Rabu, 18 September 2013

MENGINDONESIAKAN NTB


“MENGINDONESIAKAN” NTB

Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kepala BAPPEDA NTB

Ketika megumumkan kesediaannya untuk maju kembali menjadi  Gubernur NTB periode 2013-2018 pada tanggal 16 Oktober lalu, Dr. TGH M. Zainul Majdi menjelaskan tiga alasan utamanya.  Pertama, kata beliau, karena dorongan dari berbagai lapisan masyarakat yang menghedaki beliau untuk tampil kembali, dengan berbagai alasan. Kedua, karena ingin melanjutkan ikhtiar untuk menuntaskan berbagai program yang telah berjalan dan sudah mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.  Ketiga, ungkap beliau, dan ini yang menarik menurut saya, “saya ingin memperbaiki posisioning NTB di tingkat nasional.”  Dengan bahasa lain, beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Nusa Tenggara Barat agar sejajar dengan daerah daerah lain di Indonesia, yang sudah lebih maju. Katakanlah mengambil propinsi terdekat kita, seperti Bali, atau Jawa Timur.  

Mengapa Bali dan juga Jawa Timur, atau propinsi lainnya di bagian barat Indonesia demikian maju pesat, jauh meninggalkan propinsi lain di Indonesai Bagian Timur, termasuk NTB, NTT, Maluku, dan lain-lain, karena selama ini politik anggarana di Indonesai menggunakan azas jumlah penduduk.  Karena daerah daerah di Indonesia bagian timur ini jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dari daerah bagian barat Indonesia, maka jumlah dana yang digelontorkan pusat ke propinsi di bagian barat jauh lebih besar dibandingkan dengan yang bagian timur.  Dengan besaran dana seperti tiulah yang kemudian menyebabkan berbagai fasilitas infrastruktur di KBI jauh lebih baik dari daerah daerah KTI. Akibatnya, investasi yang masuk ke KBI jauh lebih banyak, dibandingkan dengan investasi di KTI.

Bukti paling ‘anyar’ terkait masalah ‘positioning’ ini adalah struktur pendanaan dalam proyek MP3EI.  Kalau dilihat dari besaran total investasi yang diperlukan (baca:dialokasikan) untuk tiga propinsi yang masuk dalam koridor V, yaitu Bali, NTB, dan NTT; maka yang paling sedikit adalah Bali.  Namun, kalau dilihat dari proporsi APBNnya, maka Bali lah yang paling banyak.  Makanya, tidak mengherankan kalau pada tahun 2012-2013 ini, suasana Bali hiruk pikuk dengan proyek MP3EI, khususnya konektivitas, sementara NTB dan NTT masih adem ayem.

Itulah salah satu contoh, betapa ‘positioning’ Bali di tingkat nasional, harus kita akui, jauh lebih baik di bandingkan dengan kita di NTB atupun NTT.   Dan itulah saya kira, yang dimaksudkan oleh TGB ketika menyatakan akan maju lagi dalam Pilkada NTB 2013 yang akan datang.  Beliau menyadari, apa yang telah beliau lakukan selama ini, sejak menjadi gubernur NTB 2008 yang lalu, beliau rasakan masih bisa untuk ditingkatkan.  Meski kita, rakyat NTB, sudah menikmati BIL, bypass menuju BIL, yang insya Allah akan diperpanjang sampai Kota Mataram, bendungan Pandanduri Swangi juga sudah memasuki fase kontruksi utama, APDN yang megah akan segera nampak di Lombok Tengah,  Embarkasi dan disembarkasi penuh haji, jalan negara mulus dari Ampenan sampai Sape, dan lain-lain, yang kesemuanya itu tidak mungkin terjadi tanpa turun tangan Gubernur secara langsung ke pusat;  namun beliau menganggap posisi tawar NTB di pusat masih belum maksimal.  Masih banyak ikhtiar yang harus ditingkatkan, agar berbagai agenda besar membangun NTB ini dapat segera terwujud.  Ada bendungan Rababaka Komplek di Dompu, Dam Mujur Dua di Lombok Tengah, Bintangbano di KSB, perpanjangan runway dan perluasan bandara Salahuddin Bima dan Kaharuddin Sumbawa, pembangunan Global Hub di Kayangnan KLU, pembangunan kawasan Samota (Teluk Saleh, Moyo, dan Tambora), kajian jalan alternatif Mataram - Lombok Timur yang sudah sangat padat, membangun Mataram Metro sebagai gerbang wisata nasional, meningkatkan daya tarik berbagai destinasi wisata andalan di NTB, dan lain-lain.

Demikian pula ikhtiar untuk mewujudkan masyarakat NTB yang beriman dan berdaya saing.  Tentu pekerjaan yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang.  Membuat perencanaan dan melaksanakan serta pada waktunya mengevaluasi apakah tingkat kecerdasan dan daya saing para pelajar, mahasiswa, dan pemuda NTB telah meningkat atau malah jalan ditempat, tentu perlu waktu.  Tidak mungkin dapat diketahui dalam waktu setahun dua tahun. Karena memang, investasi di sektor pendidikan dan kesehatan itu, menurut para ekonom, adalah long term investment.

Kalaupun dalam empat tahun terakhir ini NTB telah berhasil menurunkan angka buta huruf, angka drop out sekolah, pengangguran, angka kematian bayi, dan lain-lain, tentu merupakan modal awal yang baik untuk melangkah ke peningkatan kualitas sumberdaya manusia.  Lima tahun ini tentu berbagai program yang dilaksanakan masih dalam rangka meletakkan dasar yang kokoh dan memperbanyak mereka yang terkena sasaran program.  Belum banyak bicara daya saing, atau kualitas. Istilah TGB, kita belum banyak bisa bicara soal “marwah.” 

Kata “marwah” itulah yang beliau ungkapkan ketika mentargetkan sepuluh medali emas dalam PON yang baru baru ini berhasil diraih.  Melalui potensi dan perjuangan keras para atlet, ternyata kita mampu menaikkan posisi NTB dalam kancah olah raga nasional. Melalui olah raga itulah, masyarakat Indonesia kemudian mengetahui dan mengakui beradaan NTB dalam percaturan olah raga nasional. Pada akhirnya, kita berada pada posisi ke 12 (yang PON sebelumnya rangking 26) dalam deretan propinsi propinsi peraih medali, adalah sesuatu yang patut dibanggakan.  Artinya NTB telah menempatkan dirinya di atas rata-rata nasional. Ada dua puluh propinsi lain yang posisinya di bawah posisi NTB.

Posisi NTB dalam berbagai sektor pembangunan juga terus membaik. Penghargaan demi penghargaan dapat diraih di bidang koperasi, ketenaga kerjaan, transmigrasi, pariwisata, bahkan infrastruktur jalan dan tata ruang juga terus meningkat.  Dari posisi yang tidak disebutkan, dapat meningkat menjadi posisi yang disebutkan; apakah dalam peringkat lima besar, juara tiga bahkan juara satu.   Di bidang binamarga misalnya, tahun lalu NTB menempati peringkat ketiga se Indonesia.  Ini karena kebijakan percepatan jalan propinsi dan komitmen pemerintah daerah lainnya, terkait dengan pemeliharaan jalan dan jembatan yang menjadi kewenangan propinsi.  Tahun 2012 ini, NTB masuk nominasi 3 besar dalam bidang tataruang. Konon juara satu, insya Allah.  NTB juga telah ditetapkan menjadi pilot percontohan pembangunan jalan propinsi yang didukung Australia dengan nilai investasi sampai 1,2 T dalam kurun waktu lima tahun, sejak 2013. 

Demikian pula halnya dalam bidang penanggulangan kemiskinan, penanganan masalah ketenagakerjaan, penciptaan kewirausahaan baru, dan lain-lain.  Posisi NTB terus membaik. Namun semua itu belum cukup untuk mempercepat laju pembangunan di NTB, sehingga kemiskinan dan pengangguran menjadi terentaskan.   Belum cukup untuk meningkatkan kapasitas fiskal di NTB seperti yang direncanakan dalam RPJMD, sehingga semua program tertunaikan;  belum cukup untuk menambah dana pusat yang masuk ke NTB atau untuk menarik dana investasi non pemerintah sebanyak banyaknya ke NTB, sehingga semua tenaga kerja dipekerjakan.

Artinya, menurut perspesi TGB, masih perlu kerja lebih keras lagi untuk memperbaiki posisioning NTB di tingkat nasional. Sehingga, jalan jalan propinsi dan kabupaten yang ada di NTB menjadi seratus persen mantap; arus barang dan jasa menjadi makin lancar; kawasan mandalika dan pariwisata lainnya mulai terbangun, dan bandara kita menjadi makin rame dengan tujuan penerbangan dalam dan luar negeri makin banyak pula.  Pertumbuhan ekonomi juga makin baik dengan makin banyaknya industri olahan hasil pertanian di setiap kabupaten kota di NTB; jumlah turis mancanegara maupun nusantara makin melimpah, sehingga masyarakat pelaku wisata menjadi meningkat kesibukan dan penghasilannya.  Dengan kata lain, posisi ekonomi NTB sama atau bahkan di atas rata-rata poisisi ekonomi nasional.

Itulah saya kira, yang dimaksudkan oleh TGB, dengan bahasa, meningkatkan posisi NTB di kancah nasional yang dalam bahasa penulis, “mengindonesiakan NTB.”  Kalau kondisi NTB sudah seperti itu, maka tidaklah perlu lagi warga NTB mengais rizki di negeri orang hanya untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. Bahkan orang dari luar NTB yang akan berlomba lomba mendatangi NTB, untuk mendapatkan penghasilan yang layak dan penuh berkah, seiring dengan masuknya para investor seperti yang mulai terjadi akhir-akhir ini,  insya Allah. Walllahu ‘alam bissawab.


PROPINSI PULAU SUMBAWA


PROVINSI PULAU SUMBAWA 2014, AHLAN WASAHLAN

Oleh Dr. Rosiady Sayuti, Kepala Bappeda NTB


Konon, hasil Rapat Dengar Pendapat Komisi Dua DPR RI dengan Kepala-Kepala Daerah Kabupaten/Kota se Pulau Sumbawa dan Wakil Gubernur NTB minggu lalu menyimpulkan bahwa Provinsi Pulau Sumbawa akan diikhtiarkan untuk diundangkan sebelum masa aktif DPR RI yang sekarang berakhir. Itu artinya, sebelum bulan Oktober 2014. Insya Allah.

Dalam kaitan dengan persiapan terbentuknya PPS ini,  Gubernur NTB Dr. TGH M. Zainul Majdi menyatakan dalam berbagai kesempatan di hadapan masyarakat dalam kunjungan beliau ke Bima pekan ini bahwa: “janji politik saya terhadap rencana pembentukan PPS sudah saya tunaikan. Semua dokumen yang menjadi persyaratan pembentukan PPS sudah saya tanda tangani.  Bahkan KP3S diberikan hibah dari APBD Provinsi guna memperlancar urusan-urusan mereka dengan Pemeritah Pusat, tidak kurang dari 2.1 Milyar selama ini.”  Ini mengandung makna, secara administratif, persoalan PPS sudah tidak lagi menjadi beban gubernur.  Komitmen dari DPRD Provinsi juga sudah ditunaikan.  Komitmen dari anggota DPR dan DPD asal NTB di Jakarta juga luar biasa.  Yang kita tunggu adalah persetujuan dari DPR RI dan Mentri Dalam Negeri.  Sekiranya kedua lembaga negara ini segera bersepakat, maka impian masyarakat Pulau Sumbawa untuk berdiri sendiri dalam sebuah wilayah administrasi pemerintahan provinsi tersendiri, pasti akan terwujud di tahun 2014.

Dari segi infratruktur, sebagai hasil dari pembangunan daerah lima tahun terakhir ini, juga cukup memadai.  Di Sumbawa Besar, yang akan menjadi ibukota PPS nantinya, telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang diperlukan.  Ada Rumah Sakit Rujukan Provinsi, yang kini telah mulai beroperasi.  Pemda NTB juga sudah memfasilitasi penegerian Universitas Samawa. Kini juga telah berdiri dengan megahnya Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) yang diprakarsai Dr. Zulkieflimansyah, anggota DPR RI Dapil Banten, tapi putra asli Sumbawa.

Jalan negara dan jalan provinsi di Kota Sumbawa Besar, Taliwang, Dompu, dan Bima, serta sebagian besar ruas jalan yang ada di Pulau Sumbawa sudah dalam kondisi mantap.  Ini tidak mengherankan, karena selama lima tahun terakhir, jika dihitung dana infrastruktur baik yang dari APBN maupun APBD Provinsi, sekitar 62% jatuh ke Pulau Sumbawa. Hanya 38% saja yang diperuntukkan untuk infrastruktur di Pulau Lombok.  Termasuk di dalamnya adalah untuk memperbaiki pelabuhan laut yang ada di Pulau Sumbawa.  Sehingga sudah tidak relevan lagi sesungguhnya, kalau isu disparitas pembangunan antara kedua pulau yang sebentar lagi akan ‘terpisahkan’ secara administrasi pemerintahan ini, dijadikan ‘bahan kampanye politik.’

Dalam RPJMD NTB 2009-2013, isu disparitas antara kedua pulau besar di NTB ini masuk dalam salah satu isu strategis, yang secara sungguh-sungguh diikhtiarkan untuk di ‘dekatkan.’  Dalam kesempatan lain Gubernur NTB, Bapak Tuan Guru Bajang mengungkapkan: ”itulah yang secara sungguh-sungguh saya dan Bapak Wakil Gubernur ikhtiarkan selama lima tahun ini. Baik itu infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, rumah sakit, gedung sekolah, dan lain-lain; maupun dalam hal pembangunan SDM seperti revitalisasi Posyandu, pemberian beasiswa pendidikan, pembangunan obyek wisata, melalui program visit Lombok Sumbawa, pembangunan di sektor pertanian, perkebunan, dan lain-lain.  Sehingga kalau daerah ini maju, maka yang akan maju bukan hanya Lombok saja, atau Sumbawa saja, tapi akan maju secara bersama-sama. Lombok dan Sumbawa.” 

Memang kini sudah mulai terasakan, adanya perubahan-perubahan yang signifikan di berbagai bidang. Pusat-pusat perbelanjaan modern, seperti mall dan minimarket, maupun perhotelan, dan sarana transportasi dan komunikasi modern sudah mulai muncul di Sumbawa Besar, Taliwang, kota Dompu, dan Kota Bima.  Dengan kata lain, “pemerataan pembangunan” kini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat di Pulau Sumbawa.  Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru mulai bermunculan. Para investor dari luar daerah sudah mulai melirik, tidak hanya Lombok, tapi juga di pulau Sumbawa. Bahkan untuk industri olahan hasil pertanian, yang menjadi tema Musrenbang Provinsi  NTB pekan lalu, telah hadir di Pulau Sumbawa. Ada yang berbasis tanaman jarak dan rumput laut serta hasil laut lainnya di kabupaten Sumbawa, komoditas jagung dan tebu di Dompu, dan revitalisasi RPH di Kota Bima.  Semua ini tentu akan menjadi “gula” ekonomi di daerah tersebut, yang akan mendatangkan ‘semut’ dari berbagai daerah.

Terbentuknya Provinsi Pulau Sumbawa nantinya, tentu tidak akan menjadi penghalang berdatangannya para pencari kerja dari pulau Lombok ke Pulau Sumbawa, atau sebaliknya, seperti yang telah terjadi selama ini.  Seperti yang dikatakan Dr. Hj Maryam Rahmat, ketua KP3S, “PPS hanya urusan administrasi pemerintahan semata.  Kalau secara kultural dan ekonomi, masyarakat di kedua Pulau ini tidak mungkin akan dipisahkan.  Justru dengan adanya PPS ini, pembangunan ekonomi di kedua Pulau ini diharapkan dapat ditingkatkan.”

Terbentuknya PPS memang sebuah keniscayaan.  Tinggal menunggu waktu saja. Pertanyaan berikutnya adalah, ketika PPS tersebut lahir melalui Undang-Undang, masih relevankah nama Provinsi Nusa Tenggara Barat dipertahankan?  Tidakkah lebih elok, seperti yang saya tulis enam tahun yang lalu di koran ini, dalam UU yang sama, “nomenklatur” NTB diganti dengan Provinsi Lombok? Tanpa kata ‘pulau’ seperti Provinsi Bali. Dengan segala konsekuensinya. Wallahu ‘alam bissawab. (Raba-Bima, 2 April 2013).

GENERASI EMAS NTB 2025


MENUJU “GENERASI EMAS” NTB 2025

Oleh Dr. H. Rosiady Sayuti
Kepala BAPPEDA NTB

Saya kira, kado terindah buat Nusa Tenggara Barat yang hari ini berusia 54 Tahun adalah keberhasilannya dalam hal pembangunan sumberdaya manusianya. Baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Di bidang pendidikan misalnya, baru pertama kali dalam sejarah, NTB berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah untuk anak usia sekolah SD-SMPatau MI-MTs mendekati 100 persen. Ini artinya, nyaris tidak ada anak usia sekolah pendidikan dasar (SD-SMP) yang tidak berada di bangku sekolah.  Sementara untuk anak usia  SMA dan sederajat, makin tahun juga makin meningkat. Targetnya, di tahun 2012 ini, APM untuk SMA dan sederajat bisa mendekati angka 90 persen.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program wajib belajar 9 tahun di NTB sudah berhasil dilaksanakan dan telah siap untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun.

Di bidang kesehatan, derajat kesehatan masyarakat juga kian meningkat. Ini diindikasikan dengan makin menurunnya angka kematian bayi dan balita dan ibu melahirkan. Menurut pakar demografi dari Universitas Mataram, Ir. Anwar Fachry, MA, berdasarkan evaluasi dari hasil Sensus Penduduk 2010, NTB mengalami apa yang disebut sebagai silent revolution. Ini ditunjukkan dengan data yang sangat positif berkait dengan kondisi demografi di NTB.  Usia harapan hidup masyarakat di NTB meningkat drastis menjadi 67 tahun dari posisi 58 pada SP 2000.  Ini menunjukkan berbagai program pembangunan kesehatan di NTB telah berhasil dengan sangat baik.  Berbagai Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular seperti malaria, diare, dan lain-lain, yang pada zaman lima sepuluh tahun lalu seolah menjadi ‘langganan’ di NTB, lima tahun terakhir ini ‘nyaris tak terdengar.’

Di bidang ekonomi, baru pertama kali dalam sejarah (meminjam kalimat pak CM dalam akun twitternya), NTB berhasil menurunkan prosentase angka kemiskinan di bawah dua puluh persen.  Bahkan dalam dua tahun terkahir, NTB berhasil menjadi propinsi paling tinggi ke empat terkait penurunan angka kemiskinan ini setelah Papua, Maluku, dan Gorontalo.  Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari berbagai program pembangunan yang secara terarah dan terpadu di laksanakan di NTB, baik di bidang sosial, ekonomi, dan infrastruktur.  Telah mulusnya ruas ruas jalan-jalan nasional dan propinsi dari Ampenan sampai Sape menjadi salah satu penyumbang meningkatnya pendapatan masyarakat dan penurunan angka kemiskinan tersebut. Disamping program lain seperti BSS, 3A, Wirausahabaru, dan lain-lain.

Generasi Emas 2025

Dari berbagai keberhasilan Nusa Tenggara Barat  tersebut, maka bukanlah sebuah hayalan kalau kemudian kita mulai membangun visi bersama menghadapi masa depan dengan target capaian di tahun 2025. Visi yang saya maksudkan adalah tekad kita  “mempersiapkan Generasi Emas NTB 2025.”
Mengapa 2025?  Pertama, karena 2025 adalah akhir dari RPJP NTB 2005-2025.  Kedua, pada tahun tersebut, anak-anak yang lahir di era 2000an dimana cukup banyak program pemerintah yang mempengaruhi secara positif tingkat intelektualitas dan derajat kesehatan mereka, seperti Wajar 9 Tahun, HKI, NICE, PKH, PNPM, dan lain-lain akan berusia belasan dan duapuluhan tahun. Artinya pada usia-usia emas produktivitas manusia. Ketiga, menurut BPS, Indonesia, termasuk NTB mendapatkan “bonus demografi” antara tahun 2010-2035, dimana penduduk usia produktifnya lebih banyak dari mereka yang tergolong non produktif.  Dengan demikian pada tahun tersebut, jumlah mereka yang tergolong produktif di NTB akan dominan.  Tinggal bagaimana kita mengarahkan sehingga mereka bisa menjadi tenaga kerja produktif dan sekaligus berkualitas.  Kata kuncinya di situ.  Seperti yang dikatakan oleh Prof. Rochmat, yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta,  Generasi Emas adalah “generasi berkarakter, produktif, unggul, kompetitif, dan peduli.”   Kalau kita mengacu kepada definisi versi Ary Ginanjar, seorang motivator dan pendiri Lembaga ESQ, generasi emas adalah sebuah generasi yang hidup di era tersebut, memiliki tingkat intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas, tinggi dan seimbang.  Dengan keseimbangan dan keunggulan ketiga unsur tersebutlah, menurut Ary, Indonesia ini akan dapat menguasai dunia.

Mengukur Generasi Emas itu bisa juga sederhana.  Untuk pendidikan, misalnya, ukuran paling sederhana adalah tidak ada lagi anggota generasi tersebut yang buta huruf. Bahkan sebagian besar, artinya lebih dari setengahnya telah menamatkan pendidikan SMTA.  Wajar 12 Tahun sudah tuntas.  Prosentase penduduk yang masuk di Perguruan Tinggi juga meningkat. Katakanlah 25 persen dari penduduk usia produktif.  Dapat didisain, berapa persen anak-anak lulusan SMTA yang harus melanjutkan ke PT.  Untuk menjaring ‘emas’ yang sesungguhnya, harus juga direncanakan dari sekarang sebuah program yang mengidentifikasi anak-anak berotak cemerlang atau jenius untuk ‘diprogramkan’ masuk ke Perguruan Tinggi terkemuka di dalam dan luar negeri.  Pada waktunya, anak-anak inilah yang diharapkan akan membangun dan/atau membawa nama baik NTB di tingkat nasional bahkan Indonesia di dunia internasional.

Untuk kesehatan, indikator umum tentulah usia harapan hidup dengan berbagai variabelnya.  Yang jelas adalah, berbagai perilaku hidup bersih dan sehat sudah menjadi budaya masyarakat kita di NTB.  Semua rumah sudah memiliki jamban sendiri.  Demikian pula akses masyarakat terhadap air bersih juga demikian.  Tidak boleh ada kampung atau desa yang warganya kesulitan terhadap air bersih sepanjang tahun.  Program NTB Hijau diharapkan sudah menampakkan hasil dan memberi manfaat nyata pada tahun itu, dimana luas lahan kering sudah berkurang secara signifikan.  Berbagai program pembangunan waduk dan embung yang sekarang masuk RPJM sudah akan selesai dan bahkan pada tahun itu sudah dimanfaatkan utuk mengairi lahan yang sekarang masuk kategori  kering.

Dari ukuran ekonomi, pada tahun 2025, sudah akan sangat sedikit mereka yang masuk kategori keluarga miskin.   Katakanlah di bawah lima persen.  Bahkan kalau menggunakan ukuran kemiskinan yang kita pakai sekarang, pada tahun 2025, mungkin sudah tidak akan ada lagi.  Sebagian besar angkatan kerja telah terserap di berbagai bidang ketenaga kerjaan.  Kalau sekarang, pendapatan per kapita kita di NTB berada di bawah rata-rata nasional, maka pada tahun 2025, kita harus berani mentargetkan sama atau bahkan di atas rata-rata nasional.  Sehingga jika Indonesia berhasil mencapai target peningkatan pendapatan per kapita sesuai dengan Roadmap MP3EI 15.000 dolar per kapita pertahun pada tahun 2025, maka  di era NTB Emas 2025, kita juga harus bisa seperti itu.

Mungkin masih banyak lagi indikator lain yang dapat kita disain yang akan menjadi pegangan kita dalam mengarahkan berbagai program pembangunan di NTB sepuluh atau lima belas tahun ke depan.  Namun yang pasti adalah, apa yang telah kita hasilkan di saat kita merayakan Ulang Tahun NTB ke 54 ini, akan menjadi modal utama kita untuk bergerak, bekerja, dan melanjutkan berbagai ikhtiar secara bersama-sama.  Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke belakang. Pada saat itulah, NTB akan benar-benar menjadi bagian dari Indonesia, dalam makna yang sesungguhnya, seperti yang menjadi salah satu alasan, mengapa Bapak Dr. TGH M. Zainul Majdi, berkehendak untuk maju lagi menjadi Gubernur NTB lima tahun mendatang. Insya Allah. Wallahu ‘alam bissawab.

CATATAN DARI CALGARY, CANADA


Catatan Kecil dari Calgary, Canada
Oleh Dr. Rosiady Sayuti


Memang ini baru pertama kali saya ke Calgary, Canada.  Sebuah kota di panati barat, dekat denngan Vancouver.   Dengan penduduk sekitar 1,2 juta, Calgary termasuk kota terbesar ketiga di Canada. Calgary ini lahir atau terbentuk sebagai kota pada tahun 1884 dengan Walikota pertamanya bernama George Murdoch.   Kota ini berkembang dengan pesat denganbangunan-bangunan tingginya pada tahun 1970an, sebagai berkah dari oil boom.  Maklum penghasilan provinsi ini sebagian besar dari tambang minyak dan pertanian. 

Kota ini cukup indah.  Pernah menjadi tuan rumah olimpiade musim dingin tahun 1988.  Karenanya di kota ini ada dibangun sebuah taman, untuk mengenang oeristiwa itu.  Namanya Olympic Park.  Kebetulan dekat sekali dengan hotel tempat saya menginap.

Seperti halnya kota kota lain di Amerika atau Kanada, ‘settingan’ kotanya sudah standar. Ada gedung gedung perkantoran tinggi. Jalan-jalan raya tertata rapi. Ada monorail atau kereta apai yang membawa penumpang dari ujung ke ujung dalam kota. Ada juga bus kota. Bahkan juga bus dan kereta api antar kota.   Kota ini menjadi pusat kereta api Canada sejak tahun 1996, pindah dari Montreal.

Yang menarik, dan mungkin bisa kita tiru adalah penataan jalan-jalan di pusat keramaian.  Ada jalan-jalan lebar yang merupakan lorong antara pusat pertokoan yang diperuntukkan hanya untuk pejalan kaki saja.  Tidak boleh ada kendaraan lewat disitu. Pengerasannya juga tidak pakai aspal.   Ada tempat tempat duduk yang disediakan.   Jadi semacam taman di tengah pusat perbelanjaan.

Saya membayangkan kalau jalan antara perlimaan di ampenan menuju pantai ampenan dibuat seperti itu.  Bolehlah ada kendaraan yang lewat di situ, tapi kecepatannya tidak boleh lebih lima atau sepuluh km per jam.  Sehingga tidak menghawatirkan bagi pejalan kaki.   Karena kalau dilarang, kasian mereka yang tinggal di kampung di sekitarnya.  Atau mereka yang mau menikmati pantai juga bisa pakai mobil. Nah, samping kanan kirinya dipenuhi oleh para penjual souvenir ataupun rumah makan aneka rasa.   Tentu perlu dana dan waktu.  Karena untuk orang datang ke sana, pasti harus dibangun daya tariknya yang khas. Ini yang perlu difikirkan bersama.  Gagasan pak wali untuk menghidupkan Ampenan sebagai kota tua sudah tepat. Kalau jadi dibangun pelabuhan pariwisata di Ampenan, dapat menjadi daya tarik tersendiri.  Wisatawan dari Bali yang mau ke Lombok bisa mendarat di sana.  Kalaupun mereka tidak menginap, tapi dengan dibangunnya berbagai sarana pariwisata dan perbelanjaan di Ampenan, uang mereka bisa ‘dikuras’ di situ.

Mesti dibangun juga pusat pertunjukan tetap.  Apakah untuk kesenian tradisional ataupun modern.  Ini juga bagian dari upaya membangun daya tarik bagi wisatawan.  Saya pernah terlibat dalam perencanaan pembangunan Museum Bahari di Ampenan.  Mungkin ini juga dapat ditelaah kembali kemungkinannya.  Museum bahari ini penting, mengingat Ampenan adalah salah satu jendela dunia untuk nusantara pada masa lalu. Sebuah kota yang sangat terkenal.  Bahkan namanya mungkin lebih dikenal dari pada pulau Lombok.

Kembali ke Calgary.  Saya sempat menikmati taman olimpiade, atau Olympic Park.  Tidak terlalu luas tapi cukup indah.  Ada kolam dangkal ditengah tengah taman yang bisa disinggahi oleh burung-burung.  Yang menarik, ada bangunan yang terdiri dari pagar-pagar dengan atap yang terbuka. Di sisi pagar atau temboknya terdapat nama-nama para peraih medali olimpiade yang berasal dari Kanada dari masa ke masa.  Baik olimpiade musim panas, musim dingin, ataupun olimpiade khusus bagi penyandang cacat.

Di sini saya berfikir, bagus juga kalau kita juga dapat memberikan penghargaan bagi para peraih medali PON kita dari masa ke masa dengan mengukir nama mereka di lempengan tembaga dan meletakkannya di taman-taman seperti Olympic Parknya Calgaryitu. Supaya anak cucu kita tidak kehilangan jejak. Jangan sampai mereka tidak tahu, kalau pernah ada, putra putri terbaik kita dari NTB yang bisa meraih medali dalam even bergengsi seperti PON.   Bahkan dalam PON 2012 lalu, demikian banyak medali yang diraih.  Sayang sekali kalau nama-nama itu hanya berlalu begitu saja, tanpa pernah kita ukir di sebuah prasasti yang monumental.   Ini juga akan memberikan inspirasi tersendiri bagi mereka, para generasi muda kita.  Agar bisa berprestasi, bahkan lebih tinggi dari para pendahulunya.

Saya juga sempat naik ke Calgary Tower, yang tingginya sekitar 190,8 meter.  Tower ini didirikan tahun 1967 dan diresmikan pada bulan Juni 1968.  Untuk naik, kita bayar 16 dolar per orang.  Di atas, di bawah area observasi ada restoran berputar.   Cuma restoran ini selalu penuh. Kalau mau makan di situ, harus pesan jauh-jauh hari sebelumnya.  Dikatakan berputar, karena memang tempat  duduknya selalu bergerak berputar, 360 derajat.  Makanya diberi nama Restoran 360 derajat.

Dari ketinggian 190 meter itu, kita dapat menikmati Kota Calgary seluruhnya.  Kalau pakai teleskop, yang disediakan secara gratis, kita bisa melihat bangunan-bangunan di pinggir kota, sampai sejauh dua puluh kilometer.  Di bagian lantai bawah, ada toko souvenir, tempat untuk membeli oleh-oleh.  Tentu oleh oleh khas Calgary. Meskipun sebagian besar Made in China.

Yang menarik, di dinding-dinding menara ini, dipajang foto-foto lama, yaitu sewaktu menara itu dibuat.  Artinya ada semacam diorama proses pembangunan menara itu, dari mulai peletakan batu pertama, sampai peletakan kuadron puncaknya.   Di sini saya teringat bangunan Islamic Center kita yang saat ini sedang dibangun.  Termasuk pembangunan menara Asmaul Husna-nya, yang tingginya 99 meter itu (jadi setengah dari Calgary Tower).  Foto-foto dokumentasi masa-masa kontruksinya harus diamankan dan nanti dipajang di tempat yang khusus disediakan untuk itu, di dalam area IC tersebut.

Jam di tangan saya menunjukkan hampir pukul 21.00. tapi sinar matahari masih nampak.  Rupanya magrib di Calgary pk. 21.55 sementara matahari terbit pk 05.20.  Artinya, matahari di peraduannya hanya lima atau enam jam saja.   Merasa sudah capek, kami kembali ke hotel, istirahat.  Esoknya harus presentasi, menyampaikan gagasan yang terkait dengan ikhtiar membangun Generasi Emas NTB di masa masa mendatang, melalui Hibah Kompetisi senilai dua juta dollar di Grand Challenge Canada yang cukup bergengsi.  Insya Allah. (Calgary, Canada)


PON, EMBARKASI, JALAN, APALAGI?


SETELAH PON SUKSES, EMBARKASI LANCAR, JALAN MANTAP, APA LAGI?

Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kepala Bappeda NTB

Ketika menerima Jajaran Pengurus KONI NTB hasil Musda pada bulan Juli 2009 yang memilih pak HMS Kasdiono sebagai ketua umumnya, pada waktu itulah Gubernur NTB, Bapak Tuan Guru Bajang menantang Ketua KONI yang baru, agar mampu mentargetkan peraihan emas menjadi sepuluh. Padahal ketika melapor peraihan emas pada PON di Samarinda, NTB hanya mendapat 3 emas, sehingga rangkingnya masuk ke 26 dari 33 Propinsi yang ikut PON.  Setelah berdiskusi dan tentu memperhitungkan segala sesuatunya, tidak ada kata lain dari pak Ketua KONI yang waktu itu baru saja terpilih, selain kata ”Siap, Pak Gub.” Sejak itulah kemudian Ketua KONI beserta jajarannya mulai berfikir, bagaimana mewujudkan tantangan pak Gubernur. Itu artinya NTB harus dapat melakukan terobosan khusus, sehingga mendapat tambahan medali tiga kali lipat dari raihan PON sebelumnya. Sesuatu yang menurut pak Kasdiono, pasti susah sekali.  Tapi kan ada istilah orang barat, “nothing is impossible on earth.” Tidak ada yang tidak mungkin. Kita juga punya pepatah, “dimana ada kemauan, di sana ada jalan.”

Demikianlah, sekilas balik apa yang kemudian kita sama sama saksikan menjadi salah satu titik tolak kebanggaan daerah dan masyarakat kita. NTB berhasil melampaui target sepuluh emas (memperoleh 11 emas 5 perak dan 8 perunggu) dan memperbaiki peringkat yang tadinya 26 dari 33 provinsi menjadi peringkat 12. Sebuah prestasi yang merupakan hasil kerja keras semua fihak, terutama para atlit, pelatih, pengurus cabor, pengurus KONI, dibawah motivator dan fasilitator utama daerah, yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.  Alhamdulillah.

Setelah kita selesai dengan euforia Sukses PON Riau, kembali ada getaran getaran kehawatiran terkait embarkasi haji.  Untuk pertama kalinya dalam sejarah, NTB dipercaya menjadi embarkasi dan disembarkasi haji penuh oleh pemerintah. Itu artinya, masyarakat NTB yang akan naik haji, bisa langsung terbang dari BIL ke Jeddah, Saudi Arabia. Dari Tanak Awu ke Tanah Suci.  Namun alhmadulillah, kehawatiran itu sirna, manakala jadwal pemberangkatan pertama jamaah Haji Kloter dari Kota Mataram sesuai jadwal.  Pendaratan perdana Pesawat Airbus Garuda di BIL berjalan mulus, demikian pula take off perdananya.  Sesuatu yang menjadi kehawatiran banyak fihak tidak terjadi.  Sejak hari itu, 21 September 2012, resmilah BIL menjadi embarkasi penuh haji untuk wilayah NTB.

Ceritera tentang embarkasi ini lain lagi.  Kira kira sebulan sebelum BIL beroperasi tahun lalu, pak Gub mengahadap Menteri Agama, Suryadharma Ali. Pada waktu itu pak Gub meminta agar BIL dapat dipergunakan sebagai embarkasi dan disembarkasi penuh. Kebetulan waktu itu tanggal 1 Oktober merupakan pendaratan perdana. Sedangkan jemaah haji mulai berangkat tanggal 8 Oktober. Jadi paslah kata beliau. “sekalian kita cari barokahnya,” kata pak Gub pada pak Menteri, setengah memaksa. Dan pak Menteri pada waktu pertemuan itu pada prinsipnya setuju. Namun ternyata belakangan secara teknis administrasi yang tidak memungkinkan, karena saat itu maskapai yang akan melayani jemaah NTB embarkasi Surabaya adalah Saudia Airlines yang tidak memiliki pesawat yang dapat mendarat di BIL. Seandainya Garuda yang bertugas untuk  mengangkut jemaah haji asal NTB waktu itu, bukan tidak mungkin embarkasi penuh dari BIL dimulai tahun lalu.   Harapan kita ke depan, semoga BIL tidak hanya embarkasi untuk masyarakat NTB, tapi juga untuk NTT dan Bali, insya Allah. Ini, sekaliagus menghapus keraguan orang yang mengatakan bahwa BIL tidak bisa dilandasi oleh pesawat berbadan lebar dengan penumpang di atas tiga ratus orang.

Percepatan Jalan
Setelah ceritera sukses PON dan embarkasi haji, satu lagi yang mungkin perlu diketahui masyarakat, sebagai hasil buah sukses yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi NTB, dalam rangka implementasi RPJMD 2009-2013. Yaitu peningkatan kondisi jalan raya, baik jalan negara, maupun jalan provinsi.

Pada awal Tuan Guru Bajang menjadi gubernur, prosetase jalan provinsi yang masuk dalam kategori mantap hanya 44 persen.  Karenanya tidak mengherankan, setiap kali pak Gub maupun Wagub bersilaturahim dengan masyarakat, khususnya di Pulau Sumbawa, selalu keluhan mereka adalah jalan.  Saking seringnya masalah jalan ini diutarakan oleh masyarakat, secara bercanda beliau mengatakan “……kalau saja kita bisa membangun jalan dengan surat alfatihah, maka saya akan ajak kita semua untuk membaca alfatihah sering-sering.”  Beliau ingin mengatakan bahwa komitmen pemerintah soal jalan ini jangan pernah diragukan. Namun karena perlu dana besar, tentu perlu waktu. Bayangkan, dari 1700 an km jalan provinsi, lebih dari 1000 km kondisinya tidak mantap. Demikian pula halnya jalan negara, yang membentang antara Ampenan di Lombok bagian barat, sampai ke Sape, ujung Pulau Sumbawa bagian timur.

Alhamdulillah, masalah jalan ini ternyata dapat juga diatasi. Untuk jalan negara, kementrian PU mengalokasikan dana yang tidak sedikit dengan target pada akhir 2013 seluruhnya dapat dimantapkan. Artinya Ampenan-Sape menjadi hotmix mulus.  Sepanjang tidak kurang dari 632 km. Bahkan, penyelesaiannya dapat dipercepat. Yang tadinya akhir 2013, menjadi akhir 2012.  Alhamdulillah.

Demikian pula jalan propinsi, yang tadinya banyak rusak. Melalui Perda Perepatan Peningkatan Pemantapan jalan Sistem Tahun Jamak, lebih dari 350 km dapat dimantapkan dengan anggaran sekitar 450 Milyar dalam masa anggaran tiga tahun.  Sebuah kebijakan Gubernur bersama DPRD yang bertujuan untuk meningkatkan kemantapan jalan propinsi yang semula hanya 44persen mantap, menjadi hampir 70 persen mantap.  Sesuai dengan target dalam RPJMD 2009-2013. Bahkan lebih sedikit, akan dapat dicapai, diakhir tahun 2013. Sampai akhir 2012 ini, target untuk menjadi 68 persen mantap dapat dicapai. Semoga di tahun 2013 masih ada tambahan dari APBN untuk jalan propinsi yang berstatus strategis nasional, sehingga target dalam RPJMD dapat terlampaui, sebagaimana halnya lampauan target medali emas di PON Riau. Insya Allah.

Ketika ada yang menyinggung, apakah demikian tingginya perhatian pemerintah pusat pada NTB ada kaitannya dengan posisi TGB sebgaia ketua DPD Demokrat NTB? Dengan kerendahan hati beliau menjawab “saya kira ya, meski sulit juga kita buktikan. Dan secara pribadi, ketika menerima tawaran teman-teman untuk memimpin PD NTB, niat saya memang hanya itu, agar apa yang telah kita rencanakan dalam RPJMD mendapat dukungan pusat. Terutama terkait infrastruktur dasar seperti jalan, pengairan, dan listrik, yang menjadi persoalan kita selama ini di NTB, yang membuat investor masih enggan masuk ke daerah kita. “ Wallahu ‘alam bissawab.


SETELAH KEMISKINAN DAN DROP OUT SEKOLAH TURUN


SETELAH KEMISKINAN DAN DROP OUT SEKOLAH TURUN, LALU?

Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Salah satu arahan yang sangat tegas dan terang benderang yang disampaikan oleh pak Gubernur TGH Muhammad Zainul Majdi di awal beliau memerintah bersama dengan wakilnya Bapak H. Badrul Munir, adalah terkait dengan masalah kemiskinan. Beliau mengatakan bahwa “esensi dari pemerintahan ini adalah bagaimana kita berihtiar untuk menurunkan angka kemiskinan. Percuma saja kita dapat berhasil membuat jalan mulus, gedung mewah, telekomunikasi lancar, ataupun listrik tidak pernah padam, manakala angka kemiskinan kita tidak menurun, dari posisinya pada hari ini.”  Sebuah pernyataan yang sekaligus merupakan arah kebijakan yang harus dapat diterjemahkan oleh setiap aparat pemerintah Provinsi NTB.  Artinya, setiap kepala SKPD harus dapat mengarahkan setiap kegiatan dan program yang akan dilaksanakan untuk menjawab, seberapa banyak orang dari keluarga miskin yang akan tersentuh oleh program yang mereka akan laksanakan.

Kepala Dinas PU misalnya, memiliki tugas mengidentifikasi berapa banyak jaringan irigasi dan juga jalan jalan usaha tani maupun infrastruktur jalan pada umumnya yang harus diselesaikan sehingga dapat mengungkit perekonomian masyarakat, khususnya dari keluarga miskin.  Bagaimana dia harus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten kota, sehingga program provinsi dan kabupaten/kota bersinergi untuk memaksimalkan manfaat dari program yang dilaksanakan.  Demikian pula Kepala Dinas Pertanian, bersama dengan dinas terkait di rumpun pertanian. Mereka tidak boleh bekerja sendiri sendiri.  Haruslah ada koordinasi antar dinas sejenis, yang saling berhubungan. Berapa banyak lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga para buruh tani yang bekerja dan para petani pemilik tanah bisa meningkat pendapatannya.  Apakah melalui program intensifikasi, ataupun ekstensifikasi.   Meningkatkan produktivitas lahan, atau memperluas areal tanam. Termasuk mencetak sawah sawah baru ataupun menghijaukan lahan kering yang ada. Maklum, lahan kering kita di NTB ini masih cukup luas dan banyak yang belum dapat dimanfaatkan oleh petani secara optimal.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) yang menjadi leading sektor untuk penanggulangan kemiskinan ini bersama dengan BPS mengidentifikasi kantong kantong kemiskinan di NTB.  Berbagai program penanggulangan kemiskinan dari pusat seperti PNPM dan lainnya harus dapat menyentuh langsung kantong kantong kemiskinan tesebut.  Tentu bersama dengan instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Bappeda, dan lainnya.  Intinya adalah, masalah penanggulangan kemiskinan itu tidak dapat dan tidak akan maksimal dilaksanakan tanpa adanya koordinas yang efektif dan produktif antar instansi. Bahkan kalau mungkin juga dengan lembaga lembaga masyarakat non pemerintah dan dunia usaha.  Di situlah peran penting seorang Kepala Daerah akan nampak; sebagai seorang koordinator, motivator, bahkan juga inspirator.

Hasilnya?
Data yang dipublikasikan oleh BPS, menunjukkan bahwa NTB telah dinyatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan dalam masa waktu empat tahun terakhir ini.  Secara statistik, tercatat telah terjadi penurunan dari 24,99 persen pada tahun 2008 menjadi 18,63 persen pada tahun 2012., rata-rata 1,43 persen per tahun.  Memang harus diakui bahwa penurunan tersebut belum mencapai target yang dicanangkan dalam RPJMD 2009-2013 yaitu sebesar 2 persen rata-rata pertahun.  Namun angka tersebut telah membawa nama baik NTB di jajaran provinsi-provinsi sedang berkembang di Indonesia.  NTB termasuk dalam deretan empat besar tingkat penurunan angka kemiskinan pada tahun 2012, sebagaimana dirilis oleh BPS.   Tiga provinsi di atas NTB adalah Papua, Maluku, dan NTT yang nota bene memiliki kapasitas fiskal jauh di atas NTB.  Kapasitas fiskal maksudnya adalah jumlah anggaran pembangunan di bagi ke jumlah penduduk.

Drop out sekolah
Masalah lain yang menjadi perhatian Pak Gubernur  dalam memimpin daerah ini adalah masalah pendidikan.   Sebagai seorang yang kesehariannya bergelut di dunia pendidikan, tentu hal ini sangat mudah untuk difahami. Tapi dari kacamata politik, menginvestasikan dana yang sangat besar untuk dunia pendidikan, sesungguhnya “kurang menguntungkan.” Mengapa? Karena investasi di pendidikan itu adalah investasi jangka panjang, yang hasilnya tidak akan langsung dapat dilihat atau bahkan dirasakan oleh masyarakat.  Apalagi untuk daerah NTB, yang penduduknya relatif besar dan terpencar.  Tidak seperti Gorontalo atau Maluku Utara atau Bengkulu.  Namun demikian,  saya ingat betul Pak Gub berkata ….”saya sangat sadari itu. Bahwa kalau kita mematok anggaran 20 persen untuk pendidikan, artinya kita harus mengurangi anggaran yang seharusnya bisa kita alokasikan untuk infrastruktur yang langsung dapat dilihat oleh masyarakat. Namun persoalannya, kalau pendidikan ini kita tidak prioritaskan, maka kualitas SDM kita akan tetap rendah dan tidak akan bisa bersaing dengan SDM dari daerah lain di masa-masa yang akan datang.  Apalagi ketika kita menghadapi era pasar bebas, atau era globalisasi ke depan.” Maka sejak tahun anggaran 2009, NTB termasuk dalam sedikit provinsi yang mengalokasikan tidak kurang 20 persen APBDnya untuk urusan pendidikan.  Dan sebagian besar dari yang 20 persen itu untuk bantuan siswa miskin (BSM), yang langsung dapat dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga miskin untuk membeli keperluan sekolah.  Sebagian lainnya untuk bantuan guru non pns, rehab ruang kelas, dan juga bantuan ke Perguruan Tinggi.   Termasuk beasiswa bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi namun mampu secara akademik, yang melanjutkan pendidikan untuk jenjang S1, S2, dan bahkan S3. Dengan demikian, tidak boleh lagi ada alasan mereka untuk tidak menyekolahkan anaknya, dari SD atau MI sampai ke SMA, MA, atau SMK, bahkan ke jenjang Pendidikan Tinggi.

Data dari Dinas Dikpora maupun dari BPS menunjukkan bahwa angka Drop Out Sekolah maupun Madrasah di NTB menurun drastis.   Terutama di madrasah dan sekolah swasta yang nota bene sebagian besar siswanya berasal dari keluarga miskin.  Pada tahun 2008, angka drop out di SD/MI mencapai 1,17 persen persen, pada tahun 2011 turun menjadi 0,90 persen. Untuk tingkat SMP/MTs, 2008  sebesar 3,93 persen, pada tahun 2011 turun menjadi 0,92 persen.  Yang agak tinggi adalah pada tingkat SMA/MA/SMK, pada tahun 2008  sebesar 8,03 persen, pada tahun 2011 turun menjadi 1,88 persen.


