Air mengalir di Era TGB
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Ketika memberikan arahan kepada jajaran Bappeda NTB
menjelang Musrenbang Provini NTB 2014, Bapak Gubernur, Dr. TGH M Zainul Majdi
menyatakan bahwa: “kita sudah dapat melaksanakan dengan baik tugas kita terkait
dengan infrastruktur jalan. Saya ingin,
lima tahun ke depan, kita dapat menyelesaikan tugas kita untuk meningkatkan
akses masyarakat terkait air bersih.
Masih banyak anggota masyarakat kita di desa-desa, khususnya daerah
Lombok Selatan yang masih kesulitan dengan air. Khususnya pada bulan-bulan
tertentu. Bahkan kadang-kadang itu
menjadi alasan mereka tidak shalat. Karena tidak ada air untuk ber wudlu. Nah,
kalau itu kita biarkan, tidak ada upaya
untuk mengatasi, maka kita tentu ikut berdosa.
Saya sebagai gubernur juga ikut dosa.”
Sebuah ungkapan yang tulus dari seorang pemimpin yang agamis. Yang faham betul tanggung jawabnya sebagai
seorang pemimpin ummat.
Persoalan air memang masih merupakan persoalan di sebagian
desa-desa kita yang berada di wilayah selatan pulau Lombok dan beberapa wilayah
di Pulau Sumbawa. Memang tidak sepanjang
tahun. Tapi pada bulan-bulan tertentu,
banyak keluarga yang harus mengangkut air dari sumbernya yang jaraknya satu
sampai tiga kilometer.
Ketika menemani Prof. Emil Salim ke beberapa desa binaan WFP
di wilayah Lombok selatan dua tahun yang lalu, beliau melihat sendiri berbagai
infrastruktur air bersih yang telah
terbangun; namun banyak yang sudah tidak fungsional lagi. Dari wawancara singkat dengan beberapa warga,
dapat disimpulkan bahwa masyarakat
setempat mungkin sudah tidak lagi mempersoalkan kondisi dan situasi yang
dihadapi. Semua sudah dianggap
biasa. Mengambil air dengan jarak yang
relatif jauh, dianggap sudah biasa.
Kalaupun kemudian, seperti yang diceriterakan oleh Pak Gubernur, mereka
tidak menjalankan kewajiban shalatnya karena tidak ada air untuk berwudlu, juga
mungkin dianggap biasa. Nauzubillah.
Yang menjadi persoalan adalah, apabila pemerintah, yang nota
bene memiliki tanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur sumberdaya air
bagi warganya, menyerah begitu saja terhadap hal tersebut. Memang, sudah sekian banyak program
pemerintah telah dilaksanakan untuk mengatasi persoalan air bagi masyarakat, khususnya
di daerah-daerah kering. Baik program
yang sumbernya APBN maupun bantuan luar negeri.
Namun hingga kini, belum ada yang benar-benar sustain, yang benar-benar
dapat membuat air mengalir sampai ke rumah, sepanjang tahun. Padahal dari segi potensi sumberdaya air yang
dimiliki, khususnya di Pulau Lombok, semestinya air yang ada, volumenya cukup
memadai. Indikasinya, masih banyak air
sungai kita yang mengalir begitu saja hingga ke laut tanpa ada intervensi untuk
memanfaatkannya, baik sebagai air irigasi ataupun air bersih.
Oleh karena itu, apa yang Bapak Gubernur risaukan dan
arahkan kepada para perencana pembangunan di NTB, merupakan sesuatu yang sangat
strategis dan harus dapat dilaksanakan. Menurut data BPS NTB, untuk daerah
perkotaan, kondisi akses masyarakat terhadap air bersih pada tahun 2013 adalah
79,35%, sedangkan daerah perdesaan 71,42%. Dari kondisi tersebut, menurut
perencanaan dalam RPJMD NTB 2013-2018, diharapkan pada tahun 2018 akan dapat
meningkat, paling tidak menjadi 87,56% untuk daerah perkotaan dan 81,87% untuk
daerah perdesaan.
Untuk mencapai, bahkan kalau mungkin melampaui target
tersebut, harus segera disusun roadmap percepatan peningkatan akses masyarakat
terhadap air bersih Nusa Tenggara Barat; kemudian diproses menjadi peraturan
daerah. Kalau NTB sukses menjadi nomor
tiga nasional dalam bidang kebinamargaan, atau pembangunan infrastruktur jalan
raya, karena didukung Perda multiyears, saya kira untuk percepatan peningkatan
akses masyarakat terhadap air bersih juga dapat dilaksanakan dengan pola yang
sama. Sehingga jelas program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan selama tiga sampai lima tahun ke depan, dan
berapa anggaran yang dibutuhkan. Sehingga kalau untuk buta aksara kita mengenal
istilah Absano atau angka buta aksara nol, terkait sanitasi kita mengenal BASNO
(Buang air sembarangan nol) maka lima tahun ke depan, mengapa kita tidak
bertekad membuat MAsyarakat yang Tidak
memiliki Akses terhadap air berSIH NOL atau boleh disingkat MATASIHNO.
Dengan Gerakan Matasihno, atau apapun namanya, masyarakat di
daerah yang selama ini kesulitan dengan air, khususnya pada musim-musim panas,
akan mendapatkan akses air yang relatif sama dengan masyarakat di desa atau
daerah lain di NTB. Dalam lima tahun ke
depan tidak akan ada lagi warga yang tidak bisa shalat karena tidak ada air
untuk berwudlu. Tidak perlu lagi ada ibu-ibu
atau anak-anak remaja harus mengambil air sepanjang satu sampai tiga
kilometer. Tidak boleh lagi ada warga
kelas dua, karena akses terhadap air, di daerah ini. Karena semua kita,
memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan pelayanan minimum. Termasuk di dalamnya, hak terhadap layanan
air bersih. Caranya adalah dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada, baik
teknologi maupun finansial. Sehingga di
era TGB ini, air benar-benar dapat mengalir sampai ke rumah-rumah, di seluruh
wilayah NTB, dan sepanjang tahun. Insya Allah (Jkt, 250414).