Antara TGB dengan Islamic
Center
Islamic Center adalah salah
satu cita cita panjang masyarakat Nusa Tenggara Barat. Gagasan pembangunan Islamic Center ini
sendiri telah diwacanakan semenjak Nusa Tenggara Barat dipimpin oleh Jenderal
Warsito. Kemudian mengemuka lebih intens ketika Gubernur Harun Alrasyid. Waktu itu wacananya bahkan sudah mengarah
kepada lokasi, yaitu di jalan udayana, sehingga akan menjadi ikon NTB. Setiap orang yang datangari luar NTB, yang
mendarat di bandara Selaparang, maka pemandangan pertama kereka adalah bangunan
Islamic Center.
Namun menjadi lebih serius,
ketika Gubernur Lalu Serinata memimpin Nusa Tenggara Barat. Pada waktu itu, dibentuklah panitia
pembangunan Islamic Center yang diketuai oleh Walikota Mataram Muhammad Ruslan. Saya sendiri masuk dalam kepanitiaan,
sebagai salah seorang koordinator bidang sosialisasi. Sementara koordinator bidang perencanaan
pembangunannya diserahkan ke Prof Hadi, Dekan Fakultas Teknik Universitas
Mataram.
Saya juga ikut ketika panitia
mengadakan studi banding ke beberapa Islamic Center yang sudah ada, yaitu ke
Mesjid Agung Surabaya dan Almarqaz Al Islami di Makassar, Sulawesi
Selatan. Beberapa anggota panitia yang
ikut studi banding trsebut diantaranya Lalu Wardi dari Bappeda, Pak h sukardi
dari BKKBN, Prof Hadi dari Unram, dan lain-lain. Sekembali dari studi banding tersebut,
panitia cukup intensi mengadakan pertemuan untuk membahas rencana lokasi yang
akan diusulkan untuk menjadi tempat pembangunan IC tersebut. Pada akhirnya, panitia kemudian merumuskan
tiga alternatif lokasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Yang pertama adalah di areal
sekitar Gedung KONI Mataram, bersebelahan dengan Mesjid Raya Attaqwa
Mataram. Kelebihannya lokasinya berada
di Jalan Protokol, berdekatan dengan areal yang berpenduduk padat, yaitu
kelurahan Dasan Agung. Cuman harus
menghapauskan gedung olahraga; dari segi luas areal, tidak seluas alternatif
kedua, yaitu areal eks gedung kantor bupati lombok barat, di jalan
sriwijaya. Persoalannya areal eks
kanntor bupati adalah milik pemda lombok barat.
Belum tentu pemda lombok barat mau menyerahkan tanah yang menjadi
asetnya untuk pembangunan IC dengan cuma-cuma.
Karena tentu mereka sangat berkepentingan untuk menjadikan asetnya
sebagai salah satu sumber pendapatan.
Artinya mereka pasti akan mau menyerahkan asetnya kalau dibeli. Pada waktu itu memang sedang ada negosiasi
dengan fihak ketiga untuk proses jual beli atau tukar guling aset tersebut.
Alternatif ketiga adalah di
lahan yang menjadi milik provinsi di jalan lingkar selatan. Kelebihannya jika memilih lokasi ini adalah
luasnya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Karena di daerah tersebut belum ada bangunan,
masih berupa sawah. Ini meniru
pembangunan Mesjid Agung Surabaya, yang dibangun di luar kota surabaya. Kekurangannya jika memilih lokasi tersebut,
maka akan perlu waktu yang lama baru bisa terisi. Seperti halnya mesjid agung surabaya, untuk
menjangkaunya, harus menggunakan kendaraan.
Sementara di sekitarnya pada waktu itu pemukiman masih belum banyak.
Kalau tidak salah, sampai di
situlah panitia pembangunan tersebut bekerja.
Setelah itu, laporan di serahkan ke gubernur. Dan tidak ada lagi undangan-undangan untuk
mengadakan rapat rapat. Hanya plang
panitia yang tetap bertahan di depan pendopo walikota mataram. Namun aktivitas panitia menjadi vakum, sampai
dengan penggantian Gubernur NTB dari Lalu Serinata kepada Tuan Guru Bajang,
TGKH Muhammad Zainul Majdi, MA pada tanggal 17 September 2008, yang bertepatan
dengan 17 Ramadhan 1430 H.
Wacana pembangunan Islamic
Center itu sendiri tidak lagi muncul.
Itu sebabnya dalam RPJMD NTB 2009-2013 tidak tercantum. Karena kawan-kawan di Bappeda sendiri tidak
lagi mendiskusikan atau mewacanakan pembangunan IC tersebut. Bahkan sampai kemudian Prof Hadi meninggal
dunia, panitia pembangunan tidak lagi eksis.
Barulah hidup lagi menjelang
Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang Provinsi tahun 2009 wacana
pembangunan Islamic Center muncul lagi.
Di sela-sela arena Musrenbang yang dihadiri oleh hampir seluruh bupati
walikota se NTB, Bapak TGB, selaku Gubernur NTB menyampaikan secara resmi dan
meminta persetujuan para Bupati Walikota terkait rencana beliau untuk memulai
pembangunan Islamic Center tersebut dengan lokasi di areal Gedung KONI dan
sekitarnya. Bahkan menurut pak Gubernur
waktu itu, tidak hanya Koni yang dibebaskan, namun juga gedung SPMA dan SMPN 6
Mataram. “kita perlu areal yang agak luas. Sehingga nantinya bangunan IC
tersebut akan dapat juga dilihat dari Jalan Udayana,” kata pak Gubernur. Para Bupati dan Walikota secara aklamasi
menyetujui dan mendukung. Bahkan bapak H. Muhammad Ruslan, walikota Mataram
mengatakan “saya siap mendukung, bahkan nanti kalau sudah jadi, biar saya yang
jadi merbotnya,” kata beliau dengan bersemangat.
Ada tiga alasan, mengapa TGB
memilih areal KONI sebagai lokasi pembangunan IC NTB. Pertama, kata beliau pada saya ketika
mendiskusikan rencana pembangunan IC tersebut, supaya IC ini benar-benar berada
di jantung Kota Mataram. Jangan dipinggiran.
“saat ini, kalau kita berjalan dari Ampenan sampai Narmada, tidak ada bangunan
mesjid yang dapat kita banggakan sebagai simbol bahwa kita mayoritas. Mesjid
Attaqwa sendiri sekarang sudah tenggelam, dimana posisi jalan raya lebih tinggi
dari mesjid itu sendiri. Sehingga kalau orang luar datang ke Mataram, tidak
bisa menyimpulkan kalau sesungguhnya islam adalah agama mayoritas di daerah
ini. Oleh karena itu areal Konilah menurut saya yang paling pas. Dan jangan hanya KONI, tapi juga terus ke
timur, di areal SPMA dan SMP 6. Sehingga benar-benar IC itu berdiri di jantung
kota Mataram; bisa terlihat dari dua jalan utama, Jalan Langko dan Udayana.”
Kata beliau, ketika pertama kali beliau menanyakan soal rencana pembangunan IC
dengan saya. Waktu itu saya dipanggil
sendirian, sebagai Kepala Bappeda yang juga kebetulan ikut dalam kepanitiaan
pembangunan IC yang dibentuk Gubernur Lalu Serinata.
Alasan kedua, jika kalau di
areal KONI, maka pasti jemaah yang ada di Mesjid Raya akan otomatis menjadi
jemaah IC. Artinya, kita tidak perlu hawatir akan kekurangan jemaah. Apabila kita membangun di tempat lain,
apalagi di jalan lingkar yang masih sepi, maka belum tentu akan langsung
terisi. Harus menunggu perkembangan
pemukiman penduduk sekian lama dulu, baru akan terisi.
Yang ketiga, menurut beliau,
di IC tersebut nantinya harus berdiri juga lembaga pendidikan Islam yang
berkelas dunia. Bukan hanya mesjid. Karena itu maka lokasinya harus berada di
tempat yang mudah di akses bagi anak-anak yang nantinya akan menjadi murid di
situ.
Minaret 99
Satu lagi yang beliau
sarankan untuk pembangunan IC, yaitu “di bangunan mesjid itu harus ada
menaranya yang tinggi, yang tingginya sekitar seratus meteran,” kata beliau.
“sehingga benar-benar menjadi ikon Mataram atau NTB. Yang monumental.” Darii gagasan beliau itulah yang kemudian
berkembang menjadi Minaret 99, dimana tinggi menara yang menjadi simbol IC NTB
tersebut didesain secara keseluruhan sampai ujungnya adalah 114 meter dan dek
yang dapat dinaiki adalah 99 meter. Dari
ketinggian 99 meter ini pengunjung akan dapat menikmati keindahan kota
Mataram. Dengan kata lain saya ingin
menceriterakan bahwa gagasan Minaret 99 itu adalah murni dari Bapak Gubernur
NTB, Bapak TGB KH Muhammad Zainul Majdi, MA.
Mekanisme Pembangunan
Setelah TGB mengemukakan
rencana akan dimulainya pembangunan IC di hadapan para Bupati/Walikota, barulah
kemudian mulai dibahas secara intens oleh para fihak, Bappeda, Dinaas PU, Biro
Umum, dan lain-lain terkait dengan proses perencanaan dan pembangunan IC
tersebut. Salah satu topik yang
didiskusikan adalah apakah mekanisme pembangunan yang akan dipilih. Apakah pembangunan akan dilaksanakan oleh
panitia pembangunan atau oleh SKPD terkait.
Mekanisme ini akan menentukan bentuk panitia pembangunan yang akan
disusun.
Saya teringat, salah seorang
mantan panitia pembangunan IC sebelumnya, yaitu Bapak Drs. H. Mahfudz, yang
juga mantan kepala kanwil departemen agama provinsi NTB mendatangi saya,
membawakan SK dan susunan kepanitiaan pembangunan IC yang telah diterbitkan
oleh Gubernur Lalu Serinata. Kalau tidak
salah di situ beliau adalah sekretaris umumnya.
Panitia yang belum sempat mengeksekusi pembangunan tersebut.
Kembali ke soal mekanisme.
Pilihannya ada dua: pertama, pembangunan dilaksanakan oleh panitia pembangunan
ataupun yayasan yang khusus dibentuk untuk itu.
Jika ini dipilih, maka pemerintah akan memberikan bantuan hibah atau
bantuan sosial ke panitia atau yayasan.
Panitia atau yayasanlah yang akan bertanggung jawab sepenuhnya, baik
terhadap proses perencanaan pembangunan, sampai pada pelaksanaan
pembangunan. Panitialah yang akan
menentukan siapa yang akan menjadi pelaksana atau kontraktor pembangunan. Dengan kata lain, seperti mekanisme
pelaksanaan pembangunan-pembangunan
mesjid pada umumnya. Jika ini yang
dipilih, maka kepanitiaan akan bernama Panitia Pembangunan Islamic Center NTB.
Alternatif lainnya, adalah
dengan menyerahkan sepenuhnya pada instansi terkait. Dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Provinsi.
Jika ini yang dipilih, maka seluruh sumbangan masyarakat akan diserahkan dalam
bentuk sumbangan fihak ketiga kepada pemerintah, masuk dalam mekanisme APBD.
Setelah beberapa kali
diskusi, maka akhirnya dipilih alternatif kedua. “Itu yang paling aman, panitia
hanya bertugas mengumpulkan sumbangan dan dana dari masyarakat,” kata Kepala
Biro Umum waktu itu, yaitu Ir Iswandi. Karenanya, panitianya menjadi Panitia
Pengumpulan Dana Masyarakat Untuk Pembangunan Islamic Center Nusa Tenggara
Barat. Ketua Umumnya langsung Bapak
Gubernur dan kepala Bappeda sebagai Ketua Hariannya.
Alhamdulillah, akhirnya tepat
pada tanggal 17 Ramadhan 1431 H, bertepatan dengan tanggal …….. ground breaking
pembangunan Islamic Center NTB yang telah sekian lama menjadi angan-nagan
masyarakat Nusa tenggara Barat dimulai; dengan memulai pembangunan gedung
lembaga pendidikannya, yang berlokasi di eks Gedung KONI. Bapak Tuan Guru
Bajang KH Muhammad Zainul Majdi, MA, bersama dengan pimpinan DPRD, tokoh-tokoh
agama, tokoh-tokoh masyarakat, meletakkan batu pertamanya. Peletakan batu sejarah, yang menandai
dimulainya pembangunan Islamic Center tersebut.
Saya juga ikut masuk ke dalam lubang lokasi peletakan batu pertama,
berdiri di belakang para tokoh yang secara bergiliran meletakkan fondasi
pembangunan gedung lembaga pendidikan IC.
Sementara pembangunan mesjidnya pada waktu itu belum dapat dimulai
karena proses penghapusan gedung SPMA dan SMP 6, pada saat itu belum dapat
diselesaikan. Subhanallah. (Jakarta, 280314).