Ketika
menerima amanah menjadi gubernur NTB pada 17 September 2008 yang bertepatan
dengan 17 Ramadhan 1430 H, TGH M Zainul Majdi–yang populer dengan sebutan Tuan
Guru Bajang (TGB) dengan wakil gubernur Ir. M. Badrul Munir ditinggalkan
beberapa “PR besar” yang belum dapat diselesaikan pada era gubernur Drs. HL
Srinata. Sebuah PR yang tidak mudah untuk dilaksanakan, apalagi diselesaikan.
Itulah sebabnya pak H. Rahmat Hidayat, SH, anggota DPR RI asal NTB, ketika
mengomentari mulai beroperasinya BIL dengan tegas menyatakan: “Justru saya
bangga dengan Gubernur NTB, dia muda dan berani. Dia berhasil melanjutkan apa
yang telah dirintis pendahulunya…” (Lombok Post, 10 Oktober 2011).
BIL memang
paling urgen di antara sekian banyak ‘PR’ peninggalan pemerintahan sebelumnya.
BIL tidak sekadar memindahkan bandar udara dari Mataram ke Lombok Tengah, namun
sesungguhnya memiliki arti yang strategis. Dengan areal bandara yang telah
dipersiapkan lebih dari 550 ha–konon terluas kedua di Indonesia setelah Sukarno
Hatta, ke depan BIL dapat menjadi pintu gerbang pariwisata. Bukan semata untuk
kawasan timur Indonesia, bahkan kawasan Asia Pasifik, karena posisinya yang
terletak di tepian Samudra Hindia. Karena itu, cukup beralasan pula ketika saya
menulis bahwa beroperasinya BIL dapat menjadi simbol take off-nya NTB.
Belum
mulainya pelaksanaan pembangunan di kawasan Mandalika sampai saat ini, salah
satu faktornya karena menunggu beroperasinya BIL. Maka dengan telah mulai
beroperasinya BIL, tentu akan mempercepat munculnya investor yang akan
menggarap kawasan yang oleh Presiden akan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi
Khusus Pariwisata Nasional (KEK Parnas). Dengan adanya penetapan presiden
tersebut, akan menjadi insentif tersendiri bagi para investor, karena berbagai
kemudahan yang disediakan. Bagi masyarakat NTB, dimulainya pembangunan kawasan
Mandalika tentu akan menjadi lahan baru untuk lapangan kerja, mulai dari proses
konstruksi sampai masa operasional kelak.
Menurut
pihak BTDC, saat ini telah siap tiga calon mitra strategis yang akan
menandatangani memorandum of understanding (MoU) di hadapan Presiden RI pada
saat berkunjung ke NTB antara 19-21 Oktober ini. Diharapkan pada awal tahun
2012, proses pembangunan infrastruktur di Mandalika resort dapat dimulai.
PANDANDURE
DAN DIVESTASI NEWMONT
Proyek
strategis lain yang menjadi PR Gubernur TGB adalah bendungan Pandanduri atau
Pandandure–demikian orang Sasak biasa menyebutnya. Proyek ini bahkan telah
menjadi “agenda politik” Gubernur dan Bupati Lombok Timur. Itulah sebabnya,
sejak dilantik menjadi gubernur, TGB memberikan perhatian khusus pada Pandandure
ini. Kepala Dinas PU diberikan tugas untuk mengawal proyek ini dengan
meningkatkan intensitas koordinasi dengan Kementrian PU. Beliau sendiri
beberapa kali menghadap langsung ke Menteri PU (Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE)
untuk mengkonsultasikan progress yang diraih, sekaligus memastikan ground
breaking-nya.
Gubernur
tidak segan-segan menyampaikan ke Presiden SBY, dalam berbagai kesempatan bahwa
Pandandure adalah juga janji kampanye sang Presiden–ketika Pilpres 2009
lalu–kepada masyarakat Lombok, yang akan diselesaikan sebelum masa bhakti SBY
berakhir 2014 nanti. Mungkin itulah sebabnya, suatu kali ketika saya turut
mendampingi Gubernur menghadap Menteri Pekerjaan Umum, terungkap bahwa
Pandandure telah dijadikan prioritas pada Kabinet Indonesia Bersatu II bersama
dengan bendungan sejenis di Maluku dan NTT. Persoalannya waktu itu, menurut
Menteri, karena biayanya yang relatif besar akan diupayakan dari dana loan luar
negeri.
Alhamdulillah,
akhirnya Pandandure dimulai, dan bahkan menjadi tempat dicanangkannya proyek
MP3EI untuk Koridor 5 bersama Bali dan NTT pada hari Jumat, 27 Mei 2011. Proyek
yang akan menghabiskan dana sekitar Rp 600 miliar tersebut diharapkan rampung
pada 2014.
Satu lagi
PR besar yang telah dapat ditunaikan oleh Gubernur TGB adalah terkait dengan
divestasi saham Newmont. Sebuah proses yang sempat deadlock di jaman pemerintah
sebelumnya, karena masing-masing pihak bersikukuh pada pendiriannya. Gubernur
Serinata, kala itu, menggandeng pihak swasta nasional sebagai pemodal: karena
tentu tidak mungkin menggunakan dana dari APBD. Sementara pihak NNT menawarkan
diri untuk menjadi pemodal, di mana dana dari pihak mereka akan dipinjamkan
kepada pemda untuk membeli saham, yang kemudian dikembalikan dari dividen yang
menjadi hak pemda untuk sekian tahun ke depan. Masing-masing bersikukuh,
sehingga sampai masa jabatan Mamik Sri–sapaan Serinata–berakhir, proses
divestasi ini tidak terealisir. Malahan di kemudian hari proses divestasi ini
dibawa ke Mahkamah Arbitrase Internasional, karena tidak terjadinya kesepahaman
antara para pihak terkait.
Ketika
gubernur NTB berganti, pihak NNT berharap (mungkin) tawaran divestasi ala
Newmont akan dapat diterima oleh Gubernur TGB. Namun ternyata tidak juga. Pak
Gubernur TGB memilih untuk diadakan beauty contest sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada, dalam rangka memilih mitra mana yang paling besar
memberikan keuntungan bagi rakyat NTB. Proses divestasi Newmont ini ternyata
tidak sederhana. Setelah proses beauty contest selesai dan hasilnya sudah
diumumkan, Menteri Keuangan menyatakan kalau pemerintah pusat merekomendasikan
agar BUMN-lah yang harus digandeng Pemda. Dengan kata lain, Gubernur diminta
menganulir hasil beauty contest. Bahkan pihak DPR melalui komisi terkait sempat
juga ‘mempersoalkan’ proses divestasi tersebut. Semua itu tidak membuat
Gubernur menyerah. Yakin bahwa apa yang telah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan akan memberikan kemanfaatan bagi rakyat
NTB. Seakan tak kenal lelah bolak balik Mataram-Jakarta, hanya demi meyakinkan
kepada para pihak agar proses divestasi segera direalisasikan.
Bagi
mereka yang ikut langsung dalam berbagai pertemuan dan perdebatan antara
Gubernur dengan para pihak, pasti mengakui kemampuan lobi beliau. Dengan
kesantunan, namun tetap tegas dan lugas, Gubernur mampu meyakinkan para elit
pusat, utamanya Menteri Keuangan, Menteri ESDM dan pimpinan Komisi VII DPR
RI–waktu itu–agar menyetujui proses divestasi sesuai mekanisme yang telah
ditempuh, demi rakyat NTB, di mana tambang NNT itu beroperasi. Seorang teman di
Jakarta, yang intens mengikuti proses divestasi tersebut berkomentar kepada
saya, “Kalau bukan TGB, kayaknya nggak mungkin Menteri Keuangan menyerah atau
mengalah dalam proses divestasi Newmont.” Wallahu ‘alam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar