Senin, 28 April 2014

AIR MENGALIR DI ERA TGB

Air mengalir di Era TGB
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Ketika memberikan arahan kepada jajaran Bappeda NTB menjelang Musrenbang Provini NTB 2014, Bapak Gubernur, Dr. TGH M Zainul Majdi menyatakan bahwa: “kita sudah dapat melaksanakan dengan baik tugas kita terkait dengan infrastruktur jalan.  Saya ingin, lima tahun ke depan, kita dapat menyelesaikan tugas kita untuk meningkatkan akses masyarakat terkait air bersih.  Masih banyak anggota masyarakat kita di desa-desa, khususnya daerah Lombok Selatan yang masih kesulitan dengan air. Khususnya pada bulan-bulan tertentu.  Bahkan kadang-kadang itu menjadi alasan mereka tidak shalat. Karena tidak ada air untuk ber wudlu. Nah, kalau itu kita biarkan,  tidak ada upaya untuk mengatasi, maka kita tentu ikut berdosa.  Saya sebagai gubernur juga ikut dosa.”  Sebuah ungkapan yang tulus dari seorang pemimpin yang agamis.  Yang faham betul tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin ummat. 

Persoalan air memang masih merupakan persoalan di sebagian desa-desa kita yang berada di wilayah selatan pulau Lombok dan beberapa wilayah di Pulau Sumbawa.  Memang tidak sepanjang tahun.  Tapi pada bulan-bulan tertentu, banyak keluarga yang harus mengangkut air dari sumbernya yang jaraknya satu sampai tiga kilometer.

Ketika menemani Prof. Emil Salim ke beberapa desa binaan WFP di wilayah Lombok selatan dua tahun yang lalu, beliau melihat sendiri berbagai infrastruktur  air bersih yang telah terbangun; namun banyak yang sudah tidak fungsional lagi.  Dari wawancara singkat dengan beberapa warga, dapat  disimpulkan bahwa masyarakat setempat mungkin sudah tidak lagi mempersoalkan kondisi dan situasi yang dihadapi.   Semua sudah dianggap biasa.   Mengambil air dengan jarak yang relatif jauh, dianggap sudah biasa.   Kalaupun kemudian, seperti yang diceriterakan oleh Pak Gubernur, mereka tidak menjalankan kewajiban shalatnya karena tidak ada air untuk berwudlu, juga mungkin dianggap biasa. Nauzubillah.

Yang menjadi persoalan adalah, apabila pemerintah, yang nota bene memiliki tanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur sumberdaya air bagi warganya, menyerah begitu saja terhadap hal tersebut.  Memang, sudah sekian banyak program pemerintah telah dilaksanakan untuk mengatasi persoalan air bagi masyarakat, khususnya di daerah-daerah kering.  Baik program yang sumbernya APBN maupun bantuan luar negeri.  Namun hingga kini, belum ada yang benar-benar sustain, yang benar-benar dapat membuat air mengalir sampai ke rumah, sepanjang tahun.  Padahal dari segi potensi sumberdaya air yang dimiliki, khususnya di Pulau Lombok, semestinya air yang ada, volumenya cukup memadai.  Indikasinya, masih banyak air sungai kita yang mengalir begitu saja hingga ke laut tanpa ada intervensi untuk memanfaatkannya, baik sebagai air irigasi ataupun air bersih.

Oleh karena itu, apa yang Bapak Gubernur risaukan dan arahkan kepada para perencana pembangunan di NTB, merupakan sesuatu yang sangat strategis dan harus dapat dilaksanakan. Menurut data BPS NTB, untuk daerah perkotaan, kondisi akses masyarakat terhadap air bersih pada tahun 2013 adalah 79,35%, sedangkan daerah perdesaan 71,42%. Dari kondisi tersebut, menurut perencanaan dalam RPJMD NTB 2013-2018, diharapkan pada tahun 2018 akan dapat meningkat, paling tidak menjadi 87,56% untuk daerah perkotaan dan 81,87% untuk daerah perdesaan.

Untuk mencapai, bahkan kalau mungkin melampaui target tersebut, harus segera disusun roadmap percepatan peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih Nusa Tenggara Barat; kemudian diproses menjadi peraturan daerah.   Kalau NTB sukses menjadi nomor tiga nasional dalam bidang kebinamargaan, atau pembangunan infrastruktur jalan raya, karena didukung Perda multiyears, saya kira untuk percepatan peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih juga dapat dilaksanakan dengan pola yang sama.   Sehingga jelas program dan kegiatan yang akan dilaksanakan selama tiga sampai lima tahun ke depan, dan berapa anggaran yang dibutuhkan. Sehingga kalau untuk buta aksara kita mengenal istilah Absano atau angka buta aksara nol, terkait sanitasi kita mengenal BASNO (Buang air sembarangan nol) maka lima tahun ke depan, mengapa kita tidak bertekad membuat  MAsyarakat yang Tidak memiliki Akses terhadap air berSIH NOL atau boleh disingkat MATASIHNO.


Dengan Gerakan Matasihno, atau apapun namanya, masyarakat di daerah yang selama ini kesulitan dengan air, khususnya pada musim-musim panas, akan mendapatkan akses air yang relatif sama dengan masyarakat di desa atau daerah lain di NTB.  Dalam lima tahun ke depan tidak akan ada lagi warga yang tidak bisa shalat karena tidak ada air untuk berwudlu.  Tidak perlu lagi ada ibu-ibu atau anak-anak remaja harus mengambil air sepanjang satu sampai tiga kilometer.   Tidak boleh lagi ada warga kelas dua, karena akses terhadap air, di daerah ini. Karena semua kita, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan pelayanan minimum.  Termasuk di dalamnya, hak terhadap layanan air bersih. Caranya adalah dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada, baik teknologi maupun finansial.  Sehingga di era TGB ini, air benar-benar dapat mengalir sampai ke rumah-rumah, di seluruh wilayah NTB, dan sepanjang tahun. Insya Allah (Jkt, 250414).

Kamis, 17 April 2014

LECI, MENIRU SINGAPURA DAN CHINA



Membangun LECI, meniru Cina atau Singapura?

LECI, atau Lombok as Ecocity Island adalah sebuah gagasan untuk membangun Pulau Lombok dengan mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.  Bahkan sering saya katakan, ini adalah sebuah paradigma.  Paradigma pembangunan, yang memang didasari pada suatu kaidah keilmuan, bagaimana kita membangun dengan memperhatikan teori-teori pembangunan.  Teori-teori adalah pilihan-pilihan. Kita harus memilih dari berbagai teori yang ada.

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan." Menurut Brundtland Report dari PBB, (1987), pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas. 

Pilihan terhadap "sustainable development paradigm" kemudian dijabarkan dalam bentuk LECI didasarkan pada kenyataan bahwa Nusa Tenggara Barat adalah gugusan pulau-pulau kecil, atau relatif kecil.  Ada lebih dari 280 pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.  Sementara ‘main island’nya adalah Lombok dan Sumbawa. Yang juga relatif kecil.  Lombok, khususnya, dengan luas sekitar 5000 km persegi dan dihuni lebih dari 3 juta manusia, menjadi pulau yang terpadat ketiga di Indonesia, setelah Jawa dan Bali.   Artinya, jika tidak dikelola dengan baik, dengan pilihan kebijakan yang tepat, maka daya dukung Pulau Lombok terhadap kehidupan di atasnya, akan dapat segera tergerus.

Lombok, dengan luas areal pulaunya yang relatif kecil itu lambat laun pasti akan menjadi Kota Pulau; seperti halnya Singapura sekarang. Desa-desa dan kelurahan akan berkembang sedemikian rupa, sehingga pada waktunya nanti tidak akan ada pembatasnya.  Jika sekarang masih dapat dilihat dengan jelas, pembatas antara desa yang satu dengan yang lain, yaitu bentangan sawah atau rimbunnya kebun, maka suatu ketika nanti, bentangan swah dan kebun itu akan menjadi bangunan-bangunan dengan karakter yang jauh berbeda sama sekali dibandingkan dengan pertanaman yang memberi rona kehidupan masyarakat.

Belajar dari Singapura dan China
Kalau kita lihat model pembangunan di Singapura, maka hal pertama yang akan mengesankan kita adalah infrastruktur jalannya yang baik sekali.  Baik dalam hal penataannya, maupun dalam hal kualitas serta volume ruas jalan-jalan tersebut.  Mungkin tidak ada jalan di Singapura yang sempit.  Semua ruas jalan lebar-lebar, sehingga dapat ditata menjadi dua jalur, empat lajur.  Bahkan ada yang dua jalur, enam lajur.   Sehingga kemana saja kita bepergian, kita dapat dengan mudah mengendarai kendaraan umum ataupun pribadi.  Padahal luas Singapura, mungkin sepersepuluh luas Pulau Lombok.

Menyadari luas wilayahnya yang seperti itu, sejak awal, desain pembangunan property di Singapura dibuat keatas.  Artinya, tidak ada rumah atau pemukiman penduduk atau kantor yang tidak bertingkat.  Kalau dalam bahasa melayu, rumah pangsa.  Sebab lahan mereka memang sangat terbatas.  Dengan jumlah penduduk yang relatif padat, mereka memang tidak ada pilihan lain.  Kalaupun mereka melakukan reklamasi pantai, potensinya juga terbatas, disamping memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Namun yang menarik, meski daratannya sangat luas, ketika saya mengunjungi Beijing China, dan sempat berkeliling ke daerah pedsaan di China, ternyata pola ‘”membangun ke atas” ini juga diterapkan di pedesaan-pedesaan di China.  Program ini dimulai di awal era delapan puluh atau sembilan puluhan.   Desa-desa yang padat penduduknya, dengan pola pemukiman yang konvnesional, menyebabkan dua hal: pertama, laju alih fungsi lahan pertanian sangat tinggi.  Persawahan dengan cepat berganti menjadi tempat pemukiman, pembangunan perumahan penduduk, yang memang tidak mungkin dihindari.  Kedua, dengan pola pemukiman padat seperti itu, rumah yang dibangun kecil-kecil, dan area terbuka hijuanya menjadi sangat terbatas, ataupun bahkan tidak ada.  Anak-anak menjadi tidak memiliki tempat untuk bermain di luar jam sekolah.

Nampaknya dari fenomena ini kemudian China membuat kebijakan apa yang disebut “rural restoration”  yang intinya, membangun pemukiman dengan pola ke atas.  Sehingga, katakanlah satu kampung yang padat dengan penduduk, katakanlah seribu KK, pola pemukiman padat tanpa ada RTHnya, maka kampung itu diratakan dulu dengan tanah.  Rumah-rumah di situ kemudian dihancurkan, dan disitulah dibangun rumah tingkat yang kemudian dapat menampung seribu KK.   Karena membangun ke atas, maka lingkungan yang tadinya tidak memiliki RTH, akan memiliki RTH yang cukup, untuk keperluan pelestarian lingkungan dan juga untuk tempat bermain anak-anak atau keluarga.  Dengan demikian, tumbuh kembang anak dan generasi muda pedesaan di China akan menjadi lebih baik ke depan.  Lingkungan pedesaan juga akan menjadi lebih asri.  Laju alih fungsi lahan pertanian juga akan dapat dikendalikan.

Dalam fikiran saya, kita dapat membangun Pulau Lombok  seperti itu.  Meniru apa yang telah dilakukan oleh Singapura dan China.   Dalam hal konektivitas, semua sudut di Lombok ini, khususnya sumbu-sumbu pertumbuhan ekonomi harus dapat terhubungkan dengan infrastruktur jalan yang lebar dan mulus.   Laju konversi lahan pertanian harus dapat dikendalikan dengan pola pendekatan “membangun ke atas.”  Dengan pola membangun ke atas ini, kita akan tetap dapat mempertahankan ruang terbuka hijau, ruang yang luas untuk anak-anak bermain, atau tempat kita ‘menghirup udara segar.’  Rumah-rumah susun, seperti di Cina, tidak saja mewarnai kota-kota besar, tapi juga desa-desa.   Bahkan desa-desa di Cina yang tadinya padat dengan pemukiman tradisional dan tidak memiliki RTH, banyak yang sudah dipoles ulang.  Rumah-rumah tersebut diratakan dengan tanah, kemudian dibangun rumah susun yang tinggi, sehingga dapat menyisakan paling tidak 30-40% nya sebagai RTH-nya.  SPM di bidang perumahan menjadi lebih komplit; ada rumah, ada ruang terbuka hijaunya, atau tempat bermain anak dan juga tempat berolah raga keluarga.  Bukankah untuk kehidupan yang sehat, kita membutuhkan disamping pangan, sandang, dan papan, juga olah raga dan rekreasi. Maka, ketika dengan pola perumahan konvensional ternyata tidak dapat memenuhi salah satu kebutuhan tersebut, dalam hal ini adalah RTH, maka China segera mengadakan restorasi. Merubah pola pembangunan horizontal menjadi vertikal. Inilah yang mungkin menarik untuk kita tiru, dalam konteks membangun Lombok as Ecocity Island, atau LECI. Wallahu a’lam bissawab. (Mataram, 170414)

MEMBANGUN SINGAPURA BESAR BERNAMA LOMBOK



Saya merasa beruntung berapa kali berkesempatan melawat ke Singapura. Sebuah negara kota, sekaligus negara pulau. Luasnya kurang dari 500 km persegi dengan berpenduduk sekitar 4 juta orang.‘kompensasi’ antara Lee Kuan Yew dengan saingan politiknya di Malaysia. Menjadi negara berdaulat sejak tahun 1959 (punya pemerintahan sendiri 3 Juni 1959, terpisah dari Malaysia, 9 Agustus 1965). Pada saat itu penduduk Singapura berjumlah 1,6 juta orang yang terdiri dari tiga etnik mayoritas, yaituChina, Melayu, dan India. Meski secara konstitusi bahasa resmi negara adalah melayu – sebagaimanahalnya Malaysia, namun dalam keseharian mereka lebih fasih berbahasa Inggris.

Telah menjadi rahasia umum bahwa terdapat perbedaan kultur antara negara yang dijajah oleh Inggris dibandingkan dengan negara yang dijajah oleh Belanda. Intinya, konon, negara Inggris sangat memperhatikan pendidikan penduduk negara yang dijajah. Sementara Belanda kurang perhatian. Kalaupun ada, tidak terlalu banyak. Dan tentu sangat selektif.

Tidak semua orang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan, yang paling bawah sekalipun. Sementara Inggris, konon, memberikan kesempatan luas bagi negeri yang dijajah untuk mengenyam pendidikan. Itulah sebabnya, lembaga lembaga pendidikan di negara negara jajahan Inggris berkembang dengan baik. Dampaknya, mungkin ini hikmahnya, Bahasa Inggris menjadi berkembang juga di negara negara terjajah dan dipertahankan menjadi second language di kemudianhari. Contohnya Malaysia dan Singapura, menyebut negara terdekat. Juga India.  SementaraBelanda tidak demikian. Dan itu juga mungkin yang menyebabkan Bahasa Belanda tidak berkembang di negeri eks jajahannya seperti halnya Bahasa Inggris.

Ketika berdiri menjadi sebuah negara, posisi penduduk Singapura tercatat berjumlah 1.646.000orang. Proporsi penduduknya kira kira sebagai berikut: Cina 74,1 persen, India 9,2 persen, Melayu13,4 persen dan lainnya 3,3 persen pada tahun 2010. Bentuk pemerintahannya adalah parlementer, dimana presiden hanya sebagai Kepala Negara, sementara Kepala Pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri. Pada posisi itulah Lee Kuan Yew mulai membangun Singapura sejak 5 Juni 1959 hingga dia melengserkan diri pada 28 November 1990 untuk kemudian menjadi Menteri Senior yang tetap berpengaruh terhadap pemerintahan Singapura.

Membangun dengan keterbatasan sumberdaya alam, Singapura tentu mengandalkan dua hal, yaitu sumberdaya manusia dan letaknya yang strategis sebagai semenanjung yangdilewati oleh mereka yang akan melintasi: antara Eropah dan Asia Barat ke Asia Timur atau keAustralia. Itulah sebabnya pelabuhan laut Singapura merupakan pelabuhan terpadat kedua di dunia, setelah Pelabuhan Shanghai. Untuk saat ini, hanya melalui pintu Singapura-lah kapal-kapal dunia itu berlayar mengangkat barang-barang dari Eropah ke Asia Timur, Australia atau sebaliknya. Pada suatu ketika, pasti kapal kapal tersebut akan jenuh dan memerlukanalternatif alur laut yang lain.

Faktor lainnya adalah karena bobot atau tonase dari kapal kapal laut makin lama menjadi makin besar dan makin berat. Menurut Dr Son Diamar, ahli kelautan yang pernah menjadi deputi di Bappenas, saat ini tengah dbangun kapal kapal type PostPanamax dengan panjang 4,5 kali lapangan sepakbola (450m), melebihi 300.000 DWT dan mampu membawa kontainer 13.000s Tus yang tentu tidak bisa melewati Selat Malaka. Merekaharus mencari aternatif lain. Yaitu yang dikenal dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia 2 atau ALKI 2 yang menyusuri Samudra Hindia di bagian bawah Sumatra, kemudian belok di Selat Sunda menuju Selat Lombok dan terus ke utara melewati selat Sulawesi dan ke Laut China Selatan. Pada saat itu, Lombok menjadi pilihan paling tepat untuk disinggahi.

Seperti hasil kajian yang kini tertuang dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), Lombok adalah salah satu tempat yang cocok untuk dibangun suatu Global Hub (persinggahan kapal kapal dunia). Apakah untuk mengisi bahan bakar, atau sekadar beristirahat dari perjalanan panjang mereka dari benua Eropah atau Asia Barat. Atau bahkan untuk menurunkan atau menaikkan barang.  Persis seperti kondisi Singapura di tahun 1959 ketika mereka mulai membangun negerinya.

Itulah sebabnya, ketika berkesempatan mengunjungi Singapura, saya berhayal bahwa suatu ketika, Lombok akan menjelma menjadi Singapura Besar. Mengapa besar, karena memang luas pu- launya sepuluh kali luas Singapura, sementara jumlah penduduknya hampir sama. Yang beda adalah kualitas SDMnya. Itulah sebabnya, masalah pendidikan SDM ini harus menjadi prioritas utama.

Kita harus segera mengejar kemajuan yang ada di depan mata dan meninggalkan berbagaimacam hal yang menyebabkan kita tertinggal. Masalah buta aksara, masalah drop out pendidikan, masalah kesempatan kerja dan peluang usaha dan lain lainnya, haruslah kita akseleratifkan. Dan kita sudah “on the way” sekarang ini. Bahwa belum nampak secara signifikan hasilnya, ya memangkita harus sabar. Investasi pendidikan tidak dapat kita rasakan dampaknya dalam kurun waktu satudua tahun. Paling cepat lima tahun, bahkan lebih. Karena urutan berikutnya adalah dampaknya terhadap pola fikir masyarakat. Pola fikir yang akan membawa masyarakat mewujudkan suatu bentuk peradaban modern.

Oleh karena itu sangat tidak masuk akal kalau ada orang yang menafikan sektor pendidikan, ketika ingin membangun budaya ataupun peradaban. Pendidikan itulah kuncinya.Malaysia dan Singapura mulai menerapkan 20 bahkan 25 % APBN nya untuk pendidikan sejak tahun 70 an. Sedangkan Indonesia tahun 2000 an. NTB sendiri sejak tahun 2009, sehingga wajar kalau ada perbedaan di berbagai bidang antara kita dan kedua negara tersebut hari ini.

Namun tidak ada kata terlambat dalam membangun. Ampenan ataupunkawasan Kayangandi KLU, Insya Allah akan segera men- jelma menjadi salah satu faktor pembangkit pembangunan di Lombok. Seperti halnya Ampenan atau Pelabuhan Carik di masa jayanya tempo doeloe. Tentu dengan wajah yang lebih modern. Mirip-mirip dengan pelabuhan yang ada di Singapura hari ini. Namun kedepan, akan lebih besar, lebih ramai dan tentu akan membawa masyarakatnya lebih maju dan lebih sejahtera. Insya Allah.

EMPAT T



Ketika transit di bandara internasional Malaga, salah satu kota besar di Spanyol–setelah berwisata ke Granada, Spanyol, kota peninggalan zaman keemasan Islam di Eropah, saya membeli sebuah buku manajemen yang merupakan kumpulan dari berbagai buku seller. Judulnya adalah “The Management Gurus, Lessons from The Best Managament Books of All Time.” Buku ini merupakan himpunan abstraksi dan ringkasan eksekutif dari 15 buku managemen karya para penulis terbaik dunia.

Salah satu penulis yang tulisannya diringkas dalam buku tersebut adalah John C. Maxwell yang menulis buku dengan judul “Winning with People.” Dalam buku ini Maxwell menjelaskan bagaimana cara membangun dan mempertahankan hubungan baik dengan orang orang, yang pada dasarnya untuk kepentingan kita sendiri juga.  Tulisan tersebut didasarkan atas hasil observasinya terhadap orang orang sukses dalam sejarah modern peradaban dunia, seperti Dale Carnegie, John Wooden, Ronald Reagan, dan Norman Vincent Peale.

Buku lain yang ditulis Maxwell adalah “The 21 Irrefutable Laws of Leadership.” Buku ini menjadi salah satu best seller di Amerika Serikat yang dibeli oleh lebih dari satu juta orang sejak tahun 1999. Di dalam buku tersebut diuraikan 21 Hukum Kepemimpinan yang tak bisa ditolak. Salah dua di antara hukum tersebut adalah “Trust is foundation of leader ship” ( keper cayaan adalah l andasan ut ama sebuah kepemimpi nan) dan “Leadership develops daily, not in a day” (kepemimpinan dibangun setiap hari, bukan dalam sehari).

Maksudnya secara sederhana tidaklah sulit untuk dipahami. Bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang sangat berharga dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dengan kata lain, kalau kita mau menjadi pemimpin, maka kepercayaan orang lain haruslah kita pelihara dan jaga sebaik-baiknya. Ada pepatah sewaktu sekolah yang sering kita dengar: “sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak percaya”. Maksudnya tidak lain agar kita jangan pernah berlaku tidak jujur atau berbohong pada orang lain.

Hukum yang kedua,  adalah hubungan keseharian kita dengan orang lain akan mempengaruhi tingkat kepercayaan kita dan juga kepemimpinan kita. Bisa saja ada orang yang tiba tiba diangkat menjadi pemimpin secara structural kedinasan, karena pangkat atau senioritasnya. Namun untuk membangun kepemimpinan agar kemudian tugas tugasnya menjadi pemimpin bisa efektif tentu dia harus membangunn hubungan yang baik dengan para anak buahnya dalam waktu tertentu. Tidak mungkin dalam sehari.

Yang menarik dari tulisan Maxwell tersebut adalah adanya prinsip Empat T, yang menurut saya seringkali kita lakoni sehari hari.  Ada empat T yang harus mendapat perhatian kita sebagai pemimpin ataupun mereka yang mau menjadi pemimpin.

T yang pertama adalah “Total Picture”. Setiap pemimpin tidak boleh mengambil keputusan hanya dengan informasi sebagian alias yang tidak utuh. Apalagi tidak imbang. Seorang pemimpin harus memiliki gambaran yang utuh dan berimbang terhadap suatu permasalahan. Untuk itu, kita harus dapat mendengarkan, mencari informasi dari berbagai fihak yang terlibat atau kita anggap mengetahui persoalannya.

T yang kedua adalah “Timing”. Seorang pemimpin harus dapat mengetahui falsafah waktu. Bagi seorang pemimpin, waktu adalah sesuatu yang amat berharga. Banyak kita dengar orang mengatakan, “kesempatan tidak pernah datang dua kali.” Maknanya jelas, kita harus dapat memanfaatkan waktu sebaik baiknya. “Jangan membuang buang waktu,” kata orang tua kita. Dalam tulisan Maxwel: seorang pemimpin harus dapat mengetahui “kapan dan di mana dia harus mengatakan apa dan kepada siapa.” Janganlah kita mengeluarkan kata kata yang ternyata waktunya (timingnya) tidak tepat; atau audiensnya tidak tepat. Demikian juga janganlah kita tidak mengatakan sesuatu jika memang ‘timing’nya memang mengharuskan kita untuk mengatakannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kalau waktu itu kita harus marah, ya kita harus keluarkan. Kalau waktunya bercanda, ya jangan kita marah. Kira-kira demikian.

T yang ketiga adalah “Tone”, atau nada suara. Seringkali kita tidak tepat dalam mengeluarkan nada suara. Akibatnya cukup fatal. Orang lain menganggap kita lagi marah, padahal sesungguhnya tidak demikian. Ini hanya karena nada suara kita yang menurut orang yang mendengarkan terlampau tinggi. Itulah sebabnya, nada suara ini juga perlu kita perhatikan. Jangan sampai membuat orang salah persepsi.

T yang keempat atau terakhir, “Temperature”, atau suhu udara sekitar kita yang tentunya terkait dengan persoalan yang kita hadapi. Seringkali suhu udara di sekitar kita ‘meningkat’ manakala reaksi yang timbul dari sebuah aksi yang timbul lebih dari seharusnya. Ada istilah ‘terlalu membesar-besarkan persoalan.’ Maksudnya adalah janganlah kita bereaksi yang berlebihan terhadap sebuah persoalan atau aksi yang sesungguhnya jika ditanggapi dengan kepala dingin akan menjadi selesai. Akan menjadi teratasi. Saya kira di situlah letak the art of leadership. Seni dalam memimpin. Yakni bagaimana kita mengelola sebuah persoalan yang dihadapi, sehingga setiap persoalan yang timbul selalu dapat diatasi dengan efektif dan efisien. Tidak dibiarkan merembet ke mana-mana, yang dapat memperburuk suhu udara di sekitar kita. Wallahu ‘alam bissawab.

MEMBANGUN TANPA UANG NEGARA



ADALAH Dr. Sondiamar, staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, yang pertama kali saya dengar mengeluarkan istilah seperti judul tulisan ini. Bagaimana kita bisa membangun daerah atau Negara ini tanpa uang Negara. Maksudnya? Tentu dengan menggunakan uang dari swasta murni, atau masyarakat itu sendiri.

Caranya? Itulah yang dia ungkapkan ketika menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam acara seminar percepatan pembangunan infrastruktur strategis di Mataram, beberapa waktu lalu, atas undangan Bappeda NTB. Membangun tidak selalu harus menggunakan uang negara, kata dia. Dan memang demikianlah adanya, senyatanya.

Kapasitas dana pemerintah untuk membangun bangsa ini sesungguhnya hanya 20 persen saja dari yang dibutuhkan. Bahkan bisa kurang dari itu.  Jawa Timur, sebagai contoh. Kalau APBD-nya sih kurang lebih Rp 10 tiliun saja. Tapi, dana pembangunan yang bergerak di Jawa Timur per tahun tidak kurang dari Rp 100 triliun. Fantastis: tapi dari mana uangnya? Ya, itulah yang dimaksudkan Sondiamar. “Dari pihak swasta,” sebutnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan pengaturan (peraturan perundang-undangan) mengenai hal ini sudah sangat lengkap.

Sehari sebelum menjadi pembicara, kami sempat mengajak Sondiamar, yang ahli kelautan atau pelabuhan laut tersebut, jalan-jalan ke Teluk Awang. Ia tampak sangat terkesan dengan mulut teluk yang sangat ideal, dengan panjang sekitar 2,5 kilometer itu. Demikian pula dengan potensi daratannya yang relatif landai dan cukup luas. Sejurus ia melontarkan pemikiran, “kalau saja pemerintah yang menguasai lahan daratannya, maka akan sangat mudah untuk ‘menjual’ kawasan tersebut kepada para pemilik kapal-kapal besar dunia untuk dijadikan pelabuhan internasional.”

Tapi lambat atau cepat, menurutnya, pelabuhan alternatif setelah Singapura sangat diperlukan, di sepanjang jalur lalu lintas internasional yang melewati Selat Lombok. Karena kapal kapal dunia akan menjadi semakin besar dan semakin berat, sementara Selat Malaka akan menjadi semakin padat namun tidak semakin dalam. Oleh karena itu, ALKI di Indonesialah alternatif satu-satunya. Termasuk Selat Lombok.

Kita bisa membuat “Singapura Besar di Lombok,” ujar Sondiamar mengutip kawannya yang di Eropah sana. Kawan-kawan Sondiamar yang ahli kepelabuhanan melihat potensi Lombok yang luar biasa ke depan. Syaratnya tentu, para pengambil kebijakan harus dapat memanfaatkan potensi strategis letak Pulau Lombok dan Selat Lombok, seperti yang seringkali kita ungkapkan dalam berbagai presentasi.

Persoalanya memang, ya, satu itu. Kapasitas fiskal NTB yang tidak memungkinkan untuk mewujudkan impianmenjadikan Lombok sebagai Singapura Besar (karena memang luasnya jauh
lebih besar ketimbang Singapura). Satu-satunya jalan adalah menarik investor, membuat kebijakan yang menarik bagi para investor, dan aktif berpromosi kemana-mana. Yang tidak kalah pentingnya lagi, dan sudah kita mulai lakukan adalah menyelesaikan persoalan infrastruktur jalan, listrik, fasilitas air minum, dan lain-lain. Tak kalah pentingnya juga adalah mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) agar tidak menjadi penonton di panggung sendiri.

Ketika saya ajukan pertanyaan kepada Sondiamar, bagaimana caranya menarik investor agar mereka mau membuat pelabuhan di Teluk Awang? Beliau bilang, siapkan lahan sepuluh ribu hektare, berikan mereka secara “cuma-cuma,” artinya Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Pemanfaatan Lahan (HPL), atau apalah namanya. Yang jelas untuk yang 10 ribu hektare, mereka tidak perlu keluarkan duit. Ijinnya jangan berbelit-belit. Nah, bukankah, setelah lahan tersebut mulai terbangun, harga lahan di sekitarnya akan meningkat tajam? Mungkin lebih dari sepuluh kali lipat dari harga sebelumnya? Di situlah letak kompensasinya.

Pembelinya nanti juga pasti mereka, atau kawan-kawan mereka, mitra kerja mereka sesama investor, untuk membangun industri, membangun kawasan kota baru. Dan karena yang membuat pelabuhan itu para pemilik kapal, maka pastilah pelabuhan tersebut akan menjadi ramai. “Kalau kita yang bangun pelabuhan, belum tentu ramai, belum tentu ada yang mau singgah juga,” kata Sondiamar. Masuk akal juga, pikir saya.

Yang terbersit di benak saya kemudian, jikalau kita kumpulkan semua para pemilik lahan, lantas kita buatkan perusahaan atau koperasi, atau apapun namanya, dan inilah yang akan membangun komunikasi dengan pemerintah. Untuk selanjutnya pemerintah berkomunikasi dengan investor. Katakanlah terkumpul lahan 15-20 ribu hektare. Setengahnya kita ‘gratiskan’ kepada para investor, seperti yang dikatakan Sondiamar. Kemudian setengahnya lagi dijual.

Dengan hasil penjualan yang setengah bagian itu, sesungguhnya kita akan mendapatkan uang yang sekaligus termasuk nilai lahan yang kita gratiskan. Padahal yang kita gratiskan pun tidak kita lepas percuma. Dapat saja dia menjadi saham kita kelak, yang royalti atau dividennya dapat kita nikmati, ketika perusahaan yang membangun di atas tanah tersebut mulai mendapatkan keuntungan kelak di kemudian hari. Sesederhana itu. It’s that a simple.

Pertanyaannya adalah kapan kita mulai, dan siapa yang akan memulai? Wallahu a’lam bissawab.

GO INTERNASIONAL



ADALAH benar apa yang dikatakan para futurist dunia, seperti Fukuyama, Putnam, Maslow, dan lain lain bahwa makin hari dunia makin mengglobal. Artinya hubungan antara satu negara dengan Negara lain, antara satu bangsa dengan bangsa lain, bahkan hubungan antara personal yang satu dengan personal yang lain, makin menjadi jadi. Hubungan tersebut tidak lagi sebatas hubungan social, hubungan kekerabatan, namun menjadi hubungan ekonomi dan saling ketergantungan.

Bayangkan, jika Jepang tidak membina hubungan baik dengan Negara lain, kemana produk produk mobil dan sepeda motor mereka yang jutaan per hari itu akan dipasarkan? Demikian juga Amerika, Eropah dan lain lain.  Demikian pula halnya dengan Negara Negara yang masih terkebalakang atau dalam istilah sosiologinya disebut sebagai developing countries, atau Negara sedang berkembang. Ketika kemampuan mereka masih sangat terbatas untuk menghasilkan produk produk yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, seperti alat transportasi, alat alat produksi pertanian, dan lain lain.  Dengan bahasa yang lebih sederhana, dunia antara bangsa ini kian hari kian saling tergantung. Baik antara sesama Negara maju, ataupun antara Negara maju dengan Negara yang sedang berkembang.

Jika pada zaman dahulu, hubungan antara Negara ini kemudian diterjemahkan secara sepihak oleh Negara maju, yang kemudian terjadilah penjajahan. Negara maju menjajah Negara lain, dengan mengeksploitasi berbagai sumberdya alam dan juga sumberdaya manusianya. Tujuannya tidak lain, dan sesungguhnya sama seperti yang ada sekarang, yaitu untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri.

Sekarang, umumnya semua Negara sudah melek, sudah memiliki kapasitas sebagai Negara bangsa, sehingga tidak lagi dapat dieksploitasi dengan menggunakan metoda penjajahan. Maka yang digalakkan dan terjadi kemudian adalah hubungan perdagangan, hubungan bilateral ataupun multilateral yang pada dasarnya kemudian tercipta hubungan yang saling menguntungkan.

Peraturan pemerintah di Indonesia yang ada sekarang memungkinkan daerah membuka atau merintis hubungan langsung dengan pemerintah daerah di luar negeri. Maka terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai twin city, sister city, atau kota kembar. Ini biasanya terjadi antara satu kota di Indonesia dengan satu kota di Negara lain. Yogyakarta menjalin hubungan sister city dalam istilah ini dengan Kyoto di Jepang.  Hubungan antara provinsi disebut sister province, seperti hubungan antara Papua dengan salah satu provinsi di China.

Manfaat dari hubungan seperti ini tentunya banyak; diantaranya adalah memungkinkan terjadinya pertukaran staf dalam arti kita belajar ke sana melalui proses yang tidak terlalu berbelit belit; atau mendatangkan mereka ke Indonesia. Demikian juga dalam hal bisnis, hubungan perdagangan bisa menjadi lebih lancar, apabila kita memiliki pelaku bisnis yang mampu melihat peluang dengan baik. Ada showroom atau outlet daerah kita yang dapat dibangun di Negara tersebut, yang sekaligus dapat menjadi pusat informasi bagi mereka yang tertarik untuk berhubungan dengan daerah kita.

Mengapa dengan Utrecht–Belanda?
Ketika Gubernur NTB, Kepala Bappeda, Kepala Biro Umum, Kadis Dikpora Lombok Timur, dan lain-lain berkunjung ke Belanda beberapa waktu lalu, tujuannya adalah untuk itu. Yakni membangun kerjasama lintas daerah lintas Negara.  Ada kontak person kita yang ada di Belanda yang selama setahun belakangan ini telah mengambil inisiatif dan menegerjakan berbagai persiapan yang diperlukan untuk terwujudnya kerjasama antara NTB dengan Utrecht. Mengapa dengan Utrecht? Karena kontak person tersebut kebetulan bermukim di Utrecht, Belanda; dan secara kebetulan ada koleganya yang menjadi staf ahli Gubernur Utrecht, sehingga komunikasi dengan PemProv Utrecht diharapkan dapat lebih lancar.

Utrecht adalah salah satu dari dua belas provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Belanda. Saya hampir tak percaya ketika di terangkan kalau di provinsi ini ada seribu dua ratus lebih perusahaan internasional memiliki kantor atau aktivitas produktif. Baik dari Jepang, Amerika, Australia, Jerman, dan lain lain.

Mengapa demikian banyak? Karena mungkin provinsi ini mampu memberikan layanan yang terbaik bagi para investor untuk berinvestasi di Utrecht. Ada kemudahan perijinan dan fasilitas sarana prasarana yang diberikan kepada para pemilik modal, sehingga mereka berlomba lomba untuk mendirikan pabrik atau minimal semacam ‘kantor penghubung’nya di daerah ini, yang akan menjadi jendelanya untuk merebut pasar Eropah. Dan yang pasti, akan menciptakan langan kerja bagi penduduk Utrecht. Itulah salah satu yang dapat kita pelajari di Utrecht. Banyak lagi yang lainnya, termasuk bagaimana kita dapat mengisi kekurangan tenaga perawat di Belanda yang konon ribuan banyaknya. Karena tanpa mendatangkan investasi luar untuk masuk ke daerah kita, ataupun peluang kerja di Negara lain bagi masyarakat kita, maka pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat kita akan menjadi sangat lambat. Karena peran pemerintah sesungguhnya tidak lebih dari 20 persen saja. Sesuai dengan kapasitas fiscal yang dapat tercipta dari kemampuan financial yang dimiliki. Wallahu ‘alam bissawab…