Minggu, 30 Maret 2014

TGB DAN ISLAMIC CENTER NTB


Antara TGB dengan Islamic Center


Islamic Center adalah salah satu cita cita panjang masyarakat Nusa Tenggara Barat.  Gagasan pembangunan Islamic Center ini sendiri telah diwacanakan semenjak Nusa Tenggara Barat dipimpin oleh Jenderal Warsito. Kemudian mengemuka lebih intens ketika Gubernur Harun Alrasyid.  Waktu itu wacananya bahkan sudah mengarah kepada lokasi, yaitu di jalan udayana, sehingga akan menjadi ikon NTB.  Setiap orang yang datangari luar NTB, yang mendarat di bandara Selaparang, maka pemandangan pertama kereka adalah bangunan Islamic Center.

Namun menjadi lebih serius, ketika Gubernur Lalu Serinata memimpin Nusa Tenggara Barat.   Pada waktu itu, dibentuklah panitia pembangunan Islamic Center yang diketuai oleh Walikota Mataram Muhammad Ruslan.   Saya sendiri masuk dalam kepanitiaan, sebagai salah seorang koordinator bidang sosialisasi.  Sementara koordinator bidang perencanaan pembangunannya diserahkan ke Prof Hadi, Dekan Fakultas Teknik Universitas Mataram.

Saya juga ikut ketika panitia mengadakan studi banding ke beberapa Islamic Center yang sudah ada, yaitu ke Mesjid Agung Surabaya dan Almarqaz Al Islami di Makassar, Sulawesi Selatan.  Beberapa anggota panitia yang ikut studi banding trsebut diantaranya Lalu Wardi dari Bappeda, Pak h sukardi dari BKKBN, Prof Hadi dari Unram, dan lain-lain.  Sekembali dari studi banding tersebut, panitia cukup intensi mengadakan pertemuan untuk membahas rencana lokasi yang akan diusulkan untuk menjadi tempat pembangunan IC tersebut.   Pada akhirnya, panitia kemudian merumuskan tiga alternatif lokasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Yang pertama adalah di areal sekitar Gedung KONI Mataram, bersebelahan dengan Mesjid Raya Attaqwa Mataram.  Kelebihannya lokasinya berada di Jalan Protokol, berdekatan dengan areal yang berpenduduk padat, yaitu kelurahan Dasan Agung.  Cuman harus menghapauskan gedung olahraga; dari segi luas areal, tidak seluas alternatif kedua, yaitu areal eks gedung kantor bupati lombok barat, di jalan sriwijaya.  Persoalannya areal eks kanntor bupati adalah milik pemda lombok barat.  Belum tentu pemda lombok barat mau menyerahkan tanah yang menjadi asetnya untuk pembangunan IC dengan cuma-cuma.   Karena tentu mereka sangat berkepentingan untuk menjadikan asetnya sebagai salah satu sumber pendapatan.  Artinya mereka pasti akan mau menyerahkan asetnya kalau dibeli.  Pada waktu itu memang sedang ada negosiasi dengan fihak ketiga untuk proses jual beli atau tukar guling aset tersebut.

Alternatif ketiga adalah di lahan yang menjadi milik provinsi di jalan lingkar selatan.  Kelebihannya jika memilih lokasi ini adalah luasnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.  Karena di daerah tersebut belum ada bangunan, masih berupa sawah.   Ini meniru pembangunan Mesjid Agung Surabaya, yang dibangun di luar kota surabaya.  Kekurangannya jika memilih lokasi tersebut, maka akan perlu waktu yang lama baru bisa terisi.   Seperti halnya mesjid agung surabaya, untuk menjangkaunya, harus menggunakan kendaraan.  Sementara di sekitarnya pada waktu itu pemukiman masih belum banyak.

Kalau tidak salah, sampai di situlah panitia pembangunan tersebut bekerja.  Setelah itu, laporan di serahkan ke gubernur.   Dan tidak ada lagi undangan-undangan untuk mengadakan rapat rapat.  Hanya plang panitia yang tetap bertahan di depan pendopo walikota mataram.  Namun aktivitas panitia menjadi vakum, sampai dengan penggantian Gubernur NTB dari Lalu Serinata kepada Tuan Guru Bajang, TGKH Muhammad Zainul Majdi, MA pada tanggal 17 September 2008, yang bertepatan dengan 17 Ramadhan 1430 H.

Wacana pembangunan Islamic Center itu sendiri tidak lagi muncul.  Itu sebabnya dalam RPJMD NTB 2009-2013 tidak tercantum.   Karena kawan-kawan di Bappeda sendiri tidak lagi mendiskusikan atau mewacanakan pembangunan IC tersebut.  Bahkan sampai kemudian Prof Hadi meninggal dunia, panitia pembangunan tidak lagi eksis.

Barulah hidup lagi menjelang Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang Provinsi tahun 2009 wacana pembangunan Islamic Center muncul lagi.   Di sela-sela arena Musrenbang yang dihadiri oleh hampir seluruh bupati walikota se NTB, Bapak TGB, selaku Gubernur NTB menyampaikan secara resmi dan meminta persetujuan para Bupati Walikota terkait rencana beliau untuk memulai pembangunan Islamic Center tersebut dengan lokasi di areal Gedung KONI dan sekitarnya.   Bahkan menurut pak Gubernur waktu itu, tidak hanya Koni yang dibebaskan, namun juga gedung SPMA dan SMPN 6 Mataram. “kita perlu areal yang agak luas. Sehingga nantinya bangunan IC tersebut akan dapat juga dilihat dari Jalan Udayana,” kata pak Gubernur.  Para Bupati dan Walikota secara aklamasi menyetujui dan mendukung. Bahkan bapak H. Muhammad Ruslan, walikota Mataram mengatakan “saya siap mendukung, bahkan nanti kalau sudah jadi, biar saya yang jadi merbotnya,” kata beliau dengan bersemangat.

Ada tiga alasan, mengapa TGB memilih areal KONI sebagai lokasi pembangunan IC NTB.  Pertama, kata beliau pada saya ketika mendiskusikan rencana pembangunan IC tersebut, supaya IC ini benar-benar berada di jantung Kota Mataram.  Jangan dipinggiran. “saat ini, kalau kita berjalan dari Ampenan sampai Narmada, tidak ada bangunan mesjid yang dapat kita banggakan sebagai simbol bahwa kita mayoritas. Mesjid Attaqwa sendiri sekarang sudah tenggelam, dimana posisi jalan raya lebih tinggi dari mesjid itu sendiri. Sehingga kalau orang luar datang ke Mataram, tidak bisa menyimpulkan kalau sesungguhnya islam adalah agama mayoritas di daerah ini. Oleh karena itu areal Konilah menurut saya yang paling pas.  Dan jangan hanya KONI, tapi juga terus ke timur, di areal SPMA dan SMP 6. Sehingga benar-benar IC itu berdiri di jantung kota Mataram; bisa terlihat dari dua jalan utama, Jalan Langko dan Udayana.” Kata beliau, ketika pertama kali beliau menanyakan soal rencana pembangunan IC dengan saya.   Waktu itu saya dipanggil sendirian, sebagai Kepala Bappeda yang juga kebetulan ikut dalam kepanitiaan pembangunan IC yang dibentuk Gubernur Lalu Serinata.

Alasan kedua, jika kalau di areal KONI, maka pasti jemaah yang ada di Mesjid Raya akan otomatis menjadi jemaah IC. Artinya, kita tidak perlu hawatir akan kekurangan jemaah.  Apabila kita membangun di tempat lain, apalagi di jalan lingkar yang masih sepi, maka belum tentu akan langsung terisi.  Harus menunggu perkembangan pemukiman penduduk sekian lama dulu, baru akan terisi.  

Yang ketiga, menurut beliau, di IC tersebut nantinya harus berdiri juga lembaga pendidikan Islam yang berkelas dunia.  Bukan hanya mesjid.  Karena itu maka lokasinya harus berada di tempat yang mudah di akses bagi anak-anak yang nantinya akan menjadi murid di situ.

Minaret 99
Satu lagi yang beliau sarankan untuk pembangunan IC, yaitu “di bangunan mesjid itu harus ada menaranya yang tinggi, yang tingginya sekitar seratus meteran,” kata beliau. “sehingga benar-benar menjadi ikon Mataram atau NTB. Yang monumental.”  Darii gagasan beliau itulah yang kemudian berkembang menjadi Minaret 99, dimana tinggi menara yang menjadi simbol IC NTB tersebut didesain secara keseluruhan sampai ujungnya adalah 114 meter dan dek yang dapat dinaiki adalah 99 meter.  Dari ketinggian 99 meter ini pengunjung akan dapat menikmati keindahan kota Mataram.   Dengan kata lain saya ingin menceriterakan bahwa gagasan Minaret 99 itu adalah murni dari Bapak Gubernur NTB, Bapak TGB KH Muhammad Zainul Majdi, MA.

Mekanisme Pembangunan

Setelah TGB mengemukakan rencana akan dimulainya pembangunan IC di hadapan para Bupati/Walikota, barulah kemudian mulai dibahas secara intens oleh para fihak, Bappeda, Dinaas PU, Biro Umum, dan lain-lain terkait dengan proses perencanaan dan pembangunan IC tersebut.  Salah satu topik yang didiskusikan adalah apakah mekanisme pembangunan yang akan dipilih.  Apakah pembangunan akan dilaksanakan oleh panitia pembangunan atau oleh SKPD terkait.   Mekanisme ini akan menentukan bentuk panitia pembangunan yang akan disusun. 

Saya teringat, salah seorang mantan panitia pembangunan IC sebelumnya, yaitu Bapak Drs. H. Mahfudz, yang juga mantan kepala kanwil departemen agama provinsi NTB mendatangi saya, membawakan SK dan susunan kepanitiaan pembangunan IC yang telah diterbitkan oleh Gubernur Lalu Serinata.  Kalau tidak salah di situ beliau adalah sekretaris umumnya.  Panitia yang belum sempat mengeksekusi pembangunan tersebut.

Kembali ke soal mekanisme. Pilihannya ada dua: pertama, pembangunan dilaksanakan oleh panitia pembangunan ataupun yayasan yang khusus dibentuk untuk itu.  Jika ini dipilih, maka pemerintah akan memberikan bantuan hibah atau bantuan sosial ke panitia atau yayasan.  Panitia atau yayasanlah yang akan bertanggung jawab sepenuhnya, baik terhadap proses perencanaan pembangunan, sampai pada pelaksanaan pembangunan.  Panitialah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi pelaksana atau kontraktor pembangunan.   Dengan kata lain, seperti mekanisme pelaksanaan  pembangunan-pembangunan mesjid pada umumnya.  Jika ini yang dipilih, maka kepanitiaan akan bernama Panitia Pembangunan Islamic Center NTB.

Alternatif lainnya, adalah dengan menyerahkan sepenuhnya pada instansi terkait.  Dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Provinsi. Jika ini yang dipilih, maka seluruh sumbangan masyarakat akan diserahkan dalam bentuk sumbangan fihak ketiga kepada pemerintah, masuk dalam mekanisme APBD.

Setelah beberapa kali diskusi, maka akhirnya dipilih alternatif kedua. “Itu yang paling aman, panitia hanya bertugas mengumpulkan sumbangan dan dana dari masyarakat,” kata Kepala Biro Umum waktu itu, yaitu Ir Iswandi. Karenanya, panitianya menjadi Panitia Pengumpulan Dana Masyarakat Untuk Pembangunan Islamic Center Nusa Tenggara Barat.  Ketua Umumnya langsung Bapak Gubernur dan kepala Bappeda sebagai Ketua Hariannya.

Alhamdulillah, akhirnya tepat pada tanggal 17 Ramadhan 1431 H, bertepatan dengan tanggal …….. ground breaking pembangunan Islamic Center NTB yang telah sekian lama menjadi angan-nagan masyarakat Nusa tenggara Barat dimulai; dengan memulai pembangunan gedung lembaga pendidikannya, yang berlokasi di eks Gedung KONI. Bapak Tuan Guru Bajang KH Muhammad Zainul Majdi, MA, bersama dengan pimpinan DPRD, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, meletakkan batu pertamanya.   Peletakan batu sejarah, yang menandai dimulainya pembangunan Islamic Center tersebut.  Saya juga ikut masuk ke dalam lubang lokasi peletakan batu pertama, berdiri di belakang para tokoh yang secara bergiliran meletakkan fondasi pembangunan gedung lembaga pendidikan IC.  Sementara pembangunan mesjidnya pada waktu itu belum dapat dimulai karena proses penghapusan gedung SPMA dan SMP 6, pada saat itu belum dapat diselesaikan. Subhanallah. (Jakarta, 280314).


BELAJAR DARI BELANDA



Merintis kerjasama dengan Belanda


Adalah Dr.Lalu Hayanul Haq, dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram yang sedang menyelesaikan kuliahnya di Universitas Utrecht Belanda, yang sangat bersemangat untuk menjalin kerjasama antara Pemprov NTB dengan Pemprov Utrecht Belanda. Alasannya jelas,  antara Utrecht dengan Nusa tenggara Barat memiliki kesamaan kesamaan yang relatif terhadap negaranya.  Artinya, menurut Aak, demikian biasa dia dipanggil di kampusnya, banyak praktek baik yang dilaksanakan oleh pemerintah Utrecht yang dapat ditiru atau dipelajari oleh pemrov NTB dalam hal melaksanakan pembangunannya.   Salah satu yang kongkrit adalah kita dapat mengirim staf ke Utrecht University untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Baik melalui program pendidikan ber gelar, maupun yang non gelar, seperti kursus-kursus singkat.

Masih menurut Aak, Utrecht juga berpengalaman menjalin kerjasama dengan beberapa negara di kawasan Afrika.  “mumpung saya masih di sini,” kata beliau pada saya suatu ketika.  Saya fikir benar juga.  Bagiamanapun kerjasama-kerjasama seperti itu memang perlu dirintis, untuk kemudian dikembangkan sehingga dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi daerah.  Memang konsekuensinya kita harus mau mengeluarkan sedikit investasi, dari uang daerah.  Sebab untuk mendapatkan sponsor, tidak mudah, kalau kita tidak merintis dari awal.  Dan disitulah perlunya dana awal itu.

Maka pada tahun 2010 (Cek persisnya) saya menyediakan anggaran di Bappeda untuk dua kegiatan.  Pertama adalah untuk kegiatan Capacity Building Workshop on Good Governance.  Ini dimaksudkan untuk mendidik para pegawai khususnya yang ada di Bappeda-bappeda kabupaten/kota, provinsi, dan tokoh-tokoh potensial dari kalangan LSM.  “jatah” untuk LSM ini memang khusus diadakan karena permintaan dari Utrecht sperti itu.  Jadi dalam workshop itu nantinya akan ada dinamika yang positif, dimana proses interaksi diskusi tidak hanya melibatkan ‘suara’ birokrasi, tapi juga perlu ada suara non pemerintah.  Di situlah peran dari utusan peserta dari LSM.  Disamping juga peserta perwakilan dari kalangan akademisi.

Porsi anggaran lainnya adalah untuk keperluan perjalanan ke dan dari Utrecht Belanda.  Waktu itu kami anggarkan untuk mentor yang dari Belanda dan peserta terpilih dari NTB yang akan dikirim ke Belanda.  Dengan demikian, pelaksanaan workshop di Mataram akan diikuti dengan serius oleh para peserta karena ada ‘iming-iming’ empat orang akan dikirim ke Belanda.  Pembiayaan selama di Belanda juga mendapat bantuan dari Utrecht.  Kami tidak perlu membayar biaya workshop selama di Belanda.  Tapi kami menanggung biaya perjalanan para tutor yang dikirim dari Utrecht ke Mataram.  Kerjasamanya seperti itu.

Untuk memulai proses kerjasama itu, Gubernur NTB diundang ke Belanda pada bulan November 2010; untuk menanda tangani piagam kerjasama antara Universitas Utrecht dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.  Sebagai Kepala Bappeda, saya ikut dalam kunjungan ke Belanda tersebut.  Kunjungan yang berlangsung pada akhir November 2010.

Gagasan Sister Province

Meskipun pada awalnya, kerjasama yang ditanda tangani Gubernur NTB adalah dengan Universitas Utrecht, namun rombongan kami diterima juga oleh Wakil Gubernur Provinsi Utrecht.  Dalam diskusi dengan wakil gubernur Utrecht, tercetus gagasan untuk ke depan akan dibangun kerjasama antara kedua provinsi dari negara yang berbeda tersebut.  Wakil gubernur Utrecht menyambut dengan hangat kedatangan Gubernur NTB bersama rombongan.

Salah satu aspek yang menarik di Utrecht ini adalah pertumbuhan ekonominya yang sangat progresif dalam dekade terkahir.  Banyak perusahaan-perusahaan multi nasional yang mendirikan pabriknya di Utrecht. Artinya, ada daya tarik tersendiri, termasuk mungkin kebijakan pemerintahnya yang perlu kita pelajari, yang membuat ratusan perusahaan multinasional menempatkan pabrik atau membuka kantor perwakilan perusahaannya di provinsi tersebut.  Salah satu yang mereka sebut sebagai faktor positif dalam peningkatakan kinerja pembangunan khususnya ekonomi di Utrecht adalah keterlibatan para akademisi dari kampus membantu pemerintah.  Dengan kata lain, hubungan antara kampus dengan pemda sangat baik dan bersinergi.  Ada profesor-profesor yang sangat piawai dalam menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan multinasional yang terlibat atau dilibatkan oleh Pemdanya dalam rangka menjalin kerjasama internasional.  Karenanya tidak mengherankan dalam sepuluh ataudua puluh tahun terakhir pertumbuhan eknomi Utrecht luar biasa. Konon, ratusan industri yang berorientasi ekspor berdiri dan memberi kontribusi luar biasa terhadapa perekonomian provinsi tersebut.

Dari kunjungan ini muncul gagasan untuk membangun kerjasama langsung antara Utrecht dengan Nusa Tenggara Barat.  Ya semacam sister province program. Gagasan ini mungkin perlu ditindak lanjuti.  Salah satu yang yang saya kira strategis untuk mewujudkan ini adalah mencari sponsor pendanaan; apakah dari Belanda sendiri atau dari donor internasional. Dan kalau ini bisa terwujud, manfaat yang akan diperoleh sudah jelas; diantaranya adalah peningkatan kompetensi sumberdaya manusia birokrasi kita di Nusa Tenggara Barat. Kemungkinan lain yang dapat digarap adalah kerjasama dalam pengiriman tenaga kerja keperawatan yang konon cukup tinggi kebutuhan mereka.

Kebetulan dalam kunjungan ke Belanda tersebut kami bertemu dengan koordinator perawat Indonesia yang bekerja di Belanda.  Dia yang menginformasikan peluang itu.  Tinggal bagaimana kita menindak lanjutinya. Apalagi ketika BLKI kita di Lombok Timur sudah mulai operasional, maka penyiapan tenaga kerja terdidik sperti tenaga kerja perawat itu dapat dilaksanakan di BLKI tersebut, atas biaya dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Aspek lain yang kita dapat belajar dari Belanda, adalah terkait dengan pengembangan pariwisata.  Dengan kerjasama sister province tersebut, pasti akan ada kemudahan-kemudahan yang akan diperoleh dalam rangka memasarkan destinasi wisata kita di Belanda.   Disamping itu, kita juga akan dapat belajar untuk memperbaiki dan mengembangkan berbagai destinasi yang kita miliki agar lebih dapat menjadi destinasi yang ber  kelas dunia.

Dari segi irigasi, Belanda adalah negara yang paling baik dalam mengelola jaringan irigasinya. Nah kita mungkin dapat mendatangkan para ahlinya ke NTB untuk dapat menyempurnakan jaringan irigasi kita, khususnya di Lombok.  Bukankah selama ini masih sangat banyak air sungai kita yang mengalir ke laut dengan percuma? Di sisi lain, masih cukup banyak areal persawahan kita yang hanya mengandalkan air hujan, untuk pengairannya.

Kata kuncinya adalah: mari kita mulai bekerjasama, membuka jaringan internasional, sebagai salah satu milestone dalam MDGs, yaitu jaringan kerjasama internasional.  Kita, NTB, tentu tidak ingin menjadi daerah yang seperti “katak dalam tempurung.” Jangan pula kit terbelenggu dengan jargon “IPM rendah,” yang mengesankan kita tidak memiliki kualitas SDM yang baik.  Nah, dengan membangun kerjasama internasional, maka bukan tidak mungkin kesan tersebut akan dapat kita sirnakan, selaras dengan makin banyaknya hal-hal baik yang kita ekspos keluar. Tidak hanya gizi buruk dan buta huruf.  Wallahu a’lam bissawab. (Mataram 310314)

Sabtu, 15 Maret 2014

MENGGAGAS PRA MUSRENBANG PROVINSI


9. Menggagas Pra Musrenbang Provinsi

Salah satu gagasan inovatif yang, maaf, saya lontarkan kepada teman-teman saya di Bappeda adalah pelaksanaan Pra Musrenbang.  Artinya akan ada Musrenbang Pendahuluan sebelum dilaksanakannya musrenbang provinsi yang sudah menjadi agenda tahunan.   Hal itu didasari bahwa selama ini, musrenbangprov terasa kurang efektif dalam menyerap berbagai macam aspirasi masyarakat.  Termasuk aspirasi kabupaten/kota yang mereka usung.  Bahkan ada kesan musrenbangprov adalah seremonial normatif yang tidak banyak mendengar suara dari kabupaten/kota.   Mungkin ada juga suara yang mengatakan kalau musrenbangprov sebagai proses legitimasi hasil Farum SKPD Provinsi.  Dengan kata lain, dokumen perencanaan yang dihasilakna dlam musrenbangprov lebih didominasi oleh usulan SKPD-SKPD provinsi.  Sedikit sekali atau bahkan tidak ada yang berasal dari masyarakat atau dari pemerintahan di bawahnya.

Latar belakang lainnya adalah adanya kenyataan bahwa NTB terdiri dari dua pulau besar, yaitu Sumbawa dan Lombok.  Mungkin ada baiknya kalau sebelum musrenbangprov diadakan, pemerintah kabupaten/kota yang berada dalam satu pulau bertemu atau dipertemukan terlebih dahulu.  Bukan tidak mungkin aspirasi dari masyarakat atau pemerintahan di pulau yang sama akan memiliki karakteristik yang sama pula.  Jika pemerintahan di pulau-pulau besar seperti Sulawesi, Sumatra, Kalimantan masing-masing memiliki asosiasi pemerintahan sendiri, mengapa kalau kabupaten/kota di satu pulau di NTB ini juga dikumpulkan dalam proses perencanaan pembangunannya.  Siapa tahu akan lahir program bersama, yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan bagi masyarakat.  Juga, dalam forum seperti itu, diskusi antara pemrov dengan para peserta di satu pulau mungkin juga dapat lebih intens, sehingga program yang ditawarkan oleh pemprov dari awal sudah mendapat legitimasi dari pemkab/pemkot. Akan ada waktu yang lebih banyak dan lebih longgar untuk proses diskusi antara SKPD Provinsi yang hadir di acara pra musrenbang tersebut dengan SKPD kab/kota yang relevan.

Singkat cerita, program pra musrenbang tersebut kemudian disetujui oleh tean-teman di Bappeda. Yang menjadi persoalan adalah dari mana dananya? Karena waktu itu, untuk tahun anggaran 2009, kegiatan Pra Musrenbang belum masuk dalam anggaran Bappeda. Maklum karena memang selama ini tidak ada acara seperti itu.  Untungnya, pada waktu itu ada program donor internasioal yang salah satu fokus kegiatannya adalah terkait dengan good governance.  Orang-orang yang mengelola program GTZ itu juga saya kenal baik. Akhirnya kami mengkomunikasikan ide pra musrenbang tersbut ke mereka, yang kemudian mereka setuju untuk mendanainya.

Maka kami sepakatilah pra musrenbang untuk kabupaten kota se pulau sumbawa diadakan di Bima, sedangkan untuk se pulau Lombok kami adakan di Mataram.   Sambil mencari bentuk, kira-kira seperti apa pra musrenbang seperti itu diadakan. Yang jelas, teman-teman di kabupaten/kota menyambut antusias diadakannya pra musrenbang ini.  Maka sejak 2009, Pra Musrenbang menjadi agenda rutin kami di Bappeda.  Belakangan, yaitu sejak 2011 atau 2012, Bappenas juga mengagendakan Pra Musrenbangnas. Bahkan dilengkapi juga dengan Pasca Musrenbangnas, yang diikuti oleh Bappeda-Bappeda se Indonesia.

Saya tentu tidak berani mengatakan kalau Bappenas meniru kita di NTB.  Yang jelas, mereka mulai melaksanakan acara Pra Musrenbangnas dua tahun setelah kita di NTB.  Agenda atau substansi acaranya juga mirip-mirip, atau bahkan sama.  Yaitu ‘mempertemukan’ antara SKPD terkait atau kalau di pusat Kementrian dan Lembaga dengan badan atau dinas sejenis di bawahnya.  Bahkan belakangan Bappenas menyediakan dana dekonsentrasi untuk pelaksanaan pra musrenbang tersebut, khusus untuk di tingkat provinsi.

Dengan adanya Pra Musrenbang ini, komunikasi program antara SKPD di Provinsi dengan di Kabupaten/Kota menjadi lebih baik.  Ada waktu yang lebih banyak untuk mendisuksikan hasil Forum SKPD Provinsi dengan usulan dari Musrenbang Kabupaten/Kota.  Khususnya menyangkut program-program infrastruktur, baik jalan, jembatan, pelabuhan, maupun program unggulan Provinsi seperti Pijar, 3 A, NTB Hijau, dan lain-lain.  Memang pelaksanaan Pra Musrenbang pertama belum menemukan model dan substansi yang harus dibahas.   Hal ini karena para peserta masih mencari bentuk.   Tapi shared learning untuk mempresentasikan apa yang diprogramkan oleh Provinsi di tiap-tiap pulau sudah mulai dilaksanakan.  Dr. Astia Dendi, pak Arifin Aria Bhakti, dan kawan-kawan dari GTZ yang mensponsori Pra Musrenbang pertama ini sangat terkesan dan puas.   Karena waktu itu pesawat ke Bima tidak setiap hari, maka kami kembali ke Mataram dengan menggunakan kendaraan, sambil menikmati ‘hancurnya’ ratusan kilometer jalan negara dari Bima ke Mataram.   Semangat kebersamaan dan dedikasi kami untuk membangun daerah NTB tercinta mengalahkan lelahnya kami dalam perjalanan. Meski duduknya agak berhimpit-himpitan,  termasuk di dalam kendaraan itu Dr. Iwan Harsono, namun perjalanan itu tetap mengesankan.  (CARI FOTO PRA MUSRENBANG PERTAMA DI BIMA)

Sejak saat itu, Pra Musrenbang terus dilaksanakan dengan tempat ber giliran di masing-masing Pulau.   Belakangan, asosiasi manejemen pembangunan pemerintah kabupaten/kota se Pulau, yang diprakarsai pembentukannya oleh Kementrian PDT ikut serta mewarnai agenda Pra Musrenbang tersebut. Yang masih sulit untuk dilaksanakan adalah menjamin semua yang disepakati dalam Pra Musrenbang, kemudian di ketok ketika Musrenbangprov, didanai di dalam APBD Provinsi.  Ada hitungan-hitungan yang jelas, berapa persen dana APBD Provinsi yang dieksekusi untuk setiap kabupaten/kota di NTB. Ujung-ujungnya adalah, kita berusaha untuk mendapatkan dana dari Kementrian Lembaga. Salah satu contohnya adalah pendanaan Bendungan Bintang Bano. Tadinya fihak Bappenas dan Kementrian PU tidak bersedia memasukkan anggarannya. Hal ini karena memang, bendungan tersebut tidak termasuk dalam skema bendungan yang akan didanai.  Tidak masuk dalam RPJM Nasional 2010-2014.   Namun karena fihak KSB bersama dengan Bappeda provinsi tidak berputus asa mengangkat Bintang Bano dalam berbagai pertemuan perencanaan, akhirnya fihak K/L mengalah juga.  Mulai 2013, Bintang Bano sudah resmi masuk dalam skema Kementrian Pekerjaan Umum.   Sehingga dana dari APBD KSB yang tadinya untuk Bintang Bano dapat dipergunakan untuk mendanai program pembangunan lainnya. Wallhu a’lam bissawab. (Mataram, 150314)



Mengajar Tanpa Menggurui


6. Menyatukan persepsi: ilmu dosen terpakai  (teknik bulkonah….)

Memang benar, yang namanya ilmu itu pasti bermanfaat. Termasuk juga ketika seorang dosen diamanahkan menjadi pimpinan birokrasi. Satu dunia yang sangat berbeda dengan dunia akademisi.

