Sabtu, 10 Oktober 2015

SISTEM INOVASI DAERAH DAN DRD


SISTEM INOVASI DAERAH DAN DRD
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Ketua Dewan Riset Daerah NTB

Salah satu dokmen strategis yang diwariskan oleh rezim pemerintahan SBY adalah berupa Kesepakatan Bersama antara Menteri Riset dan Teknologi dengan Menteri Dalam Negeri untuk mengembangkan Sistem Inovasi Daerah.  Dokumen tersebut ditanda tangani pada saat upacara Hari Otonomi daerah tanggal 25 April 2012.

Apa itu SIDa?
Sistem Inovasi Daerah atau yang disingkat SIDa adalah sebuah sistem yang dikembangkan oleh para pakar di daerah dalam rangka mempercepat tercapainya target-target pembangunan khususnya yang berorientasi produk lokal yang berdaya saing.  Dengan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, melalui kegiatan penelitian dan pengembangan, diharapkan akan ditemukenali sebuah inovasi yang dapat menjadikan sebuah produk lokal bernilai global.  Produk yang dapat bersaing di pasar global.  Dengan bahasa yang lebih sederhana, suatu produk yang memiliki daya jual ke luar daerah bahkan ke luar negeri (ekspor).

Dengan adanya, apalagi dalam jumlah besar, produk lokal yang bisa diekspor,  atau minimal dijual ke luar daerah, tentu akan memiliki nilai tambah terhadap pendapatan masyarakat setempat. Apalagi kemudian nilai investasi di daerah tersebut bertambah, tentu multiflyer effect nya terhadap pendapatan masyarakat setempat akan semakin bertambah pula. Pada gilirannya, akan menjadi daya ungkit tersendiri terhadap pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

Sebagai contoh, ketika SIDa di NTB di canangkan oleh Menristek dan Gubernur NTB di kawasan pengembangan ternak Banyumulek akhir 2012 yang lalu, di uji cobakan sebuah inovasi inseminasi seksing, yang intinya adalah peternak dapat memilih jenis kelamin sapi yang mau diinseminasikan. Apakah jantan atau betina. Menurut laporan teman-teman peneliti dari LIPI yang terlibat dalam kegiatan tersebut, keberhasilan inseminasi seksing tersebut diatas 85 persen.  Artinya, sebagian besar sapi yang lahir dari proses inseminasi tersebut sesuai dengan harapan peternak yang sapinya diinseminasi.

Pengembangan teknologi tersebut sangat strategis bagi NTB, sebagai daerah yang telah memilih komoditas sapi sebagai salah satu komoditas unggulannya.  Perlibatan Fakultas Peternakan Unram dan LIPI dalam pengembangan Progam BSS adalah salah stau bentuk komitmen Pemda NTB dalam pengembangan SIDa.  Demikian juga keterlibatan Dewan Riset Daerah selama ini.  Meskipun dengan proporsi anggaran yang terbatas, namun kerjasama para fihak selama ini telah mengahasilkan berbagai produk strategis yang pada waktunya akan mengangkat nama daerah sebagai provinsi meletakkan iptek sebagai bagian dari landasan pembangunannya.

DRD dan SIDa
Secara umum fungsi Dewan Riset Daerah adalah memberikan sumbangan pemikiran kepada kepala daerah terkait dengan berbagai persoalan pembangunan daerah. Secara teknis, fungsi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
(1). Memantau kemajuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan berbagai cabang IPTEK di daerah; (2). Merumuskan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan (Litbangtrap) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bagi pembangunan daerah (3). Mengkaji prioritas dan mengagendakan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah dalam mendayagunakan sumber daya riset dan teknologi secara efektif di daerah
(4). Menyusun prioritas utama riset dan teknologi di daerah khusus yang terkait dengan penelitian, pengembangan dan rekayasa untuk memperkuat perwujudan otonomi daerah di bidang IPTEK demi keberhasilan pembangunan di daerah
(5).  Memberi pertimbangan kepada Pemerintah Daerah untuk memecahkan masalah pembangunan daerah yang berkelanjutan melalui riset dan teknologi
(6). Mengambil prakarsa untuk membangun Pusat Basis Data Sumber Daya Daerah sebagai titik simpul dari Jaringan Sistem Informasi Nasional, serta Pusat Teknologi Daerah sebagai inkubator industry kecil menengah yang berbasis IPTEK, dan  (7).  Berperan sebagai brain trust, sounding board, pressure group dan moral support bagi stakeholder.

Dari uraian tentang fungsi DRD di atas, maka adalah suatu keniscayaan ketika alokasi anggaran untuk kegiatan DRD diberikan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan daerah akan pengembangan berbagai potensi yang dimiliki.  Dengan anggaran penelitian yang memadai, tentu akan dapat dihasilkan berbagai inovasi yang relevan dengan potensi daerah yang ada. Selanjutnya berpulang kepada SKPD terkait untuk mengembangkannya lebih lanjut, menjadi komoditas laik pasar, yang pada gilirannya mensejahterakan masyarakat. Insya Allah.

Rabu, 12 Agustus 2015

SAYANGI MATARAM: SATU KELURAHAN SATU MILIAR


SAYANGI MATARAM: SATU KELURAHAN SATU MILIAR, MUNGKINKAH?

Oleh Dr. H. Rosiady Sayuti


Dalam sebuah diskusi tentang bagaimana membangun masyarakat di daerah perkotaan, muncul istilah Saransami, yang merupakan singkatan dari Satu Kelurahan Satu Milyar. Ada gagasan untuk memberikan alokasi dana dari Pemkot ke Pemerintahan Kelurahan sebesar satu milyar rupiah per tahun. Dengan dana sebesar itu diharapkan kemandirian masyarakat berbasis kelurahan atau lingkungan di perkotaan kota Mataram akan makin cepat dapat diwujudkan.  Kelurahan akan makin kreatif dan produktif dalam menggagas dan melaksanakan berbagai program yang terkait langsung dengan persoalan-persoalan di masyarakat.   Mulai dari program percepatan penanggulangan kemiskinan, persoalan kebersihan,  pengangguran, pedagang kaki lima, kali bersih, dan lain-lain.  Juga hal-hal terkait dengan pendidikan dan kesehatan.  Cukup banyak hal-hal yang selama ini ‘tersentralisir’ di Pemkot, akan ‘didesentralisasikan,’ sehingga menjadi lebih mudah dan murah, dan tentu akan menjadi lebih efektif.

Dengan Saransami ini, diharapkan partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan di tingkat kelurahan akan makin tinggi.  Pak Lurah akan memiliki dana untuk berkreasi dan berinovasi terkait dengan pembangunan sumberdaya manusia, maupun untuk menciptakan lingkungan yang bersih.  Sebagian dari dana tersebut dapat diperuntukkan untuk menjamin setiap anak usia sekolah di kelurahannya harus berada di bangku sekolah.  Tidak ada yang tidak ber sekolah atau drop out.  Kreatitivitas para pemudanya dalam berbagai kegiatan olah raga dan kesenian juga terfasilitasi.  Tidak ada waktu yang sia-sia bagi para pemuda. Kegiatan posyandu dan program seribu hari kehidupan manusia yang diharapkan menghasilkan manusia unggul masa depan juga dapat terjamin.  Tidak ada ibu hamil atau keluarga yang punya balita, yang tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.  Demikian pula di bidang kesehatan dan sanitasi lingkungan. Tidak ada warga yang sakit, yang tidak tersentuh aparat kesehatan. Tidak ada rumah yang tidak punya MCK, dan lain-lain.  Dana saransami ini dapat juga dipergunakan untuk memfasilitasi atau menstimuli perbaikan rumah tidak layak huni. Semua informasi berbasis IT.

Intinya, melalui kebijakan Saransami ini, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sosial dan ekonomi bahkan juga agama dan budaya akan makin bergairah.   Dana saransami ini juga dapat dijadikan pemancing untuk meningkatkan partisipasi dunia usaha dalam membangun masyarakat.  CSR dari berbagai perusahaan yang bergerak di kota akan dapat dioptimalkan dan disinergikan.   Demikian pula dana dari Pemerintah pusat ataupun pemerintah provinsi.

Pertanyaannya kemudian adalah untuk Kota Mataram, mungkinkah saransami ini dilaksanakan?  Jawabannya adalah sangat mungkin. Dari mana danya? Ya dari APBD Kota Mataram.

Sebagai gambaran, APBD Kota Mataram tahun 2015 (yang sedang jadi wacana itu) adalah sebesar kurang lebih 1,1 T.   Jumlah kelurahan di Mataram 50.  Jadi kalau Saransami dilaksanakan, kita hanya butuh dana 50 M. Untuk biaya koordinasi kecamatan juga dialokasikan satu milyar per kecamatan, dengan 6 kecamatan, maka kita hanya butuh 56 M.

Dengan Saransami, kita tidak mengurangi pembiayaan untuk sektor pendidikan, kesehatan, ataupun penanggulangan kemiskinan. Kita hanya mengubah sistem pengelolaannya saja. Bahkan kita akan memperkuat sistem pengelolaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di kelurahan ataupun lingkungan, yang selama ini masih banyak tidak dapat diselesaikan dengan baik, ataupun tidak ‘terjangkau.’ Katakanlah untuk pemeliharaan jalan lingkungan yang seringkali berlubang atau tidak terurus, dengan Saransami ini akan menjadi lebih terurus. Atau terjadinya banjir setiap hujan turun agak lama.  Ada fleksibilitas yang dapat diatur tanpa melanggar aturan keuangan yang ada.  Tujuannya adalah agar masyarakat tidak perlu menunggu lama untuk dapat sekedar menutup lubang atau memperbaiki sarana prasarana umum yang memerlukan penanganan sederhana dan cepat.

Kelembagaan adat dan sosial keagamaan juga diharapkan lebih hidup dan dinamis.  Demikian pula halnya dengan kelompok-kelompok kesenian dan olahraga yang menjadi ranah anak-anak muda. Ada porsi khusus dari Saransami yang diperuntukkan untuk mereka.

Terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan penanganan para lansia, melalui Saransami ini juga dapat dilaksanakan dengan lebih kreatif.  Pemberian santunan bagi warga lansia, para orang tua jompo, maupun keluarga miskin yang sudah tidak produktif lagi akan dapat diatur dengan baik. Pelibatan para relawan muda dan mereka yang peduli akan menjadi  kian efektif dan produktif. Dengan demikian, saya membayangkan, masyarakat akan menjadi makin dinamis.  Yang lebih penting lagi adalah semua menjadi merasa memiliki kota ini; bersama-sama membangun kota ini.  Dan kalau sudah ini tercipta, maka tidak akan sulit untuk mengajak siapapun bekerja, bergotong royong memelihara kota, membangun kota, menyayangi kota.  Mari kita sayangi kota mataram ini. Meniru ucapan Prabowo, kalau bukan kita, siapa lagi; kalau bukan sekarang, kapan lagi. Wallahu a’lam bissawab.  

MEMBANGUN VISI KOTA


MEMBANGUN VISI KOTA
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Secara sederhana, membangun dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan.  Dengan kata lain, pembangunan adalah perubahan. Tentu perubahan dari suatu keadaan tertentu, menjadi suatu kondisi yang lebih baik, di segala aspek kehidupan; baik itu sosial, politik, ekonomi, infrastruktur, dan lain-lain.

Pembangunan atau perubahan itu sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Dalam suatu masyarakat, apalagi yang telah berpendidikan, maka perubahan itu pasti akan terjadi.  Baik cepat atau lambat.  Masyarakat, dengan keberadaan sumberdaya manusia yang nota bene adalah pelaku dari sebuah proses perubahan, secara alamiah pasti akan berkembang.

Kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat, juga sebuah keniscayaan.  Dalam setiap komunitas, selalu saja lahir orang-orang yang memang diberikan amanah oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin di kelompok masing-masing.  Pemimpin itu diperlukan, dalam rangka menjamin berbagai perubahan yang terjadi dalam suatu proses pembangunan, tidak merugikan pembangunan itu sendiri. Dan yang lebih penting, agar perubahan itu mejadi lebih terarah sesuai dengan visi kota yang telah dibangun.

Pentingnya visi
Secara sederhana, visi adalah suatu tujuan yang merupakan kehendak bersama warga kota, ke arah mana pembangunan atau perubahan suatu kota akan menuju.  Visi sebuah kota hendaknya dapat diukur, atau paling tidak dirasakan oleh warga kota. Sebagai contoh, ketika awal kota Mataram terbentuk, dibawah kepemimpinan Drs. H. Mujitahid, visi kota Mataram adalah sebagai Kota Ibadah, yaitu singkatan dari Indah, Bersih, Aman, Damai, dan Harmonis. Sebuah visi sederhana, tapi kemudian ukurannya menjadi mudah untuk diukur ataupun dirasakan oleh warga kota Mataram. Berbeda dengan Mataram Maju dan Religius dan Berbudaya, yang mengukurnya relatif lebih sulit.

Ada juga kota atau daerah yang membangun visinya lebih spesifik.   Misalnya Kota Bandung, sebagai kota jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat); Yogyakarta memiliki visi sebagai kota pendidikan yang berkualitas, berkarakter, dan inklusif, pariwisata berbasis budaya, dan pusat pelayanan jasa yang berwwassan lingkungan dan ekonomi kerakyatan.  Kota Medan, menjadi kota metropolitan yang berdayasaing, nyaman, peduli, dan sejahtera.  Kota Manado,  visinya ingin menjadi kota model ekowisata. Untuk kota Mataram ke depan, berpulang kepada kita.

Kalau kita mengacu kepada konsep MP3EI, dimana NTB bersama dengan Bali dan NTT ditetapkan sebagai gerbang pariwisata nasional, maka visi Kota Mataram hendaknya bagaimana membangun Kota Mataram menuju ke arah kota pariwisata.   Artinya, pembangunan kota Mataram ke depan harus didasari oleh keinginan agar kota Mataram menjadi daerah tujuan utama para wisatawan, baik nusantara ataupun manca negara.

Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk mencapai visi tesebut?  Jawabannya sederhana.  Harus dibangun berbagai destinasi wisata yang menarik, yang akan menjadi ‘buah bibir’ para wisatawan. Yang akan membuat para pelancong tidak merasa cukup sekali saja datang ke Mataram.   Islamic Center yang berada di jantung kota Mataram harus dapat dikemas sedemikian rupa, sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Demikian pula Pura Mayura, dengan nukilan kisah sejarahnya yang pasti menarik. Mungkin pula ada bangunan gereja yang memiliki nilai sejarah, misalnya dibangun sejak zaman penjajahan dan lain-lain.   Mataram memiliki museum negeri yang dapat dikembangkan ke depan.

Mataram juga memiliki kampung kampung tradisional dengan ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota lain di Indonesia.  Misalnya Kekalik dengan penduduknya yang sebagian besar merupakan pengrajin tahu tempe; atau Babakan atau Getap dimana masih banyak dapat ditemukan pengrajin besi atau pande besi.  Atau Sekarbela sebagai pusat pengrajin mutiara.  Atau ada kampung atau desa-kelurahan yang memiliki ke khasan tersendiri, yang kalau dikemas dengan perspektif pariwisata, pasti akan menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan.

Dari segi kesenian, Mataram juga memiliki khasanah luar biasa.  Dasan Agung terkenal dengan kesenian rebana dan (juga) drama cupak gerantang.  Punia, Karang Kelok dan Monjok (pernah) terkenal dengan rudatnya.  Kampung Melayu Ampenan dengan burdah atau ardahnya, dan juga tentu orkes melayunya, dan lain-lain dan lain-lain.

Ada juga gagasan menjadikan kali jangkuk sebagai salah satu destinasi wisata. Dengan mengadakan festival atau kegiatan kesenian yng rutin, dan tentu dengan penataan kali jangkuk yang bersih dan indah.

Kesemuanya itu, mungkin juga banyak yang belum saya tuliskan, adalah potensi yang dapat dikembangkan ketika kita sepakat menjadikan Kota Mataram sebagai Kota Pariwisata. Sebuah visi yang sederhana, tapi memiliki implikasi yang luar biasa.  Apa yang dulu pernah menjadi visi Mataram Kota Ibadah, yaitu Indah, Bersih, Aman, Damai, dan Harmonis, adalah modal utama sebuah daerah destinasi wisata. Demikian juga visi Maju, Religius dan Berbudaya.

Ketika semua warga bersepakat untuk itu, lantas kebijakan pemerintah juga mendukung ke arah itu, maka lima tahun ke depan dan seterusnya, Mataram akan dibanjiri oleh para wisatawan dari berbagai pelahan wilayah di nusantara maupun manca negara.  Bukan hanya sebagai tempat menginap atau makan minum, tapi sebagai sebuah destinasi tersendiri yang menjadikan wisatawan betah berhari-hari.  Indikatornya itu saja. Atau ada fikiran lain? Wallahu a’lam bissawab.  (Jkt, 14/07/15)

MEMBANGUN MATARAM BERBASIS KOTA CERDAS


MEMBANGUN MATARAM BERBASIS KOTA CERDAS
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Kota Cerdas atau smart City adalah suatu paradigma baru dalam pembangunan perkotaan.   Maksudnya adalah bagaimana sebuah kota dapat dibangun berdasarkan atau dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Mulai dari perencanaannya, sampai pada upaya pelayanan pada masyarakat atau public service nya. Secara sederhana, Kota Cerdas atau Smart City dapat didefinisikan sebagai upaya kota untuk meningkatkan kualitas layanan kepada warganya maupun untuk meningkatkan partisipasi warganya dalam pembangunan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Beberapa sektor pembangunan yang dapat memanfaatkan ITC ini dalam praktek adalah sektor kependudukan, seperti layanan KTP dan perizinan, sektor transportasi umum, pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan sampah dan air.  Bahkan sektor keamanan juga dapat memanfaatkan teknologi komunikasi informasi ini.  Sebagai ilustrasi, ketika tinggal di Amerika Serikat tahun sembilan puluhan, ada kawan yang mendadak harus dibawa ke rumah sakit, dia menelpon ke 911. Dalam waktu sekitar lima menit, ambulans dan perawat datang ke apartemennya, untuk memberikan perawatan. Bahkan pada saat yang sama, datang juga patroli polisi dan pemadam kebakaran.  Rupanya sistem yang dibangun, ketika menelpon ke 911, yang menerima dan merespons tidak hanya bagian kesehatan darurat, tapi juga pos jaga kepolisian dan pemadam kebakaran. Ini salah satu bentuk layanan cepat tanggap pemerintah terhadap kebutuhan warga yang membutuhkan.

Dengan sistem ITC ini pula kita dapat melaksanakan deteksi dini terhadap berbagai kebutuhan dan kondisi masyarakat.  Katakanlah terhadap kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat prasejahtera.  Dengan penerapan sistem ini akan dapat terdeteksi sekiranya ada rumah tangga atau keluarga prasejahtera yang tidak memiliki sesuatu untuk dikonsumsi pada hari itu.  Dalam bahasa yang lebih canggih, dengan penerapan sistem kota cerdas, negara dapat kita hadirkan kapan saja masyarakat membutuhkan. Bahkan untuk hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun.   Bukankah kewajiban negara atau pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.  Sehingga prinsipnya, tidak boleh ada warga yang merasa terabaikan hak-haknya. Siapapun dia, baik dari keluarga berada maupun yang tidak berpunya.

Pelibatan swasta dan relawan
Salah satu faktor kunci keberhasilan Walikota Bandung saat ini adalah kemampuannya dalam membangun partisipasi masyarakat, khususnya dunia swasta dalam menggerakkan pembangunan.   Ternyata, dengan sentuhan pendekatan yang tepat, partisipasi dunia swasta luar biasa besarnya.  Disamping itu, dia juga dapat menggerakkan mahasiswa, pemuda, dan unsur generasi muda lainnya untuk turut serta terlibat langsung dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi kota Bandung.  Ada rasa bangga ikut membangun kota yang ditumbuhkan di kalangan para pemuda tersebut, sehingga mereka secara pro aktif dan sukarela menyumbangkan tenaga dan fikirannya dalam membantu pemerintah membangun masyarakat. Ridwan Kamil berhasil membangun kesadaran warganya, bahwa kota Bandung adalah milik bersama seluruh warga yang harus dijaga dan dipelihara bersama, kebersihannya, kenyamanannya, ketahanan warga dan masyarakatnya, dan lain-lain sebagainya.  Intinya, dia berhasil membangkitkan kepedulian warga Bandung akan keberadaan kotanya.  Dengan kata lain, melalui penerapan sistem Kota Cerdas atau Smart City ini, pak walikota berhasil membangun ‘Rasa Sayang’ warganya terhadap kotanya.

Bagaimana dengan Mataram?
Apabila dibandingkan dengan Bandung, tentu Mataram lebih sederhana. Penduduknya lebih sedikit dan wilayahnya lebih sempit.  Artinya, kalau di Bandung bisa, Mataram harusnya pasti bisa. Apalagi dewasa ini pengguna HP di Mataram hampir merata di setiap rumah tangga.  Ini adalah modal infrastruktur utama. Tinggal ‘menempelkan’ sistem aplikasi sesuai dengan program yang diterapkan maka selesailah urusan smart city. Mulai dari urusan ambulans untuk menjemput warga yang membutuhkan, urusan layanan pendidikan anak-anak, sampai pada urusan patroli polisi untuk membantu warga yang kerampokan ataupun kebakaran yang tiba-tiba, ataupun juga urusan kebersihan kota yang sering bermasalah.  Dengan luas areal jangkauan kota Mataram yang relatif sempit, maka tidak ada alasan bagi petugas negara untuk tidak sampai ke TKP sesegera mungkin.

Dengan sistem smart city ini, tidak diperlukan petugas patroli lalu lalang setiap saat di lingkungan pemukiman, yang dapat menjadi penyumbang kemacetan lalu lintas. Mereka cukup stand by di posko masing-masing. Bahkan dengan sistem relawan yang juga dapat dikembangkan, petugas-petugas terkait dapat saja berasal dari warga setempat, sehingga pertolongan pertama atau respons darurat dapat segera secara real time dapat dilaksanakan. Mari membangun kota dengan kebersamaan. Mari bangun rasa bangga menjadi warga kota Mataram, dan rasa bangga telah turut serta didalam membantu warga yang membutuhkan. Sekecil apapun bantuan itu. Mari Sayangi Mataram.Wallahu a’lam bissawab. (Jkt 14/07/15)




Kamis, 09 April 2015

UN 2015 DAN PERTARUHAN KEJUJURAN


UN 2015 DAN PERTARUHAN KEJUJURAN
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora Provinsi NTB


Gawe Nasional yang bernama UN kini sudah mulai ditabuh. Pada hari Rabu, 25 Februari 2015, telah diadakan Sosialisasi UN tingkat pusat, yang dihadiri oleh unsur-unsur Dikpora Provinsi, Perguruan Tinggi, dan LPMP. Acara yang dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan itu tentu menjadi sangat menarik, mengingat terjadinya perubahan kebijakan yang sangat mendasar. Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan siswa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005, pasal 68. Kini, PP tersebut sedang dalam proses perubahan, untuk melegalkan bahwa UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa.

Lantas pertanyaannya adalah, untuk apa UN tetap dipertahankan? Sesuai dengan isi pasal 68, PP tersebut, maka tiga fungsi yang lain dari UN tetap dipertahankan, yaitu sebagai: (1) alat untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (2) sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; dan (3) dasar untuk melakukan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan kata lain, pelaksanaan UN dengan biaya yang luar biasa besar, tetap ada manfaatnya. Bahkan ke depan, menurut Bapak Anies Baswedan, UN ini akan diupayakan mendapatkan pengakuan internasional, yang nilainya kemudian dapat dipergunakan untuk masuk ke perguruan tinggi ternama di luar negeri, sekelas Cambridge International Examination di Inggris atau American College Testing Program (ACT Test) di Amerika Serikat.

Apa yang salah selama ini?
Saya tidak ingin mengulas kembali apa yang pernah saya tulis dalam “Surat Terbuka” kepada Bapak Menteri Anies Baswedan beberapa waktu yang lalu. Faktanya adalah, tujuan ke tiga dari UN sebagaimana diatur dalam PP tersebut diatas, tidak dapat dilaksanakan, karena ‘tidak ada korelasi yang nyata,’ antara ketersediaan infrastruktur pendidikan dengan nilai rata-rata UN di satuan pendidikan tersebut.  Sekolah-sekolah atau madarasah madrasah yang berada di pelosok negeri, yang kalau dicermati infrastrukturnya kurang memadai, justru nilai rata-rata UN siswa nya tinggi-tinggi. Atau sebaliknya, ada sekolah-sekolah di kota yang dari segi infrastrukturnya cukup baik, namun nilai UN rata-rata siswanya jeblok.

Dengan adanya kebijakan baru terkait “UN tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan siswa” akan terjadi paling tidak tiga hal: (1) Pelaksanaan UN benar-benar dilaksanakan dengan jujur: baik murid maupun gurunya. Tidak boleh lagi ada kecurangan yang dibiarkan; ketidak jujuran yang difasilitasi; dan kebocoran soal yang ditutup-tutupi.

(2) Kepala setiap satuan pendidikan tidak perlu khawatir akan mendapat sanksi atau teguran dari kepala daerah atau kepala dinasnya, hanya karena nilai UN di sekolahnya jelek atau banyak siswanya yang tidak lulus.   Justru kalau ternyata nilai UN nya jelek, Pemerintah atau Kementrian/Dinas akan memberikan perhatian khusus, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas satuan pendidikan tersebut.  Mungkin laboratoriumnya yang perlu dibenahi, atau guru-gurunya perlu ditambah, atau bahkan ruang kelasnya harus diperbanyak, dan sebagainya.  Intinya adalah, dari hasil UN tersebut akan dapat dijabarkan suatu kebijakan yang dapat membantu suatu satuan pendidikan meningkatkan kualitasnya.

(3). Masyarakat tidak perlu memiliki kehawatiran yang berlebihan terhadap nasib anak-anaknya; lulus UN atau tidak lulus UN. Ketika kelulusan siswa menjadi tanggung jawab penuh ibu dan bapak guru di sekolah, maka tentu para orang tua akan lebih ihlas untuk menerima hasil proses pendidikan anak-anaknya.  Tidak lagi ada yang mengatakan “hasil pendidikan tiga tahun ditentukan oleh ujian nasional yang tiga hari.”  Dengan mengembalikan kedaulatan satuan pendidikan dalam menentukan ‘nasib’ murid-muridnya, bukan berarti setiap anak akan ‘pasti lulus.’

Dalam teori kurva normal, pastilah diantara sekian banyak siswa, sebagian kecil ada yang kurang pandai, yang daya serap terhadap mata pelajaran kurang atau rendah, sebagian besar dalam kondisi medioker atau normal, dan sebagian kecil lainnya dalam kondisi sangat pandai, atau daya serapnya tinggi. Itu teorinya. Tinggal berpulang pada para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan proses pendidikan di setiap satuan pendididikan. Bisa saja, menurut teori tersebut, bandulnya akan bergeser ke kanan, artinya prosentase mereka yang berada pada arah sangat pandai yang tinggi; atau bergeser ke kiri, dimana sebagian besar dari murid-muridnya memiliki daya serap rendah. Itulah fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya.

