Rabu, 12 Maret 2014

MEMPERSIAPKAN RPJMD 2009-2013



3.  Mempersiapkan RPJMD 2009-2013: NTB BerSaing

Seperti yang saya singgung dalam tulisan saya yang lain, ‘panggung pertama’ saya sebagai Kepala Bappea NTB adalah dalam arena Musrenbang RPJMD 2009-2013; yang merupakan keharusan konstitusional Kepala Daerah terpilih untuk melaksanakannya. Sesuai dengan aturan  yang ada, pasangan Kepala Daerah Terpilih harus dapat menetapkan RPJMD, atau rencana pembangunan ima tahunannya paling ambat enam bulan setelah pelantikan.  Ini berarti, kalau pelantikannya bulan september, maka paling telat pada bulan Maret tahun berikutnya, RPJMD tersebut harus sudah diketok.  Ini artinya, proses ujung pengesahan di DPRD dapat diselesaikan dengna baik.

Musrenbang adalah salah satu langkah konsultasi publik yang harus dilaksanakan, guna mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Musrenbang dilaksanakan setelah melalui proses penyusunan yang cukup panjang. Di Bappeda sendiri tentu prosesnya juga diawali dengan penyusunan konsep RPJMD yang telah dimulai jauh sebelum pelantikan, bahkan sebelum Pemilukada berlangsung. RPJMD ini juga merupakan perpaduan antara konsep yang telah didesain oleh Bappeda, sesuai dengan RPJPD 2005-2025, dan sesuai dengan tata naskah yang mengatur hal itu, yaitu Permendagri Nomor ……..

“Pertemuan” antara  tim penyusun dari Bappeda dengan tim dari Kepala Daerah terpilih  dilaksanakan setelah pelantikan.  Hal-hal penting, strategis, dan menjadi ‘janji politik’ seorang kepala daerah yang telah disusun dalam rancangan program pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, dimasukkan menajdi bagian dari RPJMD. Terutama terkait visi missi dan janji politik, atau jargon politik yang telah menjadi bahan kampanye, seperti Pendidikan Gratis, Kesehatan Gratis, Penciptaan Wirausaha Baru, pembangunan di bidang ekonomi dan sosial lainnya.  Semua agenda tersebut kemudian di formulasikan ulang oleh tim RPJMD yang ada di Bappeda.

Secara kebetulan, tim RPJMD di Bappeda adalah Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan, yang nota bene baru dilantik, bersamaan dengan pelantikan saya. Namanya Tri Budi Prayitno.  Panggilan akrabnya mas Yiyit, yang ternyata adik klas saya semasa di SMA.   Juga yunior saya di Pramuka.  Mas Yiyit ini ternyata juga adalah tim penyusunan visi missi yang membantu Bapak Badrul Munir, wakil gubernur terpilih.

Dialah yang kemudian, sesuai dengan tupoksinya, yang menjadi penanggung jawab secara terknis penyusunan RPJMD NTB 2009-2013.   Sebagai penanggung jawab umumnya, tentu saya sebagai Kepala Bappeda NTB, yang dilantik per 6 Oktober 2008.   Sejak pelantikan itu pula, pembahasan RPJMD kemudian mulai sangat intensif dilaksanakan di pendopo wakil gubernur, Bapak Badrul Munir. Di sinilah hampir setiap malam, setiap kepala SKPD yang baru dilantik, ataupun yang lama, diundang untuk mendiskusikan substansi atau materi yang ada di RPJMD tersebut.

Salah satu ‘tantangan’ yang beliau ajukan kepada peserta pertemuan adalah bagaimana agar setiap skpd, atau pengelola kegiatan memiliki paling tidaksatu program terobosan, atau program unggulan.  Tantangan yang tentu tidak mudah, dan memerlukan pemikiran yang mendalam. Ada kawan yang spontan mengajukan unggulannya, yang merupakan ekstraksi dari program yang ada di SKPDnya, ada kawan yang memerlukan waktu bermalam-malam (baca: berhari-hari) untuk kemudian usulan program yang dia unggulkan dapat disetujui oleh forum.   Baik istilahnya, maupun substansi programnya.

Isitilah Bumi Sejuta Sapi sebagai contoh.  Proses penemuan istilah atau jargon ini cukup panjang.   Meskipun penetapan komoditas sapi sebagai program unggulandi dinas peternakan sudah disetujui, namun apa istilah yang akan dipergunakan sebagai jargonnya, itu yang lama. Ada yang usulnya NTB Bumi Sapi, Program Pengembangan Sapi NTB, dan setrusnya, sebelum kemudian forum yang dihadiri pak Wagub menyepakati Bumi Sejuta Sapi.  Ini tentu dengan segala pemaknaannya.

Demikian pula program Permata, alias perlindungan mata air.  Ada juga Ruang Hijau, NTB Hijau, di bidang pengelolaan lingkungan.   Kalau AKINO dan ABSANO itu yang usulkan istilahnya, saya ingat betul, adalah pak Sudaryanto. Dengan penjelasan apa makna dan missi yang terkandung di dalamnya.   Saya sendiri ‘menemukan’ istilah ADONO, alias Angka Drop Out Nol.  Waktu itu kami diskusi di sebuah hotel di Mataram, terkait program pendidikan. Juga saya mengusulkan Gerakan Penciptaan Seratus Ribu Wirausaha Baru, dengan leading sektor Dinas Koperasi dan UKM.  Waktu itu, saya menghadiri dan presentasi makalah terkait pembangunan koperasi berkualitas di sebuah hotel di Senggigi.

