UN 2016 DAN INDEKS INTEGRITAS
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora Provinsi NTB
Gawe Nasional yang bernama UN kini sudah mulai ditabuh lagi.
Pada waktu acara rembuk nasional pendidikan akhir Februari 2016 yang lalu, Bapak Mendikbud
Anies Baswedan meluncurkan Indeks Integritas semua Satuan Pendidikan dan Daerah
se Indonesia. Dari indeks tersebut setiap daerah dan sekolah akan mengetahui apakah daerah atau sekolahnya
dalam posisi (1) Indeks Tinggi, Nilai UN juga tinggi; (2) Indeks Tinggi Nilai
UN rendah: (3) Indeks Rendah Nilai UN tinggi; atau (4) Indeks rendah, nilai UN
juga rendah.
Indeks tinggi atau rendah tersebut diukur dari sejauh mana
kecurangan terjadi di suatu sekolah; secara sederhana, kalau 80% dari peserta
ujian di sekolah itu jawaban salahnya di soal yang sama, maka indeksnya menjadi
20. Tapi kalau hanya 10%, dari jumlah
peserta ujian punya kesalahan di soal yang sama, maka nilai indeksnya 90. Setelah itu baru dicek kebenaran jawabannya.
Ada sekolah yang indeksnya rendah, nilai rata rata UNnya
juga rendah. Ini artinya, kunci jawaban yang beredar di sekolah tersebut adalah
kunci yang salah. Tapi ada sekolah yang indeksnya tinggi, tapi nilai Unnya
rendah; ini artinya mereka rata-rata jujur. Tidak ada kunci jawaban yang
beredar, tidak ada kerja sama antar siswa yang dibiarkan. Mungkin karena
soalnya yang memang tidak bisa mereka selesaikan dengan benar.
Dengan adanya kebijakan baru terkait “UN tidak lagi menjadi
unsur penentu kelulusan siswa” akan terjadi paling tidak tiga hal: (1)
Pelaksanaan UN benar-benar dilaksanakan dengan jujur: baik murid maupun
gurunya. Tidak boleh lagi ada kecurangan yang dibiarkan; ketidak jujuran yang
difasilitasi; dan kebocoran soal yang ditutup-tutupi.
(2) Kepala setiap satuan pendidikan tidak perlu khawatir
akan mendapat sanksi atau teguran dari kepala daerah atau kepala dinasnya,
hanya karena nilai UN di sekolahnya jelek atau banyak siswanya yang tidak
lulus. Justru kalau ternyata nilai UN
nya jelek, Pemerintah atau Kementrian/Dinas akan memberikan perhatian khusus,
apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas satuan pendidikan
tersebut. Mungkin laboratoriumnya yang
perlu dibenahi, atau guru-gurunya perlu ditambah, atau bahkan ruang kelasnya
harus diperbanyak, dan sebagainya.
Intinya adalah, dari hasil UN tersebut akan dapat dijabarkan suatu
kebijakan yang dapat membantu suatu satuan pendidikan meningkatkan kualitasnya.
(3). Masyarakat tidak perlu memiliki kehawatiran yang
berlebihan terhadap nasib anak-anaknya; lulus UN atau tidak lulus UN. Ketika
kelulusan siswa menjadi tanggung jawab penuh ibu dan bapak guru di sekolah,
maka tentu para orang tua akan lebih ihlas untuk menerima hasil proses
pendidikan anak-anaknya. Tidak lagi ada
yang mengatakan “hasil pendidikan tiga tahun ditentukan oleh ujian nasional
yang tiga hari.” Dengan mengembalikan
kedaulatan satuan pendidikan dalam menentukan ‘nasib’ murid-muridnya, bukan
berarti setiap anak akan ‘pasti lulus.’
Dalam teori kurva normal, pastilah diantara sekian banyak
siswa, sebagian kecil ada yang kurang pandai, yang daya serap terhadap mata
pelajaran kurang atau rendah; sementara sebagian besar dalam kondisi medioker
atau normal, dan sebagian kecil lainnya dalam kondisi sangat pandai, atau daya
serapnya tinggi. Itu teorinya. Tinggal berpulang pada para guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran dan proses pendidikan di setiap satuan
pendididikan. Bisa saja, menurut teori tersebut, bandulnya akan bergeser ke
kanan, artinya prosentase mereka yang berada pada arah sangat pandai yang
tinggi; atau bergeser ke kiri, dimana sebagian besar dari murid-muridnya
memiliki daya serap rendah. Itulah fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya.
Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintahan terkait
UN diharapkan berdampak positif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di tanah air. Pada saat yang
sama, diharapkan UN dapat menjadi barometer berklas internasional yang nilainya
diakui secara internasional. “Jumlah peserta UN kita terbesar ke empat di
dunia,” kata pak Menteri, “sehingga kita harus berjuang agar nilai UN kita
dapat diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan tingkat dunia.” Maksudnya, dengan
nilai UN yang tinggi, siswa yang bersangkutan akan dapat diterima tanpa tes
lagi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Kata kuncinya hanya satu,
pungkas pak Menteri: “UN yang kita laksanakan harus kredibel.”
Menurut para ahli evaluasi pendidikan, tidaklah sulit untuk
mengukur tingkat kredibilitas UN tersebut. Itulah yang kemudian diukur dengan
mengeluarkan Indeks Integritas, seperti yang saya uraikan di depan. Sekarang berpulang kepada kita masing-masing,
mau mengedepankan kejujuran yang diukur dengan indeks integritas tersebut, atau
masih terbuai dengan Nilai UN yang harus tinggi, meski tingkat kejujuran anak-anak
kita dipertaruhkan. Kalimat mana yang akan kita ungkapkan: “maaf, nilai UN
anak-anak saya rata-rata rendah; tapi saya bangga, mereka sangat jujur”…. Atau…..
“maaf, meskipun nilai rata-rata UN anak-anak saya tinggi, tapi saya sedih
karena ternyata, indeks integritas sekolah kami rendah.” Wallahu a’lam
bissawab.