CBT untuk US/UN: Siapa takut?
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora NTB
Perjalanan hari pertama dalam rangka roadshow UN ke
kabupaten kota se NTB sangat mengesankan. Di SMAN 1 Kota Bima, saya sempat
berdiaog dalam bahasa Inggris dengan pelajar yang masuk dalam klas
akselerasi. Artinya anak-anak yang
secara potensial memiliki kelebihan dengan anak-anak yang lain. Dari dialog
dadakan tersebut saya menangkap kesan bahwa anak-anak ini memang sangat
potensial. Salah seorang mengatakan ingin melanjutkan kuliahnya di UI
dan akan mengambil jurusan Hubungan Internasional. Dia ingin menjadi duta besar Indonesia, suatu
hari nanti. Yang satu ingin melanjutkan
kuliah di Harvard University, Amerika Serikat. Inginmendalami sains dan
teknologi. Oleh karenanya dia sudah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Inggris.
Demikian juga yang lain-lain. Tinggal
sekarang, bagaimana bapak ibu guru mereka mampu menangkap potensi yang dimiliki
anak-anak tersebut, kemudian membina serta mengembangkannya sehingga potensinya
menjadi teraktualisasikan.
Tapi yang lebih mencengangkan saya adalah ternyata di Bima
ada satu sekolah yang telah mulai melaksanakan CBT (Computer Based Testing)
atau ujian dengan menggunakan komputer. Program yang mulai diperkenalkan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pelaksaan Ujian Nasional mulai tahun
2015 ini. Program yang sudah dilaksanakan untuk sekolah-sekolah Indonesia di
luar negeri sejak tahun 2014 yang lalu.
Menurut Kepala Puspendik di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dari
hasil ujian nasional di Singapura dan Malaysia taun 2014 yang lalu, hasil
mereka yang melaksanakan UN dengan CBT nilai rata-rata mereka lebih baik dari
mereka yang melaksanakan UN secara konvensional. Namun sayangnya, dari “jatah”
NTB untuk uji coba CBT UN sebanyak 9 sekolah, 5 SMA dan 4 SMP, tidak satupun
yang menyatakan kesiapannya. Dengan kata lain, seluruh sekolah di NTB masih akan
melaksanakan UN secara konvensional.
Itulah sebabnya, mengapa kemudian saya ‘tercengang’ ketika
mendengar laporan seorang kepala sekolah ‘berani’ melakukan CBT, untuk
pelaksanaan US nya. Padahal justru US
tersebut menjadi salah satu faktor penentu kelulusan siswanya. Dan justru yang melaksanakan CBT tersebut
SMAN 5 Bima, yang dari berbagai hal masih berada di bawah pamor SMAN 1 Bima,
atau SMA-SMA lain di NTB. Dari segi infrastrukturpun, posisi SMA tersebut masih
sangat terbatas. Ketika saya tanyakan dari mana laptop yang beraneka merek dan
warna , yang dipakai oleh para siswa itu didatangkan, Kepala Sekolah mengatakan
dari pinjaman. “ada yang dimiliki siswa
sendiri, ada yang dimiliki guru, hanya beberapa saja yang dimiliki sekolah.”
Sekitar 30 laptop ada di ruang ujian. Artinya, tidak seperti yang saya
bayangkan sebelumnya, bahwa semua laptop yang dipakai siswa itu adalah milik sekolah.
Dengan demikian, pelaksanaan CBT itu ternyata tidak harus mewah dan mahal.
Hanya dengan bermodal laptop pinjamanpun, pelaksanaan CBT US ataupun UN dapat
dilaksanakan.
Menurut Drs. H. Sudirman, Kepala SMAN 5 Bima, dengan
menggunakan metode CBT ini, ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, eifisiensi dari segi
pembiayaan. Dengan CBT, sekolah tidak
perlu lagi memikirkan biaya untuk penggandaan soal yang menghabiskan ratusan
rim kertas. Kedua, tidak perlu lagi ada honor pemeriksa hasil ujian. Artinya guru-guru cukup menyerahkan soal dan
kunci jawabannya. Setelah itu,
administraturlah yang akan meng’upload’ soal, memasukkannya ke dalam server, mengatur
variasinya, serta memasukkan kunci jawabannya. Setelah itu, komputer akan
mengatur sendiri proses pemeriksaan jawaban siswa; sehingga secara teknis, akan
langsung dapat diketahui nilai tiap-tiap siswa untuk setiap mata pelajaran yang
diujikan. Tidak diperlukan lagi proses
pemeriksaan oleh si pembuat soal. Dengan kata lain, dari segi pembiayaan lebih
irit. Kalau dengan konvensional, SMA 5
ini harus menyiapkan dana sekitar 25 juta rupiah untuk biaya pelaksanaan US,
“dengan CBT cukup lima juta rupiah saja,” ungkap pak Kasek.
Memang, proses di awalnya yang lebih kompleks dan persiapan
yang memakan waktu; karena soal-soal yang harus disiapkan harus lebih banyak,
sehingga variasi soal yang akan diujikan ke siswa lebih banyak pula. Demikian
pula virasi penomoran soalnya, harus lebih banyak. Ini untuk mengantisipasi
pembagian kelompok siswa yang akan diuji untuk satu mata pelajaran. Pengalaman
SMAN 5 Bima, dapat dijadikan contoh soal. Dengan jumlah siswa peserta ujian
sekitar 117 orang, yang terbagi ke jurusan IPA dan IPS. Memang relatif kecil.
Sehingga untuk satu pelajaran, rata-rata hanya terbagi menjadi dua kelompok
siswa. Meskipun kemungkinan untuk mendapatkan soal yang persis sama antara
kedua kelompok tadi kecil, namun tetap para guru mengawasi jangan sampai ada
‘komunikasi’ antara siswa dar kelompok pertama dengan rombongan siswa dari
kelompok kedua. Jadi begitu selesai kelompok pertama, langsung kelompok kedua
memasuki ruang ujian. Demikan seterusnya.
Kentungan ketiga, menurut pak H Sudirman, dengan CBT ini,
pelaksanaan ujian menjadi lebih credible.
Hal ini disebabkan karena tidak mungkin para siswa dapat “mengintip”
pekerjaan teman yang ada di sebelahnya, tanpa diketahui oleh pengawas ujian.
Kecuali kalau bapak/ibu guru pengawas dengan sengaja membiarkan mereka bekerja
sama. Kemungkin untuk terjadinya
penomoran soal yang sama antar siswa yang duduknya saling berdekatan juga kecil
sekali. Oleh karena itu, mau tidak mau,
mereka harus mengerjakan dan menyelesaikan soalnya secara sendiri-sendiri.
Tidak dapat mengandalkan atau bekerjasama dengan teman di bangku sebelah. Dan itulah konsep
ujian yang ideal; sehingga nilai US-nya betul-betul murni menggambarkan
kemampuan setiap siswa.
Dari mana memulai CBT?
Ke depan, mau tidak mau, seluruh sekolah harus siap untuk
melaksanakan ujian sekolah maupun ujian nasional dengan menggunakan CBT. Dari
pengalaman SMAN 5, ternyata, persoalan utamanya bukan pada infrastruktur, tapi
pada ketersediaan SDM. Di SMA 5 Bima, ada lima orang guru yang faham IT dan
CBT. Merekalah yang kemudian bekerja, mendesain urutan soal, memasukkan ke
dalam program CBT yang memang aplikasinya sudah tersedia; sebagaimana halnya
tes cpns beberapa waktu yang lalu. Secara teknis, sesungguhnya CBT tersebut
tidaklah terlalu sulit. Yang perlu dipersiapkan adalah mental siswa dan
ketrampilannya bekerja, mengerjakan soal-soal di depan layar komputer. Sedangkan perangkat komputernya, bisa saja
dengan menggunakan ‘laptop pinjaman,’ dari siswa sendiri, atau para guru. Tidak
harus sekolah itu menunggu ‘komputernya tersedia lengkap’ dulu baru menggunakan
CBT.
Dalam rangka proses pembiasaan siswa menghadapi CBT, saya
menyarankan setiap sekolah untuk mulai menggunakan CBT dalam ulangan-ulangan
harian atau ujian-ujian semester di sekolahnya. Tidak harus menunggu program
dari atas, baru mau memulai belajar. Dengan demikian, pada waktunya anak-anak
akan menghadapi US atau UN tahun depan, mereka sudah benar-benar siap lahir
batin untuk mengerjakan soal-soal ujian di depan layar komputer atau laptop. Kalau
selama ini ada slogan, UN, siapa takut, maka ke depan, kita tambahkan dengan
kata “CBT-UN, siapa takut?” Wallahu a’lam bissawab….
Caesars completes acquisition of Online Gambling Platform - DRMCD
BalasHapusCaesars Entertainment (NASDAQ: CZR) today announced 대구광역 출장샵 that it 서귀포 출장안마 has completed a comprehensive $3.6 billion acquisition 남원 출장마사지 of online gambling 광주광역 출장안마 platform Caesars Entertainment (NASDAQ: 경상북도 출장마사지