Tipikal pak BM adalah senang dan kuat begadang. Tidak jarang kawan-kawan kepala SKPD sampai larut malam berdikusi di Pendopo dua; tempat kediaman beliau.   Dan beliau ikut langsung dalam diskusi tersebut. Menjelang pengajuan RPJMD ke Mendagri untuk diavaluasi maupun penyerahan dokumen ke Dewan, diskusi makin intens.  Salah satu yang menjadi bahandiskusi adalah indikator yang ditetapkan secara kuantitatif dalam RPJMD tersebut.   Di sini ada dua pendapat. Mengapa kita tidak ikut gaya RPJMD sebelumnya saja, dimana tidak menggunakan indikator kuantitatif.  Cukup menggunakan indikator kualitatif saja.  Karena resikonya, inidkator kuantitatif dapat menjadi isu politik, manakala indikator yang telah ditetapkan ternyata tidak dapat kita capai.  Dan itu tidak salah.  Tidak ada keharusan sesungguhnya kita harus menggunakan indikator kuantitiatit.  Kata-kata kualitatif seperti meningkat, menurun, tetap, dinamis, statis, dan setusnya sesungguhnya dapat dipergunakan.  Tidak perlu menggunakan angka-angka tertentu.

Saya sendiri berada pada aliran yang pro kepada penggunaan indikator kuantitatif.   Hal ini dengan maksud, kita dapat mengukur secara lebih jelas, apakah dan seberapa besarkah kita dapat mencapai suatu hasi dalam dinamika pembangunan, selama lima tahun ke depan.  Misalnya, penetapan angka peningkatan populasi sapi di NTB menjadi minimal satu juta ekor di tahun 2013. Atau penetapan target dua ribu koperasi berkualitas; penurunan angka kemiskinan dua persen per tahun, penurunan angka kriminal menjadi sekian kasus per tahun, atau target penanganan konflik horizontal sekian sekian per tahun, dan seterusnya.

Indeks Pembangunan Manusia, IPM, yang pada tahun 2008 angkanya 63.7 dalam lima tahun ke depan ditargetkan meningkat menjadi 70.   Angka 70 ini yang waktu itu saya agak kritisi.  Bagaimana menghitungnya? Dari mana datangnya, dan apa yang harus dilakukan untuk menggapainya.   Beberapa kali saya menyarankan mas Yiyit untuk berkonsultasi dengan pak Anwar Fachry, dosen Unram yang saya tahu sangat faham dengan indikator determinan IPM. Apakah angka 70 itu rasional atau tidak.   Kalau tidak, berapa yang kira-kira rasional dan dapat kita capai.

Demikian pula halnya dengan target penurunan angka kemiskinan yang dua per sen per tahun. Apakah ini rasional atau hanya emosional.   Rasional maksud saya adalah, penetapan angka telah melalui kajian empirik dengan mencermati kecenderungan dan capaian kita dalam lima atau bahkan sepuluh tahun terakhir.  Bukan emosional, hanya karena janji politik, yang mungkin tidak didasari pada kajian yang mendalam secara akademik. Ataukah semata untuk menjadi motivasi dalam bekerja. Tanpa memperhitungkan ‘dampak politik’ apabila ternyata itu kita tidak bisa capai.

Harus saya akui, itulah pada akhirnya yang terjadi. Ada angka-angka yang ditetapkan dengan niat untuk memotivasi para kepala SKPD, bahkan seluruh stakeholder untuk bekerja lebih giat ke depan.  Bahkan angka penurunan kemiskinan dua persen per tahun juga ternyata dapat memotivasi para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten kota. Sehingga dalam sebuah roadshow, berhasil disepakati berapa angka yang ingin dicapai oleh setiap kabupaten/kota dalam kaitannya dengan penurunan angka kemiskinan di daerahnya per tahun.   Memang ada yang tidak berani pada angka dua persen; tapi ada juga yang berani di atas angka provinsi tersebut. Ini juga saya lihat sebagai sisi positif keberanian penetapan angka-angka dalam indikator RPJMD.

Ketika proses evaluasi di Kementrian Dalam Negeri, naskah RPJMD NTB dijadikan salah satu contoh baik, karena adanya indikator kuantitatif tersebut.  Bahwa dalam proses evaluasi lima tahun kemudian, ternyata memang ada yang tidak tercapai, jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang tercapai. Tapi Bapak Gubernur mengatakan, “ketika proses pelaksanaan suatu program telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, maka kalaupun kita tidak berhasil mencapai target outputnya, tapi outcomenya pasti kita peroleh. Dampaknya ataupun hikmahnya, pasti akan dapat dirasakan, baik oleh subyek pembangunan maupun oleh obyek pembangunan itu sendiri.” Wallahu a’lam bissawab. (Banda Aceh 120314)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar