Kamis, 09 April 2015

UN 2015 DAN PERTARUHAN KEJUJURAN


UN 2015 DAN PERTARUHAN KEJUJURAN
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora Provinsi NTB


Gawe Nasional yang bernama UN kini sudah mulai ditabuh. Pada hari Rabu, 25 Februari 2015, telah diadakan Sosialisasi UN tingkat pusat, yang dihadiri oleh unsur-unsur Dikpora Provinsi, Perguruan Tinggi, dan LPMP. Acara yang dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan itu tentu menjadi sangat menarik, mengingat terjadinya perubahan kebijakan yang sangat mendasar. Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan siswa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005, pasal 68. Kini, PP tersebut sedang dalam proses perubahan, untuk melegalkan bahwa UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa.

Lantas pertanyaannya adalah, untuk apa UN tetap dipertahankan? Sesuai dengan isi pasal 68, PP tersebut, maka tiga fungsi yang lain dari UN tetap dipertahankan, yaitu sebagai: (1) alat untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (2) sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; dan (3) dasar untuk melakukan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan kata lain, pelaksanaan UN dengan biaya yang luar biasa besar, tetap ada manfaatnya. Bahkan ke depan, menurut Bapak Anies Baswedan, UN ini akan diupayakan mendapatkan pengakuan internasional, yang nilainya kemudian dapat dipergunakan untuk masuk ke perguruan tinggi ternama di luar negeri, sekelas Cambridge International Examination di Inggris atau American College Testing Program (ACT Test) di Amerika Serikat.

Apa yang salah selama ini?
Saya tidak ingin mengulas kembali apa yang pernah saya tulis dalam “Surat Terbuka” kepada Bapak Menteri Anies Baswedan beberapa waktu yang lalu. Faktanya adalah, tujuan ke tiga dari UN sebagaimana diatur dalam PP tersebut diatas, tidak dapat dilaksanakan, karena ‘tidak ada korelasi yang nyata,’ antara ketersediaan infrastruktur pendidikan dengan nilai rata-rata UN di satuan pendidikan tersebut.  Sekolah-sekolah atau madarasah madrasah yang berada di pelosok negeri, yang kalau dicermati infrastrukturnya kurang memadai, justru nilai rata-rata UN siswa nya tinggi-tinggi. Atau sebaliknya, ada sekolah-sekolah di kota yang dari segi infrastrukturnya cukup baik, namun nilai UN rata-rata siswanya jeblok.

Dengan adanya kebijakan baru terkait “UN tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan siswa” akan terjadi paling tidak tiga hal: (1) Pelaksanaan UN benar-benar dilaksanakan dengan jujur: baik murid maupun gurunya. Tidak boleh lagi ada kecurangan yang dibiarkan; ketidak jujuran yang difasilitasi; dan kebocoran soal yang ditutup-tutupi.

(2) Kepala setiap satuan pendidikan tidak perlu khawatir akan mendapat sanksi atau teguran dari kepala daerah atau kepala dinasnya, hanya karena nilai UN di sekolahnya jelek atau banyak siswanya yang tidak lulus.   Justru kalau ternyata nilai UN nya jelek, Pemerintah atau Kementrian/Dinas akan memberikan perhatian khusus, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas satuan pendidikan tersebut.  Mungkin laboratoriumnya yang perlu dibenahi, atau guru-gurunya perlu ditambah, atau bahkan ruang kelasnya harus diperbanyak, dan sebagainya.  Intinya adalah, dari hasil UN tersebut akan dapat dijabarkan suatu kebijakan yang dapat membantu suatu satuan pendidikan meningkatkan kualitasnya.

(3). Masyarakat tidak perlu memiliki kehawatiran yang berlebihan terhadap nasib anak-anaknya; lulus UN atau tidak lulus UN. Ketika kelulusan siswa menjadi tanggung jawab penuh ibu dan bapak guru di sekolah, maka tentu para orang tua akan lebih ihlas untuk menerima hasil proses pendidikan anak-anaknya.  Tidak lagi ada yang mengatakan “hasil pendidikan tiga tahun ditentukan oleh ujian nasional yang tiga hari.”  Dengan mengembalikan kedaulatan satuan pendidikan dalam menentukan ‘nasib’ murid-muridnya, bukan berarti setiap anak akan ‘pasti lulus.’

Dalam teori kurva normal, pastilah diantara sekian banyak siswa, sebagian kecil ada yang kurang pandai, yang daya serap terhadap mata pelajaran kurang atau rendah, sebagian besar dalam kondisi medioker atau normal, dan sebagian kecil lainnya dalam kondisi sangat pandai, atau daya serapnya tinggi. Itu teorinya. Tinggal berpulang pada para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan proses pendidikan di setiap satuan pendididikan. Bisa saja, menurut teori tersebut, bandulnya akan bergeser ke kanan, artinya prosentase mereka yang berada pada arah sangat pandai yang tinggi; atau bergeser ke kiri, dimana sebagian besar dari murid-muridnya memiliki daya serap rendah. Itulah fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya.

Harapan Pak Menteri

Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi terkait UN diharapkan berdampak positif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.  Pada saat yang sama, diharapkan UN dapat menjadi barometer berklas internasional yang nilainya diakui secara internasional. “jumlah peserta UN kita terbesar ke empat di dunia,” kata pak Menteri, “sehingga kita harus berjuang agar nilai UN kita dapat diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan tingkat dunia.” Maksudnya, dengan nilai UN yang tinggi, siswa yang bersangkutan akan dapat diterima tanpa tes lagi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Kata kuncinya hanya satu, pungkas pak Menteri: “UN yang kita laksanakan kredibel atau tidak.”  Menurut para ahli evaluasi pendidikan, tidaklah sulit untuk mengukur tingkat kredibilitas UN tersebut. Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar