akan dapat diterima dengan baik, oleh para karyawan
di Bappeda. Maklum saya ini bukan orang Pemda. Saya adalah dosen yang
diperbantukan untuk menjadi Kepala Bappeda. Saya dalah “orang luar” yang nota
bene belum banyak berkecimpung dalam dunia pemerintahan. Kalaupun saya sering keluar masuk kantor
Bappeda, itu karena di sana banyak kawan-kawan yang mengundang saya, dalam
berbagai kegiatan. Saya sering dilibatkan
dalam berbagai tim atau kelompok kerja, yang membutuhkan buah fikiran atau
pandangan saya.
Ketika Bapak Drs. H.L.
Serinata menjadi gubernur, saya terlibat aktif dalam menyusun RPJMDnya, RPJMD
NTB 2003-2008. Demikian pula ketika
penyusunan RPJPD 2005-2025; saya juga ikut aktif sebagai salah seorang tim
penyusun. Bahkan sebelumnya, ketika
Bapak Drs.H. Harun Alrasyid menjadi gubernur juga saya sudah sering keluar
masuk Bappeda. Sejak kepala Bappedanya alm Bp. Drs. H. Arfah Muzahar, kemudian
Pak Ir. H. Nanang Samodra, Pak Drs. H. Abdul Malik, sampai juga ketika Bapak
Drs. H.L. Fathurrahman memimpin Bappeda. Dengan kata lain, saya memang sudah
sangat ‘familiar’ dengan teman-teman di Bappeda.
Namun kedatangan saya kali
ini tentu sangat berbeda. Kalau sebelumnya, saya ke Bappeda sebagai tamu. Kali
ini saya datang untuk menjadi tuan rumah. Untuk menjadi orang yang akan
‘mengepalai’ atau menakhodai kantor ini.
Tentu sangat berbeda. Pandangan mata para karyawan Bappeda, bahkan juga
teman-teman yang sudah saya kenal baik, ketika kali ini saya masuk ke kantor
Bappeda, tentu sangat berbeda.
Seperti sudah menjadi hukum
alam, dimana saja bisa itu terjadi, akan pasti ada orang yang senang, dan pada
saat itu, pasti juga akan ada orang yang sebaliknya. Kita tidak usah berteori soal itu. Tidak
perlu pula dipersoalkan. Yang jelas, dimana kita melangkah, kemana kita pergi,
dan dalam suasana apapun kita berada, hukum alam itu pasti akan terjadi. Tinggal kita mampu mengelola saja; mengukur,
kearah mana bandul itu bergeser. Apakah
yang senang akan lebih banyak dari yang tidak senang, ataukan sebaliknya. Semua
itu tergantung sungguh pada diri kita masing-masing. Pada perkataan kita, pada pemikiran kita,
pada perilaku kita. Dan sebagainya.
Seperti yang saya ungkapkan
tadi, meski selama ini saya sudah sering masuk keluar kantor Bappeda, namun
kali ini suasananya sangat berbeda. Saya
merasakan dalam hati, ketika saya mulai melangkah untuk memberikan sambutan
perkenalan. Sambutan yang menurut saya,
akan sangat menentukan, pandangan para karyawan Bappeda terhadap saya.
Dan alhamdulillah, saya
mendapatkan ide untukmemecahkan kesunyian kala itu, atau yang dikenal dengan
istilah ice breaking. Saya mengatakan di awal sambutan saya: “bapak-bapak dan
ibu sekalian yang saya hormati, hari ini saya melakukan kesalahan yang kesekian
kali. Suatu kesalahan yang mungkin dipengaruhi oleh nlai-nilai budaya. …..”
sampai di sini, suasana saya perhatikan menjadi makin sunyi, makin tegang. Para
hadirin rupanya ingin tahu, apa yang saya maksudkan dengan ‘kesalahan’ itu.
Saya perhatikan, semua memperhatikan dan pandangan mata tertuju ke arah saya.
Sebelum kemudian saya melanjutkan,…”yaitu, saya lupa, benar-benar lupa, kalau
hari ini adalah hari ulang tahun istri saya.” Dan gerrrr, saya dengar
orang-orang tertawa, paling tidak kemudian tersenyum. Saya perhatikan, ada
ibu-ibu yang langsung berdiri, memberikan ucapan selamat ulang tahun ke istri
saya, yang memang saya ajak dan ikut dalam acara tersebut.
