3. Mempersiapkan RPJMD 2009-2013: NTB BerSaing
Seperti yang saya singgung
dalam tulisan saya yang lain, ‘panggung pertama’ saya sebagai Kepala Bappea NTB
adalah dalam arena Musrenbang RPJMD 2009-2013; yang merupakan keharusan
konstitusional Kepala Daerah terpilih untuk melaksanakannya. Sesuai dengan
aturan yang ada, pasangan Kepala Daerah
Terpilih harus dapat menetapkan RPJMD, atau rencana pembangunan ima tahunannya
paling ambat enam bulan setelah pelantikan.
Ini berarti, kalau pelantikannya bulan september, maka paling telat pada
bulan Maret tahun berikutnya, RPJMD tersebut harus sudah diketok. Ini artinya, proses ujung pengesahan di DPRD
dapat diselesaikan dengna baik.
Musrenbang adalah salah satu
langkah konsultasi publik yang harus dilaksanakan, guna mendapatkan legitimasi
dari masyarakat. Musrenbang dilaksanakan setelah melalui proses penyusunan yang
cukup panjang. Di Bappeda sendiri tentu prosesnya juga diawali dengan
penyusunan konsep RPJMD yang telah dimulai jauh sebelum pelantikan, bahkan
sebelum Pemilukada berlangsung. RPJMD ini juga merupakan perpaduan antara
konsep yang telah didesain oleh Bappeda, sesuai dengan RPJPD 2005-2025, dan
sesuai dengan tata naskah yang mengatur hal itu, yaitu Permendagri Nomor ……..
“Pertemuan” antara tim penyusun dari Bappeda dengan tim dari
Kepala Daerah terpilih dilaksanakan
setelah pelantikan. Hal-hal penting,
strategis, dan menjadi ‘janji politik’ seorang kepala daerah yang telah disusun
dalam rancangan program pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, dimasukkan
menajdi bagian dari RPJMD. Terutama terkait visi missi dan janji politik, atau
jargon politik yang telah menjadi bahan kampanye, seperti Pendidikan Gratis,
Kesehatan Gratis, Penciptaan Wirausaha Baru, pembangunan di bidang ekonomi dan
sosial lainnya. Semua agenda tersebut
kemudian di formulasikan ulang oleh tim RPJMD yang ada di Bappeda.
Secara kebetulan, tim RPJMD
di Bappeda adalah Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan, yang nota bene baru
dilantik, bersamaan dengan pelantikan saya. Namanya Tri Budi Prayitno. Panggilan akrabnya mas Yiyit, yang ternyata
adik klas saya semasa di SMA. Juga
yunior saya di Pramuka. Mas Yiyit ini
ternyata juga adalah tim penyusunan visi missi yang membantu Bapak Badrul
Munir, wakil gubernur terpilih.
Dialah yang kemudian, sesuai
dengan tupoksinya, yang menjadi penanggung jawab secara terknis penyusunan
RPJMD NTB 2009-2013. Sebagai penanggung
jawab umumnya, tentu saya sebagai Kepala Bappeda NTB, yang dilantik per 6
Oktober 2008. Sejak pelantikan itu
pula, pembahasan RPJMD kemudian mulai sangat intensif dilaksanakan di pendopo
wakil gubernur, Bapak Badrul Munir. Di sinilah hampir setiap malam, setiap
kepala SKPD yang baru dilantik, ataupun yang lama, diundang untuk mendiskusikan
substansi atau materi yang ada di RPJMD tersebut.
Salah satu ‘tantangan’ yang
beliau ajukan kepada peserta pertemuan adalah bagaimana agar setiap skpd, atau
pengelola kegiatan memiliki paling tidaksatu program terobosan, atau program
unggulan. Tantangan yang tentu tidak
mudah, dan memerlukan pemikiran yang mendalam. Ada kawan yang spontan
mengajukan unggulannya, yang merupakan ekstraksi dari program yang ada di
SKPDnya, ada kawan yang memerlukan waktu bermalam-malam (baca: berhari-hari)
untuk kemudian usulan program yang dia unggulkan dapat disetujui oleh forum. Baik istilahnya, maupun substansi
programnya.
Isitilah Bumi Sejuta Sapi
sebagai contoh. Proses penemuan istilah
atau jargon ini cukup panjang. Meskipun
penetapan komoditas sapi sebagai program unggulandi dinas peternakan sudah disetujui,
namun apa istilah yang akan dipergunakan sebagai jargonnya, itu yang lama. Ada
yang usulnya NTB Bumi Sapi, Program Pengembangan Sapi NTB, dan setrusnya,
sebelum kemudian forum yang dihadiri pak Wagub menyepakati Bumi Sejuta Sapi. Ini tentu dengan segala pemaknaannya.
Demikian pula program
Permata, alias perlindungan mata air.
Ada juga Ruang Hijau, NTB Hijau, di bidang pengelolaan lingkungan. Kalau AKINO dan ABSANO itu yang usulkan
istilahnya, saya ingat betul, adalah pak Sudaryanto. Dengan penjelasan apa
makna dan missi yang terkandung di dalamnya.
