Senin, 10 Maret 2014

Memaski Bappeda dengan Senyum



1. Masuk BAPPEDA Dengan “Ice Breaking”

Hari itu, tanggal 8 Oktober 2008.  Adalah hari yang direncanakan untuk acara serah terima jabatan kepala Bappeda; dari Bapak Dr. H. Lalu Fathurrahman, MSc ke saya.  Sekaligus juga acara halal bihalal keluarga besar Bappeda. Maklum hari itu masih dalam suasana Idul Fitri.

Singkat cerita, acaranya dimulai. Tempatnya di lapangan tengah kantor Bappeda, yang juga berfungsi sebagai lapangan bulutangkis. Keluarga besar Bappeda sudah hadir semua. Saya lihat penceramah yang diundang juga sudah hadir, yaitu Bapak H Ahmad Fathoni. Acara pertama, pembacaan ayat-ayat suci alqur’an. Setelah itu laporan ketua panitia, kalau tidak salah ingat. Pak h. supran, sekretaris Bappeda kala itu. Lalu, sambutan Kepala Bappeda lama, Bapak Dr. H. Lalu Fathurrahman, M.Sc. yang saya rasakan cukup tegang. Juga cukup mengharukan. Suasana sepi sekali.

Beliau banyak menceriterakan hal ihwal tentang program pembangunan yang telah berhasil dilaksanakan, khususnya selama kepemimpinan Bapak Drs. H. Lalu Serinata sebagai Gubernur NTB periode 2003-2008. Dimana tentu Bappeda sebagai think tank nya. Diantaranya adalah pembangunan Bandara Internasional dan Bendungan Pandandure. Beliau juga menyebutkan beberapa staf Bappeda yang telah promosi dalam masa kepemimpinan beliau. Karena memang salah satu tugas seorang pemimpin adalah menciptakan pemimpin-pemimpin baru.

Suasana memang agak emosional, agak menegangkan, sampai pada akhirnya beliau mengakhiri sambutannya dengan tidak lupa meminta maaf sekiranya dalam masa kepemimpinan beliau ada hal hal yang kurang berkenan di hati para karyawan Bappeda.  Normatiflah. Namun yang saya fikirkan kala itu, apa yang harus saya sampaikan dan bagaimana cara menyampaikan agar suasana yang demikian tegang itu dapat mencair. Saya terus berfikir sambil mendengarkan sambutan beliau.

Dan alhamdulillah, saya mendapat inspirasi, mendapat ide, entah dari mana, apa yang harus saya sampaikan sebagai Ice Breaker, sebagai pemecah suasana yang demikian menegangkan itu. Dalam hati saya harus bisa membuat suasana ini mencair.  Dan ini sekaligus akan menjadi penanda bagi saya pribadi, apakah saya akan dapat diterima dengan baik, oleh para karyawan di Bappeda. Maklum saya ini bukan orang Pemda. Saya adalah dosen yang diperbantukan untuk menjadi Kepala Bappeda. Saya dalah “orang luar” yang nota bene belum banyak berkecimpung dalam dunia pemerintahan.  Kalaupun saya sering keluar masuk kantor Bappeda, itu karena di sana banyak kawan-kawan yang mengundang saya, dalam berbagai kegiatan.  Saya sering dilibatkan dalam berbagai tim atau kelompok kerja, yang membutuhkan buah fikiran atau pandangan saya.

Ketika Bapak Drs. H.L. Serinata menjadi gubernur, saya terlibat aktif dalam menyusun RPJMDnya, RPJMD NTB 2003-2008.  Demikian pula ketika penyusunan RPJPD 2005-2025; saya juga ikut aktif sebagai salah seorang tim penyusun.  Bahkan sebelumnya, ketika Bapak Drs.H. Harun Alrasyid menjadi gubernur juga saya sudah sering keluar masuk Bappeda. Sejak kepala Bappedanya alm Bp. Drs. H. Arfah Muzahar, kemudian Pak Ir. H. Nanang Samodra, Pak Drs. H. Abdul Malik, sampai juga ketika Bapak Drs. H.L. Fathurrahman memimpin Bappeda. Dengan kata lain, saya memang sudah sangat ‘familiar’ dengan teman-teman di Bappeda.

Namun kedatangan saya kali ini tentu sangat berbeda. Kalau sebelumnya, saya ke Bappeda sebagai tamu. Kali ini saya datang untuk menjadi tuan rumah. Untuk menjadi orang yang akan ‘mengepalai’ atau menakhodai kantor ini.  Tentu sangat berbeda. Pandangan mata para karyawan Bappeda, bahkan juga teman-teman yang sudah saya kenal baik, ketika kali ini saya masuk ke kantor Bappeda, tentu sangat berbeda.

Seperti sudah menjadi hukum alam, dimana saja bisa itu terjadi, akan pasti ada orang yang senang, dan pada saat itu, pasti juga akan ada orang yang sebaliknya.  Kita tidak usah berteori soal itu. Tidak perlu pula dipersoalkan. Yang jelas, dimana kita melangkah, kemana kita pergi, dan dalam suasana apapun kita berada, hukum alam itu pasti akan terjadi.   Tinggal kita mampu mengelola saja; mengukur, kearah mana bandul itu bergeser.  Apakah yang senang akan lebih banyak dari yang tidak senang, ataukan sebaliknya. Semua itu tergantung sungguh pada diri kita masing-masing.  Pada perkataan kita, pada pemikiran kita, pada perilaku kita. Dan sebagainya.

Seperti yang saya ungkapkan tadi, meski selama ini saya sudah sering masuk keluar kantor Bappeda, namun kali ini suasananya sangat berbeda.  Saya merasakan dalam hati, ketika saya mulai melangkah untuk memberikan sambutan perkenalan.  Sambutan yang menurut saya, akan sangat menentukan, pandangan para karyawan Bappeda terhadap saya.

Dan alhamdulillah, saya mendapatkan ide untukmemecahkan kesunyian kala itu, atau yang dikenal dengan istilah ice breaking. Saya mengatakan di awal sambutan saya: “bapak-bapak dan ibu sekalian yang saya hormati, hari ini saya melakukan kesalahan yang kesekian kali. Suatu kesalahan yang mungkin dipengaruhi oleh nlai-nilai budaya. …..” sampai di sini, suasana saya perhatikan menjadi makin sunyi, makin tegang. Para hadirin rupanya ingin tahu, apa yang saya maksudkan dengan ‘kesalahan’ itu. Saya perhatikan, semua memperhatikan dan pandangan mata tertuju ke arah saya. Sebelum kemudian saya melanjutkan,…”yaitu, saya lupa, benar-benar lupa, kalau hari ini adalah hari ulang tahun istri saya.” Dan gerrrr, saya dengar orang-orang tertawa, paling tidak kemudian tersenyum. Saya perhatikan, ada ibu-ibu yang langsung berdiri, memberikan ucapan selamat ulang tahun ke istri saya, yang memang saya ajak dan ikut dalam acara tersebut.

Dan plong, alhamdulillah, saya merasa, beban berat yang sedari awal saya rasakan, kini menjadi ringan. Saya seolah-olah bisa masuk, ke dalam deraian tawa orang-orang yang nota bene sejak hari itu akan saya pimpin, di kantor yang bernama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kantor Bappeda, yang menjadi salah satu kantor sangat strategis dalam jajaran Pemerintah Prvinsi. Kantor atau instansi yang bertanggung jawab menggodok perencanaan pembangunan di daerah ini. Kalau dalam bahasa orang –orang politik, ‘hitam putihnya daerah ini ya tergantung bagaimana Bappeda mengaturnya.’  Artinya adalah, instansi Bappeda itu sangat strategis. Oleh karena itu, bekerja di Bappeda memiliki gengsi yang agak beda dengan di instansi lain.

Itulah sebabnya, sebelum Peraturan Pemerintah No 41 berlaku, eselon di Bappeda lebih tinggi dibandingkan dengan SKPD lain. Dan itulah yang seharusnya, karena salah satu tugas utama Bappeda adalah mengkoordinir SKPD lain dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (monitoring dan evaluasi). Seperti halnya inspektorat. Eselonnya harusnya lebih tinggi, karena tugasnya memeriksa skpd lain.

Tugas berat sudah lewat

Memasuki materi sambutan, saya tidak lupa memberikan sanjungan kepada pejabat yang saya gantikan. Saya katakan:

“………kita patut menghaturkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Lalu Fathurrahman, yang secara pribadi saya kenal baik.  Beliau pernah menadi anak buah bapak saya. Saya kenal beliau adalah orang yang sangat gigih dalam memperjuang kepentingan pembangunan daerah.  Tidak jarang beliau konon sampai menggebrak meja di pusat, baik di Bappenas ataupun di kementrian, demi memperjuangkan kepentingan daerah. Dan alhamdulillah kita ketahui bersama, semua perjuangan beliau tidak sia-sia. Yang paling nyata adalah perjuangan beliau untuk menghadirkan atau memulai pembangunan Bandara Internasional. Saya mengetahui bagaimana seluk beluk dan suka duka akhirnya bandara internasional di Penujak Lobok Tengah itu dimulai.  Bagaimana tarik menarik antara berbagai kepentingan saling bergelindan, yang membuat fihak Angkasa Pura atau bahkan Peerintah Pusat sepertinya enggan untuk memulai pembangunan bandara, yang sesungguhnya seharusnya sudah mulai di awal tahun dua ribuan.  Begitu juga perjuangan beliau untuk mendesak dimulainya pembangunan dam Pandanduri di Lombok Timur, yang perencanaannya sudah lama selesai. Demikian juga program program pembangunan lainnya, sesuai dengan perencanan yang tertuang dalam RPJMD ataupun RPJPD. Sehingga tugas saya ke depan sudah tidak terlalu berat lagi. Saya mungkin tidak perlu menggebrak meja lagi. Atau marah-marah lagi. Kalau boleh saya katakan, saya tinggal senyum-senyum. Saya tinggal meneruskan apa yang beliau telah rintis, mengawal penyelesaian pembangunan bandara, memastikan segera ground breaking dam Pandanduri, dan seterusnya.”

Sampai di sini, saya lihat suasana semakin cair, dan pak Fathurrahman kelihatan tersenyum.  Demikian juga hadirin yang lain. Rasa PD saya kemudian tumbuh, untuk memulai tugas berat di Bappeda, sebagai perencana sekaligus sebagai pengawal pembagunan di Nusa Tenggara Barat, yang kemduain dalam RPJMD ditetapkan mottonya sebagai NTB Bersaing, yaitu NTB yang beriman dan berdaya saing. Sebuah akronim yang tercipta, ketika saya dan teman-teman tim sukses mendiskusikan apa visi misi calon gubernur dan wakil gubernur, kala itu, jauh sebelum Pemilukada 2008 berlangsung, jauh sebelum kemudian saya diamanahkan menjadi Kepala Bappeda, sesuatu yang tidak pernah saya dengar dari Bapak Tuan Guru Bajang, sampai sebelas hari menjelang pelantikan beliau untuk menjadi Gubernur NTB Periode 2008-2013. Wallahu ‘alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar