Kamis, 27 Januari 2022

KELAHIRAN NWDI SEBAGAI ORMAS

Oleh: H. Rosiady Sayuti, Ph.D. Ketua I PB NWDI Kalau kita memperhatikan perjalanan sejarah sebuah organisasi besar, kita akan menemukan sebuah kesimpulan yang sama. Tidak ada satupun organisasi besar, apapun namanya, yang tidak luput dari cobaan, tantangan, dan rintangan. Bahkan dalam organisasi keislaman kita bisa menceriterakan perjalanan sejarah berbagai organisasi kelembagaan Islam sejak wafatnya Rasulullah SAW. Di tanah air, sejak berdirinya organisasi keislaman pertama yang bernama Sarikat Dagang Islam (1905) oleh H. Samanhudi, yang kemudian berganti nama dibawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto menjadi Sarikat Islam, pada tahun 1912; Muhammadyah oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912, Nahdlatul Ulama oleh Khadratussyeikh KH Hasyim Asyari pada tahun 1926, dan seterusnya sampai dengan didirikannya Nahdlatul Wathan oleh Almagfurlah Maulanasyeikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada tahun 1953. Umumnya, cobaan itu datang setelah sang pendiri wafat. Secara pribadi, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang sewaktu baru kembali dari Makkah Al-Mukarromah pada tahun 1933, berarti pada usia 26 tahun, langsung mendapatkan tantangan atau cobaan dari Allah SWT melalui masyarakat di desa Pancor. Beliau diberikan dua pilihan yag serba dilematis: boleh menjadi imam di Masjid Pancor atau (bukan dan) silahkan mendirikan madrasah atau sekolah. Dalam pandangan sosiologis, kebolehan menjadi imam shalat berjamaah di masjid adalah sebuah pengakuan masyarakat akan keilmuan keagamaan seseorang. Karena di desa, pada zaman itu, yang juga berlaku di desa-desa tradisional di Lombok hingga hari ini, tidak sembarang orang dapat menjadi imam shalat berjamaah di masjid desa. Sekalipun orang yang bergelar doktor di bidang agama Islam. Kembali ke Pancor 1933. Dalam tulisan sejarah ke-NW-an yang ditulis oleh Dr. Muslihun Muslim diceriterakan bahwa Zainuddin Abdul Majid muda, yang kemudian oleh masyarakat Pancor dipanggil sebagai Tuan Guru Bajang, tidak memiliki keraguan ketika kemudian memilih yang kedua. Mendirikan sekolah atau madrasah. Beliau kemudian mendirikan pondok pengajian Al-Mujahidin yang setelah beberapa tahun berkembang, kemudian beliau mendirikan sekolah atau madrasah yang sifatnya klasikal. Madrasah itulah yang beliau namakan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah. Madrasah NWDI. Pilihan nama yang tentu tidak terlepas dari kondisi tanah air pada waktu itu yang sedang dalam masa penjajahan Belanda. Nahdlatul Wathan sendiri berarti Pergerakan Tanah Air. Madrasah atau sekolah NWDI yang secara resmi terdaftar di pemerintahan pada saat itu. Didirikan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. Pilihan nama madrasah Nahdlatul Wathan di awal nama madrasah ini menjadi salah satu bukti yang terdokumentasi akan semangat nasionalisme almagfurlah sejak muda, ketika diajukan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2017 yang lalu. Hari lahirnya Madrasah NWDI itulah yang ditradisikan oleh Almagfurlah dalam acara tahunan di Pancor dengan nama Hultah NWDI. Dari murid-murid beliau generasi pertama, kemudian madrasah NWDI ini berkembang. Pada masa-masa awal di era kemerdekaan, tercatat ada 9 madrasah yang berdiri. Di antaranya adalah Madrasah As-Saadah Kelayu, Madrasah Nurul Yaqin Praya, Madrasah Nurul Iman Mamben, Madrasah Shirat al-Mustaqim di Rempung, Madrasah Hidayah al-Islam di Masbagek, Madrasah Nurul Iman di Sakra, Madrasah Nurul Wathan di Mbung Papak, Madrasah Tarbiyah al-Isloam di Wanasaba, Madrasah Far’iyah di Pringgesela. Setelah madrasah-madrasah tersebut berkembang, maka pada tahun 1953, beliau mendirikan Organisasi Masa Keislaman dengan nama Nahdlatul Wathan. Dalam tulisan Dr. Muslihun Muslim, kemudian belakangan Dr. Supratman Muslim al-Munzie, diceriterakan bahwa niat awal dari pendirian organisasi Nahdlatul Wathan ini adalah untuk “menjaga” madrasah-madrasah yang ketika itu baru mulai tumbuh. Organisasi ini secara resmi didaftarkan di negara melalui akta notariat Nomor 48 Tahun 1957 yang dibuat dan disahkan oleh Notaris Pembantu Hendrix Alexander Malada di Mataram. Secara pribadi, saya mengenal NW sejak masih di bangku SD karena waktu itu saya juga ikut sekolah sore di Madrasah Ibtidakyah NW Kotaraja. Hampir setiap tahun saya diajak untuk mengikuti Hultah di Pancor. Sampai kemudian ayah saya (alm Drs. H. Suud Sayuti) menjadi Pengurus Wilayah NW Provinsi NTB dan menjadi panitia ketika Muktamar ke VII NW dilaksanakan di Mataram pada tanggal 30 November – 3 Desember 1973. Dinamika organisasi ini terus saya ikuti melalui ceritera-ceritera dari orang tua saya maupun dengan membaca dokumen yang dibawa ke rumah oleh beliau. Sampai kepada peristiwa yang terjadi ketika Muktamar NW dilaksanakan di Praya pada tahun 1998, setahun setelah Mualanasyeikh wafat. Wasiat dan Ishlah Wasiat Renungan Massa, adalah sebuah karya sastra religi Maulanasyeikh yang fenomenal. Dalam wasiat tersebut, ternukil berbagai pemikiran, pandangan, dan bahkan wawasan beliau tentang masa depan. Semua fikiran, pandangan, maupun wawasan tersebut dituliskan dalam bentuk syair puisi dalam empat baris. Ada di antara syair-syair tersebut yang mudah difahami, namun banyak juga yang tidak secara otomatis dapat dimengerti, apa yang beliau maksudkan. Ada dua bait yang penulis jadikan contoh, yang menurut penulis tidak mudah ditafsirkan. Yang pertama: Di sana sini berangsur-angsur Di Lombok Tengah dan Lombok Timur Rasyid di barat sampai terkubur Pada akhirnya NW Mengatur Yang kedua, Seperlima abad anakku berpisah Selama itu timbullah fitnah Di sana sini anakku berbantah Sesama saudara di dalam Nahdlah Untuk yang pertama, ada yang menafsirkan munculnya TGB Dr. Muhammad Zainul Majdi menjadi gubernur sebagai wujud dari maksud bait tersebut. Yang belum tentu juga semua menyetujuinya. Nah untuk yang kedua, dua tahun yang lalu di sebuah acara pelatihan ke-NW-an di Islamic Center, ada salah seorang peserta yang menanyakan makna dari bait tersebut ke Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi. Beliau menjelaskan makna seperlima abad itu tidak harus diartikan secara harfiah dua puluh tahun, tapi diartikan sebaga sebuah masa yang tidak sebentar. Waktu yang cukup lama, sebagai ujian dari Allah SWT. “dan kita terus berikhtiar, agar organisasi ini kembali bersatu seperti zaman al-Magfurlah,” pungkas TGB mengakhiri penjelasannya waktu itu. Ormas NWDI sebagai Solusi Dualisme kepengurusan dalam Organisasi Massa Keislaman Nahdlatul Wathan telah menjadi perhatian pemerintah pusat. Ini tidak terlepas dari ketokohan Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi yang menjadi Ketua Umum di salah satu SK Menkumham RI. Bentuk perhatian tersebut adalah dengan memediasi islah di antara kedua kepnegurusan dengan mengundang mereka dalam pertemuan-pertemuan mediasi. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut dibicarakan solusi alternatif yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Puncaknya adalah ketika kemudian Direktur Jenderal AHU KEMENKUMHAM RI, Cahyo Rahadian Muzhar, SH.,LLM., yang merupakan sahabat baik L.M. Hayyanul Haq, SH, LLM. dosen FH Unram, datang ke Mataram lengkap dengan jajarannya pada tanggal 21 – 25 Maret 2021. Beliau membawa rancangan formulasi yang kemudian menjadi bahan diskusi kedua kepengurusan. Salah satunya yang paling essensial adalah usulan untuk membentuk organisasi massa keagamaan yang baru yang namanya berbeda dengan nama organisasi Nahdlatul Wathan. Misalnya Nahdlatul Wathan Pancor. Ada yang mengusulkan An-Nahdah Al-Wathan dan beberapa nama lain. Yang penting tidak persis sama dengan Nahdlatul Wathan. Subhanallah, kami semua sangat terharu dan bangga, ketika Tuan Guru Bajang sendiri yang mengusulkan ke KEMENKUMHAM nama Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Nama tersebut tidak muncul sama sekali dalam diskusi yang dilaksanakan dalam rangka islah yang difasilitasi oleh Dirjen AHU tersebut. Nama yang kemudian masuk dalam butir-butir kesepakatan antara Pengurus PB NW yang diketuai oleh Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi dan Pengurus PB NW yang diketuai oleh RTGB Muhammad Zainuddin Tsani. Dalam kesepakatan islah tersebut, eksplisit disebutkan bahwa NW dan NWDI memiliki kesetaraan dalam mengemban perjuangan Nahdlatul Wathan. Kedua Ormas NW dan NWDI bergandengan tangan, dalam filosofi “fastabiqul khairat” untuk umat dan Bangsa. Peristiwa yang diharapkan sebagai solusi atas kemelut kepengurusan NW selama lebih dari seperlima abad atau dua puluh tahun sejak 1998, terjadi pada tanggal 23 Maret 2021 atau bertepatan dengan tanggal 9 Syakban 1442 H. Pertanyaannya adalah, apakah kelahiran NWDI sebagai ormas ini adalah sebagai solusi sementara untuk kembalinya Satu PB NW sebgaimana disitir dalam salah satu bait Wasiat Renungan Massa, ataukah bagaimana? Kita serahkan sepenuhnya kepada Sang Maha Pengatur Jagat Raya ini. Wallahu a’lam bissawab. Selamat ber- Muktamar NWDI yang Pertama, di Pancor, insha Allah pada tanggal 29-31 Januari 2021. Khidmat Kepada Ummat, Bangun Indonesia Maju. Sukses dan Barokah, insha Allah (Jkt, 1501-2022; dimuat di Harian Lombok Post, 19 Januari 2022).

Selasa, 23 Juni 2020

Kapan Korona Akan Berlalu? Kabar Baik dari Unram

Kapan Korona Akan Berlalu? Kabar Baik dari Unram

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.

Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram

 

 

Sangatlah menarik tema seminar digital atau Webinar Tngkat Nasional yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana Universitas Mataram hari Selasa 5 Mei 2020. Temanya adalah mirip judul tulisan ini. Kapan Pandemi Korona akan berakhir.  Saya kira Prof. Sarjan selaku Direktur Pasca Sarjana Unram sangat jeli memilih tema Webinar yang beliau inisiasi. Ini terbukti dengan banyaknya pendaftar yang ikut dalam seminar ini yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan salah seorang pesertanya adalah dari Departemen Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang mungkin menjadi bagian dari Satgas Covid 19 Tingkat nasional, yang ikut nimbrung dalam sesi tanya jawab.

 

Pembicara yang tampil dalam webinar nasional itu adalah para profesional yang  sangat berkompeten dalam menjawab pertanyaan tersebut.

 

Yang pertama tampil di layar monitor adalah dr. Hamsyu Kadrian, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, yang juga ketua Satgas Covid19 Unram.  Beliau mempresentasikan hasil kerja kolektif Tim yang dibentuk pak Rektor Unram, yang terdiri dari dosen FK, FMIPA, dan FT Unram.  Mereka berembuk dengan bekal ilmu masing-masing dan menghasilkan proyeksi model, dengan kasus NTB. Pada model pertama, dimana asumsinya intervensi pemerintah belum optimal. Dengan asumsi ini, diprediksi NTB akan mengalami puncaknya pada bulan Agustus 2020 dengan kasus positif di atas 5000 orang. Dan skenario ini sudah disampaikan ke Pak Gubernur NTB.

 

Namun dalam presentasi di Webinar tersebut, dr. Hamsyu memaparkan proyeksi yang lebih menggembirakan. Dengan intervensi pemerintah dan kesadaran masyarakat yang lebih baik, puncak pandemi di NTB akan maju menjadi bulan Juli dengan kasus positif sekitar 1959 orang.  Jauh lebih kecil dibanding dengan prediksi pertama.  Dalam permodelan ini variabel yang dipakai adalah proporsi orang rentan (suspectible), proporsi orang terinfkesi (infected), dan proporsi orang sembuh (recovered) atau disingkat SIR. Sedangkan parameternya adalah laju penyebaran akibat interaksi, berkurangnya orang yang terinfeksi, dan laju kesembuhan.

 

Pada pemaparan kedua, Dr. Khairil Anwar, seorang dosen muda di Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian yang baru menyelesakan S3 nya di UGM. Dengan model yang dibuat, ternyata bisa memprediksi kapan Pandemic Korona ini akan berakhir. Kasus yang datanya dipakai adalah Kota Mataram. Wali Kota Mataram pernah  mengikuti presentasi  model Pandemik untuk Kota Mataram ini. Itulah mungkin menjadi salah satu dasar pak Wali mengambil kebijakan utuk wilayah Kota Mataram.

 

Dengan Pendekatan Sistem Dinamik, Dr. Khairil Anwar membuat model matematis yang disebut SEIR, yaitu singkatan dari Suspectibles (Kelompok rentan), Exposed (Kelompok positif tanpa gejala), Infected (yang terpapar positif) dan Recovered (mereka yang sembuh). Adapun parameter yang dimasukkan ke dalam model yang dibangun adalah Populasi PPTG dan OTG, kapasitas Rumah Sakit, Kapasitas Fasilitas Kesehatan yang ada, Efektifitas Isolasi, Jumlah infeksi dari luar,  Tingkat penularan, dan terakhir Tingkat kematian.

 

Dr. Khairil mempresentasikan dua skenario. Yang pertama apabila tidak ada intervensi pemerintah, artinya tidak ada kebijakan lockdown seperti sekarang ini. Menurut trend kurve simulasi tersebut, dengan memasukkan berbagai variabel tersebut di atas, maka di Mataram bisa terjadi lonjakan kasus positif yang luar biasa besarnya. Menurut simulasi itu, pada pertengahan Juli akan mencapai  angka 360 orang terpapar per hari.  Jumlah yang jauh melebihi kapasitas fasilitas kesehatan yang ada di Kota Mataram.  Itulah yang menjadi kehawatiran pemerintah, khususnya pak Walikota Mataram, yang siang malam meminta masyarakat mentaati anjuran pemerintah untuk StayatHome.  Jangan sampai lonjakan seperti itu terjadi.  Dan itulah yang terjadi di Italy dan beberapa tempat lain di dunia, yang akibatnya banyak pasien yang tidak sempat ditangani oleh petugas kesehatan.

 

Sekenario kedua, apabila ada intevensi pemerintah seperti yang sekarang terjadi,  dan masyarakat mentaati, maka puncak pandemi di Kota Mataram akan terjadi pada minggu pertama Mei ini dengan kasus positif sebanyak 25 orang per hari. Setelah itu akan menurun dan kemudian melandai hingga pertengahan bulan Juli, dimana pada waktu itu tambahan kasus di bawah lima orang per hari. Dan seterusnya hingga menjadi nol kasus per hari.

 

Kedua model dari dua pakar di atas menurut saya konsisten dengan model yang dikembangkan dan terus di update oleh Jianxi Luo dari Singapore University of Technology and Design (http://ddi.sutd.edu.sg). Dalam publikasinya terakhir per 5 Mei 2020, dengan menggunakan model yang sama, dan variabel yang sama seperti yang dipergunakan oleh dr. Hamsyu dkk, yaitu SIR,  Luo memprediksi kalau untuk Indonesia, puncaknya terjadi pada minggu keempat April yang lalu dan secara teoritis akan berakhir pada tanggal 10 Juli 2020.  Tentu ini akan terjadi dengan asumsi tidak terjadi turbulensi setelah masa puncak itu.  Artinya jumlah kasus per hari secara nasional melandai atau bahkan bisa terus turun dari hari ke hari. Dan syaratnya jelas, kebijakan distancing masih tetap berjalan, sampai kira kira akhir Mei atau awal Juni, sambil mencermati, apakah kasus aktual bisa benar-benar konsisten dengan permodelan yang dibuat para pakar tadi.

 

Semoga saja ikhtiar pemerintah yang dibarengi dengan kesabaran dan ketaatan masyarakat kita akan dapat mempercepat berakhirnya pandemi ini.  Karena kurve normal itu, secara teoritis dapat bergerak ke kiri atau ke kanan,  atau bahkan melambung ke atas, tergantung input data yang dimasukkan. Wallahu a’lam bissawab.

 

Selamat Datang, Era New Normal

Selamat Datang, Era New Normal

 

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.

Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram

 

 

Saya yakin tidak banyak dari kita yang ingat,  apalagi mengikuti kebiasaan Proklamator Bung Hatta selama di Pulau Banda dulu, ketika kita menghadapi hidup dalam era Pandemi Korona ini, yang bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah. Apa yang kita alami sekarang ini, mengingatkan saya kepada kisah Proklamator Bung Hatta ketika berada di pengasingan Pulau Banda Neira tahun 1936-1942.  Beliau persis seperti era pandemi ini. Bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Yang membedakanya, mungkin kebiasaan beliau yang sangat disipiln.

 

Konon, seperti penuturan Bung Syahrir yang bersama Bung Hatta diasingkan di Banda Neira, setiap pagi, apa yang dilakukan Bung Hatta persis sama ketika beliau di rumahnya di Jakarta.  Berpakaian rapi, pakai sepatu, dan berangkat kerja. Bedanya, ketika di Banda Neira, beliau ‘berangkat kerja’ ke kamar kerja, ruang sebelah tempat tidur beliau. Bukan pergi ngantor ke bangunan lain.  Seperti itulah kedisiplinan beliau.  Beliau istirahat, ketika mendengar azan zuhur. Dan seterusnya.

 

Dari segi produktivitas, saya yakin banyak dari kita yang bisa seperti Bung Hatta. Tapi dari segi berpenampilan, saya yakin jarang. Ketika memberikan kuliah via Zoom Meeting pun, saya tidak pakai sepatu.  Bahkan hanya pakai sarung, meski bajunya rapi seperti di depan klas.  Produktivitas saya juga lumayan tinggi.  Bersama teman-teman, saya dapat menyelesaikan proposal penelitian yang kami submit ke lembaga donor internasional.  Saya juga berhasil menyelesaikan satu bahkan dua naskah buku ajar.  Saya tetap dapat memberikan kuliah online kepada mahasiswa saya, baik di Prodi Sosiologi maupun yang di Prodi Agribisnis.  Begitu juga bimbingan skripsi mahasiswa, KKN, dan PKL. Semua dapat berjalan dengan baik dan on schedule. Alhamdulillah saya juga berhasil ngupload naskah Deskripsi Diri dalam proses Sertifikasi Dosen pada waktunya.

Sebuah proses yang sesungguhnya proses normal yang memang menjadi tugas dan tanggung jawab saya.  Cuma situasinyalah yang tidak normal.  Semua dikerjakan di rumah.  Bukan di kantor atau di kampus.

 

Era New Normal

Istilah New Normal atau Normal Baru pertama kali diperkenalkan oleh Roger McNamee, dalam sebuah artikel yang diterbitkan  di majalah Fast Company pada tanggal 30 April 2003. Menurut Roger McNamee, istilah New Normal mengacu ke situasi dan atau perilaku baru pada suatu komunitas atau bahkan seseorang yang dibawanya dari perilaku yang ‘menjadi kebiasaannya ketika ada fenomena yang memaksa yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu.’  Sebagai contoh, dari apa yang saya alami dan lakukan selama masa pandemi ini.  Ketika pandemi ini berakhir, semoga dalam waktu tidak terlalu lama ke depan, perilaku saya dalam memberikan kuliah, dalam berkarya tulis ilmiah, dan dalam berkomunikasi dengan teman sejawat via daring, dan lain-lain, tidak banyak saya ubah, artinya tetap seperti waktu pandemi berlangsung, maka itulah yang  disebut new normal. Kebiasaan cuci tangan ketika akan masuk rumah setelah bepergian, tetap dipertahankan, itu new normal.  Kewajiban menjaga jarak, bahkan juga pakai masker, tidak saling berjabat tangan atau cipika cipiki ketika dipertahankan setelah pandemi berlalu, itu new normal. 

Dengan bahasa sederhana, memang masa pandemi yang berlangsung berbulan-bulan ini pasti akan membawa perubahan perilaku kita sehari-hari.  Kebiasaan dalam konteks ini adalah apa yang biasanya kita lakukan se hari-hari di rumah. Sudah tentu, yang seharusnya kita biasakan ke depan adalah perilaku dan aktifitas keseharian kita yang produktif.

Salah satu kegiatan yang kiranya perlu menjadi kegiatan dalam era new normal kita kedepan adalah penggunaan video conference, atau bertemu dalam sebuah acara seminar, lokakarya, ataupun rapat yang melibatkan banyak orang melalui teknologi video conference. Melalui kegiatan video conference ini ternyata kita bisa sangat efektif dalam ber seminar atay berdiskusi.  Kita bahkan bisa menghadirkan pembicara yang ber klas nasional dan internasional, tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Demikian pula dari segi peserta, kita bisa mengundang peserta dari seluruh dunia. Suatu kegiatan yang sebelum pandemi korona ini terjadi, sangat jarang kita bisa laksanakan. Padahal teknologinya sudah tersedia. Nah, ketika era ini berlalu, kemudian kegiatan webinar (istilah untuk seminar online) terus secara berkala kita adakan, maka itu adalah new normal.

Yang pasti akan juga menjadi bagian dari new normal kehidupan kita ke depan adalah dalam bidang pendidikan.  Proses pembelajaran sistem daring selama era pandemi ini, pada semua tingkatan pendidikan, pasti banyak akan berpengaruh pada kebiasaan pembelajaran ke depan. Penggunaan teknologi informasi dengan berbagai aplikasinya kiranya telah menjadi bagian dari proses pengajaran yang semakin diminati oleh para pengajar, yang awalnya terpaksa dipergunakan. Ini akan menjadi bagian penting new normal di masa mendatang.  Bahwa proses belajar mengajar tidak harus 100 persen dengan metode tatap muka di depan klas. Ada bagian kebiasaaan di era pandemik, yaitu sistem daring, yang juga dapat dipergunakan dan cukup efektif.  Ada waktu dimana peserta didik tidak harus datang ke sekolah atau ke kampus. Dengan demikian, akan ada waktu lebih banyak untuk pendidikan di rumah, termasuk interaksi bersama anggota keluarga lainnya. Atau ketika dalam proses belajar mengajar ada kebutuhan untuk mendatangkan narasumber dari luar sekolah. Kita dapat menggunakan sistem seperti yang terjadi selama pandemi ini berlangsung. Ini menjadi bagian penting dari hikmah yang harus diambil dari proses belajar mengajar selama pandemi ini. Dan inilah salah satu kebiasaan baru new normal yang akan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kita di depan. Di semua tingkat pendidikan. Wallahu a’lam bisssawab. Lombok Post, Juni 2020

 

SOCIETY 5.0 DAN COVID-19

SOCIETY 5.0 DAN COVID-19

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.

Ketua Program Studi Sosiologi

Universitas Mataram

 

 

Ketika melaunching visi baru bangsanya dengan istilah Society 5.0, mengiringi  istilah Industrial Revolution 4.0,  dalam World Economic Forum  yang berlangsung di Osaka Jepang Juni 2019, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mungkin tidak membayangkan kalau pada tahun berikutnya, 2020, di dunia muncul pandemik korona 19 seperti sekarang ini.  Pandemi yang ternyata bisa mengakselerasi terwujudnya visi tersebut. Tidak membayangkan kalau dalam suatu masa kehidupan di dunia ini muncul istilah lockdown, dimana manusia di sebagian besar belahan bumi diminta untuk stay at home, work from home, alias tidak boleh keluar rumah. Abe tidak pernah membayangkan kalau pandemi seperti sekarang ini melanda hampir seluruh permukaan bumi. 

 

Yang terbayangkan adalah, sepeerti yang dipresentasikan dalam forum tersebut, bahwa kehidupan manusia di kemudian hari menjadi sangat tergantung dari  internet of thing.  Masyarakat kemudian mengarah ke apa yang dia sebut  sebagai "A human-centered society that balances economic advancement with the resolution of social problems by a system that highly integrates cyberspace and physical space." Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, “suatu kehidupan masyarakat yang tingkat perekonomiannya sedemikian maju yang mampu menyelesaikan persoalan sosialnya dengan mengintegrasikan dunia maya dan dunia nyata.”  Dunia maya atau cyberspace di sini tentu maksudnya adalah Internet of Thing, atau segala sesuatu yang berbau internet, atau teknologi informasi. Dunia nyata, ya kehidupan dunia yang selama ini kita jalani.

 

Kehidupan seperti itulah yang kemudian dikenalkan dengan istilah Society 5.0 atau Masyarakat 5.0.  Isitilah ini mungkin terinspirasi dari istilah Industry 4.0 yang sudah muncul dan secara resmi diperkenalkan oleh Kanselir Jerman Barat Angella Merkel dalam World Economic Forum pada tahun 2015. Angka 4.0 di”hitung” dari era  revolusi industri tahun 1776 dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt (1.0),  kemudian ditemukanya ban berjalan (2.0) dan berkembangnya komputer dan robot (3.0).  

 

Sedangkan angka 5.0 diambil sebagai kelanjutan dari era masyarakat berburu (hunting society) sebagai titik awal atau Society 1.0; kemudian dilanjutkan dengan era masyarakat pertanian (agricultural society) sebagai Society 2.0. Setelah itu berkembang menjadi masyarakat industri (industrial society) yang dikoinkan dengan istilah Society 3.0. dan masyarakat informasi (information society) dengan julukan Society 4.0. 

 

Sekarang ini kita sudah berada pada era Society 5.0, dimana kehidupan kita menjadi sangat tergantung dari ada atau tidaknya sinyal internet.  Berbeda dengan era sebelumnya, yaitu era masyarakat informasi, dimana berbagai informasi yang ada kita bisa dapatkan dari internet kemudian kita olah; pada era Sociey 5.0, berbagai data yang ada sudah terkirim sedemikian besar dan banyaknya via internet ke dunia maya (cyberspace) dan kemudian diolah oleh sebuah teknologi canggih yang bernama artifical intelligence.  Kehadiran robot dalam berbagai penggunaannya adalah aplikasi nyata dari penggunaan artificial intelligence itu.  Atau lebih canggih lagi penggunaan pesawat tanpa awak (drone) untuk berbagai keperluan.

 

Ketka saya berkunjung ke pusat pabrik Honda di Tokyo pada tahun 1988, waktu itu sebenarnya sudah diperkenalkan prototype mobil tanpa pengemudi.  Pada showroom besarnya Honda, prototype itu sudah dipamerkan.  Perkiraannya mobil tersebut akan dipasarkan pada sekitar tahun 2000.  Namun hingga hari ini belum keluar. Malah Google konon sedang mempersiapkan mobil tanpa stang setir itu alias berbasis artificial intelligence dan akan diluncurkan sektar tahun 2023.  Jadi kalau hari ini dengan GPS kita bisa menyetting jalan paling cepat untuk menuju suatu tempat, kemudian dengan pegang kemudi kita bisa mencapainya. Lima atau sepuluh tahun ke depan, kemudi atau stang setir tidak diperlukan lagi. Cukup cek dan klik di GPS, hidupkan mobil, klik RUN, maka kita “tinggal terima nyampe tujuan.” Tentu dengan selamat.

 

Covid-19

Hadirnya Covid-19, ternyata mempercepat proses terwujudnya Society 5.0. tersebut. Intensitas penggunaan Internet of Thing dalam kehidupan kita sekarang ini cukup tinggi.  Penggunaan video conference untuk ‘bertatap muka’ secara virtual menjadi sangat intens.   Mulai dari belanja untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, untuk keperluan pendidikan, seperti belajar mengajar, rapat-rapat, bahkan sampai pelaksanaan seminar dan konferensi yang sifatnya nasional dan internasional kita menggunakan video conference. Dan bisa melibatkan banyak orang seperti kalau kita mengadakan seminar secara konvensional.

 

Teknologi video conference ini sesungguhnya sudah ada sejak lama.  Tapi kita masih kurang ‘sreg’ rasanya kalau kita mengadakan kegiatan dengan tatap muka secara langsung.  Rapat-rapat offline rasanya masih demikian pentingnya, sehingga meskipun kegiatan itu sebenarnya cukup dilaksanakan secara online, kita masih lebih senang memilih  off line. Proses penyelesaian administrasinya yang lebih mudah (karena memang sudah sangat terbiasa) menjadi alasan utamanya. Disamping alasan klasik lainnya. Intinya kita masih enggan menggunakan teknologi yang sesungguhnya bisa membantu mempermudah dan memperlancar kegiatan kita.

 

Sekarang dengan segala bentuk keterpaksaan, kita harus menggunakan sistem online ataupun sistem virtual.  Pemerintahpun sudah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung sistem online tersebut. Di hampir semua bidang kehidupan, dengan alasan untuk segera “memutus rantai berkembangnya covid19.”  Kita belum tahu pastinya sampai kapan. Yang jelas kemudian hal tersebut membuat kita menjadi lebih terbiasa menggunakan fasilitas Internet of Thing itu.  Mungkin secara tidak sadar sepenuhnya, kita kini sudah memasuki era Society 5.0 seperti yang dimaksudkan oleh Perdana Menteri Jepang  Shinzo Abe dalam presentasinya di depan peserta World Economic Forum tahun 2019 seperti yang saya singgung di awal tulisan ini. Wallahu a’lam bissawab. Lombok Post, 22/6/2020


 

Kamis, 30 April 2020

INDUSTRIALISASI DAN MIMPI GUBERNUR NTB


INDUSTRIALISASI DAN MIMPI GUBERNUR NTB

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram


Rehat dulu soal Korona.  Insha Allah pada waktunya, korona akan berlalu. Kapan itu? Ya setelah tidak ada lagi kasus positif baru. Artinya tidak ada lagi penularan baru. Yang sudah tertular, sudah menjadi sembuh atau disiplin mengisolasi diri di rumah, sampai yang bersangkutan benar-benar negatif. Teorinya itu saja. Mudah-mudahan SK Kepala BNPB, yang berisi darurat nasional korona sampai dengan 28 Mei ini, tidak perlu diperpanjang lagi. Mudah-mudahan.

Sekarang tentang industrialisasi. Saya terinspirasi menulis soal ini setelah membaca tuisan Pak Gub Zulkieflimansyah di Lombok Post di lembar yang sama dengan tulisan saya tentang Korona dan Sosiologi.

Sebenarnya saya sudah memahami apa yang beliau fikirkan dengan industrialisasinya ketika beliau memaparkan konsep industrialisasi di depan para kepala SKPD awal tahun lalu. Waktu itu saya yang jadi  moderatornya. Acara itu sendiri digagas oleh Kepala Bappeda kala itu, pak Ridwansyah.  Tempat acaranya juga di Bappeda.  Di situ saya baru tahu kalau disertasi beliau terkait dengan industrialisasi.  Jadi pantaslah, kalau beliau sangat faham seluk beluk industralisasi.

Saya jadi ingat dengan konsep nilai tambahnya alm Prof. Habibie ketika menjadi Menristek sekembali dari Jerman tahun 80an. Bahwa kalau singkong dijual mentah, harganya bisa sepersepuluh bahkan seperseratus atau seperseribu dari kalau singkong diubah atau diproses melalui proses industri.  Katakanlah menjadi kosmetik, atau obat, misalnya. Atau yang paling sederhana menjadi kerepek singkong lantas dikemas dengan bagus. Selisih antara jual mentah dengan jual hasil industri itulah, yang Prof. Habibi katakan sebagai nilai tambah. Syaratnya bisa terwujud nilai tambah itu dan menjadi uang, ya barangnya laku dijual.  Dan disitulah masalah kunci dari sukses atau gagalnya proses industrialisasi di suatu negara atau suatu daerah.

Hasil industri kita, selama ini, tidak laku di pasar. Kalah bersaing dengan produk dari daerah lain atau dari luar negeri. Contohnya, industri minyak kelapa kita di Cakra yang dulu pernah berjaya. Sekarang sudah tinggal nama, karena tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari Jawa. PT GNE, pernah diberikan fasilitas permesinan untuk memproduksi pupuk organik di Banyumulek.  GNE sudah menanam investasi dengan membangun gedungnya.  Tapi apa yang terjadi? Industri itu layu sebelum berkembang.   Ketika menjadi pejabat, saya berusaha membantu. Tapi “dikalahkan” oleh aturan. Lho koq aturan?

Ide atau saran saya waktu itu meminta Dinas terkait untuk membeli produk yang dihasilkan oleh GNE, kemudian memasukkannya ke dalam paket hibah yang akan dibagikan ke kelompok-kelompok tani.  Bahasa saya mirip dengan apa yang disampaikan oleh pak Gub sekarang. Kalau pemerintah tidak mau membantu industri, apalagi yang sifatnya IKM, untuk membeli produknya, maka kita tidak akan pernah memiliki industri yang sesungguhnya produknya kita butuhkan di daerah ini.  Kita akan selamanya mengimpor produk tersebut dari luar. Dan itu artinya, petani atau produsen kita di NTB tidak akan pernah mendapatkan berkah nilai tambah. 

Tapi itulah faktanya.   Teman-teman kadis tidak mau ambil resiko. Membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.   Apalagi belinya ke satu produsen saja. Nanti terganjal istilah punya “vested interest” atau monopli.  Padahal kalau kita mau membantu mereka, para IKM itu, ya, pemerintah harus mau membeli produknya dalam skala besar. Dan berkesinambungan. Katakanlah tiga atau lima tahun. Baru mereka bisa tumbuh. Dan setelah tumbuh, barulah mereka akan  mampu menghadapi persaingan pasar. Karena yang tidak mungkin dilakukan adalah menyetop produk yang sama dari luar daerah atau luar negeri. Maka “affirmative policy” seperti judul buku pertama saya sewaktu jadi Kepala Bappeda NTB, yang harus dilaksanakan.  Artinya ada kebijakan khusus dari pemerintah yang  berani untuk keluar dari pakem aturan yang ada.  Seperti aturan tender misalnya. Kalau belanja di atas dua ratus juta harus melalui tender terbuka.  Nah kalau tender terbuka, pastilah IKM kita akan kalah dari produk industri besar.

Untuk itu, solusinya pak Gub dan DPRD buat Perda.  Perda tentang industrialisasi di NTB.  Di PERDA itulah diatur hal-hal atau seluk beluk tentang bagaimana pemerintah berperan aktif dalam membantu IKM-IKM kita di NTB sehingga produk yang dihasilkan mampu menyaingi produk dari luar daerah.  Sekarang ini memang sudah ada Rumah Kemasan milik Dinas Perindustrian.  IKM-IKM bisa mendapatkan fasilitas kemasan secara murah atau gratis.  Tapi ternyata itu masih belum mampu mendongkrak IKM kita. Karena kapasitasnya masih terbatas. Anggaran yang disiapkan APBD untuk itu juga sangat minim.

PERDA tentu tidak bisa meng’halal’kan belanja diluar ketentuan yang diatur oleh peraturan diatasnya, dalam hal ini PP dan UU. Maka usul saya, Pemda NTB, harus berani mengusulkan ke Presiden untuk merubah bunyi Peraturan Pemerintah tentang belanja menggunakan APBD. Bahwa untuk kepentingan industrialisasi di daerah yang sangat strategis untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah boleh melakukan affirmative policy kepada para IKM.  Boleh membeli produk mereka tanpa melalui tender dan dengan harga yang ‘pasti’ membuat mereka untung dan karenanya akan cepat berkembang. 

Bukankah Jepang bisa menjadi negara industri superpower mengalahkan Amerika karena menerapkan affirmative policy seperti itu?  Jepang seringkali ditegur oleh WTO, karena ketahuan menerapkan dumping policy.  Artinya pemerintah membeli produk rakyatnya dengan harga jauh lebih tinggi dari pada harga ekspornya. Dengan sistem dumping itu, Jepang membantu rakyatnya untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus produk-produk Jepang bisa bersaing di pasar global.  Contoh yang lebih berani, kalau bicara soal ini adalah China.  Dan sekarang China sudah tumbuh ekonominya menyaingi Jepang dan bahkan Amerika. Jauh meninggalkan Indonesia yang di awal tahun 60-an kondisi ekonomi kedua negara itu hampir sama.

Jadi? Ya kalau Pak Gub mau merealisasikan mimpi tentang industrialisasinya, maka itulah yang harus dilaksanakan.  Sehingga ‘affirmative policy’ itu punya dasar hukum yang jelas. Bukan kebijakan sporadis, seperti cerita minyak goreng, yang kemudian dikritisi habis-habisan oleh para pegiat ‘pasar bebas’ seperti kita baca di media. 

Salah satu “oleh-oleh” yang  saya petik selama menjadi birokrat di Pemda hampir sebelas tahun, ya itu. Negara ini sulit berkembang karena dikungkung oleh peraturan yang dibuat sendiri. Wallahu a’lam bissawab.


Kamis, 16 April 2020

KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI


KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram


Saya ingin mengawali tulisan ini dengan dua cerita menarik. Yang pertama, bagaimana gembiranya Archimedes, seorang pemikir zaman Yunani kuno, ketika menemukan apa yang kemudian kita kenal dengan Hukum Archimedes. Yaitu ketika dia memperhatikan permukaan air meninggi bahkan meleluap keluar bak mandi, ketika dia memasukkan badannya ke bak mandinya.  Dan bagaimana kemudian ternyata permukaan air di bak mandinya menurun atau surut ketika dia bediri dan kemudian keluar dari bak mandi tersebut. Saking gembiranya dengan fenomena yang dilihatnya itu, konon Archimedes berlari keluar rumah sambil berteriak, “eureka, eureka, I have found it.” Dia lupa kalau waktu itu dia belum pakai pakaian, alias telanjang.  Mengapa dia begitu gembira?  Karena dia waktu itu lagi berfikir bagaimana menukur volume sebuah benda yang tak beraturan bentuknya, seperti mahkota seorang raja. Dan dengan cara “seperti dia mandi di bak” itulah ternyata cara yang tepat dengan hasil yang juga pasti tepat. Maka lahirlah Hukum Archimedes yang terkenal itu.

Cerita kedua, adalah cerita Durkheim, seorang sosiolog klasik, yang penasaran, bagaimana cara mengukur tingkat solidaritas suatu masyarakat. Karena masalah solidaritas itu tentu bukan sesuatu yang kasat mata. Apa lagi yang diukur adalah dalam tingkatan suatu bangsa atau dalam wilayah suatu negara.  Atau mengukur  dan membandingkan tingkat solidaritas antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain, atau antara anggota dalam suatu organisasi yang satu dengan anggota organisasi yang lain.  Maka yang Durkheim lakukan dan kemudian menjadi salah satu karyanya yang monumental adalah dengan menghitung jumlah orang yang bunuh diri dalam suatu kurun waktu tertentu. Kesimpulannya, pada masyarakat yang jumlah orang bunuh dirinya tinggi, maka pasti di situ tingkat solidaritasnya rendah. Dan sebalikna, pada masyarakat yang tingkat bunuh dirinya rendah, tingkat solidaritas masyarakatnya tinggi.

Lantas, apa hubungannya dengan fenomena masyarakat kita dalam masa physical distancing yang sangat dianjurkan dewasa ini. (Saya tidak mengatakan social distancing, karena dalam pandangan orang sosiologi, social distancing itu bermakna negatif.  Saya faham juga ,  bahwa yang dimaksudkan dengan social distancing oleh pemerintah selama ini sesungguhnya, dan dalam praktiknya, adalah physical distancing, membuat jarak fisik antar sesama secara sengaja).

Berfikir sosiologis, artinya kita berfikir secara rasional dan berdasarkan fenomena yang kita yakini kebenarannya (ada bukti emprisnya). Atas dasar fikiran kita itu, kemudian kita bertindak, yang tindakan kita itu tidak murni hanya untuk kepentingan diri kita sendiri, namun juga karena kita memikirkan dampaknya bagi orang lain. Dengan corona ini, kita memutuskan untuk tinggal di rumah saja, bekerja dari rumah dan bahkan beribadah dari rumah.  Sesuatu yang kita terpaksa lakukan, bukan semata karena anjuran pemerintah, tapi kita memahami bahwa tindakan itu memiliki dampak untuk diri kita sendiri, keluarga, dan juga dampaknya terhadap orang lain. 

Secara empiris kita mengetahui, begitu cepat dan dahsyat penyebaran virus corona ini, hanya karena orang berjabat tangan, atau berinteraksi intens dengan carier, si pembawa virus, yang bisa saja tanpa gejala apapun.  Ribuan orang sudah meninggal karena secara empiris sudah terbukti mereka terinfeksi.   Maka kemudian kita menjadi yakin bahwa physical distancing adalah strategi yang kita yakini dapat diterapkan untuk menghentikan laju penyebaran virus corona itu.

Pertanyaannya kemudian berapa lama? Sampai kapan? Dan jawabannya juga sudah gamblang, yaa sampai secara empiris di negara itu atau wilayah itu tidak ada lagi bukti baru orang terinfeksi.  Tidak ada lagi tambahan orang yang terinfeksi dalam suatu kurun waktu tertentu. Dan tentu tidak ada lagi PDP dan ODP atau bahkan OTG baru dalam waktu tertentu.

Untuk Indonesia, sudah kita baca berbagai skenario. Ada  versi UI, versi IPB, versi ITB, versi UGM, dan versi BNPB dan Bappenas. Ada yang mengatakan puncaknya di Indonesia akan terjadi pada pertengah April, dan kemudian setelah itu menurun. Kalau sudah menurun, artinya sudah tidak ada lagi “pendatang baru.” Yang ada adalah mereka yang terinfeksi oleh mereka yang sudah masuk dalam target group. Apakah yang sudah positif, masih suspect, atau PDP dan ODP.   Sebagai contoh di Lombok Timur.  Tambahan dua orang positif tempohari itu adalah mereka yang memang sudah masuk dalam kategori PDP atau ODP, karena dipastikan pernah berinterkasi dengan pasien positif 01 atau 02.  Cuma dengan dinyatakan mereka positif, maka haruslah dicari lagi, kalau-kalau ada orang lain lagi yang pernah berinteraksi dengan pasien yang sekarang ber nomor 09 dan 10, yang belum masuk dalam kategori PDP atau ODP sebelumnya.  Begitu seterusnya, sehingga dalam skenario-skenario yang ada, semua menskenariokan corona  ini akan dinyatakan berlalu dua bulan setelah masa puncak terjadi.  Mudah-mudahan skenario optimis yang menyatakan puncaknya April  ini yang akan menjadi kenyataan, sehingga, dua bulan setelahnya, yaitu pada bulan Juni  kehidupan kita sudah akan  kembali normal. Insha Allah.

Dari dua cerita di awal tulisan ini, kita mungkin bisa mendapat inspirasi untuk dua hal dalam masa physiscal distancing ini. Yang pertama, adalah bagaimana kita dapat mengukur “volume” atau mereka yang kemudian dinyatakan positif corona dan berapa banyak yang kemudian terdampak.  Yang kedua, adalah kita mengukur ulang tingkat solidaritas sosial kita, sebagai suatu bangsa, dan secara internal sebagai sebuah keluarga.  Sebuah penelitian dari Charities Aid Foundation yang berpusat di Inggris tahun lalu mendudukkan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling dermawan di dunia. Ini artinya kita memiliki tingkat solidaritas sosial yang tinggi.  Di luar yang dua  itu, menarik juga titipan pertanyaan seorang teman, produk apakah  yang dapat kita hasilkan sebagai seorang profesional,  selama masa kita stay at home yang cukup lama kali ini? Wallahu a’lam bissawab.



Kampus Merdeka


KAMPUS MERDEKA
Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Unram



Banyak yang skeptis ketika Presiden Jokowi mengangkat Nadiem Anwar Makarim, Bos Gojek, menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi Kemendikbud yang dipimpinnya menggabungkan kembali Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di dalamnya.   Artinya, seorang anak muda bernama Nadiem Makarim dan berusia 35 tahun waktu itu akan mengomandani juga semua lembaga perguruan tinggi yang isinya adalah para profesor, kaum intelektual, dan para mahasiswa yang kritis.

Namun ternyata, dalam perjalanan waktu, muncul juga berbagai gebrakannya yang memunculkan pro kontra. Artinya, orang kemudian menjadi tertarik untuk mengikuti sepak terjangnya dan apa yang akan dilakukannya untuk memperbaiki  berbagai hal terkait dengan pendidikan di negeri ini. Salah satu yang terakhir diluncurkan adalah apa yang disebut dengan Kampus Merdeka.  Sebagai seorang ketua Program Studi, yang menjadi ujung tombak pewarna lulusan dan kualitas mahasiswa di kampus, saya mencermati betul apa yang dimaksudkan oleh Mas Menteri (demikian beliau ingin dipanggil) sebagai Kampus Merdeka. Beberapa kali saya putar ulang penjelasan beliau tentang Kampus Merdeka yang telah di you tube kan.

Ada 4 komponen Kampus Merdeka yang saya kira sangat positif untuk pengembangan kampus ke depan.  Untuk melaksanakannya tentu memerlukan aturan teknis lebih lanjut agar tidak salah arah ataupun salah sasaran.

Yang pertama adalah adanya kemudahan untuk membuka Program Study baru, bagi PT yang akreditasinya A atau B; asal memang lulusannya dapat cepat terserap di lapangan kerja. Syaratnya ada mitra strategis yang diajak kerjasama, seperti perusahaan berklas dunia, organisasi nirlaba berklas dunia, BUMN atau BUMD, ataupun Top 100 PT Berklas dunia.

Kedua, terkait dengan akreditasi, baik PT maupun Prodi. Ada berbagai perubahan kebijakan yang akan mempermudah proses akreditasi di perguruan tinggi. Baik untuk reakreditasi maupun untuk memperoleh akreditasi yang sifatnya internasional. Ada penyederhanaan proses.

Ketiga, kampus merdeka berkait dengan fasilitasi pemerintah bagi PTN yang ingin menjadi PTN BH dari PTN BLU. Tanpa mengurangi subsidi yang diperoleh oleh PTN tersebut dari pemerintah.  Tujuannya tentu untuk meningkatkan otonomi kampus dan keleluasaan kewenangan kampus dalam mengelola PT dalam meningkatkan kualitas luaran.

Terakhir, keempat, dan tentu yang paling menarik adalah diberikannya hak kepada mahasiswa S1 untuk kuliah atau belajar sebanyak-banyaknya 3 semester di luar prodinya. Bisa di dalam kampus sendiri maupun di luar kampusnya sendiri. Untuk ‘magang’ di luar kampusnya sendiri paling lama dua semester. Dengan kebjakan tersebut, mahasiswa diharapkan akan dapat menguasai ilmu dan teknologi yang lain di luar bidang ilmu prodinya. Misalnya seorang mahasiswa di prodi Teknologi Informatika akan berkesempatan untuk mengambil kuliah di Prodi lain yang dapat melengkapi ilmunya; misalnya dalam hal ‘product marketing.’  Atau seorang mahasiswa sosiologi ingin ‘magang di desa’ agar dapat mempraktekkan ilmunya di masyarakat, sebelum dia tamat S1nya. Dengan demikian, bekalnya untuk terjun ke masyarakat ketika dia tamat nanti akan menjadi lengkap. Tidak hanya melalui KKN yang hanya dua bulan. Percaya dirinya akan menjadi lebih tinggi. 

Kebijakan ini juga memungkin kan mahasiswa untuk mengikuti pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Mereka bisa belajar full satu atau dua semester di kampus di luar negeri, yang kemudian kreditnya diakui di kampus asalnya. Atau dengan kampus lain di dalam negeri.  Hal ini akan memberikan pengalaman luar biasa bagi seorang mahsiswa S1, yang tentu akan dapat berpengaruh positif pada mindset mereka. Pertanyaan besarnya tentu, bagaimana dengan pembiayaannya.

Program seperti ini sesungguhnya sudah mulai dilaksanakan di beberapa kampus besar, seperti UI, UGM, dan lain-lain.   Mereka cukup aktif menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di Eropah dan Australia. Cuma biayanya biasanya ditanggung oleh mahasiswa masing-masing.  Untuk itu, berpulang kepada kita, pemerintah, dan masyarakat. Mas Menteri telah menggelar karpet merah untuk para mahasiswa: belajar sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Bahkan juga dimana-mana saja yang mahasiswa anggap pas untuk menimba ilmunya. Tinggal sekarang kesiapan para mahasiswa, terutama terkait dengan masalah bahasa asing, yang mau tidak mau harus dikuasai. Kalau terkait dana, saya yakin Allah Maha Kaya. Wallahu a’lam bissawab. (Mataram, 31/1/20)