Sabtu, 05 Maret 2016

UN 2016 DAN INDEKS INTEGRITAS


UN 2016 DAN INDEKS INTEGRITAS
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora Provinsi NTB


Gawe Nasional yang bernama UN kini sudah mulai ditabuh lagi. Pada waktu acara rembuk nasional pendidikan akhir  Februari 2016 yang lalu, Bapak Mendikbud Anies Baswedan meluncurkan Indeks Integritas semua Satuan Pendidikan dan Daerah se Indonesia. Dari indeks tersebut setiap daerah dan  sekolah akan mengetahui apakah daerah atau sekolahnya dalam posisi (1) Indeks Tinggi, Nilai UN juga tinggi; (2) Indeks Tinggi Nilai UN rendah: (3) Indeks Rendah Nilai UN tinggi; atau (4) Indeks rendah, nilai UN juga rendah.

Indeks tinggi atau rendah tersebut diukur dari sejauh mana kecurangan terjadi di suatu sekolah; secara sederhana, kalau 80% dari peserta ujian di sekolah itu jawaban salahnya di soal yang sama, maka indeksnya menjadi 20.  Tapi kalau hanya 10%, dari jumlah peserta ujian punya kesalahan di soal yang sama, maka nilai indeksnya 90.  Setelah itu baru dicek kebenaran jawabannya.

Ada sekolah yang indeksnya rendah, nilai rata rata UNnya juga rendah. Ini artinya, kunci jawaban yang beredar di sekolah tersebut adalah kunci yang salah. Tapi ada sekolah yang indeksnya tinggi, tapi nilai Unnya rendah; ini artinya mereka rata-rata jujur. Tidak ada kunci jawaban yang beredar, tidak ada kerja sama antar siswa yang dibiarkan. Mungkin karena soalnya yang memang tidak bisa mereka selesaikan dengan benar.

Dengan adanya kebijakan baru terkait “UN tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan siswa” akan terjadi paling tidak tiga hal: (1) Pelaksanaan UN benar-benar dilaksanakan dengan jujur: baik murid maupun gurunya. Tidak boleh lagi ada kecurangan yang dibiarkan; ketidak jujuran yang difasilitasi; dan kebocoran soal yang ditutup-tutupi.

(2) Kepala setiap satuan pendidikan tidak perlu khawatir akan mendapat sanksi atau teguran dari kepala daerah atau kepala dinasnya, hanya karena nilai UN di sekolahnya jelek atau banyak siswanya yang tidak lulus.   Justru kalau ternyata nilai UN nya jelek, Pemerintah atau Kementrian/Dinas akan memberikan perhatian khusus, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas satuan pendidikan tersebut.  Mungkin laboratoriumnya yang perlu dibenahi, atau guru-gurunya perlu ditambah, atau bahkan ruang kelasnya harus diperbanyak, dan sebagainya.  Intinya adalah, dari hasil UN tersebut akan dapat dijabarkan suatu kebijakan yang dapat membantu suatu satuan pendidikan meningkatkan kualitasnya.

(3). Masyarakat tidak perlu memiliki kehawatiran yang berlebihan terhadap nasib anak-anaknya; lulus UN atau tidak lulus UN. Ketika kelulusan siswa menjadi tanggung jawab penuh ibu dan bapak guru di sekolah, maka tentu para orang tua akan lebih ihlas untuk menerima hasil proses pendidikan anak-anaknya.  Tidak lagi ada yang mengatakan “hasil pendidikan tiga tahun ditentukan oleh ujian nasional yang tiga hari.”  Dengan mengembalikan kedaulatan satuan pendidikan dalam menentukan ‘nasib’ murid-muridnya, bukan berarti setiap anak akan ‘pasti lulus.’

Dalam teori kurva normal, pastilah diantara sekian banyak siswa, sebagian kecil ada yang kurang pandai, yang daya serap terhadap mata pelajaran kurang atau rendah; sementara sebagian besar dalam kondisi medioker atau normal, dan sebagian kecil lainnya dalam kondisi sangat pandai, atau daya serapnya tinggi. Itu teorinya. Tinggal berpulang pada para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan proses pendidikan di setiap satuan pendididikan. Bisa saja, menurut teori tersebut, bandulnya akan bergeser ke kanan, artinya prosentase mereka yang berada pada arah sangat pandai yang tinggi; atau bergeser ke kiri, dimana sebagian besar dari murid-muridnya memiliki daya serap rendah. Itulah fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya.

Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintahan terkait UN diharapkan berdampak positif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.  Pada saat yang sama, diharapkan UN dapat menjadi barometer berklas internasional yang nilainya diakui secara internasional. “Jumlah peserta UN kita terbesar ke empat di dunia,” kata pak Menteri, “sehingga kita harus berjuang agar nilai UN kita dapat diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan tingkat dunia.” Maksudnya, dengan nilai UN yang tinggi, siswa yang bersangkutan akan dapat diterima tanpa tes lagi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Kata kuncinya hanya satu, pungkas pak Menteri: “UN yang kita laksanakan harus kredibel.”  

Menurut para ahli evaluasi pendidikan, tidaklah sulit untuk mengukur tingkat kredibilitas UN tersebut. Itulah yang kemudian diukur dengan mengeluarkan Indeks Integritas, seperti yang saya uraikan di depan.  Sekarang berpulang kepada kita masing-masing, mau mengedepankan kejujuran yang diukur dengan indeks integritas tersebut, atau masih terbuai dengan Nilai UN yang harus tinggi, meski tingkat kejujuran anak-anak kita dipertaruhkan. Kalimat mana yang akan kita ungkapkan: “maaf, nilai UN anak-anak saya rata-rata rendah; tapi saya bangga, mereka sangat jujur”…. Atau….. “maaf, meskipun nilai rata-rata UN anak-anak saya tinggi, tapi saya sedih karena ternyata, indeks integritas sekolah kami rendah.” Wallahu a’lam bissawab.