Saya sendiri ‘menemukan’ istilah ADONO, alias Angka Drop Out Nol. Waktu itu kami diskusi di sebuah hotel di
Mataram, terkait program pendidikan. Juga saya mengusulkan Gerakan Penciptaan
Seratus Ribu Wirausaha Baru, dengan leading sektor Dinas Koperasi dan UKM. Waktu itu, saya menghadiri dan presentasi
makalah terkait pembangunan koperasi berkualitas di sebuah hotel di Senggigi.
Tipikal pak BM adalah senang
dan kuat begadang. Tidak jarang kawan-kawan kepala SKPD sampai larut malam
berdikusi di Pendopo dua; tempat kediaman beliau. Dan beliau ikut langsung dalam diskusi
tersebut. Menjelang pengajuan RPJMD ke Mendagri untuk diavaluasi maupun
penyerahan dokumen ke Dewan, diskusi makin intens. Salah satu yang menjadi bahandiskusi adalah
indikator yang ditetapkan secara kuantitatif dalam RPJMD tersebut. Di sini ada dua pendapat. Mengapa kita tidak
ikut gaya RPJMD sebelumnya saja, dimana tidak menggunakan indikator
kuantitatif. Cukup menggunakan indikator
kualitatif saja. Karena resikonya,
inidkator kuantitatif dapat menjadi isu politik, manakala indikator yang telah
ditetapkan ternyata tidak dapat kita capai.
Dan itu tidak salah. Tidak ada
keharusan sesungguhnya kita harus menggunakan indikator kuantitiatit. Kata-kata kualitatif seperti meningkat,
menurun, tetap, dinamis, statis, dan setusnya sesungguhnya dapat
dipergunakan. Tidak perlu menggunakan
angka-angka tertentu.
Saya sendiri berada pada
aliran yang pro kepada penggunaan indikator kuantitatif. Hal ini dengan maksud, kita dapat mengukur
secara lebih jelas, apakah dan seberapa besarkah kita dapat mencapai suatu hasi
dalam dinamika pembangunan, selama lima tahun ke depan. Misalnya, penetapan angka peningkatan
populasi sapi di NTB menjadi minimal satu juta ekor di tahun 2013. Atau
penetapan target dua ribu koperasi berkualitas; penurunan angka kemiskinan dua
persen per tahun, penurunan angka kriminal menjadi sekian kasus per tahun, atau
target penanganan konflik horizontal sekian sekian per tahun, dan seterusnya.
Indeks Pembangunan Manusia,
IPM, yang pada tahun 2008 angkanya 63.7 dalam lima tahun ke depan ditargetkan
meningkat menjadi 70. Angka 70 ini yang
waktu itu saya agak kritisi. Bagaimana
menghitungnya? Dari mana datangnya, dan apa yang harus dilakukan untuk
menggapainya. Beberapa kali saya
menyarankan mas Yiyit untuk berkonsultasi dengan pak Anwar Fachry, dosen Unram
yang saya tahu sangat faham dengan indikator determinan IPM. Apakah angka 70
itu rasional atau tidak. Kalau tidak,
berapa yang kira-kira rasional dan dapat kita capai.
Demikian pula halnya dengan
target penurunan angka kemiskinan yang dua per sen per tahun. Apakah ini
rasional atau hanya emosional. Rasional
maksud saya adalah, penetapan angka telah melalui kajian empirik dengan
mencermati kecenderungan dan capaian kita dalam lima atau bahkan sepuluh tahun
terakhir. Bukan emosional, hanya karena
janji politik, yang mungkin tidak didasari pada kajian yang mendalam secara
akademik. Ataukah semata untuk menjadi motivasi dalam bekerja. Tanpa
memperhitungkan ‘dampak politik’ apabila ternyata itu kita tidak bisa capai.
Harus saya akui, itulah pada
akhirnya yang terjadi. Ada angka-angka yang ditetapkan dengan niat untuk
memotivasi para kepala SKPD, bahkan seluruh stakeholder untuk bekerja lebih
giat ke depan. Bahkan angka penurunan
kemiskinan dua persen per tahun juga ternyata dapat memotivasi para pemangku
kepentingan di tingkat kabupaten kota. Sehingga dalam sebuah roadshow, berhasil
disepakati berapa angka yang ingin dicapai oleh setiap kabupaten/kota dalam
kaitannya dengan penurunan angka kemiskinan di daerahnya per tahun. Memang ada yang tidak berani pada angka dua
persen; tapi ada juga yang berani di atas angka provinsi tersebut. Ini juga
saya lihat sebagai sisi positif keberanian penetapan angka-angka dalam
indikator RPJMD.
Ketika proses evaluasi di Kementrian Dalam Negeri, naskah RPJMD NTB dijadikan salah satu contoh baik,
karena adanya indikator kuantitatif tersebut.
Bahwa dalam proses evaluasi lima tahun kemudian, ternyata memang ada
yang tidak tercapai, jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang tercapai. Tapi
Bapak Gubernur mengatakan, “ketika proses pelaksanaan suatu program telah
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan perencanaan yang telah disusun,
maka kalaupun kita tidak berhasil mencapai target outputnya, tapi outcomenya
pasti kita peroleh. Dampaknya ataupun hikmahnya, pasti akan dapat dirasakan,
baik oleh subyek pembangunan maupun oleh obyek pembangunan itu sendiri.”
Wallahu a’lam bissawab. (Banda Aceh 120314)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar