Rabu, 12 Maret 2014

LEADERSHIP STYLE


4.  Leadership style: mengubah atmosfir kerja

Salah satu faktor yang membuat saya tidak terlalu lama ‘menyesuaikan diri’ di lingkungan Bappeda, adalah karena secara pribadi saya sudah kenal baik dengan para pejabat eselon tiga dan beberapa eselon empat Bappeda.  Maklum selama ini cukup banyak kegiatan saya yang berkaitan dan membuat saya sering berinteraksi dengan teman-teman Bappeda.  Terutama ketika saya menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan Universitas Mataram.  Beberapa kegiatan penelitian yang kami lakukan didanai oleh Pemda NTB, dalam hal ini Bappeda.

Saya juga terlibat dalam beberapa tim adhoc yang ada di Bappeda.   Demikian juga di dalam organisasi Dewan Riset Daerah (DRD) yang menjadi leading sektornya Bappeda, saya juga terlibat sebagai pengurus.   Tapi mungkin bukan hanya itu.  Konon, leadership style atau gaya kepemimpinan saya juga turut memberikan andil, mengapa saya merasa relatif cepat ‘feel at home’ di Bappeda.  Proses perkenalan dan adaptasi saya dengan teman-teman, yaa saya selalu memanggil mereka teman-teman, di Bappeda relatif cepat.

Dalam memimpin, saya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan bagi orang dewasa.   Sebagai seorang dosen, tentu saya faham bagaimana teknik belajar orang dewasa. Bagaimana mengajarkan sesuatu kepada orang dewasa.  Pada suatu ketika, bahkan saya juga ulangi di beberapa kesempatan, saya mengatakan: “sebagai sesama orang dewasa, saya tahu persis kita tidak senang apabila ada yang marahi kita. Meskipun kita mungkin di fihak yang salah. Oleh karena itu, kalau saya tahu bapak atau ibu ada berbuat salah, saya tidak akan marah. Malah saya akan tersenyum. Karena kalau saya marah, apalagi marah besar, pasti akan bapak ibu akan malu sama saya. Akan teringat terus sampai kapanpun. Tapi kalau bapak ibu salah, lantas saya tersenyum, maka pastilah bapak ibu akan malu pada diri sendiri. Ya kan?”  kemudian saya lanjutkan, …”yang penting kemudian bapak ibu, tahu kesalahannya dimana. Sadar bahwa ada yang salah, sehingga dapat memperbaikinya. Yang paling bahaya adalah apabila kita tidak pernah sadar kesalahan kita, sehingga yang salah kita anggap benar. Itu saja.”

Dalam sebuah evaluasi tentang kepemimpinan, dimana termasuk yang dinilai didalamnya adalah tingkat keberterimaan di SKPD yang dipimpin, konon saya masuk tiga atau lima besar terbaik.  Saya katakan konon, karena pak Gubernur atau Wakil Gubernur yang memerintahkan tim evaluasi yang dipimpin oleh Bapak Muazar Habibi pada waktu itu, tidak pernah mengumumkan secara resmi hasil evaluasinya.  Mungkin sebagai bahan masukan secara internal saja, dalam rangka proses pembinaan para pejabat eselon dua yang menjadi tanggung jawab beliau beliau.

Kalau menurut pengakuan Pak Bayu Windya, ketika sambutan perpisahan sewaktu beliau dipromosi ke eselon dua, “pak kepala telah  mampu memberikan motivasi dan membuka ruang kreasi bagi kita di Bappeda ini.  Kita merasa dihargai, sehingga kita merasakan adanya kebebasan dalam berpendapat, memberikan masukan, berinisiatif terhadap sesuatu, tanpa merasa takut atau ragu-ragu.  Saya kira style kepemimpinan seperti itu sangat pas untuk kita di Bappeda ini.  Sebuah instansi yang memerlukan pikiran-pikiran cerdas dalam penyusunan berbagai dokumen perencanaan, tidak hanya oleh para pimpinan tapi juga oleh para staf. Kita telah diajar, bagaimana harus berfikir cerdas, yang tidak hanya ‘running bussiness as usual. Tapi bagaimana kita bisa ‘thinking out of the box.’ Istilah kerennya.” Mungkin pak Bayu agak berlebihan, tapi itulah yang beliau sampaikan.

Sebagai manusia, tentu saya juga bisa marah. Wulan dan Edy, bawahan langsung saya selama hampir lima tahun tahu persisi kapan saya marah. Bagaimana kalau saya marah. Mereka juga tahu apa yang harus dilakukan kalau saya dalam kondisi marah.  Meskipun tentu jarang-jarang. Bahkan jarang sekali.

Salah satu peristiwa yang membuat saya ‘agak marah’ adalah ketika sedikit sekali karyawan Bappeda yang ikut senam pagi. Akhirnya pada apel pagi di hari berikutnya saya terpaksa marah.  Mungkin agak emosional. Tapi setelah itu, ya redalah.  Tidak berlama-lama.  Demikian pula ketika salah seorang pimpinan berbuat kesalahan. Dengan gaya saya, saya menegur yang bersangkutan, sambil ketawa-ketawa, tapi cukup mengena.  Yang bersagkutan juga ikut tertawa, meski dengan wajah yang agak memerah. Dan saya, tahu, beliau faham kalau saya agak marah dengan apa yang telah dilakukan. Faham kalau dia bersalah. Dan yakin, faham untuk memperbaikinya. Itu saja. Kalau meminjam kalimatnya pak Achmad Makchul, “bapak bisa menyalahkan tanpa merendahkan.” Wallahu a’lam bissawab. (Banda Aceh, 130314)

1 komentar: