Selasa, 23 Juni 2020

Kapan Korona Akan Berlalu? Kabar Baik dari Unram

Kapan Korona Akan Berlalu? Kabar Baik dari Unram

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.

Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram

 

 

Sangatlah menarik tema seminar digital atau Webinar Tngkat Nasional yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana Universitas Mataram hari Selasa 5 Mei 2020. Temanya adalah mirip judul tulisan ini. Kapan Pandemi Korona akan berakhir.  Saya kira Prof. Sarjan selaku Direktur Pasca Sarjana Unram sangat jeli memilih tema Webinar yang beliau inisiasi. Ini terbukti dengan banyaknya pendaftar yang ikut dalam seminar ini yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan salah seorang pesertanya adalah dari Departemen Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, yang mungkin menjadi bagian dari Satgas Covid 19 Tingkat nasional, yang ikut nimbrung dalam sesi tanya jawab.

 

Pembicara yang tampil dalam webinar nasional itu adalah para profesional yang  sangat berkompeten dalam menjawab pertanyaan tersebut.

 

Yang pertama tampil di layar monitor adalah dr. Hamsyu Kadrian, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, yang juga ketua Satgas Covid19 Unram.  Beliau mempresentasikan hasil kerja kolektif Tim yang dibentuk pak Rektor Unram, yang terdiri dari dosen FK, FMIPA, dan FT Unram.  Mereka berembuk dengan bekal ilmu masing-masing dan menghasilkan proyeksi model, dengan kasus NTB. Pada model pertama, dimana asumsinya intervensi pemerintah belum optimal. Dengan asumsi ini, diprediksi NTB akan mengalami puncaknya pada bulan Agustus 2020 dengan kasus positif di atas 5000 orang. Dan skenario ini sudah disampaikan ke Pak Gubernur NTB.

 

Namun dalam presentasi di Webinar tersebut, dr. Hamsyu memaparkan proyeksi yang lebih menggembirakan. Dengan intervensi pemerintah dan kesadaran masyarakat yang lebih baik, puncak pandemi di NTB akan maju menjadi bulan Juli dengan kasus positif sekitar 1959 orang.  Jauh lebih kecil dibanding dengan prediksi pertama.  Dalam permodelan ini variabel yang dipakai adalah proporsi orang rentan (suspectible), proporsi orang terinfkesi (infected), dan proporsi orang sembuh (recovered) atau disingkat SIR. Sedangkan parameternya adalah laju penyebaran akibat interaksi, berkurangnya orang yang terinfeksi, dan laju kesembuhan.

 

Pada pemaparan kedua, Dr. Khairil Anwar, seorang dosen muda di Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian yang baru menyelesakan S3 nya di UGM. Dengan model yang dibuat, ternyata bisa memprediksi kapan Pandemic Korona ini akan berakhir. Kasus yang datanya dipakai adalah Kota Mataram. Wali Kota Mataram pernah  mengikuti presentasi  model Pandemik untuk Kota Mataram ini. Itulah mungkin menjadi salah satu dasar pak Wali mengambil kebijakan utuk wilayah Kota Mataram.

 

Dengan Pendekatan Sistem Dinamik, Dr. Khairil Anwar membuat model matematis yang disebut SEIR, yaitu singkatan dari Suspectibles (Kelompok rentan), Exposed (Kelompok positif tanpa gejala), Infected (yang terpapar positif) dan Recovered (mereka yang sembuh). Adapun parameter yang dimasukkan ke dalam model yang dibangun adalah Populasi PPTG dan OTG, kapasitas Rumah Sakit, Kapasitas Fasilitas Kesehatan yang ada, Efektifitas Isolasi, Jumlah infeksi dari luar,  Tingkat penularan, dan terakhir Tingkat kematian.

 

Dr. Khairil mempresentasikan dua skenario. Yang pertama apabila tidak ada intervensi pemerintah, artinya tidak ada kebijakan lockdown seperti sekarang ini. Menurut trend kurve simulasi tersebut, dengan memasukkan berbagai variabel tersebut di atas, maka di Mataram bisa terjadi lonjakan kasus positif yang luar biasa besarnya. Menurut simulasi itu, pada pertengahan Juli akan mencapai  angka 360 orang terpapar per hari.  Jumlah yang jauh melebihi kapasitas fasilitas kesehatan yang ada di Kota Mataram.  Itulah yang menjadi kehawatiran pemerintah, khususnya pak Walikota Mataram, yang siang malam meminta masyarakat mentaati anjuran pemerintah untuk StayatHome.  Jangan sampai lonjakan seperti itu terjadi.  Dan itulah yang terjadi di Italy dan beberapa tempat lain di dunia, yang akibatnya banyak pasien yang tidak sempat ditangani oleh petugas kesehatan.

 

Sekenario kedua, apabila ada intevensi pemerintah seperti yang sekarang terjadi,  dan masyarakat mentaati, maka puncak pandemi di Kota Mataram akan terjadi pada minggu pertama Mei ini dengan kasus positif sebanyak 25 orang per hari. Setelah itu akan menurun dan kemudian melandai hingga pertengahan bulan Juli, dimana pada waktu itu tambahan kasus di bawah lima orang per hari. Dan seterusnya hingga menjadi nol kasus per hari.

 

Kedua model dari dua pakar di atas menurut saya konsisten dengan model yang dikembangkan dan terus di update oleh Jianxi Luo dari Singapore University of Technology and Design (http://ddi.sutd.edu.sg). Dalam publikasinya terakhir per 5 Mei 2020, dengan menggunakan model yang sama, dan variabel yang sama seperti yang dipergunakan oleh dr. Hamsyu dkk, yaitu SIR,  Luo memprediksi kalau untuk Indonesia, puncaknya terjadi pada minggu keempat April yang lalu dan secara teoritis akan berakhir pada tanggal 10 Juli 2020.  Tentu ini akan terjadi dengan asumsi tidak terjadi turbulensi setelah masa puncak itu.  Artinya jumlah kasus per hari secara nasional melandai atau bahkan bisa terus turun dari hari ke hari. Dan syaratnya jelas, kebijakan distancing masih tetap berjalan, sampai kira kira akhir Mei atau awal Juni, sambil mencermati, apakah kasus aktual bisa benar-benar konsisten dengan permodelan yang dibuat para pakar tadi.

 

Semoga saja ikhtiar pemerintah yang dibarengi dengan kesabaran dan ketaatan masyarakat kita akan dapat mempercepat berakhirnya pandemi ini.  Karena kurve normal itu, secara teoritis dapat bergerak ke kiri atau ke kanan,  atau bahkan melambung ke atas, tergantung input data yang dimasukkan. Wallahu a’lam bissawab.

 

Selamat Datang, Era New Normal

Selamat Datang, Era New Normal

 

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.

Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram

 

 

Saya yakin tidak banyak dari kita yang ingat,  apalagi mengikuti kebiasaan Proklamator Bung Hatta selama di Pulau Banda dulu, ketika kita menghadapi hidup dalam era Pandemi Korona ini, yang bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah. Apa yang kita alami sekarang ini, mengingatkan saya kepada kisah Proklamator Bung Hatta ketika berada di pengasingan Pulau Banda Neira tahun 1936-1942.  Beliau persis seperti era pandemi ini. Bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Yang membedakanya, mungkin kebiasaan beliau yang sangat disipiln.

 

Konon, seperti penuturan Bung Syahrir yang bersama Bung Hatta diasingkan di Banda Neira, setiap pagi, apa yang dilakukan Bung Hatta persis sama ketika beliau di rumahnya di Jakarta.  Berpakaian rapi, pakai sepatu, dan berangkat kerja. Bedanya, ketika di Banda Neira, beliau ‘berangkat kerja’ ke kamar kerja, ruang sebelah tempat tidur beliau. Bukan pergi ngantor ke bangunan lain.  Seperti itulah kedisiplinan beliau.  Beliau istirahat, ketika mendengar azan zuhur. Dan seterusnya.

 

Dari segi produktivitas, saya yakin banyak dari kita yang bisa seperti Bung Hatta. Tapi dari segi berpenampilan, saya yakin jarang. Ketika memberikan kuliah via Zoom Meeting pun, saya tidak pakai sepatu.  Bahkan hanya pakai sarung, meski bajunya rapi seperti di depan klas.  Produktivitas saya juga lumayan tinggi.  Bersama teman-teman, saya dapat menyelesaikan proposal penelitian yang kami submit ke lembaga donor internasional.  Saya juga berhasil menyelesaikan satu bahkan dua naskah buku ajar.  Saya tetap dapat memberikan kuliah online kepada mahasiswa saya, baik di Prodi Sosiologi maupun yang di Prodi Agribisnis.  Begitu juga bimbingan skripsi mahasiswa, KKN, dan PKL. Semua dapat berjalan dengan baik dan on schedule. Alhamdulillah saya juga berhasil ngupload naskah Deskripsi Diri dalam proses Sertifikasi Dosen pada waktunya.

Sebuah proses yang sesungguhnya proses normal yang memang menjadi tugas dan tanggung jawab saya.  Cuma situasinyalah yang tidak normal.  Semua dikerjakan di rumah.  Bukan di kantor atau di kampus.

 

Era New Normal

Istilah New Normal atau Normal Baru pertama kali diperkenalkan oleh Roger McNamee, dalam sebuah artikel yang diterbitkan  di majalah Fast Company pada tanggal 30 April 2003. Menurut Roger McNamee, istilah New Normal mengacu ke situasi dan atau perilaku baru pada suatu komunitas atau bahkan seseorang yang dibawanya dari perilaku yang ‘menjadi kebiasaannya ketika ada fenomena yang memaksa yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu.’  Sebagai contoh, dari apa yang saya alami dan lakukan selama masa pandemi ini.  Ketika pandemi ini berakhir, semoga dalam waktu tidak terlalu lama ke depan, perilaku saya dalam memberikan kuliah, dalam berkarya tulis ilmiah, dan dalam berkomunikasi dengan teman sejawat via daring, dan lain-lain, tidak banyak saya ubah, artinya tetap seperti waktu pandemi berlangsung, maka itulah yang  disebut new normal. Kebiasaan cuci tangan ketika akan masuk rumah setelah bepergian, tetap dipertahankan, itu new normal.  Kewajiban menjaga jarak, bahkan juga pakai masker, tidak saling berjabat tangan atau cipika cipiki ketika dipertahankan setelah pandemi berlalu, itu new normal. 

Dengan bahasa sederhana, memang masa pandemi yang berlangsung berbulan-bulan ini pasti akan membawa perubahan perilaku kita sehari-hari.  Kebiasaan dalam konteks ini adalah apa yang biasanya kita lakukan se hari-hari di rumah. Sudah tentu, yang seharusnya kita biasakan ke depan adalah perilaku dan aktifitas keseharian kita yang produktif.

Salah satu kegiatan yang kiranya perlu menjadi kegiatan dalam era new normal kita kedepan adalah penggunaan video conference, atau bertemu dalam sebuah acara seminar, lokakarya, ataupun rapat yang melibatkan banyak orang melalui teknologi video conference. Melalui kegiatan video conference ini ternyata kita bisa sangat efektif dalam ber seminar atay berdiskusi.  Kita bahkan bisa menghadirkan pembicara yang ber klas nasional dan internasional, tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Demikian pula dari segi peserta, kita bisa mengundang peserta dari seluruh dunia. Suatu kegiatan yang sebelum pandemi korona ini terjadi, sangat jarang kita bisa laksanakan. Padahal teknologinya sudah tersedia. Nah, ketika era ini berlalu, kemudian kegiatan webinar (istilah untuk seminar online) terus secara berkala kita adakan, maka itu adalah new normal.

Yang pasti akan juga menjadi bagian dari new normal kehidupan kita ke depan adalah dalam bidang pendidikan.  Proses pembelajaran sistem daring selama era pandemi ini, pada semua tingkatan pendidikan, pasti banyak akan berpengaruh pada kebiasaan pembelajaran ke depan. Penggunaan teknologi informasi dengan berbagai aplikasinya kiranya telah menjadi bagian dari proses pengajaran yang semakin diminati oleh para pengajar, yang awalnya terpaksa dipergunakan. Ini akan menjadi bagian penting new normal di masa mendatang.  Bahwa proses belajar mengajar tidak harus 100 persen dengan metode tatap muka di depan klas. Ada bagian kebiasaaan di era pandemik, yaitu sistem daring, yang juga dapat dipergunakan dan cukup efektif.  Ada waktu dimana peserta didik tidak harus datang ke sekolah atau ke kampus. Dengan demikian, akan ada waktu lebih banyak untuk pendidikan di rumah, termasuk interaksi bersama anggota keluarga lainnya. Atau ketika dalam proses belajar mengajar ada kebutuhan untuk mendatangkan narasumber dari luar sekolah. Kita dapat menggunakan sistem seperti yang terjadi selama pandemi ini berlangsung. Ini menjadi bagian penting dari hikmah yang harus diambil dari proses belajar mengajar selama pandemi ini. Dan inilah salah satu kebiasaan baru new normal yang akan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kita di depan. Di semua tingkat pendidikan. Wallahu a’lam bisssawab. Lombok Post, Juni 2020

 

SOCIETY 5.0 DAN COVID-19

SOCIETY 5.0 DAN COVID-19

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.

Ketua Program Studi Sosiologi

Universitas Mataram

 

 

Ketika melaunching visi baru bangsanya dengan istilah Society 5.0, mengiringi  istilah Industrial Revolution 4.0,  dalam World Economic Forum  yang berlangsung di Osaka Jepang Juni 2019, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mungkin tidak membayangkan kalau pada tahun berikutnya, 2020, di dunia muncul pandemik korona 19 seperti sekarang ini.  Pandemi yang ternyata bisa mengakselerasi terwujudnya visi tersebut. Tidak membayangkan kalau dalam suatu masa kehidupan di dunia ini muncul istilah lockdown, dimana manusia di sebagian besar belahan bumi diminta untuk stay at home, work from home, alias tidak boleh keluar rumah. Abe tidak pernah membayangkan kalau pandemi seperti sekarang ini melanda hampir seluruh permukaan bumi. 

 

Yang terbayangkan adalah, sepeerti yang dipresentasikan dalam forum tersebut, bahwa kehidupan manusia di kemudian hari menjadi sangat tergantung dari  internet of thing.  Masyarakat kemudian mengarah ke apa yang dia sebut  sebagai "A human-centered society that balances economic advancement with the resolution of social problems by a system that highly integrates cyberspace and physical space." Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, “suatu kehidupan masyarakat yang tingkat perekonomiannya sedemikian maju yang mampu menyelesaikan persoalan sosialnya dengan mengintegrasikan dunia maya dan dunia nyata.”  Dunia maya atau cyberspace di sini tentu maksudnya adalah Internet of Thing, atau segala sesuatu yang berbau internet, atau teknologi informasi. Dunia nyata, ya kehidupan dunia yang selama ini kita jalani.

 

Kehidupan seperti itulah yang kemudian dikenalkan dengan istilah Society 5.0 atau Masyarakat 5.0.  Isitilah ini mungkin terinspirasi dari istilah Industry 4.0 yang sudah muncul dan secara resmi diperkenalkan oleh Kanselir Jerman Barat Angella Merkel dalam World Economic Forum pada tahun 2015. Angka 4.0 di”hitung” dari era  revolusi industri tahun 1776 dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt (1.0),  kemudian ditemukanya ban berjalan (2.0) dan berkembangnya komputer dan robot (3.0).  

 

Sedangkan angka 5.0 diambil sebagai kelanjutan dari era masyarakat berburu (hunting society) sebagai titik awal atau Society 1.0; kemudian dilanjutkan dengan era masyarakat pertanian (agricultural society) sebagai Society 2.0. Setelah itu berkembang menjadi masyarakat industri (industrial society) yang dikoinkan dengan istilah Society 3.0. dan masyarakat informasi (information society) dengan julukan Society 4.0. 

 

Sekarang ini kita sudah berada pada era Society 5.0, dimana kehidupan kita menjadi sangat tergantung dari ada atau tidaknya sinyal internet.  Berbeda dengan era sebelumnya, yaitu era masyarakat informasi, dimana berbagai informasi yang ada kita bisa dapatkan dari internet kemudian kita olah; pada era Sociey 5.0, berbagai data yang ada sudah terkirim sedemikian besar dan banyaknya via internet ke dunia maya (cyberspace) dan kemudian diolah oleh sebuah teknologi canggih yang bernama artifical intelligence.  Kehadiran robot dalam berbagai penggunaannya adalah aplikasi nyata dari penggunaan artificial intelligence itu.  Atau lebih canggih lagi penggunaan pesawat tanpa awak (drone) untuk berbagai keperluan.

 

Ketka saya berkunjung ke pusat pabrik Honda di Tokyo pada tahun 1988, waktu itu sebenarnya sudah diperkenalkan prototype mobil tanpa pengemudi.  Pada showroom besarnya Honda, prototype itu sudah dipamerkan.  Perkiraannya mobil tersebut akan dipasarkan pada sekitar tahun 2000.  Namun hingga hari ini belum keluar. Malah Google konon sedang mempersiapkan mobil tanpa stang setir itu alias berbasis artificial intelligence dan akan diluncurkan sektar tahun 2023.  Jadi kalau hari ini dengan GPS kita bisa menyetting jalan paling cepat untuk menuju suatu tempat, kemudian dengan pegang kemudi kita bisa mencapainya. Lima atau sepuluh tahun ke depan, kemudi atau stang setir tidak diperlukan lagi. Cukup cek dan klik di GPS, hidupkan mobil, klik RUN, maka kita “tinggal terima nyampe tujuan.” Tentu dengan selamat.

 

Covid-19

Hadirnya Covid-19, ternyata mempercepat proses terwujudnya Society 5.0. tersebut. Intensitas penggunaan Internet of Thing dalam kehidupan kita sekarang ini cukup tinggi.  Penggunaan video conference untuk ‘bertatap muka’ secara virtual menjadi sangat intens.   Mulai dari belanja untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, untuk keperluan pendidikan, seperti belajar mengajar, rapat-rapat, bahkan sampai pelaksanaan seminar dan konferensi yang sifatnya nasional dan internasional kita menggunakan video conference. Dan bisa melibatkan banyak orang seperti kalau kita mengadakan seminar secara konvensional.

 

Teknologi video conference ini sesungguhnya sudah ada sejak lama.  Tapi kita masih kurang ‘sreg’ rasanya kalau kita mengadakan kegiatan dengan tatap muka secara langsung.  Rapat-rapat offline rasanya masih demikian pentingnya, sehingga meskipun kegiatan itu sebenarnya cukup dilaksanakan secara online, kita masih lebih senang memilih  off line. Proses penyelesaian administrasinya yang lebih mudah (karena memang sudah sangat terbiasa) menjadi alasan utamanya. Disamping alasan klasik lainnya. Intinya kita masih enggan menggunakan teknologi yang sesungguhnya bisa membantu mempermudah dan memperlancar kegiatan kita.

 

Sekarang dengan segala bentuk keterpaksaan, kita harus menggunakan sistem online ataupun sistem virtual.  Pemerintahpun sudah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung sistem online tersebut. Di hampir semua bidang kehidupan, dengan alasan untuk segera “memutus rantai berkembangnya covid19.”  Kita belum tahu pastinya sampai kapan. Yang jelas kemudian hal tersebut membuat kita menjadi lebih terbiasa menggunakan fasilitas Internet of Thing itu.  Mungkin secara tidak sadar sepenuhnya, kita kini sudah memasuki era Society 5.0 seperti yang dimaksudkan oleh Perdana Menteri Jepang  Shinzo Abe dalam presentasinya di depan peserta World Economic Forum tahun 2019 seperti yang saya singgung di awal tulisan ini. Wallahu a’lam bissawab. Lombok Post, 22/6/2020