Senin, 10 Maret 2014

Kilas Balik Masa Lalu


Merajut Rencana, Meraih Pangripta
Catatan Kecil Kepala Bappeda NTB, 2008-2013

Hidup adalah Perjalanan: Sekilas Masa Lalu Saya

Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Menulis di media, maaf,  merupakan salah satu hobi saya sejak duduk di bangku SMP. Beberapa kali tulisan tulisan saya, khususnya waktu itu berbentuk puisi, terpampang di majalah anak-anak “Si Kuncung.” Lantas tulisan tersebut saya pampangkan di majalah dinding sekolah. Sehingga lebih banyak lagi teman yang dapat membacanya.   Demikian juga ketika duduk di bangku SMA. Saya aktif dan menjadi pengasuh majalah dinding sekolah.

Tatkala di bangku kuliah, tulisan saya seringkalimuncul di koran mahasiswa nasional, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.  Maklum waktu itu sedang gencar gencarnya NKK BKK, sehingga dana cukup banyak tersedia untuk ‘menormalisasi kampus’ dimana termasuk didalamnya terbitan-terbitan majalah atau koran. Juga yang dihajatkan khusus untuk mahasiswa.

Lewat tulisan tulisan saya di koran itulah, saya menjadi dikenal di kampus. Memiliki lebih banyak teman. Termasuk teman-teman di kampus sendiri, Fakultas Pertanian Unram. Ada beberapa senior dan dosen yang kemudian memperhatikan dan membina saya. Pada ujungnya, saya kemudian menjadi aktivis kampus. Menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas, memimpin dan mendirikan majalah kampus Sativa, menjadi ketua dan pendiri Racana Pramuka Universitas, menjadi ketua dan pendiri Koran Kampus Mahasiswa Media, menjadi aktivis HMI, aktivis Ikatan Senat Mahasiswa Sejenis di Indonesia Timur, dan lain-lain. Itulah salah sebabnya, mengapa saya tidak bisa memenuhi harapan orang tua untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Beberapa teman saya mampu empat tahun, kalau saya, pas enam tahun. Masuk 1980, keluar 1986.

Tapi berkat itu pula, sebelum saya yudicium, saya ditawari untuk menjadi dosen oleh Dekan Fakultas Pertanian pada waktu itu, yaitu Bp Ir. Norberth Ama Ngongu. Saya ingat betul, salah satu kalimat beliau yang memotivasi saya. “sangatlah rugi daerah ini, kalau orang seperti saudara tidak mau menjadi dosen.” Pada akhirnya saya setuju, tentu setelah mempertimbangkan segala sesuatunya. Termasuk didalamnya, adalah pertimbangan bahwa kalau menjadi dosen, besar peluang untuk kuliah lagi, di luar negeri.   Sebuah cita-cita saya semenjak duduk di bangku SMP. Betapa indahnya kalau saya bisa kuliah di luar negeri. Dimanapun.

Ketika pertama kali keluar daerah, waktu itu mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Sibolangit Sumatra Utara, tahun 1977, saya memang kemudian membayangkan kalau suatu ketika saya bisa keliling Indonesia. Setelah itu, berkelana ke luar negeri.  Sebuah keinginan dari seorang Pramuka Penggalang, yang berkesempatan mengarungi samudra nan luas, berlayar menggunakan kapal besar dari Surabaya ke Medan, untuk mengikuti jambore tersebut. Beberapa hari di tengah laut, memberi kesempatan kepada saya untuk berhayal, bermimpi bahwa suatu ketika saya akan bisa juga ke daerah lain, atau bahkan ke negara lain.

Dari kenangan dalam benak itulah, mungkin, yang kemudian memberikan inspirasi pada saya, bahwa kalau menjadi dosen, harus bisa kuliah ke luar negeri. Titik. Maka, setelah melewati proses seleksi dan sebagainya, maka sejak Maret 1987, resmilah saya memiliki NIP, menjadi PNS, menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unram. Terus terang, menjadi dosen, bukan cita cita saya sewaktu kecil.

Setamat dari bangku SMA, orang tua saya sebenarnya ingin saya masuk di APDN. “biar kamu bisa menjadi camat, lantas menjadi Bupati, suatu hari nanti.” Kata beliau.  Saya sendiri bercita cita menjadi insinyur teknik, lantas menjadi profesional, atau kemudian menjadi pengusaha.  Ini terinspirasi dari seorang pengusaha, atau tepatnya pemborong, yang waktu itu cukup terkenal di Mataram. Padahal dia hanya tamat sekolah teknik menengah. ST atau STM. “apalagi kalau kita sarjana,” fikir saya waktu itu.  Beberapa tahun, bapak saya pernah tinggal di rumah orang itu, yang masih punya hubungan keluarga. Beberapa kali juga saya sempat berkunjung ke sana, dari desa. Maklum waktu itu, kami sekeluarga masih tinggal di desa, sementara Bapak saya di kota. Setelah saya menamatkan SD, baru kemudian kami boyongan pindah ke kota Mataram. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1974. Pada awalnya kami menyewa rumah di Gomong Lama. Saya masuk SMPN 2, adik adik saya masuk di SDN 7 (waktu itu) yang lokasinya sekarang berdiri AMM.

Dan waktupun berlalu. Kadang terasa demikian cepat. Kadang juga lambat. Malah menjenuhkan. Tapi itulah namanya perjalanan hidup. Dalam sebuah status di facebook saya pernah menulis…..”life is a journey.”   Sewaktu aktif sebagai mentor di HMI, di era delapan puluhan, saya selalu memulai ceramah saya dengan mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Dan mungkin itulah yang senantiasa memotivasi diri saya, memberi semangat hidup bagi saya, untuk menjalani kehidupan ini.

Guru saya adalah air dan matahari. Saya percaya sama teori yang mengatakan ikutlah seperti air mengalir. Dimana ada peluang, ke sana air mengalir. Tidak perlu terlalu ngotot untuk hal-hal yang memang terlalu sulit, atau malah tidak mungkin untuk dilampaui.  Sementara yang mungkin, dan mudah juga cukup banyak. Mengapa kita tidak memaksimalkan yang seperti itu. Yang mungkin dan mudah.

Demikian pula dengan matahari. Seorang ulama besar dari Lombok Timur, yang juga pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, almagfurlah Maulana Syeikh, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, sering kali mengatakan “guru saya adalah matahari.”  Ketika masih nyantri di Madrasah Ibtidakyah NW Kotaraja, tentu filosofi matahari seperti yang Maulana Syeikh katakan itu belum dapat saya fahami.  Baru setelah dewasa, banyak belajar kesana kemari, bahkan sampai luar negeri, saya mulai memahami, apa yang beliau maksudkan dengan “guru saya adalah matahari.”

Bahwa matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari, tentu kita tidak pernah akan dapat menikmati kehidupan ini. Matahari juga memberikan pelajaran dengan sifat-sifatnya yang sangat pasti. Terbit di pagi hari, tenggelam di sore hari. Menjadi penanda kehidupan, sekaligus menjadi pengatur kehidupan itu sendiri. Subhanallah. Dari matahari, kita bisa belajar untuk ihlas, yakin, dan istiqomah, seperti apa yang menjadi wasiat almagfurlah Maulana Syeikh. Itulah maknanya, filosofinya, yang dapat menjadi “guru” kita. Guru dalam kehidupan ini.

Memang benar, “hidup adalah perjuangan.” Artinya kita jangan cepat menyerah pada berbagai tantangan kehidupan. Yang dalam makna teori air, “senantiasa memanfaatkan peluang, betapapun kecilnya, tapi tidak terlalu ngotot, untuk sesuatu yang memang tidak mungkin kita lakukan. Karena memang kita harus tetap berjalan, meniti kehidupan kita masing-masing, dari waktu ke waktu. Dan benar juga, “hidup adalah perjalanan.” Wallahu ‘alam bissawab. (Jakarta, 100314)

1 komentar:

  1. Sangat inspiratif pak...
    Tulisan yg membakar semangat.

    Terima kasih sdh berbagi

    BalasHapus