Memimpin kaum birokrat tentu tidak sama dengan memimpin para mahasiswa. Memberikan penjelasan kepada para staf di sebuah kantor, pastilah tidak sama dengan mengajar di depan ruang kuliah. Proses transfer of knowledge di Perguruan Tinggi pasti beda dengan proses di alam birokrasi. Kalaupun dicari persamaanya, mungkin ada satu: yaitu bagaimana agar apa yang kita jelaskan dapat difahami oleh mereka yang mendengarkan.  Kita harus dapat meyakinkan mereka, bahwa apa yang kita jelaskan sangat bermafaat bagi peningkatan ilmu pengetahuan mereka. Bahwa ilmu pengetahuan itu penting.  Teori itu penting.  Belajar sepanjang hayat itu penting.

Faktanya, banyak pegawai yang sangat rajin membaca ketika masih menjadi staf biasa.   Rajin pula mengikuti kursus atau training di sana sini.  Setiap ada peluang untuk mengikuti kursus, selalu tidak dilewatkan. Eh, begitu diangkat menjadi pimpinan di kantor, katakanlah menjadi kepala seksi atau kepala sub bagian, kegiatan membacanya mulai mengendor. Dia asik dengan kegiatan birokrasinya.  Dia kemudian menjadi demikian sibuk, sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menyambangi perpustakaan di kantornya, mencari cari buku baru yang dapat dilahap di sela-sela kesibukan menerima, membaca, mempelajari, dan mendisposisi berbagai dokumen yang ditugaskan oleh pimpinannya.

Suatu ketika dalam perjalanan saya menjadi Kepala Bappeda, saya sempat mewajibkan setiap pejabat yang bepergian untuk menyumbangkan sebuah buku saja ke perpustakaan kantor.   Ini untuk menambah koleksi perpustakaan dan sekaligus meningkatkan minat pegawai Bappeda untuk membaca.   Para karyawan saya himbau untuk rajin-rajin membaca.  Rajin-rajin ke perpustakaan.   Karena tanpa membaca, peningkatan ilmu pengetahuan kita pasti akan sangat lambat. Apalagi informasi hanya didominasi oleh info dari layar kaca alias televisi.

Saya katakan kepada teman-teman di Bappeda, kalau bekerja di Bappeda memiliki nilai tambah, dibandingkan dengan SKPD lain.  "Bedanya, di Bappeda kita harus rajin membaca, sebab berbagai dokumen produk Bappeda tidak mungkin hanya kata-kata tanpa makna.  Harus ada sumbernya, harus ada teorinya, dan harus ada maknanya.  Nah, tanpa kita banyak membaca, tidak mungkin kita akan menghasilkan produk dokumen yang berkualitas."   Mungkin 'petuah' ini yang merasuk ke teman-teman di Bappeda sehingga pada tahun 2012-2013, berbagai dokumen yang dihasilkan mendapat penghargaan nasional. Penghargaan Pangripta Nusantara, sebagai juara tiga se Indonesia, bagi Bappeda luar Jawa Bali; dan MDGs bahkan menjadi Juara Satu Nasional untuk seluruh kategori. 

Mengajar, bukan menggurui

Sebagai dosen, tentu adalah profesi saya untuk mengajarkan sesuatu kepada para mahasiswa.   Dengan metode pengajaran yang saya kuasai, yang menjadi style saya tentu, saya senang kalau mahasiswa kemudian dengan mudah, dapat memahami apa yang saya terangkan.  Kalau kemudian mereka saya ajak diskusi, bisa ‘nyambung.’ Begitupun ketika ujian akhir, mereka saya harapkan lulus semua.  Artinya semua bisa.

Saya akan sedih kalau ternyata hanya sedikit mahasiswa yang lulus atau mendapatkan nilai baik pada mata kuliah yang saya ajarkan. Apalagi kalau kemudian sebagian besar tidak lulus.  Saya berasumsi, pasti cara mengajar saya yang salah. Demikian pula dengan pembimbingan skripsi. Saya akan senang kalau mahasiswa bisa memperbaiki tulisannya sesuai dengan yang saya harapkan. Bahkan kemudian merasakan manfaat dari proses pembimbingan yang saya lakoni.

Pernah di suatu sore, ada mantan mahasiswa saya yang dengan suka cita menelpon saya, memberitahukan kalau dia lulus di Angkatan Udara karena saya.  Saya heran campur bangga, …”koq bisa karena saya?” lantas dia menjelaskan bahwa sayalah yang megajar dia membuat kalimat kalimat pendek dan efektif, sehingga ketika tes tulis di TNI Angkatan Udara dia lulus.  “Pak disini, gaya tulisa yang bapak ajarkan itulah yang disenangi oleh komandan.” Kata Burhanuddin SP, yang sekarang mungkin sudah berpangat Kapten atau Letkol. Anehnya, tidak lama setelah itu, saya juga mendapat telpon dari mahasiswa yang lain, yang diterima di Angkatan Laut. Mungkin dengan ilmu yang sama, alhamdulillah.

Kini, berhadapan dengan para birokrat di Bappeda tentu saya tidak bisa memperlakukan mereka sama dengan mahasiswa.  Saya tidak ingin ‘menggurui’ mereka.  Atau menggurui siapapun.   Kalau pun saya harus menjelaskan mereka sesuatu teori yang relevan dengan topik pembicaraan, tentu gaya yang saya pergunakan berbeda.

Antara 'menggurui' dan 'mengajari' mungkin tidak mudah untuk dibedakan.  Secara sederhana, di balik kata menggurui,tersimpan kesan antara guru dan murid.  Dalam posisi yang tidak setara.  Antara guru yang serba tahu, dan murid yang tidak tahu dan harus diberitahu.   Proses menggurui biasanya menjadi satu arah, dari guru ke murid.  Sementara dalam konsep 'mengajari' atau 'mengajarkan' harus ada proses dua arah.  Posisi antara pengajar dengan pembelajar juga relatif setara.  Ada dialog, bukan hanya monolog.  Ada diskusi, bukan hanya instruksi.


Ketika saya harus menjelaskan bahwa dengan BULKONAH (bulat-bulat, kotak-kota, panah-panah) kita dapat memberikan penjelasan hanya dengan satu diagram, kawan-kawan di bappeda senyum senyum saja.  Maklum selama ini, ilmu atau teknik itu belum banyak difahami. Atau belum banyak yang faham dan bisa mempraktekkan.  Apalagi dimasukkan dalam bagian dari dokumen resmi seperti KUA PPAS, ataupun RKPD yang relatif ‘sakral.’ Artinya sistimatika berbagai dokumen tersebut sudah ada pakemnya.  Sudah ada permendagri atau edaran kepala Bappenas, dan sebagainya.   Tapi prinsipnya, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan di atasnya, kan tidak haram juga. Apalagi kemudian menjadi bagian yang mempermudah pembaca untuk memahami substansi yang ada dalam dokumen tersebut.

Dari diskusi ke diskusi akhirnya teman-teman di Bappeda tidak berkeberatan untuk memasukkan style Bulkonah dalam dokumen RKPD ataupun dokumen perencanaan lainnya.  Disamping juga berbagai variasi dan inovasi lain yang membuat berbagai dokumen ‘made in bappeda’ makin colourful.  Tidak monoton. Tujuannya tidak lain agar masyarakat menjadi lebih tertarik untuk membaca berbagai dokumen tersebut, dan menjadi lebih mudah untuk difahami.  Bukankah partisipasi aktif yang kita harapkan dari masyarakat akan dapat kita tingkatkan, ketika kita mampu menyajikan dokumen perencanaan yang baik, menarik, dan mudah dicerna.   Wallahu a’lam bissawab (Banda Aceh 130314)








Rabu, 12 Maret 2014

MEMPERSIAPKAN RPJMD 2009-2013



3.  Mempersiapkan RPJMD 2009-2013: NTB BerSaing

Seperti yang saya singgung dalam tulisan saya yang lain, ‘panggung pertama’ saya sebagai Kepala Bappea NTB adalah dalam arena Musrenbang RPJMD 2009-2013; yang merupakan keharusan konstitusional Kepala Daerah terpilih untuk melaksanakannya. Sesuai dengan aturan  yang ada, pasangan Kepala Daerah Terpilih harus dapat menetapkan RPJMD, atau rencana pembangunan ima tahunannya paling ambat enam bulan setelah pelantikan.  Ini berarti, kalau pelantikannya bulan september, maka paling telat pada bulan Maret tahun berikutnya, RPJMD tersebut harus sudah diketok.  Ini artinya, proses ujung pengesahan di DPRD dapat diselesaikan dengna baik.

Musrenbang adalah salah satu langkah konsultasi publik yang harus dilaksanakan, guna mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Musrenbang dilaksanakan setelah melalui proses penyusunan yang cukup panjang. Di Bappeda sendiri tentu prosesnya juga diawali dengan penyusunan konsep RPJMD yang telah dimulai jauh sebelum pelantikan, bahkan sebelum Pemilukada berlangsung. RPJMD ini juga merupakan perpaduan antara konsep yang telah didesain oleh Bappeda, sesuai dengan RPJPD 2005-2025, dan sesuai dengan tata naskah yang mengatur hal itu, yaitu Permendagri Nomor ……..

“Pertemuan” antara  tim penyusun dari Bappeda dengan tim dari Kepala Daerah terpilih  dilaksanakan setelah pelantikan.  Hal-hal penting, strategis, dan menjadi ‘janji politik’ seorang kepala daerah yang telah disusun dalam rancangan program pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, dimasukkan menajdi bagian dari RPJMD. Terutama terkait visi missi dan janji politik, atau jargon politik yang telah menjadi bahan kampanye, seperti Pendidikan Gratis, Kesehatan Gratis, Penciptaan Wirausaha Baru, pembangunan di bidang ekonomi dan sosial lainnya.  Semua agenda tersebut kemudian di formulasikan ulang oleh tim RPJMD yang ada di Bappeda.

Secara kebetulan, tim RPJMD di Bappeda adalah Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan, yang nota bene baru dilantik, bersamaan dengan pelantikan saya. Namanya Tri Budi Prayitno.  Panggilan akrabnya mas Yiyit, yang ternyata adik klas saya semasa di SMA.   Juga yunior saya di Pramuka.  Mas Yiyit ini ternyata juga adalah tim penyusunan visi missi yang membantu Bapak Badrul Munir, wakil gubernur terpilih.

Dialah yang kemudian, sesuai dengan tupoksinya, yang menjadi penanggung jawab secara terknis penyusunan RPJMD NTB 2009-2013.   Sebagai penanggung jawab umumnya, tentu saya sebagai Kepala Bappeda NTB, yang dilantik per 6 Oktober 2008.   Sejak pelantikan itu pula, pembahasan RPJMD kemudian mulai sangat intensif dilaksanakan di pendopo wakil gubernur, Bapak Badrul Munir. Di sinilah hampir setiap malam, setiap kepala SKPD yang baru dilantik, ataupun yang lama, diundang untuk mendiskusikan substansi atau materi yang ada di RPJMD tersebut.

Salah satu ‘tantangan’ yang beliau ajukan kepada peserta pertemuan adalah bagaimana agar setiap skpd, atau pengelola kegiatan memiliki paling tidaksatu program terobosan, atau program unggulan.  Tantangan yang tentu tidak mudah, dan memerlukan pemikiran yang mendalam. Ada kawan yang spontan mengajukan unggulannya, yang merupakan ekstraksi dari program yang ada di SKPDnya, ada kawan yang memerlukan waktu bermalam-malam (baca: berhari-hari) untuk kemudian usulan program yang dia unggulkan dapat disetujui oleh forum.   Baik istilahnya, maupun substansi programnya.

Isitilah Bumi Sejuta Sapi sebagai contoh.  Proses penemuan istilah atau jargon ini cukup panjang.   Meskipun penetapan komoditas sapi sebagai program unggulandi dinas peternakan sudah disetujui, namun apa istilah yang akan dipergunakan sebagai jargonnya, itu yang lama. Ada yang usulnya NTB Bumi Sapi, Program Pengembangan Sapi NTB, dan setrusnya, sebelum kemudian forum yang dihadiri pak Wagub menyepakati Bumi Sejuta Sapi.  Ini tentu dengan segala pemaknaannya.

Demikian pula program Permata, alias perlindungan mata air.  Ada juga Ruang Hijau, NTB Hijau, di bidang pengelolaan lingkungan.   Kalau AKINO dan ABSANO itu yang usulkan istilahnya, saya ingat betul, adalah pak Sudaryanto. Dengan penjelasan apa makna dan missi yang terkandung di dalamnya.   Saya sendiri ‘menemukan’ istilah ADONO, alias Angka Drop Out Nol.  Waktu itu kami diskusi di sebuah hotel di Mataram, terkait program pendidikan. Juga saya mengusulkan Gerakan Penciptaan Seratus Ribu Wirausaha Baru, dengan leading sektor Dinas Koperasi dan UKM.  Waktu itu, saya menghadiri dan presentasi makalah terkait pembangunan koperasi berkualitas di sebuah hotel di Senggigi.

Tipikal pak BM adalah senang dan kuat begadang. Tidak jarang kawan-kawan kepala SKPD sampai larut malam berdikusi di Pendopo dua; tempat kediaman beliau.   Dan beliau ikut langsung dalam diskusi tersebut. Menjelang pengajuan RPJMD ke Mendagri untuk diavaluasi maupun penyerahan dokumen ke Dewan, diskusi makin intens.  Salah satu yang menjadi bahandiskusi adalah indikator yang ditetapkan secara kuantitatif dalam RPJMD tersebut.   Di sini ada dua pendapat. Mengapa kita tidak ikut gaya RPJMD sebelumnya saja, dimana tidak menggunakan indikator kuantitatif.  Cukup menggunakan indikator kualitatif saja.  Karena resikonya, inidkator kuantitatif dapat menjadi isu politik, manakala indikator yang telah ditetapkan ternyata tidak dapat kita capai.  Dan itu tidak salah.  Tidak ada keharusan sesungguhnya kita harus menggunakan indikator kuantitiatit.  Kata-kata kualitatif seperti meningkat, menurun, tetap, dinamis, statis, dan setusnya sesungguhnya dapat dipergunakan.  Tidak perlu menggunakan angka-angka tertentu.

Saya sendiri berada pada aliran yang pro kepada penggunaan indikator kuantitatif.   Hal ini dengan maksud, kita dapat mengukur secara lebih jelas, apakah dan seberapa besarkah kita dapat mencapai suatu hasi dalam dinamika pembangunan, selama lima tahun ke depan.  Misalnya, penetapan angka peningkatan populasi sapi di NTB menjadi minimal satu juta ekor di tahun 2013. Atau penetapan target dua ribu koperasi berkualitas; penurunan angka kemiskinan dua persen per tahun, penurunan angka kriminal menjadi sekian kasus per tahun, atau target penanganan konflik horizontal sekian sekian per tahun, dan seterusnya.

Indeks Pembangunan Manusia, IPM, yang pada tahun 2008 angkanya 63.7 dalam lima tahun ke depan ditargetkan meningkat menjadi 70.   Angka 70 ini yang waktu itu saya agak kritisi.  Bagaimana menghitungnya? Dari mana datangnya, dan apa yang harus dilakukan untuk menggapainya.   Beberapa kali saya menyarankan mas Yiyit untuk berkonsultasi dengan pak Anwar Fachry, dosen Unram yang saya tahu sangat faham dengan indikator determinan IPM. Apakah angka 70 itu rasional atau tidak.   Kalau tidak, berapa yang kira-kira rasional dan dapat kita capai.

Demikian pula halnya dengan target penurunan angka kemiskinan yang dua per sen per tahun. Apakah ini rasional atau hanya emosional.   Rasional maksud saya adalah, penetapan angka telah melalui kajian empirik dengan mencermati kecenderungan dan capaian kita dalam lima atau bahkan sepuluh tahun terakhir.  Bukan emosional, hanya karena janji politik, yang mungkin tidak didasari pada kajian yang mendalam secara akademik. Ataukah semata untuk menjadi motivasi dalam bekerja. Tanpa memperhitungkan ‘dampak politik’ apabila ternyata itu kita tidak bisa capai.

Harus saya akui, itulah pada akhirnya yang terjadi. Ada angka-angka yang ditetapkan dengan niat untuk memotivasi para kepala SKPD, bahkan seluruh stakeholder untuk bekerja lebih giat ke depan.  Bahkan angka penurunan kemiskinan dua persen per tahun juga ternyata dapat memotivasi para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten kota. Sehingga dalam sebuah roadshow, berhasil disepakati berapa angka yang ingin dicapai oleh setiap kabupaten/kota dalam kaitannya dengan penurunan angka kemiskinan di daerahnya per tahun.   Memang ada yang tidak berani pada angka dua persen; tapi ada juga yang berani di atas angka provinsi tersebut. Ini juga saya lihat sebagai sisi positif keberanian penetapan angka-angka dalam indikator RPJMD.

Ketika proses evaluasi di Kementrian Dalam Negeri, naskah RPJMD NTB dijadikan salah satu contoh baik, karena adanya indikator kuantitatif tersebut.  Bahwa dalam proses evaluasi lima tahun kemudian, ternyata memang ada yang tidak tercapai, jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang tercapai. Tapi Bapak Gubernur mengatakan, “ketika proses pelaksanaan suatu program telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, maka kalaupun kita tidak berhasil mencapai target outputnya, tapi outcomenya pasti kita peroleh. Dampaknya ataupun hikmahnya, pasti akan dapat dirasakan, baik oleh subyek pembangunan maupun oleh obyek pembangunan itu sendiri.” Wallahu a’lam bissawab. (Banda Aceh 120314)

LEADERSHIP STYLE


4.  Leadership style: mengubah atmosfir kerja

Salah satu faktor yang membuat saya tidak terlalu lama ‘menyesuaikan diri’ di lingkungan Bappeda, adalah karena secara pribadi saya sudah kenal baik dengan para pejabat eselon tiga dan beberapa eselon empat Bappeda.  Maklum selama ini cukup banyak kegiatan saya yang berkaitan dan membuat saya sering berinteraksi dengan teman-teman Bappeda.  Terutama ketika saya menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdesaan Universitas Mataram.  Beberapa kegiatan penelitian yang kami lakukan didanai oleh Pemda NTB, dalam hal ini Bappeda.

Saya juga terlibat dalam beberapa tim adhoc yang ada di Bappeda.   Demikian juga di dalam organisasi Dewan Riset Daerah (DRD) yang menjadi leading sektornya Bappeda, saya juga terlibat sebagai pengurus.   Tapi mungkin bukan hanya itu.  Konon, leadership style atau gaya kepemimpinan saya juga turut memberikan andil, mengapa saya merasa relatif cepat ‘feel at home’ di Bappeda.  Proses perkenalan dan adaptasi saya dengan teman-teman, yaa saya selalu memanggil mereka teman-teman, di Bappeda relatif cepat.

Dalam memimpin, saya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan bagi orang dewasa.   Sebagai seorang dosen, tentu saya faham bagaimana teknik belajar orang dewasa. Bagaimana mengajarkan sesuatu kepada orang dewasa.  Pada suatu ketika, bahkan saya juga ulangi di beberapa kesempatan, saya mengatakan: “sebagai sesama orang dewasa, saya tahu persis kita tidak senang apabila ada yang marahi kita. Meskipun kita mungkin di fihak yang salah. Oleh karena itu, kalau saya tahu bapak atau ibu ada berbuat salah, saya tidak akan marah. Malah saya akan tersenyum. Karena kalau saya marah, apalagi marah besar, pasti akan bapak ibu akan malu sama saya. Akan teringat terus sampai kapanpun. Tapi kalau bapak ibu salah, lantas saya tersenyum, maka pastilah bapak ibu akan malu pada diri sendiri. Ya kan?”  kemudian saya lanjutkan, …”yang penting kemudian bapak ibu, tahu kesalahannya dimana. Sadar bahwa ada yang salah, sehingga dapat memperbaikinya. Yang paling bahaya adalah apabila kita tidak pernah sadar kesalahan kita, sehingga yang salah kita anggap benar. Itu saja.”

Dalam sebuah evaluasi tentang kepemimpinan, dimana termasuk yang dinilai didalamnya adalah tingkat keberterimaan di SKPD yang dipimpin, konon saya masuk tiga atau lima besar terbaik.  Saya katakan konon, karena pak Gubernur atau Wakil Gubernur yang memerintahkan tim evaluasi yang dipimpin oleh Bapak Muazar Habibi pada waktu itu, tidak pernah mengumumkan secara resmi hasil evaluasinya.  Mungkin sebagai bahan masukan secara internal saja, dalam rangka proses pembinaan para pejabat eselon dua yang menjadi tanggung jawab beliau beliau.

Kalau menurut pengakuan Pak Bayu Windya, ketika sambutan perpisahan sewaktu beliau dipromosi ke eselon dua, “pak kepala telah  mampu memberikan motivasi dan membuka ruang kreasi bagi kita di Bappeda ini.  Kita merasa dihargai, sehingga kita merasakan adanya kebebasan dalam berpendapat, memberikan masukan, berinisiatif terhadap sesuatu, tanpa merasa takut atau ragu-ragu.  Saya kira style kepemimpinan seperti itu sangat pas untuk kita di Bappeda ini.  Sebuah instansi yang memerlukan pikiran-pikiran cerdas dalam penyusunan berbagai dokumen perencanaan, tidak hanya oleh para pimpinan tapi juga oleh para staf. Kita telah diajar, bagaimana harus berfikir cerdas, yang tidak hanya ‘running bussiness as usual. Tapi bagaimana kita bisa ‘thinking out of the box.’ Istilah kerennya.” Mungkin pak Bayu agak berlebihan, tapi itulah yang beliau sampaikan.

Sebagai manusia, tentu saya juga bisa marah. Wulan dan Edy, bawahan langsung saya selama hampir lima tahun tahu persisi kapan saya marah. Bagaimana kalau saya marah. Mereka juga tahu apa yang harus dilakukan kalau saya dalam kondisi marah.  Meskipun tentu jarang-jarang. Bahkan jarang sekali.

Salah satu peristiwa yang membuat saya ‘agak marah’ adalah ketika sedikit sekali karyawan Bappeda yang ikut senam pagi. Akhirnya pada apel pagi di hari berikutnya saya terpaksa marah.  Mungkin agak emosional. Tapi setelah itu, ya redalah.  Tidak berlama-lama.  Demikian pula ketika salah seorang pimpinan berbuat kesalahan. Dengan gaya saya, saya menegur yang bersangkutan, sambil ketawa-ketawa, tapi cukup mengena.  Yang bersagkutan juga ikut tertawa, meski dengan wajah yang agak memerah. Dan saya, tahu, beliau faham kalau saya agak marah dengan apa yang telah dilakukan. Faham kalau dia bersalah. Dan yakin, faham untuk memperbaikinya. Itu saja. Kalau meminjam kalimatnya pak Achmad Makchul, “bapak bisa menyalahkan tanpa merendahkan.” Wallahu a’lam bissawab. (Banda Aceh, 130314)

Senin, 10 Maret 2014

Kilas Balik Lima Tahun TGB Sebagai Gub NTB


SELAYANG PANDANG PEMERINTAHAN NTB 2008-2013 DIBAWAH KEPEMIMPINAN GUBERNUR DR. TGH.M. ZAINUL MAJDI, DAN WAKIL GUBERNUR IR. H. BADRUL MUNIR, MM

********

Sejak dipimpin pasangan Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi dan Wakil Gubernur Ir. Haji Badrul Munir, MM, YANG DILANTIK PADA TANGGAL 17 SEPTEMBER 2008, sederet program realistis dan pro-rakyat yang berorientasi pada pembangunan berkesinambungan tak pernah henti diikhtiarkan.

Cita-cita mewujudkan NTB yang beriman dan berdayasaing menjadi visi mulia SERTA HARAPAN dan amanah seluruh masyarakat NTB

DIBAWAH KEPEMIMPINAN GUBERNUR DR. TGH. M. ZAINUL MAJDI, NUSA TENGGARA BARAT MENDAPAT perhatian khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  UNTUK PERTAMA KALI DALAM SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT, PADA PERTENGAHAN MEI 2012, RAPAT KABINET DIGELAR DI PENDOPO GUBERNUR NTB YANG DIIKUTI OLEH 18 MENTRI KABINET INDONESIA BERSATU II DAN DIPIMPIN LANGSUNG OLEH PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDOYONO.

Pada kesempatan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya konektivitas untuk memacu percepatan pembangunan dengan meningkatkan kerjasama antar provinsi, antar daerah dan antar negara.
Selain itu, upaya penanggulangan kemiskinan di daerah juga terus didorong seiring dengan akselerasi pembangunan sektor pertanian, peternakan, KELAUTAN, dan sektor pariwisata yang menjadi fokus pelaksanaan program MP3EI Koridor V.
******
Di bidang pariwisata, melalui penerapan strategi pengembangan wisata MICE dan peluncuran program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012, dunia pariwisata NTB kian berkibar dan diperhitungkan dikancah nasional BAHKAN INTERNASIONAL.
Berkat kerja keras dan dukungan semua pihak, target kunjungan satu juta wisatawan pada tahun 2012, ALHAMDULILLAH dapat terlampaui. Pencapaian ini tidak terlepas dari banyaknya event bertaraf nasional dan internasional yang terus menerus digelar di NTB.
Berbagai event tersebut diantaranya, perhelatan Olimpiade Fisika tingkat dunia, Festival Lomba Seni Siswa Nasional, PekAN SENI MAHASISWA TINGKAT NASIONAL, Lombok Sumbawa Pearl Festival 2012, Konferensi Nasional Food Security, SEMINAR INTERNASIONAL TENTANG BIODIVERSITY, hingga Peringatan Hari Keluarga tingkat nasional tahun 2012, yang dihadiri puluhan ribu peserta.
Selain itu, juga penyelenggaraan Konferensi Rumput Laut Internasional, Sidang Umum ke-33 Parlemen Asean, Pertemuan negara D-8, Gelar Tari Nusantara, Latsitarda NUSANTARA, Arung Sejarah Bahari, PERKEMAHAN PRAMUKA BAHARI SE INDONESIA, dan Peringatan Hari Nusantara yang dirangkaikan dengan Puncak Peringatan HUT ke 54 Provinsi NTB, di Labuan Haji, Lombok Timur.
Sebagai penunjang program pembangunan di NTB, peningkatan dan percepatan pembangunan infrastruktur wilayah pun menjadi prioritas terdepan. Sebanyak 43 ruas jalan provinsi sepanjang 373,27 kilometer, baik yang berada di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa, dimantapkan dengan penanganan pola tahun jamak pada 2011-2013 dan dukungan anggaran sebesar 499,8 miliar, MENYUSUL TUNTASNYA PEMANTAPAN JALAN NASIONAL ANTARA AMPENAN SAMPAI SAPE SEPANJANG ……KM. HAMPIR 700 KM JALAN PROVINSI BERHASIL DIMANTAPKAN DALAM PERIODE 2009-2013.
Demikian pula pada pembangunan infrastruktur pelabuhan. Sebanyak delapan pelabuhan utama yang tersebar di wilayah NTB mendapat perhatian khusus sebagai penunjang kemantapan konektivitas wilayah. Delapan pelabuhan tersebut ADALAH, Pelabuhan Bima, Sape, Dare, Waworada, Badas, Benete, Lembar dan Pelabuhan Kayangan.
Keberhasilan mewujudkan Bandara Internasional Lombok, YANG MULAI BEROPERASI PADA TANGGAL 1 OKTOBER 2011 DAN DIRESMIKAN OLEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SUSILO BAMBANG YUDOYONO PADA TANGGAL 21 OKTOBER 2011 selain menyimpan banyak harapan dan menjadi salah satu pendorong meningkatnya kunjungan wisatawan, juga membawa berkah tersendiri bagi masyarakat NTB.
Pada musim haji tahun 2012, Bandara Internasional Lombok resmi ditetapkan sebagai embarkasi dan debarkasi haji bersama sebelas daerah lainnya di Indonesia. TEPAT PADA TANGGAL 21 SEPTEMBER 2012, KLOTER PERTAMA JEMAAH CALON HAJI, DIBERANGKATKAN DARI BANDARA INTERNASIONAL LOMBOK, LANGSUNG KE JEDDAH SAUDI ARABIA. DENGAN DEMIKIAN, PERJALANAN MENUJU BAITULLAH, TERASA MENJADI SEMAKIN DEKAT DAN MUDAH, INSYA ALLAH. 
JUMLAH PERGERAKAN PESAWAT DI BIL KIAN HARI KIAN BERTAMBAH. DARI YANG SEMULA HANYA 34 PERGERAKAN PESAWAT PER HARI KETIKA BARU DIRESMIKAN, PADA AWAL 2013 INI MENINGKAT LEBIH DARI DUA KALI LIPAT, MENJADI 76 KALI PERGERAKAN PESAWAT PER HARI.
Pembukaan rute baru Kualalumpur – Lombok oleh Maskapai Penerbangan Air Asia pun turut melengkapi kemajuan konektifitas perhubungan NTB dengan dunia luar yang semakin luas.
Sederet program pembangunan infrastruktur tersebut, berjalan selaras dengan pelaksanaan berbagai program unggulan NTB yang terus mengalami kemajuan.

Di bidang pendidikan, sejak program ABSANO (Angka Buta Aksara Nol) dan ADONO (Angka Drop Out Nol) dilaksanakan, pelayanan pendidikan di NTB dari tahun ke tahun terlihat semakin menggembirakan. HAMPIR SEMUA KABUPATEN/KOTA SE NTB TELAH DINYATAKAN BEBAS PEMBELAJARAN BUTA AKSARA.

Adanya program pendidikan gratis bagi pelajar dari keluarga tidak mampu, telah berhasil menurunkan angka putus sekolah dengan cukup signifikan pada semua jenjang pendidikan. PADA TAHUN 2008, ANGKA PUTUS SEKOLAH MENCAPAI DI ATAS LIMA PERSEN; PADA TAHUN 2012 TURUN MENJADI 0.3% UNTUK TINGKAT SD/MI ; 0.6% UNTUK JENJANG SMP/MTS, DAN 1.7% UNTUK JENJANG SMA/MA/SMK.

PADA  sektor kesehatan, melalui program terobosan AKINO (Angka Kematian Ibu Menuju Nol) kematian ibu dan bayi di NTB berhasil ditekan dan menunjukkan tren menurun setiap tahunnya. ANGKA KEMATIAN BAYI YANG PADA TAHUN 2008 MASIH 72 OER SERIBU KELAHIRAN HIDUP, KINI MENJADI 55 PER SERIBU KELAHIRAN HIDUP. BERBAGAI KASUS LUAR BIASA, SEPERTI MALARIA, DIARE, YANG PADA LIMA SEPULUH TAHUN LALU MENJADI LANGGANAN DI DAERAH INI, LIMA TAHUN TERAKHIR, NYARIS TAK TERDENGAR LAGI. USIA HARAPAN HIDUP MASYARAKAT NTB PUN KINI MENINGKAT.

Program ungulan lainnya yang mengarah pada pembangunan sektor riil masyarakat di bidang ekonomi pun menunjukkan hasil yang signifikan.

Melalui pengembangan program unggulan BUMI SEJUTA SAPI, populasi sapi di NTB sampai tahun 2012 tercatat sebanyak 916.560 ekor, meningkat hampir DUA KALI LIPAT  dibandingkan jumlah populasi pada 2008 YANG HANYA 560 RIBU EKOR. Jumlah kelompok ternakpun meningkat menjadi 2560 kelompok.

PADA tahun 2013, target populasi satu juta ekor sapi yang ditetapkan dalam program NTB BSS, optimis akan dapat terlampaui.

Sementara itu, melalui Pengembangan Agrobisnis Jagung yang digulirkan sejak 2009, produksi jagung NTB tercatat sebesar 196 ribu ton pada 2008, melompat tajam menjadi 640  ribu ton, pada akhir 2012., sehingga target 750 ribu ton di akhir 2013 diyakini akan dapat tercapai.
Adapun untuk pengembangan budidaya rumput laut, terdapat 10 kawasan minapolitan di NTB dengan 14.645 nelayan pembudidaya yang memperoleh dukungan program. JUMLAH PRODUKSIPUN MENINGKAT DARI TAHUN KE TAHUN. Berdasarkan prosentase peningkatan ini, produksi rumput laut NTB dengan target 1 juta ton pada 2013 diyakini akan dapat terpenuhi.

Sebagai salah satu daerah lumbung pangan nasional, peningkatan kualitas dan kuantitas komoditi pertanian pun menjadi prioritas. Dengan target produksi padi sebesar 2,3 juta ton gabah kering giling tahun 2014, NTB akan menjadi tulang punggung program Peningkatan Produksi Beras Nasional dan pencapaian Surplus Beras Nasional 10 juta ton pada 2014.

Guna mendukung capaian target sektor pertanian tersebut, pembangunan Bendungan Pandandure di Kabupaten Lombok Timur, yang juga sebagai bagian dari proyek MP3EI Koridor V Bali Nusa Tenggara, pun dipercepat.

Bendungan raksasa yang telah lama diimpikan ini, diperkirakan akan mampu mengairi lahan kering seluas 10.350 hektar dan berdampak signifikan terhadap produksi pertanian NTB ke depan. PADA TAHUN 2013 INI, DAM RABABAKA KOMPLEK DI KABUPATEN DOMPU AKAN SEGERA DIMULAI dan Bintangbano di KSB akan segera mendapat bantuan Pemerintah Pusat.

Beragam terobosan DAN BERBAGAI KEBERHASILAN DI BIDANG FISIK MATERIAL TERSEBUT TIDAKLAH SEMPURNA, TANPA MEMPERHATIKAN KUALITAS KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT NTB YANG TERKENAL RELIGIUS INI. UNTUK ITULAH, PEMBANGUNAN ISLAMIC CENTER YANG MENJADI DAMBAAN SELURUH MASYARAKAT NTB MENJADI SEBUAH KENISCAYAAN.

Pembangunan Icon baru Provinsi NTB tersebut, selain dihajatkan sebagai Darul Munasabah juga diharapkan dapat menjadi wahana pelestarian dan pengembangan peradaban Islam modern dalam upaya mewujudkan NTB yang lebih baik bagi generasi yang akan datang.

Upaya penanggulangan kemiskinan di Provinsi NTB juga terbilang sukses dan patut dibanggakan. Angka kemiskinan di NTB berhasil diturunkan dari 23,81 persen di tahun 2008 menjadi 18,02 persen atau setara dengan 828 ribu orang pada periode desember 2012. Laju penurunan ini, menempatkan NTB pada posisi rangking 4 besar nasional dari 7 provinsi yang mampu menekan angka kemiskinan diatas 1 persen per tahun.

Sementara itu, percepatan pembangunan sektor ekonomi kerakyatan yang diimplementasikan melalui program penumbuhan 2000 Koperasi Berkualitas dan penciptaan 100 ribu Wirausaha Baru, telah mengantarkan NTB sebagai salah satu provinsi yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian secara nasional. Bahkan, NTB berhasil mengukir prestasi sebagai Provinsi Penggerak Koperasi Terbaik se-Indonesia.

Menapaki TAHUN KE LIMA PEMERINTAHAN GUBERNUR DOKTOR TUAN GURU HAJI MUHAMMAD ZAINUL MAJDI DENGAN WAKIL GUBERNUR IR. HAJI BADRUL MUNIR, MM, wajah pembangunan NTB semakin maju dan berdayasaing. Sederet prestasi dan penghargaan pembangunan yang berhasil ditorehkan, menjadi insiprasi dan motivasi bagi seluruh masyarakat untuk terus bersemangat dalam bekerja dan berkarya.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, jika ikhtiar dan kiprah Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi yang gigih berjuang mendorong perubahan dan kemajuan bagi NTB, menjadi perkhidmatan terbaik dan mendapatkan anugerah penghargaan tertinggi dari negara.

Senin, 13 Agustus 2012, bertempat di Istana Merdeka, Jakarta. Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi menerima anugerah penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, atas prestasi dan jasa luar biasa yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, nusa dan bangsa.

Prestasi gemilang juga berhasil dipersembahkan Kontingen NTB pada Pekan Olahraga Nasional ke-18, di Provinsi Riau. Keringat dan kerja keras putra-putri terbaik NTB ini, berhasil mengharumkan dan membanggakan nama NTB dengan memboyong 11 medali emas, 5 medali perak dan 8 medali perunggu.


Komitmen Pemerintah Provinsi NTB mewujudkan Good and Clean Governance, terbukti nyata dengan diraihnya status WTP atau penilaian Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia PADA TAHUN 2012.

Ikhtiar dan kerja keras seluruh jajaran Pemerintah Provinsi NTB untuk keluar dari predikat “Disclaimer” yang sempat membelenggu pada tahun sebelumnya akhirnya pun terbayar tuntas.

Prestasi ini, tentu menjadi kebanggaan tersendiri dan patut dicatat dalam sejarah perjalanan pemerintahan di NTB, sebagai salah satu dari sederet kisah sukses dan kemajuan monumental yang menjadi ikhtiar para pemangku amanah dan masyarakat NTB, memasuki usia 54 tahun.

Kini, sudah saatnya Bangga Jadi NTB! Gugah kesadaran dan komitmen, kerahkan segenap potensi diri menyongsong masa depan NTB yang lebih baik. Ayoo, berikan yang terbaik untuk NTB. Berkhidmat untuk negeri, memberi kebanggaan kepada bumi pertiwi.

Bintang Mahaputra Utama


BINTANG MAHAPUTRA UTAMA
Oleh Dr. H. Rosiady Sayuti


Mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh masyarakat NTB, termasuk saya kira pak Gubernur NTB sendiri, kalau pada suatu saat beliau akan mendapat anugrah Bintang Mahaputra Utama dari negara. Suatu penghargaan yang konon untuk masyarakat sipil sebagai penghargaan yang tertinggi. Hanya setingkat di bawah Bintang Republik Indonesia, yang biasanya diberikan kepada Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dan orang orang yang jasanya  sangat luar biasa kepada negara dan bangsa.

Didalam penjelasan resmi tentang jenis jenis penghargaan yang dikeluarkan oleh sekretariat negara, dikatakan bahwa Bintang Mahaputra Utama dianugerahkan kepada seseorang yang “berjasa luar biasa terhadap nusa dan bangsa di suatu bidang tertentu di luar bidang militer.  Pengertian berjasa luar biasa menurut penjelasan Pasal 1 U.U. No. 6 Drt. Tahun 1959 “Jasa-jasa luar biasa terhadap nusa dan bangsa ialah perbuatan-perbuatan yang bermutu tinggi yang sangat bermanfaat bagi keselamatan dan kesejahteraan negara.”

Ketika saya membuka lebih lanjut daftar penerima Bintang Mahaputra Utama sejak tahun 1957 hingga 2007 saya menemukan ada tiga tokoh  Nusa Tenggara Barat yang pernah menerima Bintang tersebut. Yang pertama adalah Bapak Mayjen H. Gatot Suherman, sesuai dengan SK Presiden Tanggal 6 Agustus 1986, yang kedua adalah Bapak Mayjend H. Warsito, SK Presiden Tanggal 11 Agustus 1987, dan ketiga adalah Almagfulah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, SK Presiden  tanggal 4 Nopember 2000.

Kita semua sangat mengenal ketiga sosok tersebut. Bapak H. Gatot Suherman adalah Gubernur NTB periode delapan puluhan yang terkenal dengan Bumi Gora-nya, karena telah berhasil membalik citra NTB dari langganan kelaparan alias kekuarangan beras, menjadi penghasil  dan penyumbang swasembada beras. Beliau disebut langsung oleh Presiden Suharto dalam pidatonya pada sidang FAO pada tahun 1984 sebagai gubernur yang berhasil melaksanakan pola pertanian gogorancah; sehingga produksi beras di Nusa Tenggara Barat meningkat signifikan. Bahkan disebutkan sebagai salah satu provinsi yang menyumbangkan produksi beras sehingga Indonesia mengalami swasembada beras sejak tahun 1984.

Mayor Jenderal Warsito, yang menjadi gubernur NTB setelah Bapak H. Gatot Suherman, adalah sosok yang dikenal keras dan tegas dalam memimpin NTB namun juga humanis. Beliau dinilai berhasil dalam melanjutkan berbagai program pembangunan yang telah dirintis oleh pendahulunya, utamanya dalam kaitannya dengan upaya melestarikan program swasebada beras; sehingga NTB tidak hanya ber swasembada, namun sedikit demi sedikit mampu memberikan kelebihan produksi yang dimiliki untuk didistribusikan ke daerah daerah lain di Indonesia yang membutuhkan. Dengan kata lain , beliau mampu menjadikan NTB sebagai lumbung pangan nasional, khususnya beras.

Tokoh ketiga yang diberikan anugerah Bintang Mahaputra Utama oleh negara adalah almagfurlah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Tokoh yag sangat gigih berjuang membangun masyarakat lewat jalur pendidikan. Sejak kepulangan beliau dari menuntut ilmu di Mekah,  tahun 1933, jauh sebelum Indonesai merdeka, beliau telah mendirikan lembaga pendidikan berbasis pondok pesantren namun dengan sistem klas modern, yang beliau namakan Madrasah Nadlatul Wathan Diniyah Islamiyah, untuk santri laki laki dan kemudian Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah bagi kaum perempuan. Mungkin beliaulah tokoh pertama dari bumiputra yang melaksanakan sistem pendidikan seperti itu berbeda dengan para tuan guru seangkatan beliau di Lombok ini, yang memilih sistem pendidikan non klas; karena menganggap bahwa sistem klas dalam pendidikan itu adalah sistem penjajah.  Kalau dari perspektif gender, saya yakin beliaulah yang pertama di NTB bahkan mungkin di Indonesai Timur yang mendirikan lembaga pendidikan khusus untuk perempuan. 

Melalui murid murid beliau pada angkatan awal, beliau kemudian mendirikan pondok atau lembaga pendidikan di berbagai penjuru  Pulau Lombok, yang kemudian dibina secara langsung. Kurang lebih dua puluh tahun setelah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, yaitu pada tahun 1953, beliau kemudian mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan, yang dalam bahasa beliau untuk menjaga lembaga lembaga pendidikan yang telah didirikan sebelumnya dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat selanjutnya.  Saya kira, Nahdlatul Watahan ini adalah organisasi modern pertama di Lombok; yang didirikan oleh putra sasak sendiri. Dikatakan modern karena sedari awal sudah membentuk struktur kepengurusan dari pusatnya di Pancor sampai ke tingkat yang paling bawah di desa atau bahkan di dusun yang disebut cabang, anak cabang, dan bahkan ranting.

Putra NTB ke empat yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra Utama dari negara adalah Dr. TGH. M. Zainul Majdi, MA, gubernur NTB saat ini. Berbeda dengan dua gubernur NTB sebelumnya yang mendapatkan anugrerah tersebut di kala menjabat pada periode kedua beliau masing-masing, Tuan Guru Bajang mendapatkan anugerah tersebut pada saat memimpin sebagai gubernur pada periode pertama, pada tahun keempat masa kepemimpinan beliau.

Menurut Pak Drs. H. Rusdi, Kepala Dinas Koperasi dan UKM yang mendampingi pak Gub ketika menerima anugerah tersebut menceriterakan bahwa awalnya beliau diusulkan oleh Kementrian Koperasi dan UKM untuk mendapatkan anugerah Bintang Jasa Utama, karena jasa beliau yang dinilai luar biasa dalam membina dan membangun perkoperasian di Nusa Tenggara Barat. Keberanian beliau untuk mengkuantifikasi berbagai sasaran dan target pembangunan, termasuk visi membangun 2000 Koperasi Berkualitas dan Penciptaan Seratus Ribu Wirausaha Baru merupakan titik awal yang dipertimbangkan oleh kementrian sehingga mengusulkan beliau untuk mendapatkan Bintang Jasa Utama; setelah pada tahun sebelumnya diberikan penghargaan sebagai pembina koperasi terbaik nasional.

Setelah usulan ke Dewan Tanda Kehormatan RI di tingkat nasional, setelah mengevaluasi  berbagai prestasi dan penghargaan yang sebelumnya pernah di terima oleh Gubernur NTB, seperti di bidang pariwisata, ketenagakerjaan, penanggulangan kemiskinan, pembangunan industri kerajinan rakyat, dan lain-lain (lebih dari 30 macam penghargaan) nampaknya  Dewan Tanda Kehormatan RI memandang Gubernur NTB dapat ditingkatkan bintangnya, menjadi Bintang Mahaputra Utama. Sebelum bersidang, tentu ada Tim Verifikasi  mengadakan kunjungan lapangan ke NTB, berdialog dengan berbagai komponen masyarakat yang dianggap dapat menjadi sumber informasi yang sahih untuk memverifikasi berbagai informasi tertulis yang ada.  Konon tim tersebut datang ke NTB lebih dari satu kali. Termasuk menemui dan berdialog langsung dengan pak Gubernur.

Tanggapan TGB
Dalam sebuah pengajian di Pancor, TGB menyatakan rasa syukur atas anugerahdari negara yang demikian tinggi kepada beliau; apalagi penghargaan seperti itu sangat terbatas anggota masyarakat yang menerimanya.  “namun semua ini tidak terlepas dari kerja keras semua fihak para pelaku pembagunan di daerah NTB, termasuk para Bupat Walikota, para kepala SKPD, dan tentu masyarakat sendiri.  Dengan kerja keras dan kebersamaanlah hampir semua indikator yang telah dicanangkan dalam RPJMD kita dapat kita capai; minimal sudah dalam arah yang benar. On the right track,” ungkap beliau dengan rendah hati, jauh dari bahasa yang terkesan membusungkan dada.  Tidak banyak gubernur yang mendapatkan anugerah seperti itu dari negara.  Salah satunya adalah Bapak Gamawan Fauzi ketika menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat, pada tahun 2009, sebelum kemudian beliau diangkat menjadi Mendagri. Selamat pak Gub atas anugerah yang luar biasa ini; semoga ini dapat menginspirasi kita semua di NTB untuk menuju NTB yang lebih baik, lebih beriman dan berdaya saing di masa masa mendatang. Wallahu ‘alam bissawab. (Denpasar, 10 Sep 2012)