Harapan Pak Menteri

Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi terkait UN diharapkan berdampak positif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.  Pada saat yang sama, diharapkan UN dapat menjadi barometer berklas internasional yang nilainya diakui secara internasional. “jumlah peserta UN kita terbesar ke empat di dunia,” kata pak Menteri, “sehingga kita harus berjuang agar nilai UN kita dapat diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan tingkat dunia.” Maksudnya, dengan nilai UN yang tinggi, siswa yang bersangkutan akan dapat diterima tanpa tes lagi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Kata kuncinya hanya satu, pungkas pak Menteri: “UN yang kita laksanakan kredibel atau tidak.”  Menurut para ahli evaluasi pendidikan, tidaklah sulit untuk mengukur tingkat kredibilitas UN tersebut. Wallahu a’lam bissawab.

CBT untuk US/UN: Siapa takut?


CBT untuk US/UN: Siapa takut?
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora NTB

Perjalanan hari pertama dalam rangka roadshow UN ke kabupaten kota se NTB sangat mengesankan. Di SMAN 1 Kota Bima, saya sempat berdiaog dalam bahasa Inggris dengan pelajar yang masuk dalam klas akselerasi.  Artinya anak-anak yang secara potensial memiliki kelebihan dengan anak-anak yang lain. Dari dialog dadakan tersebut saya menangkap kesan bahwa anak-anak ini memang sangat potensial.  Salah seorang  mengatakan ingin melanjutkan kuliahnya di UI dan akan mengambil jurusan Hubungan Internasional.  Dia ingin menjadi duta besar Indonesia, suatu hari nanti.  Yang satu ingin melanjutkan kuliah di Harvard University, Amerika Serikat. Inginmendalami sains dan teknologi. Oleh karenanya dia sudah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Inggris. Demikian juga yang lain-lain.  Tinggal sekarang, bagaimana bapak ibu guru mereka mampu menangkap potensi yang dimiliki anak-anak tersebut, kemudian membina serta mengembangkannya sehingga potensinya menjadi teraktualisasikan.

Tapi yang lebih mencengangkan saya adalah ternyata di Bima ada satu sekolah yang telah mulai melaksanakan CBT (Computer Based Testing) atau ujian dengan menggunakan komputer. Program yang mulai diperkenalkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pelaksaan Ujian Nasional mulai tahun 2015 ini. Program yang sudah dilaksanakan untuk sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri sejak tahun 2014 yang lalu.  Menurut Kepala Puspendik di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dari hasil ujian nasional di Singapura dan Malaysia taun 2014 yang lalu, hasil mereka yang melaksanakan UN dengan CBT nilai rata-rata mereka lebih baik dari mereka yang melaksanakan UN secara konvensional. Namun sayangnya, dari “jatah” NTB untuk uji coba CBT UN sebanyak 9 sekolah, 5 SMA dan 4 SMP, tidak satupun yang menyatakan kesiapannya. Dengan kata lain, seluruh sekolah di NTB masih akan melaksanakan UN secara konvensional.

Itulah sebabnya, mengapa kemudian saya ‘tercengang’ ketika mendengar laporan seorang kepala sekolah ‘berani’ melakukan CBT, untuk pelaksanaan US nya.  Padahal justru US tersebut menjadi salah satu faktor penentu kelulusan siswanya.  Dan justru yang melaksanakan CBT tersebut SMAN 5 Bima, yang dari berbagai hal masih berada di bawah pamor SMAN 1 Bima, atau SMA-SMA lain di NTB. Dari segi infrastrukturpun, posisi SMA tersebut masih sangat terbatas. Ketika saya tanyakan dari mana laptop yang beraneka merek dan warna , yang dipakai oleh para siswa itu didatangkan, Kepala Sekolah mengatakan dari pinjaman.  “ada yang dimiliki siswa sendiri, ada yang dimiliki guru, hanya beberapa saja yang dimiliki sekolah.” Sekitar 30 laptop ada di ruang ujian. Artinya, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, bahwa semua laptop yang dipakai siswa itu adalah milik sekolah. Dengan demikian, pelaksanaan CBT itu ternyata tidak harus mewah dan mahal. Hanya dengan bermodal laptop pinjamanpun, pelaksanaan CBT US ataupun UN dapat dilaksanakan.

Menurut Drs. H. Sudirman, Kepala SMAN 5 Bima, dengan menggunakan metode CBT ini, ada beberapa keuntungan yang diperoleh.  Pertama, eifisiensi dari segi pembiayaan.  Dengan CBT, sekolah tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk penggandaan soal yang menghabiskan ratusan rim kertas. Kedua, tidak perlu lagi ada honor pemeriksa hasil ujian.  Artinya guru-guru cukup menyerahkan soal dan kunci jawabannya.  Setelah itu, administraturlah yang akan meng’upload’ soal, memasukkannya ke dalam server, mengatur variasinya, serta memasukkan kunci jawabannya. Setelah itu, komputer akan mengatur sendiri proses pemeriksaan jawaban siswa; sehingga secara teknis, akan langsung dapat diketahui nilai tiap-tiap siswa untuk setiap mata pelajaran yang diujikan.   Tidak diperlukan lagi proses pemeriksaan oleh si pembuat soal. Dengan kata lain, dari segi pembiayaan lebih irit.  Kalau dengan konvensional, SMA 5 ini harus menyiapkan dana sekitar 25 juta rupiah untuk biaya pelaksanaan US, “dengan CBT cukup lima juta rupiah saja,” ungkap pak Kasek.

Memang, proses di awalnya yang lebih kompleks dan persiapan yang memakan waktu; karena soal-soal yang harus disiapkan harus lebih banyak, sehingga variasi soal yang akan diujikan ke siswa lebih banyak pula. Demikian pula virasi penomoran soalnya, harus lebih banyak. Ini untuk mengantisipasi pembagian kelompok siswa yang akan diuji untuk satu mata pelajaran. Pengalaman SMAN 5 Bima, dapat dijadikan contoh soal. Dengan jumlah siswa peserta ujian sekitar 117 orang, yang terbagi ke jurusan IPA dan IPS. Memang relatif kecil. Sehingga untuk satu pelajaran, rata-rata hanya terbagi menjadi dua kelompok siswa. Meskipun kemungkinan untuk mendapatkan soal yang persis sama antara kedua kelompok tadi kecil, namun tetap para guru mengawasi jangan sampai ada ‘komunikasi’ antara siswa dar kelompok pertama dengan rombongan siswa dari kelompok kedua. Jadi begitu selesai kelompok pertama, langsung kelompok kedua memasuki ruang ujian. Demikan seterusnya.

Kentungan ketiga, menurut pak H Sudirman, dengan CBT ini, pelaksanaan ujian menjadi lebih credible.  Hal ini disebabkan karena tidak mungkin para siswa dapat “mengintip” pekerjaan teman yang ada di sebelahnya, tanpa diketahui oleh pengawas ujian. Kecuali kalau bapak/ibu guru pengawas dengan sengaja membiarkan mereka bekerja sama.  Kemungkin untuk terjadinya penomoran soal yang sama antar siswa yang duduknya saling berdekatan juga kecil sekali.  Oleh karena itu, mau tidak mau, mereka harus mengerjakan dan menyelesaikan soalnya secara sendiri-sendiri. Tidak dapat mengandalkan atau bekerjasama dengan  teman di bangku sebelah. Dan itulah konsep ujian yang ideal; sehingga nilai US-nya betul-betul murni menggambarkan kemampuan setiap siswa.

Dari mana memulai CBT?
Ke depan, mau tidak mau, seluruh sekolah harus siap untuk melaksanakan ujian sekolah maupun ujian nasional dengan menggunakan CBT. Dari pengalaman SMAN 5, ternyata, persoalan utamanya bukan pada infrastruktur, tapi pada ketersediaan SDM. Di SMA 5 Bima, ada lima orang guru yang faham IT dan CBT. Merekalah yang kemudian bekerja, mendesain urutan soal, memasukkan ke dalam program CBT yang memang aplikasinya sudah tersedia; sebagaimana halnya tes cpns beberapa waktu yang lalu. Secara teknis, sesungguhnya CBT tersebut tidaklah terlalu sulit. Yang perlu dipersiapkan adalah mental siswa dan ketrampilannya bekerja, mengerjakan soal-soal di depan layar komputer.  Sedangkan perangkat komputernya, bisa saja dengan menggunakan ‘laptop pinjaman,’ dari siswa sendiri, atau para guru. Tidak harus sekolah itu menunggu ‘komputernya tersedia lengkap’ dulu baru menggunakan CBT.

Dalam rangka proses pembiasaan siswa menghadapi CBT, saya menyarankan setiap sekolah untuk mulai menggunakan CBT dalam ulangan-ulangan harian atau ujian-ujian semester di sekolahnya. Tidak harus menunggu program dari atas, baru mau memulai belajar. Dengan demikian, pada waktunya anak-anak akan menghadapi US atau UN tahun depan, mereka sudah benar-benar siap lahir batin untuk mengerjakan soal-soal ujian di depan layar komputer atau laptop. Kalau selama ini ada slogan, UN, siapa takut, maka ke depan, kita tambahkan dengan kata “CBT-UN, siapa takut?” Wallahu a’lam bissawab….