Menyederhanakan SPJ
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Sekretaris Daerah Provinsi NTB
Ketika memberikan sambutan dalam cara penyerahan penghargaan
kepada Kementrian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang telah lima kali atau lebih
mendapatkan status WTP di Istana Negara beberapa waktu yang lalu, Bapak
Presiden Jokowi menekankan perlu penyederhanaan mekanisme dan dokumentasi
Laporan atau Surat Pertanggung Jawaban keuangan negara. Beliau sangat gerah dengan masih demikian
rumit dan banyaknya kertas yang harus dipergunakan dalam rangka penyelesaian
LPJ atau SPJ tersebut. “kalau ada orang lembur di kantor, pasti mereka
mengerjakan SPJ. Begitu juga kalau ada tumpukan kertas di meja, pasti itu
urusannya dengan SPJ,” ungkap beliau dengan nada dan raut muka yang sangat serius.
Memang beliau orang yang sangat praktis. Tidak mau yang jelimet-jelimet. Ketika menjadi walikota Solo, beliau yang
mempelopori proses perijinan yang biasanya hitungan bulan atau minggu menjadi
hitungan hari. Bahkan menjadi hitungan jam. Namun terkait dengan apa yang
dikeluhkan tadi, sistem akuntansi kita sesungguhnya yang harus dibenahi.
Paradigma yang selama ini menjadi anutan para akuntan, dan kemudian dituangkan
menjadi keebijakan dalam pemeriksaan laporan pertanggung jawaban adalah,
semakin banyak dokumen yang harus disediakan untuk membuktikan adanya sebuah
transaksi penggunaan keuangan negara, akan semakin baik dan semakin terjamin
akuntabiitasnya. Jadi, disamakan dengan berperkara di pengadilan. Semakin
banyak saksi semakin baik. Sehingga, semakin kecil kemungkinan seseorang untuk
melakukan manipulasi atau kecurangan, misalnya dalam hal pengadaan barang jasa,
perjalanan dinas, dan lain-lain.
Sebagai ilustrasi, untuk mempertanggung jawabkan suatu perjalanan
dinas, dokumen yang harus ada adalah ijin bepergian, undangan, surat perintah
tugas, surat perintah perjalanan dinas atau SPPD, bukti transportasi yang
dipergunakan seperti tiket dan boarding pass (kalau naik pesawat), tiket taksi
atau bus, kwitansi hotel, dan laporan hasil perjalanan. Di beberapa kementrian
ditambah lagi dengan foto. Dan seterusnya.
Artinya, untuk membuktikan bahwa seseorang tidak melakukan perjalanan
fiktif, sekian banyak dokumen harus disiapkan. Itulah yang diperiksa. Tujuan
pemeriksaan sebenarnya sederhana, benarkan seseorang itu melakukan perjalanan
dinas. Dasarnya apa, bepergian pakai apa, kegiatan yang dihadiri apa, menginap
dimana, kapan pergi kapan pulang, dan laporannya seperti apa. Sementara kalau untuk pengadaan barang jasa,
dokumenn yang harus disiapkan per item barang adalah dokumen perencanaannya
sebagai dasar pengadaan, dokumen terkait spesifikasi barang, dokumen proses
pengadaan, beli langsung atau mekanisme lelang yang menjadi dokumen tersendiri
dan cukup tebal, dokumen terkait proses eksekusinya berupa SK-SK (mulai dari SK
Kepala Daerah, SK Kepala Dinas, SK Kepala Bidang, SK Kepala Seksi, SK Panitia
Pengadaan, dan lain-lain), dokumen terkait serah terima barang dari panitia
pengadaan ke panitia penerimaan dan pemeriksa barang, dokumen serah terima ke
pengguna akhir, dan lain lain.
Bisa dibayangkan betapa tebalnya dan begitu banyaknya
pejabat yang harus tanda tangan untuk pembuktian bahwa barang yang sudah
direncanakan untuk diadakan itu benar proses pengadaannya. Inilah yang kemudian
menjadi penyebab mengapa semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin banyak
dokumen yang harus ditanda tangani, dan tentu akibatnya semakin lama atau
semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tanda tangan - tanda
tangan tersebut. Padahal idealnya,
semakin tinggi jabatan seseorang, seharusnya semakin banyak waktu yang
dipergunakan untuk memikirkan hal hal yang sifatnya kebijakan, untuk
berinovasi, bukan hal hal yang sifatnya teknis administrasi.
Pertanyaannya adalah, mungkinkah berbagai hal tersebut
disederhanakan? Tidakkah penyederhanaan
akan berpengaruh terhadap akuntabilitas? Tidakkah akan memperbesar peluang orang
atau oknum untuk manipulatif, berbuat tidak jujur?
Kata-kata ‘fiktif’ dan ‘mark up,’ ‘memperkaya diri atau
orang lain’ adalah kata-kata kunci yang berpotensi untuk terjadinya kerugian
negara, yang pada ujungnya menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Sebenarnya ke situ arah dari instrumen sistem pelaporan pertanggung jawaban
diarahkan. Mekanisme dan sistem yang diimplementasikan dalam pembuatan LPJ atau
SPJ harus mampu dengan mudah untuk mendeteksi terjadinya salah satu atau ketiga
kata ‘sakti’ tersebut. Apakah seseorang
melakukan perjalanan fiktif, belanja fiktif, atau me ‘mark up’ harga barang dan
atau jasa yang dibeli? Inti dari sistem pelaporan yang dibuat sesungguhnya
adalah itu. Oleh pemeriksa, pastilah
yang dicari adalah hal-hal tersebut. Untuk pembuktiannya, dalam sistem yang ada
sekarang, mekanisme dan dokumen yang harus disediakan, menurut Bapak Presiden,
masih terlalu banyak. Artinya, masih bisa disederhanakan. Apalagi dalam era
diigital sekarang ini, seharusnya penyederhanaan sistem pelaporan pertanggung
jawaban itu tidaklah terlampau sulit. Kalau sekarang sudah mulai dipraktekkan
e-planning dan e-budgetting, saya kira sudah waktunya diformulasikan
e-reporting.
Saya membayangkan untuk pertanggung jawaban sebuah
perjalanan dinas, misalnya, kita cukup membuka aplikasi e-reporting perjalanan,
dimana kita dapat mengisi berbagai informasi yang diperlukan, seperti dasar
bepergian (undangan dan/atau perintah tugas), waktu, kota tujuan, acara yang
dihadiri. Sementara untuk bukti fisik kehadiran, cukup kita mengapload foto
yang membuktikan kehadiran kita di acara tersebut. Tidak perlu ada tanda tangan
panitia atau pejabat setempat. Sedangkan untuk menunjukkan berapa lama atau
berapa hari, kita bisa mengapload bukti berupa boardingpass elektronik yang
kita terima dari travel tempat kita membeli tiket pesawat. Sementara untuk
bukti penginapan, menurut saya tidak diperlukan. Karena untuk penginapan ini, bisa ditanggung
panitia, bisa kita tanggung sendiri.
Bendahara kantor akan memberikan biaya perjalanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, real cost untuk trasportasi, dan akomodasi sesuai
dengan kebijakan yang ada. Dengan kata lain, untuk akomodasi tidak diperlukan
bukti fisik seperti kwitansi hotel dan lain lain.
Paradigma ataupun asumsi yang terbangun selama ini dalam
pembuatan juklak juknis pertanggung jawaban penggunaan keuangan negara sudah
waktunya dirubah. Kalau selama ini
asumsinya adalah: dalam penggunaan keuangan negara sebagian besar pegawai
berpotensi dan cenderung untuk melakukan kecurangan, hanya sedikit yang jujur.
Kita rubah menjadi sebaliknya, sebagian besar pegawai pasti jujur, kecuali
hanya sedikit yang memang bermental curang.
Dengan perubahan paradigma tersebut, para pemeriksa, para auditor, tidak
akan akan pening kepalanya jika tidak menemukan sesuatu kesalahan ketika
melakukan pemeriksaan. Termasuk ketika memeriksa laporan pengadaan barang jasa,
yang juga harus disederhanakan prosesnya.
Dengan perubahan mindset para pemeriksa tadi, kita akan
dapat memperbaiki sistem dan mekanisme Laporan Pertanggung Jawaban menjadi
lebih sederhana, praktis, tanpa mengurangi akuntabilitasnya sedikitpun. Dan Bapak Presiden Jokowi tidak akan lagi
melihat tumpukan kertas berlabelkan SPJ di setiap kantor yang beliau kunjungi.
Wallahu a’lam bissawab.