Pertanyaannya adalah, apakah dengan berbagai prestasi tersebut, IPM NTB sudah meningkat? Jawabannya, kalau dilihat dari segi nilai indeksnya, jawabannya adalah ya.  IPM NTB sudah meningkat dari 64,12 pada tahun 2008 menjadi 66,23 pada tahun 2011.  Ini artinya berbagai variabel pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang menjadi tolok ukur IPM kita sudah menjadi semakin baik.  Bahwa posisinya secara nasional tidak berubah, tetap 32, memang ya juga. Ini karena provinsi lain juga meningkat indeksnya. Wallahu ‘alam bissawab. (Jayapura, 14 Oktober 2012).

INDONESIA MENGAJAR


Belajar dari “Indonesia Mengajar”

Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Berhenti mengecam kegelapan. Nyalakan lilin.
Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekedar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apapun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.

Kalimat kalimat tersebut dapat Anda temukan pada blog Indonesia Mengajar (indonesiamengajar.org).  Karena karyanya itu, Dr. Anies Baswedan diundang untuk berbicara di Indonesia Update 2012, di Canberra 20-21 September yang lalu.   Saya sendiri diundang atas sponsorship dari AIPD-AusAID, bersama dengan empat Kepala Bappeda Provinsi lain yang menjadi lokasi kegiatan AIPD dalam lima tahun ke depan.

Program Indonesia Mengajar itu sendiri merupakan gagasan Anies Baswedan yang pada intinya merekrut anak anak muda lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia.  Setelah dilatih khusus selama beberapa waktu, mereka dikirim ke daerah daerah terpencil untuk membantu mengajar di SD-SD daerah terpencil tersebut.  Di NTB, yang mendapat kiriman adalah SD-SD terpencil di kabupaten Bima, seperti wilayah kecamatan Sanggar di punggung Gunung Tambora dimana untuk menjangkau daerah tersebut perlu naik ojek atau bahkan harus jalan kaki.  Belum bisa dijangkau oleh kendaraan umum.  Banyak juga yang ditugaskan di pulau pulau terluar Indonesia, atau di puncak pegunungan Papua, dan sebagainya.

Intinya adalah, melalui program ini para sarjana baru yang rata rata memiliki IP di atas tiga itu, dan memiliki idealisme tinggi untukmengabdi, diberi kesempatan untuk mencari pengalaman yang akan menjadi bekal mereka kelak. Istilah Pak Anies, “one year experience, lifetime inspiring…”   Mereka bertugas selama setahun. Mengajar di SD-SD yang gurunya sendiri pasti sangat terbatas, baik dari segi jumlah maupun kualitas.  Mereka tinggal di desa terpencil selama setahun, bergaul dengan masyarakat desa, bergaul dengan mereka, dan dengan itu, mereka akan dapat mengetahui apa sesungguhnya yang dirasakan oleh masyarakat desa tersebut. Satu lagi, menurut pak Anies dalam presentasinya, mereka akan menyadari betapa luasnya negara yang bernama Indonesia ini.  Betapa besarnya negara yang bernama Indonesia ini.  Dan karena itu, akan memahami juga, betapa tidak mudahnya, mengurus negara yang bernama Indonesia ini.  Itulah filosofi dibalik kalimat yag dijadikan tagline dalam blognya, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini.

Memang Indonesia adalah negara besar.  Tidak ada satupun negara di dunia yang jumlah pulau pulaunya seperti Indonesia.  Saking besarnya, kalau dibandingkan dengan Eropah, dari ujung ke ujung, hampir sama dengan nusantara.  Begitu pula kalau kita bandingkan dengan benua Amerika.  Sehingga memang tidaklah mudah mengelola negara yang bernama Indonesia itu. Siapapun dia.

Kesadaran itulah yang ingin dibangun oleh Anies Baswedan melalui para pemimpin bangsa di masa depan, yang bernama generasi muda.  Para kader penerus dari sarjana sarjana cerdas dari berbagai perguruan tinggi yang telah memiliki rekord terbaik selama ini. Yang dari perguruan tinggi itu pulalah lahir kader bangsa yang berkiprah membangun bangsa melalui jalur ‘oposisi’ yang  mengkritisi setiap langkah pemerintah.  Kiprah yang memang diperlukan, dalam rangka mengawasi para pelaksana pembangunan agar tidak sewenang-wenang, tidak mementingkan kelompok tertentu saja, dan sebagainya. Meski tidak jarang juga kadang suara-suara mereka ‘memekakkan’ telinga yang dikritik.

Bagaimana hasilnya? Menurut Dr. Anies Baswedan, sang pemilik brand, ternyata luar biasa.  Baik bagi anak-anak di daerah terpencil, terluar, dan ter’pinggirkan’ selama ini, maupun bagi anak-anak bangsa yang secara sukarela dan penuh semangat menjadi Pengajar Muda dan bekerja setahun penuh selama ini.  Anak-anak di sekolah-sekolah tersebut sangat senang dan bersemangat karena kehadiran program Indonesia Mengajar memberikan warna baru bagi mereka. Baik di depan klas, maupun juga di luar klas. Banyak guru-guru mereka yang biasanya masuk senin-kamis (ya memang dua hari dalam seminggu), kini menjadi rajin.  Tentu mereka merasa malu hati, karena kehadiran anak-anak muda dari kota ini ‘memaksa’ mereka untuk menjadi rajin.  Telah menjadi rahasia umum, kalau mental para guru kita di sekolah-sekolah terpencil seperti itu. Meski sesungguhnya pemerintah telah menambah uang kesejahteraan mereka lebih dari mereka yang bertugas didaerah normal.

Masyarakat setempat juga merasakan manfaatnya; karena anak-anak muda ini juga melakukan kegiatan membangun perpustakaan,  mengaktifkan kegiatan luar sekolah bagi anak-anak muda sebaya mereka, membangun budaya baca di masyarakat, dan lain-lain.  Sebaliknya, bagi para tenaga muda itu sendiri, benar-benar seperti yang dijanjikan program ini, yakni “one year experience, lifetime inspiring….” Memberikan inspirasi bukan saja bagi anak didik, warga masyarakat setempat, maupun bagi mereka, para Pengajar Muda itu sendiri.  Bahwa mereka dapat berbuat untuk turut membangun negeri.  Bahwa mereka sesungguhnya dapat menyumbangkan sesuatu yang mereka miliki, untuk turut meningkatkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh negeri.   Mereka terinspirasi oleh senyum mekar anak-anak negeri yang tak pernah mereka dapati di kota-kota; bahkan mungkin di keluarga mereka sendiri.  Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga super sibuk, yang tidak pernah tahu, betapa masyarakat desa di tempat jauh, harus berpanas-panas di tengah ladang atau bahkan di tengah laut, hanya untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Banyak dari mereka tidak pernah tahu, kalau banyak dari anak-anak negeri ini yang berangkat sekolah dengan perut kosong, namun tetap memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu.

Itulah yang mereka temui, mereka ajak berdiskusi sehari hari, selama setahun mengabdi.  Hasilnya? Pak Anies berceritera, bahwa dari para peserta Indonesia Mengajar, tidak sedikit yang kemudian memberikan apresiasi kepada para pegawai negeri; yang meski dengan gaji pas pasan, harus melayani masyarakat di pelosok negeri, terkadang jauh dari sanak keluarga mereka sendiri.  Konon ada peserta yang keluar dari perusahaan multinasional tempatnya bekerja selama ini, karena sadar bahwa membangun masyarakat sendiri secara langsung, membawa keberkahan dan kenikmatan tersendiri; dibanding hanya mengejar kekayaan dengan memperbesar perusahaan orang luar negeri.  Terima kasih Bung Anies, yang telah menginspirasi kami.  Kami tidak akan lagi hanya bisa mengecam kegelapan. Kami akan meyalakan lilin, untuk mendapatkan secercah sinar, yang akan menyinari dunia, dan juga hati kami. Insya Allah. (Sydney, 23 September 2012)

WORLD CLASS RESEARCH UNIVERSITY


Dari Indonesia Update 2012: World Class  Research vs Locally Relevant Quality University

Oleh  Dr.  Rosiady Sayuti


Saya beruntung mendapat kesempatan menghadiri Indonesia Update Conference 2012 di Australian National University. Penyelenggaranya adalah Indonesia Project yang konon sudah berlangsung bertahun tahun.  Pada forum tahunan inilah dibicarakan berbagai progress maupun tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam tahun berjalan dan yang akan datang. Para Indonesianis dari seluruh Australia berkumpul dalam forum ini. Narasumbernya juga berasal dari tokoh tokoh dan para akademisi tersohor dari Indonesia seperti Prof. Fasli Jalal, Anies Baswedan, Thee Kian Wie, dan lain lain.

Salah satu topik yang diperbicangkan adalah terkait dengan peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi, dengan maraknya berbagai PT di tanah air yang berjargon world-class University alias Universitas klas dunia.  Target yang dikejar adalah PT tersebut masuk dalam rangking, entah yang ke seribu, lima ratus, seratus, atau bahkan jika mungkin di bawah seratus, dalam deretan universitas bergengsi di Asia atau dunia. 

Pertanyaannya adalah, apakah semua PT kita harus ‘jor-joran’ menjadi world-class university, sebagai ‘jualannya’ sehingga menjadi menarik bagi para calon mahasiswa? Atau ada bahan ‘jualan’ lain yang dapat menjadi branding, sehingga tetap menjadi favorit? Apa sesungguhnya yang menjadi daya tarik bagi  setiap calon mahasiswa untuk memilih PT yang akan dimasukinya? 

