INDUSTRIALISASI DAN MIMPI GUBERNUR NTB
Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram
Rehat dulu soal Korona.
Insha Allah pada waktunya, korona akan berlalu. Kapan itu? Ya setelah
tidak ada lagi kasus positif baru. Artinya tidak ada lagi penularan baru. Yang
sudah tertular, sudah menjadi sembuh atau disiplin mengisolasi diri di rumah,
sampai yang bersangkutan benar-benar negatif. Teorinya itu saja. Mudah-mudahan
SK Kepala BNPB, yang berisi darurat nasional korona sampai dengan 28 Mei ini,
tidak perlu diperpanjang lagi. Mudah-mudahan.
Sekarang tentang industrialisasi. Saya terinspirasi menulis
soal ini setelah membaca tuisan Pak Gub Zulkieflimansyah di Lombok Post di
lembar yang sama dengan tulisan saya tentang Korona dan Sosiologi.
Sebenarnya saya sudah memahami apa yang beliau fikirkan
dengan industrialisasinya ketika beliau memaparkan konsep industrialisasi di
depan para kepala SKPD awal tahun lalu. Waktu itu saya yang jadi moderatornya. Acara itu sendiri digagas oleh
Kepala Bappeda kala itu, pak Ridwansyah.
Tempat acaranya juga di Bappeda.
Di situ saya baru tahu kalau disertasi beliau terkait dengan
industrialisasi. Jadi pantaslah, kalau
beliau sangat faham seluk beluk industralisasi.
Saya jadi ingat dengan konsep nilai tambahnya alm Prof.
Habibie ketika menjadi Menristek sekembali dari Jerman tahun 80an. Bahwa kalau
singkong dijual mentah, harganya bisa sepersepuluh bahkan seperseratus atau
seperseribu dari kalau singkong diubah atau diproses melalui proses
industri. Katakanlah menjadi kosmetik,
atau obat, misalnya. Atau yang paling sederhana menjadi kerepek singkong lantas
dikemas dengan bagus. Selisih antara jual mentah dengan jual hasil industri
itulah, yang Prof. Habibi katakan sebagai nilai tambah. Syaratnya bisa terwujud
nilai tambah itu dan menjadi uang, ya barangnya laku dijual. Dan disitulah masalah kunci dari sukses atau
gagalnya proses industrialisasi di suatu negara atau suatu daerah.
Hasil industri kita, selama ini, tidak laku di pasar. Kalah
bersaing dengan produk dari daerah lain atau dari luar negeri. Contohnya,
industri minyak kelapa kita di Cakra yang dulu pernah berjaya. Sekarang sudah
tinggal nama, karena tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari Jawa. PT
GNE, pernah diberikan fasilitas permesinan untuk memproduksi pupuk organik di Banyumulek. GNE sudah menanam investasi dengan membangun
gedungnya. Tapi apa yang terjadi?
Industri itu layu sebelum berkembang.
Ketika menjadi pejabat, saya berusaha membantu. Tapi “dikalahkan” oleh
aturan. Lho koq aturan?
Ide atau saran saya waktu itu meminta Dinas terkait untuk
membeli produk yang dihasilkan oleh GNE, kemudian memasukkannya ke dalam paket
hibah yang akan dibagikan ke kelompok-kelompok tani. Bahasa saya mirip dengan apa yang disampaikan
oleh pak Gub sekarang. Kalau pemerintah tidak mau membantu industri, apalagi
yang sifatnya IKM, untuk membeli produknya, maka kita tidak akan pernah
memiliki industri yang sesungguhnya produknya kita butuhkan di daerah ini. Kita akan selamanya mengimpor produk tersebut
dari luar. Dan itu artinya, petani atau produsen kita di NTB tidak akan pernah
mendapatkan berkah nilai tambah.
Tapi itulah faktanya.
Teman-teman kadis tidak mau ambil resiko. Membeli barang dengan harga
yang lebih tinggi dari harga pasar. Apalagi
belinya ke satu produsen saja. Nanti terganjal istilah punya “vested interest”
atau monopli. Padahal kalau kita mau
membantu mereka, para IKM itu, ya, pemerintah harus mau membeli produknya dalam
skala besar. Dan berkesinambungan. Katakanlah tiga atau lima tahun. Baru mereka
bisa tumbuh. Dan setelah tumbuh, barulah mereka akan mampu menghadapi persaingan pasar. Karena
yang tidak mungkin dilakukan adalah menyetop produk yang sama dari luar daerah
atau luar negeri. Maka “affirmative policy” seperti judul buku pertama saya
sewaktu jadi Kepala Bappeda NTB, yang harus dilaksanakan. Artinya ada kebijakan khusus dari pemerintah
yang berani untuk keluar dari pakem
aturan yang ada. Seperti aturan tender
misalnya. Kalau belanja di atas dua ratus juta harus melalui tender
terbuka. Nah kalau tender terbuka,
pastilah IKM kita akan kalah dari produk industri besar.
Untuk itu, solusinya pak Gub dan DPRD buat Perda. Perda tentang industrialisasi di NTB. Di PERDA itulah diatur hal-hal atau seluk
beluk tentang bagaimana pemerintah berperan aktif dalam membantu IKM-IKM kita
di NTB sehingga produk yang dihasilkan mampu menyaingi produk dari luar
daerah. Sekarang ini memang sudah ada
Rumah Kemasan milik Dinas Perindustrian.
IKM-IKM bisa mendapatkan fasilitas kemasan secara murah atau
gratis. Tapi ternyata itu masih belum
mampu mendongkrak IKM kita. Karena kapasitasnya masih terbatas. Anggaran yang
disiapkan APBD untuk itu juga sangat minim.
PERDA tentu tidak bisa meng’halal’kan belanja diluar
ketentuan yang diatur oleh peraturan diatasnya, dalam hal ini PP dan UU. Maka
usul saya, Pemda NTB, harus berani mengusulkan ke Presiden untuk merubah bunyi
Peraturan Pemerintah tentang belanja menggunakan APBD. Bahwa untuk kepentingan
industrialisasi di daerah yang sangat strategis untuk mengentaskan kemiskinan,
pemerintah boleh melakukan affirmative policy kepada para IKM. Boleh membeli produk mereka tanpa melalui
tender dan dengan harga yang ‘pasti’ membuat mereka untung dan karenanya akan
cepat berkembang.
Bukankah Jepang bisa menjadi negara industri superpower
mengalahkan Amerika karena menerapkan affirmative policy seperti itu? Jepang seringkali ditegur oleh WTO, karena
ketahuan menerapkan dumping policy.
Artinya pemerintah membeli produk rakyatnya dengan harga jauh lebih
tinggi dari pada harga ekspornya. Dengan sistem dumping itu, Jepang membantu
rakyatnya untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus produk-produk Jepang bisa
bersaing di pasar global. Contoh yang
lebih berani, kalau bicara soal ini adalah China. Dan sekarang China sudah tumbuh ekonominya
menyaingi Jepang dan bahkan Amerika. Jauh meninggalkan Indonesia yang di awal
tahun 60-an kondisi ekonomi kedua negara itu hampir sama.
Jadi? Ya kalau Pak Gub mau merealisasikan mimpi tentang
industrialisasinya, maka itulah yang harus dilaksanakan. Sehingga ‘affirmative policy’ itu punya dasar
hukum yang jelas. Bukan kebijakan sporadis, seperti cerita minyak goreng, yang
kemudian dikritisi habis-habisan oleh para pegiat ‘pasar bebas’ seperti kita
baca di media.
Salah satu “oleh-oleh” yang
saya petik selama menjadi birokrat di Pemda hampir sebelas tahun, ya
itu. Negara ini sulit berkembang karena dikungkung oleh peraturan yang dibuat
sendiri. Wallahu a’lam bissawab.