Kamis, 30 April 2020

INDUSTRIALISASI DAN MIMPI GUBERNUR NTB


INDUSTRIALISASI DAN MIMPI GUBERNUR NTB

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram


Rehat dulu soal Korona.  Insha Allah pada waktunya, korona akan berlalu. Kapan itu? Ya setelah tidak ada lagi kasus positif baru. Artinya tidak ada lagi penularan baru. Yang sudah tertular, sudah menjadi sembuh atau disiplin mengisolasi diri di rumah, sampai yang bersangkutan benar-benar negatif. Teorinya itu saja. Mudah-mudahan SK Kepala BNPB, yang berisi darurat nasional korona sampai dengan 28 Mei ini, tidak perlu diperpanjang lagi. Mudah-mudahan.

Sekarang tentang industrialisasi. Saya terinspirasi menulis soal ini setelah membaca tuisan Pak Gub Zulkieflimansyah di Lombok Post di lembar yang sama dengan tulisan saya tentang Korona dan Sosiologi.

Sebenarnya saya sudah memahami apa yang beliau fikirkan dengan industrialisasinya ketika beliau memaparkan konsep industrialisasi di depan para kepala SKPD awal tahun lalu. Waktu itu saya yang jadi  moderatornya. Acara itu sendiri digagas oleh Kepala Bappeda kala itu, pak Ridwansyah.  Tempat acaranya juga di Bappeda.  Di situ saya baru tahu kalau disertasi beliau terkait dengan industrialisasi.  Jadi pantaslah, kalau beliau sangat faham seluk beluk industralisasi.

Saya jadi ingat dengan konsep nilai tambahnya alm Prof. Habibie ketika menjadi Menristek sekembali dari Jerman tahun 80an. Bahwa kalau singkong dijual mentah, harganya bisa sepersepuluh bahkan seperseratus atau seperseribu dari kalau singkong diubah atau diproses melalui proses industri.  Katakanlah menjadi kosmetik, atau obat, misalnya. Atau yang paling sederhana menjadi kerepek singkong lantas dikemas dengan bagus. Selisih antara jual mentah dengan jual hasil industri itulah, yang Prof. Habibi katakan sebagai nilai tambah. Syaratnya bisa terwujud nilai tambah itu dan menjadi uang, ya barangnya laku dijual.  Dan disitulah masalah kunci dari sukses atau gagalnya proses industrialisasi di suatu negara atau suatu daerah.

Hasil industri kita, selama ini, tidak laku di pasar. Kalah bersaing dengan produk dari daerah lain atau dari luar negeri. Contohnya, industri minyak kelapa kita di Cakra yang dulu pernah berjaya. Sekarang sudah tinggal nama, karena tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari Jawa. PT GNE, pernah diberikan fasilitas permesinan untuk memproduksi pupuk organik di Banyumulek.  GNE sudah menanam investasi dengan membangun gedungnya.  Tapi apa yang terjadi? Industri itu layu sebelum berkembang.   Ketika menjadi pejabat, saya berusaha membantu. Tapi “dikalahkan” oleh aturan. Lho koq aturan?

Ide atau saran saya waktu itu meminta Dinas terkait untuk membeli produk yang dihasilkan oleh GNE, kemudian memasukkannya ke dalam paket hibah yang akan dibagikan ke kelompok-kelompok tani.  Bahasa saya mirip dengan apa yang disampaikan oleh pak Gub sekarang. Kalau pemerintah tidak mau membantu industri, apalagi yang sifatnya IKM, untuk membeli produknya, maka kita tidak akan pernah memiliki industri yang sesungguhnya produknya kita butuhkan di daerah ini.  Kita akan selamanya mengimpor produk tersebut dari luar. Dan itu artinya, petani atau produsen kita di NTB tidak akan pernah mendapatkan berkah nilai tambah. 

Tapi itulah faktanya.   Teman-teman kadis tidak mau ambil resiko. Membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.   Apalagi belinya ke satu produsen saja. Nanti terganjal istilah punya “vested interest” atau monopli.  Padahal kalau kita mau membantu mereka, para IKM itu, ya, pemerintah harus mau membeli produknya dalam skala besar. Dan berkesinambungan. Katakanlah tiga atau lima tahun. Baru mereka bisa tumbuh. Dan setelah tumbuh, barulah mereka akan  mampu menghadapi persaingan pasar. Karena yang tidak mungkin dilakukan adalah menyetop produk yang sama dari luar daerah atau luar negeri. Maka “affirmative policy” seperti judul buku pertama saya sewaktu jadi Kepala Bappeda NTB, yang harus dilaksanakan.  Artinya ada kebijakan khusus dari pemerintah yang  berani untuk keluar dari pakem aturan yang ada.  Seperti aturan tender misalnya. Kalau belanja di atas dua ratus juta harus melalui tender terbuka.  Nah kalau tender terbuka, pastilah IKM kita akan kalah dari produk industri besar.

Untuk itu, solusinya pak Gub dan DPRD buat Perda.  Perda tentang industrialisasi di NTB.  Di PERDA itulah diatur hal-hal atau seluk beluk tentang bagaimana pemerintah berperan aktif dalam membantu IKM-IKM kita di NTB sehingga produk yang dihasilkan mampu menyaingi produk dari luar daerah.  Sekarang ini memang sudah ada Rumah Kemasan milik Dinas Perindustrian.  IKM-IKM bisa mendapatkan fasilitas kemasan secara murah atau gratis.  Tapi ternyata itu masih belum mampu mendongkrak IKM kita. Karena kapasitasnya masih terbatas. Anggaran yang disiapkan APBD untuk itu juga sangat minim.

PERDA tentu tidak bisa meng’halal’kan belanja diluar ketentuan yang diatur oleh peraturan diatasnya, dalam hal ini PP dan UU. Maka usul saya, Pemda NTB, harus berani mengusulkan ke Presiden untuk merubah bunyi Peraturan Pemerintah tentang belanja menggunakan APBD. Bahwa untuk kepentingan industrialisasi di daerah yang sangat strategis untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah boleh melakukan affirmative policy kepada para IKM.  Boleh membeli produk mereka tanpa melalui tender dan dengan harga yang ‘pasti’ membuat mereka untung dan karenanya akan cepat berkembang. 

Bukankah Jepang bisa menjadi negara industri superpower mengalahkan Amerika karena menerapkan affirmative policy seperti itu?  Jepang seringkali ditegur oleh WTO, karena ketahuan menerapkan dumping policy.  Artinya pemerintah membeli produk rakyatnya dengan harga jauh lebih tinggi dari pada harga ekspornya. Dengan sistem dumping itu, Jepang membantu rakyatnya untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus produk-produk Jepang bisa bersaing di pasar global.  Contoh yang lebih berani, kalau bicara soal ini adalah China.  Dan sekarang China sudah tumbuh ekonominya menyaingi Jepang dan bahkan Amerika. Jauh meninggalkan Indonesia yang di awal tahun 60-an kondisi ekonomi kedua negara itu hampir sama.

Jadi? Ya kalau Pak Gub mau merealisasikan mimpi tentang industrialisasinya, maka itulah yang harus dilaksanakan.  Sehingga ‘affirmative policy’ itu punya dasar hukum yang jelas. Bukan kebijakan sporadis, seperti cerita minyak goreng, yang kemudian dikritisi habis-habisan oleh para pegiat ‘pasar bebas’ seperti kita baca di media. 

Salah satu “oleh-oleh” yang  saya petik selama menjadi birokrat di Pemda hampir sebelas tahun, ya itu. Negara ini sulit berkembang karena dikungkung oleh peraturan yang dibuat sendiri. Wallahu a’lam bissawab.


Kamis, 16 April 2020

KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI


KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram


Saya ingin mengawali tulisan ini dengan dua cerita menarik. Yang pertama, bagaimana gembiranya Archimedes, seorang pemikir zaman Yunani kuno, ketika menemukan apa yang kemudian kita kenal dengan Hukum Archimedes. Yaitu ketika dia memperhatikan permukaan air meninggi bahkan meleluap keluar bak mandi, ketika dia memasukkan badannya ke bak mandinya.  Dan bagaimana kemudian ternyata permukaan air di bak mandinya menurun atau surut ketika dia bediri dan kemudian keluar dari bak mandi tersebut. Saking gembiranya dengan fenomena yang dilihatnya itu, konon Archimedes berlari keluar rumah sambil berteriak, “eureka, eureka, I have found it.” Dia lupa kalau waktu itu dia belum pakai pakaian, alias telanjang.  Mengapa dia begitu gembira?  Karena dia waktu itu lagi berfikir bagaimana menukur volume sebuah benda yang tak beraturan bentuknya, seperti mahkota seorang raja. Dan dengan cara “seperti dia mandi di bak” itulah ternyata cara yang tepat dengan hasil yang juga pasti tepat. Maka lahirlah Hukum Archimedes yang terkenal itu.

Cerita kedua, adalah cerita Durkheim, seorang sosiolog klasik, yang penasaran, bagaimana cara mengukur tingkat solidaritas suatu masyarakat. Karena masalah solidaritas itu tentu bukan sesuatu yang kasat mata. Apa lagi yang diukur adalah dalam tingkatan suatu bangsa atau dalam wilayah suatu negara.  Atau mengukur  dan membandingkan tingkat solidaritas antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain, atau antara anggota dalam suatu organisasi yang satu dengan anggota organisasi yang lain.  Maka yang Durkheim lakukan dan kemudian menjadi salah satu karyanya yang monumental adalah dengan menghitung jumlah orang yang bunuh diri dalam suatu kurun waktu tertentu. Kesimpulannya, pada masyarakat yang jumlah orang bunuh dirinya tinggi, maka pasti di situ tingkat solidaritasnya rendah. Dan sebalikna, pada masyarakat yang tingkat bunuh dirinya rendah, tingkat solidaritas masyarakatnya tinggi.

Lantas, apa hubungannya dengan fenomena masyarakat kita dalam masa physical distancing yang sangat dianjurkan dewasa ini. (Saya tidak mengatakan social distancing, karena dalam pandangan orang sosiologi, social distancing itu bermakna negatif.  Saya faham juga ,  bahwa yang dimaksudkan dengan social distancing oleh pemerintah selama ini sesungguhnya, dan dalam praktiknya, adalah physical distancing, membuat jarak fisik antar sesama secara sengaja).

Berfikir sosiologis, artinya kita berfikir secara rasional dan berdasarkan fenomena yang kita yakini kebenarannya (ada bukti emprisnya). Atas dasar fikiran kita itu, kemudian kita bertindak, yang tindakan kita itu tidak murni hanya untuk kepentingan diri kita sendiri, namun juga karena kita memikirkan dampaknya bagi orang lain. Dengan corona ini, kita memutuskan untuk tinggal di rumah saja, bekerja dari rumah dan bahkan beribadah dari rumah.  Sesuatu yang kita terpaksa lakukan, bukan semata karena anjuran pemerintah, tapi kita memahami bahwa tindakan itu memiliki dampak untuk diri kita sendiri, keluarga, dan juga dampaknya terhadap orang lain. 

Secara empiris kita mengetahui, begitu cepat dan dahsyat penyebaran virus corona ini, hanya karena orang berjabat tangan, atau berinteraksi intens dengan carier, si pembawa virus, yang bisa saja tanpa gejala apapun.  Ribuan orang sudah meninggal karena secara empiris sudah terbukti mereka terinfeksi.   Maka kemudian kita menjadi yakin bahwa physical distancing adalah strategi yang kita yakini dapat diterapkan untuk menghentikan laju penyebaran virus corona itu.

Pertanyaannya kemudian berapa lama? Sampai kapan? Dan jawabannya juga sudah gamblang, yaa sampai secara empiris di negara itu atau wilayah itu tidak ada lagi bukti baru orang terinfeksi.  Tidak ada lagi tambahan orang yang terinfeksi dalam suatu kurun waktu tertentu. Dan tentu tidak ada lagi PDP dan ODP atau bahkan OTG baru dalam waktu tertentu.

Untuk Indonesia, sudah kita baca berbagai skenario. Ada  versi UI, versi IPB, versi ITB, versi UGM, dan versi BNPB dan Bappenas. Ada yang mengatakan puncaknya di Indonesia akan terjadi pada pertengah April, dan kemudian setelah itu menurun. Kalau sudah menurun, artinya sudah tidak ada lagi “pendatang baru.” Yang ada adalah mereka yang terinfeksi oleh mereka yang sudah masuk dalam target group. Apakah yang sudah positif, masih suspect, atau PDP dan ODP.   Sebagai contoh di Lombok Timur.  Tambahan dua orang positif tempohari itu adalah mereka yang memang sudah masuk dalam kategori PDP atau ODP, karena dipastikan pernah berinterkasi dengan pasien positif 01 atau 02.  Cuma dengan dinyatakan mereka positif, maka haruslah dicari lagi, kalau-kalau ada orang lain lagi yang pernah berinteraksi dengan pasien yang sekarang ber nomor 09 dan 10, yang belum masuk dalam kategori PDP atau ODP sebelumnya.  Begitu seterusnya, sehingga dalam skenario-skenario yang ada, semua menskenariokan corona  ini akan dinyatakan berlalu dua bulan setelah masa puncak terjadi.  Mudah-mudahan skenario optimis yang menyatakan puncaknya April  ini yang akan menjadi kenyataan, sehingga, dua bulan setelahnya, yaitu pada bulan Juni  kehidupan kita sudah akan  kembali normal. Insha Allah.

Dari dua cerita di awal tulisan ini, kita mungkin bisa mendapat inspirasi untuk dua hal dalam masa physiscal distancing ini. Yang pertama, adalah bagaimana kita dapat mengukur “volume” atau mereka yang kemudian dinyatakan positif corona dan berapa banyak yang kemudian terdampak.  Yang kedua, adalah kita mengukur ulang tingkat solidaritas sosial kita, sebagai suatu bangsa, dan secara internal sebagai sebuah keluarga.  Sebuah penelitian dari Charities Aid Foundation yang berpusat di Inggris tahun lalu mendudukkan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling dermawan di dunia. Ini artinya kita memiliki tingkat solidaritas sosial yang tinggi.  Di luar yang dua  itu, menarik juga titipan pertanyaan seorang teman, produk apakah  yang dapat kita hasilkan sebagai seorang profesional,  selama masa kita stay at home yang cukup lama kali ini? Wallahu a’lam bissawab.



Kampus Merdeka


KAMPUS MERDEKA
Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Unram



Banyak yang skeptis ketika Presiden Jokowi mengangkat Nadiem Anwar Makarim, Bos Gojek, menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi Kemendikbud yang dipimpinnya menggabungkan kembali Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di dalamnya.   Artinya, seorang anak muda bernama Nadiem Makarim dan berusia 35 tahun waktu itu akan mengomandani juga semua lembaga perguruan tinggi yang isinya adalah para profesor, kaum intelektual, dan para mahasiswa yang kritis.

Namun ternyata, dalam perjalanan waktu, muncul juga berbagai gebrakannya yang memunculkan pro kontra. Artinya, orang kemudian menjadi tertarik untuk mengikuti sepak terjangnya dan apa yang akan dilakukannya untuk memperbaiki  berbagai hal terkait dengan pendidikan di negeri ini. Salah satu yang terakhir diluncurkan adalah apa yang disebut dengan Kampus Merdeka.  Sebagai seorang ketua Program Studi, yang menjadi ujung tombak pewarna lulusan dan kualitas mahasiswa di kampus, saya mencermati betul apa yang dimaksudkan oleh Mas Menteri (demikian beliau ingin dipanggil) sebagai Kampus Merdeka. Beberapa kali saya putar ulang penjelasan beliau tentang Kampus Merdeka yang telah di you tube kan.

Ada 4 komponen Kampus Merdeka yang saya kira sangat positif untuk pengembangan kampus ke depan.  Untuk melaksanakannya tentu memerlukan aturan teknis lebih lanjut agar tidak salah arah ataupun salah sasaran.

Yang pertama adalah adanya kemudahan untuk membuka Program Study baru, bagi PT yang akreditasinya A atau B; asal memang lulusannya dapat cepat terserap di lapangan kerja. Syaratnya ada mitra strategis yang diajak kerjasama, seperti perusahaan berklas dunia, organisasi nirlaba berklas dunia, BUMN atau BUMD, ataupun Top 100 PT Berklas dunia.

Kedua, terkait dengan akreditasi, baik PT maupun Prodi. Ada berbagai perubahan kebijakan yang akan mempermudah proses akreditasi di perguruan tinggi. Baik untuk reakreditasi maupun untuk memperoleh akreditasi yang sifatnya internasional. Ada penyederhanaan proses.

Ketiga, kampus merdeka berkait dengan fasilitasi pemerintah bagi PTN yang ingin menjadi PTN BH dari PTN BLU. Tanpa mengurangi subsidi yang diperoleh oleh PTN tersebut dari pemerintah.  Tujuannya tentu untuk meningkatkan otonomi kampus dan keleluasaan kewenangan kampus dalam mengelola PT dalam meningkatkan kualitas luaran.

Terakhir, keempat, dan tentu yang paling menarik adalah diberikannya hak kepada mahasiswa S1 untuk kuliah atau belajar sebanyak-banyaknya 3 semester di luar prodinya. Bisa di dalam kampus sendiri maupun di luar kampusnya sendiri. Untuk ‘magang’ di luar kampusnya sendiri paling lama dua semester. Dengan kebjakan tersebut, mahasiswa diharapkan akan dapat menguasai ilmu dan teknologi yang lain di luar bidang ilmu prodinya. Misalnya seorang mahasiswa di prodi Teknologi Informatika akan berkesempatan untuk mengambil kuliah di Prodi lain yang dapat melengkapi ilmunya; misalnya dalam hal ‘product marketing.’  Atau seorang mahasiswa sosiologi ingin ‘magang di desa’ agar dapat mempraktekkan ilmunya di masyarakat, sebelum dia tamat S1nya. Dengan demikian, bekalnya untuk terjun ke masyarakat ketika dia tamat nanti akan menjadi lengkap. Tidak hanya melalui KKN yang hanya dua bulan. Percaya dirinya akan menjadi lebih tinggi. 

Kebijakan ini juga memungkin kan mahasiswa untuk mengikuti pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Mereka bisa belajar full satu atau dua semester di kampus di luar negeri, yang kemudian kreditnya diakui di kampus asalnya. Atau dengan kampus lain di dalam negeri.  Hal ini akan memberikan pengalaman luar biasa bagi seorang mahsiswa S1, yang tentu akan dapat berpengaruh positif pada mindset mereka. Pertanyaan besarnya tentu, bagaimana dengan pembiayaannya.

Program seperti ini sesungguhnya sudah mulai dilaksanakan di beberapa kampus besar, seperti UI, UGM, dan lain-lain.   Mereka cukup aktif menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di Eropah dan Australia. Cuma biayanya biasanya ditanggung oleh mahasiswa masing-masing.  Untuk itu, berpulang kepada kita, pemerintah, dan masyarakat. Mas Menteri telah menggelar karpet merah untuk para mahasiswa: belajar sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Bahkan juga dimana-mana saja yang mahasiswa anggap pas untuk menimba ilmunya. Tinggal sekarang kesiapan para mahasiswa, terutama terkait dengan masalah bahasa asing, yang mau tidak mau harus dikuasai. Kalau terkait dana, saya yakin Allah Maha Kaya. Wallahu a’lam bissawab. (Mataram, 31/1/20)