Berbagai pertanyaan tadi menjadi bahan diskusi para peserta conference, yang datang dari berbagai penjuru Australia. Saya sendiri mempertanyakan apakah memang seharusnya semua PT di Indonesia ‘berwawasan global’ menjadi world class research university? Atau cukup lah dengan kiprah menjadi center of excellence bagi kemajuan pembangunan di daerah atau di kawasan dimana PT tersebut berada.

Membangun sebuah perguruan tinggi berkualitas memang tidaklah mudah. Apalagi menjadikannya masuk dalam rangking dunia. Banyak faktor yang mempengaruhi. Banyak kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah perguruan tinggi untuk dapat mensejajarkan diri dengan PT lain yang lebih berkualitas, yang sudah memiliki reputasi tinggi, seperti UI, UGM, ITB, ITS, dan lain lainnya. Salah satunya adalah publikasi dari para professor dan tenaga pengajar di PT tersebut; di jurnal ilmiah yang juga telah diakui kualitasnya (baca: terakreditasi).  Yang tidak kalah penting, dan bahkan paling penting adalah kulitas proses belajar mengajar yang terjadi di sebuah perguruan tinggi.  Kualitas belajar mengajar ini dipengaruhi oleh dua unsur penting juga, yaitu kualitas tenaga pengajar dan kualitas mahasiswanya.

Persoalan yang terjadi pada perguruan tinggi di daerah daerah, seperti NTB, NTT, atau Indonesia bagian timur pada umumnya adalah kualitas input yang masuk ke PT tersebut relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas mereka yang masuk di PT PT di Pulau Jawa.  

Diastika Rahwidiati dan Rivandra Royono dari AusAID Jakarta yang mempresentasikan hasil penelitian terkait fenomena PT di Indonesia mengungkapkan bahwa di NTT, mereka yang masuk Undana umumnya bukan dari kelompok sepuluh terbaik di SMA-SMA dari NTT. Karena mereka yang masuk sepuluh terbaik umumnya memilih melanjutkan studi ke Pulau Jawa.  Fenomena itulah yang mempersulit peningkatan kualitas belajar mengajar di PT yang ada di daerah.  Dengan kata lain, ketika input yang masuk di sebuah PT demikian rendah, bagaimana kita bisa berharap kualitas outputnya berkualitas.  Apalagi kemudian kita bermimpi untuk menjadi world class university? Tapi apapula yang harus di ‘jual’ agar PT tetap diminati?

Jawabannya, menurut kedua peneliti di atas adalah memberikan pendidikan yang “locally relevant quality,” yang lulusannya dapat berkontribusi terhadap pembagunan atau kebutuhan daerah.  Artinya, mereka memahami apa yang dibutuhkan daerah, peluang kerja seperti apa yang mungkin dibutuhkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya.  Sehingga ketika mereka lulus dari PT, mereka dapat langsung terserap di daerahnya, baik sebagai pegawai ataupun memanfaatkan peluang pasar atau ekonomi yang ada untuk berwirausaha secara mandiri.   Demikian pula bagi para professor dan tenaga akademik lainnya.  Mereka seyogyanya dapat memberikan kontribusi melalui berbagai hasil penelitian yang dilakukan, terkait upaya pemecahan masalah yang ada di daerah.  Dengan demikian, keberadaan sebuah PT di setiap daerah akan dirasakan eksistensinya oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat.  Mungkin ini yang dimaksudkan oleh ungkapan hendaknya sebuah Perguruan Tinggi jangan jadi menara gading yang keanggunannya hanya dapat dinikmati dari kejauhan; namun hendaknya menjadi sumber mata air, dimana keberadaannya dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Menjadi perguruan tinggi yang “locally relevant institution”  kiranya jauh lebih mudah dan cepat, serta lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar.  Tentu, tanpa harus mengekang, bahkan terus mendorong, mereka (tidak banyak memang) yang berpotensi untuk ‘go global’ di bidangnya.  Wallahu ‘alam bissawab.  (Sydney, 23 September 2012)



 

ANGKA KEMISKINAN NTB TURUN LAGI


ANGKA KEMISKINAN NTB TURUN LAGI, alhamdulillah

Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Ketika pertama kali  mendengar release BPS NTB bahwa angka prosentase kemiskinan di NTB telah menurun di bawah dua puluh persen, yaitu pada posisi 19,87% pada tahun 2011, Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur NTB sangat senang. Itu artinya, apa yang beliau harapkan ketika mula pertama memimpin NTB telah menunjukkan tanda tanda keberhasilan.

Saya ingat betul, dalam salah satu arahannya, pak Gubernur menyatakan bahwa “apapun yang kita laksanakan dalam membangun daerah ini, muaranya adalah pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penurunanan angka kemiskinan. Tidak ada artinya infrastruktur yang hebat, jalan, jembatan listrik, irigasi, dan lain-lain, jika kita tidak bisa menekan angka pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan.”  Beliau memang sangat ‘concern’ dengan masalah kemiskinan ini.  Sebagai Tuan Guru, suatu ketika beliau ditanya oleh jemaah, apakah mungkin kemiskinan itu ditiadakan dari muka bumi, padahal menjadi miskin itu adalah takdir Allah SWT.  Sebagai salah seorang jemaah yang hadir dalam pengajian itu, saya menunggu betul, apa yang akan beliau jelaskan. Karena seringkali saya mendengar dalam pengajian kalau mereka yang hidupnya miskin justru nanti akan bersama Nabi masuk surga.

Menjawab pertanyaan tersebut, beliau tentu menjelaskan atas dasar Qur’an dan hadits Nabi. Beiau menyatakan bahwa ……”adalah benar, miskin itu adalah takdir Allah. Tapi jangan lupa, menjadi kaya juga adalah takdir Allah. Berpulang kepada kita, mahluk yang namanya manusia ini. Yang diberikan keistimewaan akal oleh Allah SWT.  Apakah mau menjadi miskin atau berihtiar agar bisa menjadi kaya. Sama sama kita menjemput takdir Allah.” Cukup panjang beliau kemudian memberikan motivasi kepada jemaah, yang diharapkan dapat membangkitkan semangat ekonomi atau semangat berproduksi dari masyarakat.   Menurut beliau, tidaklah mungkin kesejahteraan, kekayaan, tingginya tingkat pendidikan,  baiknya derajat kesehatan masyarakat, dapat kita raih tanpa melalui kerja keras seluruh penduduk bersama pemerintah. “masing-masing dengan porsi dan tugas pokok masing-masing,” jelas pak Gubernur dalam kapasitas sebagai Tuan Guru di hadapan jemaah yang ribuan jumlahnya itu.

Psikologi 20%

Secara sederhana, prosentase kemiskinan di suatu daerah dapat kita kategorikan menjadi tiga kategori, yaitu di bawah sepuluh persen, belasan persen, dan diatas dua puluh persen. Kalau meminjam pengklasan dalam olah raga, di bawah sepuluh persen itu papan atas, belasan persen itu papan tengah, dan di atas dua puluh persen itu papan bawah.  Nah, ketika kita kemudian dapat menembus angka psikologis itu, maka dari kategori itu, dapatlah kita katakan bahwa kita telah berubah kategori dalam hal angka kemiskinan ini, dari papan bawah ke papan tengah.  Meskipun harus kita akui bahwa kalau dilihat dari rangking secara nasional, NTB masih masuk dalam sepuluh besar daerah yang paling tinggi angka kemiskinannya.  Masih relatif jauh dari angka kemiskinan rata rata nasional yang saat ini sudah berada pada posisi 12 persen.  Artinya kita masih harus dapat bekerja lebih keras lagi, lebih terpadu lagi, dan lebih bersinergis lagi dengan para stakeholders yang memiliki komitmen yang sama dalam hal penanggulangan kemiskinan ini.

Namun keberhasilan kita untuk menurunkan agka kemiskinan lebih cepat dari daerah lain (tahun lalu paling cepat ke eempat secara nasional) hendaknya dapat memotivasi kita untuk bekerja lebih keras lagi. Angka penurunan rata rata 1.43% per tahun selama tiga tahun berturut turut belakangan ini, sesungguhnya masih dapat kita ‘genjot’ lagi hingga mencapai penurunan dua persen per tahun, seperti yang ditargetkan dalam RPJMD.  Memang kita masih mengharapkan mulai jalannya satu mega proyek lagi dalam masa masa ini, yaitu pembangunan kawasan Mandalika Resort yang dalam rencana, akan menelan investasi sampai 30 trilyun rupiah.  Kalau mega proyek ini dimulai, insya Allah 2013 ini, maka bukan hal yang tidak mungkin, target penurunan angka kemiskinan dua persen akan dapat terealisasi.  Tugas kita ke depan, adalah menjaga keamanan dan kenyamanan berinvestasi dan berkunjung di daerah ini.  Kita harus hindarkan daerah ini dari konflik antara warga, antar kampung atau desa, atau konflik terbuka lainnya.  Karena pembangunan pariwisata itu sangat rentan dengan hal-hal yang seperti itu.  Tidaklah mungkin akan ada orang mau berkunjung ke suatu tempat yang tidak aman.  Padahal, secara sederhana kita dapat berhitung, bahwa setiap turis yang berkunjung ke suatu daerah, pasti akan memberikan peluang rezeki kepada lima aktor ekonomi sekaligus, yaitu: pemilik penginapan, pemilik restoran, penjual oleh-oleh, pelaku jasa informasi, dan pelaku jasa transportasi.  Nah kalau kalau jutaan turis  datang bekunjung, maka jutaan orang pula yang akan menikmati rezeki Allah yang dititipkan melalui turis tersebut.

Selesainya pembangunan Islamic Center di 2014, insya Allah, pasti juga akan berkontribusi terhadap pembangunan pariwisata ini.  Pengalaman beberapa IC yang ada seperti di Semarang, Samarinda, Depok, dan lain lain menunjukkan hal tersebut.  Akan banyak pengunjung dari luar daerah bahkan luar negeri yang ingin menikmati wisata religi atau wisata spiritual, sebagai ‘icon’ dari destinasi wisata Islamic Center ini.

Demikian juga dam Pandan Duri di Lombok Timur yang direncanakan selesai 2014 juga.  Akan ada lebih dari 13 ribu hektar sawah akan berubah sistem irigasi, menjadi irigasi teknis, dari yang sebelumnya tadah hujan. Ini akan mengubah intensitas dan pola tanam.  Tentu akan menambah rezeki bagi para pemilik sawah yang akan tergenangi dari dam pandanduri tersebut.  Karena desa-desa di sekitar pandanduri ini adalah salah satu sentra buruh migran, maka akan banyak buruh migran kita yang di luar negeri akan kembali ke tanah kelahirannya, akan mengelola sawah ladangnya, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi jauh-jauh meninggalkan anak istri untuk mencari rezeki dan keluar dari jerat kemiskinan. Insya Allah. Wallahu ‘alam bissawab. (Bima, 13 Desember 2012)


INDONESIA TERPAKSA MAJU


“INDONESIA TERPAKSA MAJU:” Bagaimana NTB?
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Bahasa wartawan, atau mantan wartawan, memang beda. Beda dengan akademisi, politisi, apalagi dengan birokrasi.  “Indonesia terpaksa maju,” seperti judul tulisan ini adalah kalimat yang diucapkan oleh Pak Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN RI, yang nota bene adalah mantan wartawan.  Beliau mengucapkan kalimat tersebut di hadapan ribuan wisudawan Universitas Brawijaya Malang, yang saya hadiri karena anak pertama saya menjadi wisudawan, Sabtu 20 Oktober kemarin.

“Indonesia terpaksa maju,” menurut pak Dahlan, karena saat ini terdapat 136 juta orang di Indonesai ini yang sudah siap maju. Mereka itu tidak lagi memikirkan apa yang akan dimakan hari ini.  Mereka tidak lagi memikirkan apa yang akan dikonsumsi minggu depan.  Mereka tidak lagi memikirkan soal rumah, soal pakaian, ataupun soal kebutuhan pokok lainnya.  Yang mereka fikirkan adalah bagaimana agar bisnis mereka, usaha mereka, pekerjaan mereka, hari ini lebih baik dari hari kemarin.  Usaha mereka bulan depan lebih maju dari usaha mereka bulan ini.  Jumlah tenaga kerja yang mereka pekerjakan makin bertambah dan bertambah; sehingga hidup mereka makin berarti dari hari ke hari.  Ada 136 juta orang, warga Indonesia yang seperti itu.  Yang kalau dibandingkan dengan negara Malaysia, lebih dari sepuluh kali lipat.  Artinya, akan tercipta sepuluh kali negara Malaysia yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara maju.  

Jumlah yang sangat besar inilah yang tidak akan dapat dibendung oleh siapapun. Dalam kalimat pak Dahlan, meski banyak yang pesimis dengan “apakah Indonesia bisa maju, padahal korupsi masih merajalela, demokrasi masih setengah hati, pemerintah gagal mensejahterkan rakyatnya,” dan berbagai kalimat bernada pesimis dan skeptis lainnya; namun kenyataannya, pada hari ini di Indonesia, ada 136 juta rakyat Indonesia yang sudah siap maju.  “jadi, kalaupun Indonesia ini dipimpin oleh pemerintah yang tidak mau rakyatnya maju, tidak mau masyarakatnya sejahtera, dengan kondisi aktual kelas menengah Indonesia seperti itu, maka Indonesia pasti akan maju.  Kita akan lihat dalam lima atau sepuluh tahun yang akan datang, Indonesia akan menjadi negara yang terpaksa maju,” ungkap pak Dis yang disambut dengan tepuk tangan oleh para wisudawan.

Yang tidak dijelaskan oleh beliau adalah kondisi hari ini, tentu tidak terlepas dari kontribusi para pengambil kebijakan di negeri ini dalam kurun waktu yang cukup lama.  Peran dan pengaruh kuat para presiden dari masa ke masa yang telah mengantarkan republik ini, mengantarkan seluruh rakyat menuju ke arah kemajuan sehingga tercipta 136 juta rakyat yang siap untuk maju itu.

Bahwa masih ada lebih dari dua puluh juta penduduk yang masih bergelut dengan kemiskinan, masih harus terpaksa memikirkan kebutuhan dasar dan pokoknya sehari hari, hingga hari ini, tentu harus juga diakui. Itulah tugas pemerintah selanjutnya, untuk menanggulanginya. Tugas pemerintah pulalah untuk mengentaskannya, mengeluarkan mereka dari jaring kemiskinan, untuk selanjutnya turut serta dalam barisan penduduk yang siap maju. Apakah secara intra generasi atau antar generasi.  Yang dapat dimainkan oleh pemerintah sesungguhnya adalah mengambil kebijakan yang dapat mempercepat proses pengentasan kemiskinan, selaras dengan bergeraknya 136 juta rakyat yang dimaksud oleh pak Dahlan itu. Dalam kalimat yang jadi judul salah satu buku saya, harus ada “Affirmative Policy” yang secara konsisten dijalankan pemerintah, sehingga kelompok masyarakat miskin, terutama di daerah daerah yang tertinggal, akan lebih cepat terentaskan.  Lebih cepat dari harapan kaum miskin itu sendiri.

Bagaimana dengan NTB?
Kalau kita menggunakan bahasanya Pak Dahlan Iskan, maka NTB juga termasuk didalam barisan bangsa yang akan ‘terpaksa’ maju.  Di NTB, ada sekitar 3,6 juta penduduk yang sudah siap maju; kalau kita menggunakan kamusnya pak Dahlan.  Yang sudah tidak risau dengan kebutuhan dasar sehari hari. Sekarang saja kita sudah mulai merasakan itu.  Baru setahun BIL beroperasi, dinamika perekonomian daerah ini mulai terasa meningkat secara signifikan.  Indikator paling sederhana untuk mengukur kemajuan ekonomi adalah mulai padatnya arus kendaraan di jalan raya; daya beli masyarakat  mulai meningkat. Para pengembang property kewalahan untuk menyediakan komplek perumahan yang ditawarkan. “Kita menjual rumah di NTB ini seperti menjual kacang goreng saja; berapapun yang ditawarkan, tidak perlu waktu lama, langsung terjual,” ungkap salah seorang pengembang pada penulis, suatu ketika.  “Bank-bank mulai melirik NTB untuk membuka kantor cabangnya,” kata Pemimpin Bank Indonesia Mataram suatu ketika.  “Itu artinya ekonomi di NTB sudah mulai menggeliat,” kata beliau.  Karena memang tidak mungkinlah sebuah bank akan membuka kantor cabang tanpa didasari oleh kajian yang mendalam dan akurat tentang daya beli dan prospek ekonomi di suatu daerah.  “Bukan hanya bank milik pemerintah dan swasta nasional, tapi bank asingpun sudah banyak yang mengurus ijinnya, untuk membuka cabang di NTB,” lanjut beliau.  “Hitung saja jumlah ATM yang ada sekarang. Dari berbagai nama bank,” pungkasnya.

Saya membayangkan, kalau saja Mandalika Resort mulai dibangun tahun ini,  beberapa usaha pertambangan yang sudah siap eksploitasi juga dimulai, seperti marmer di Bima, lantas pabrik pengolahan hasil laut di Teluk Santong, pabrik rumput laut di Dompu dan Lombok Timur, untuk menyebut beberapa simpul ekonomi yang sudah pasti beroperasi di NTB, Gerakan Seratus Ribu Wirausaha Baru sukses, maka apa yang disampaikan pak Dahlan tersebut bukanlah bualan seorang mantan wartawan.  Tapi adalah suatu keniscayaan yang secara teoritis memang seharusnya akan terjadi.  Kalau bahasa agamanya, sudah menjadi sunatullah.  Bahwa dalam lima - sepuluh tahun ke depan, Indonesia, dan NTB di dalamnya akan menjadi maju.  Tinggal bagaimana pemerintah daerah menjaga kondusifitas daerah, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penduduk,  memelihara dan terus mengembangkan berbagai infrastruktur dan menjamin ketersediaan energi yang diperlukan untuk membangun. 

Dari berbagai perbaikan angka-angka indikator yang yang pernah saya tulis sebelumnya, sebagai dampak dari kerja keras masyarakat dan pemerintah serta dunia usaha selama lima atau sepuluh tahun terakhir, maka manakala Indonesia ‘terpaksa’ maju (meminjam istilah pak Dahlan Iskan) suatu ketika nanti, maka, NTB pun akan ikut didalam kemajuan itu.  Kalaupun masih ada yang pesimis, bahkan cenderung skeptis, maka kita, bagian dari yang optimis dan selalu berfikir positif , jangan pernah terpengaruh.  Seperti katanya pak Dahlan kepada para para wisudawan UB hari itu: ”kalian memiliki kesempatan untuk memilih, apakah akan ikut gelombang kemajuan bersama dengan 136 juta rakyat Indonesia yang sudah siap maju, atau terlena dengan fikiran-fikiran pesimis dan skeptis yang membawa kalian sebagai orang yang selalu mengeluh dan menyalahkan keadaan.”  Wallahu ‘alam bissawab. (Surabaya, 21 Oktober 2012)