Dan plong, alhamdulillah,
saya merasa, beban berat yang sedari awal saya rasakan, kini menjadi ringan.
Saya seolah-olah bisa masuk, ke dalam deraian tawa orang-orang yang nota bene
sejak hari itu akan saya pimpin, di kantor yang bernama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah. Kantor Bappeda, yang menjadi salah satu kantor sangat
strategis dalam jajaran Pemerintah Prvinsi. Kantor atau instansi yang
bertanggung jawab menggodok perencanaan pembangunan di daerah ini. Kalau dalam
bahasa orang –orang politik, ‘hitam putihnya daerah ini ya tergantung bagaimana
Bappeda mengaturnya.’ Artinya adalah,
instansi Bappeda itu sangat strategis. Oleh karena itu, bekerja di Bappeda
memiliki gengsi yang agak beda dengan di instansi lain.
Itulah sebabnya, sebelum
Peraturan Pemerintah No 41 berlaku, eselon di Bappeda lebih tinggi dibandingkan
dengan SKPD lain. Dan itulah yang seharusnya, karena salah satu tugas utama
Bappeda adalah mengkoordinir SKPD lain dalam hal perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan (monitoring dan evaluasi). Seperti halnya inspektorat. Eselonnya harusnya
lebih tinggi, karena tugasnya memeriksa skpd lain.
Tugas berat sudah lewat
Memasuki materi sambutan,
saya tidak lupa memberikan sanjungan kepada pejabat yang saya gantikan. Saya
katakan:
“………kita patut menghaturkan
terima kasih kepada Bapak Drs. H. Lalu Fathurrahman, yang secara pribadi saya
kenal baik. Beliau pernah menadi anak
buah bapak saya. Saya kenal beliau adalah orang yang sangat gigih dalam
memperjuang kepentingan pembangunan daerah.
Tidak jarang beliau konon sampai menggebrak meja di pusat, baik di
Bappenas ataupun di kementrian, demi memperjuangkan kepentingan daerah. Dan
alhamdulillah kita ketahui bersama, semua perjuangan beliau tidak sia-sia. Yang
paling nyata adalah perjuangan beliau untuk menghadirkan atau memulai pembangunan
Bandara Internasional. Saya mengetahui bagaimana seluk beluk dan suka duka
akhirnya bandara internasional di Penujak Lobok Tengah itu dimulai. Bagaimana tarik menarik antara berbagai
kepentingan saling bergelindan, yang membuat fihak Angkasa Pura atau bahkan
Peerintah Pusat sepertinya enggan untuk memulai pembangunan bandara, yang
sesungguhnya seharusnya sudah mulai di awal tahun dua ribuan. Begitu juga perjuangan beliau untuk mendesak
dimulainya pembangunan dam Pandanduri di Lombok Timur, yang perencanaannya
sudah lama selesai. Demikian juga program program pembangunan lainnya, sesuai
dengan perencanan yang tertuang dalam RPJMD ataupun RPJPD. Sehingga tugas saya
ke depan sudah tidak terlalu berat lagi. Saya mungkin tidak perlu menggebrak
meja lagi. Atau marah-marah lagi. Kalau boleh saya katakan, saya tinggal
senyum-senyum. Saya tinggal meneruskan apa yang beliau telah rintis, mengawal
penyelesaian pembangunan bandara, memastikan segera ground breaking dam
Pandanduri, dan seterusnya.”
Sampai di sini, saya lihat
suasana semakin cair, dan pak Fathurrahman kelihatan tersenyum. Demikian juga hadirin yang lain. Rasa PD saya
kemudian tumbuh, untuk memulai tugas berat di Bappeda, sebagai perencana
sekaligus sebagai pengawal pembagunan di Nusa Tenggara Barat, yang kemduain
dalam RPJMD ditetapkan mottonya sebagai NTB Bersaing, yaitu NTB yang beriman
dan berdaya saing. Sebuah akronim yang tercipta, ketika saya dan teman-teman
tim sukses mendiskusikan apa visi misi calon gubernur dan wakil gubernur, kala
itu, jauh sebelum Pemilukada 2008 berlangsung, jauh sebelum kemudian saya
diamanahkan menjadi Kepala Bappeda, sesuatu yang tidak pernah saya dengar dari
Bapak Tuan Guru Bajang, sampai sebelas hari menjelang pelantikan beliau untuk
menjadi Gubernur NTB Periode 2008-2013. Wallahu ‘alam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar