Kamis, 17 April 2014

BIL, MANDALIKA, PANDANDURE DAN DIVESTASI



Ketika menerima amanah menjadi gubernur NTB pada 17 September 2008 yang bertepatan dengan 17 Ramadhan 1430 H, TGH M Zainul Majdi–yang populer dengan sebutan Tuan Guru Bajang (TGB) dengan wakil gubernur Ir. M. Badrul Munir ditinggalkan beberapa “PR besar” yang belum dapat diselesaikan pada era gubernur Drs. HL Srinata. Sebuah PR yang tidak mudah untuk dilaksanakan, apalagi diselesaikan. Itulah sebabnya pak H. Rahmat Hidayat, SH, anggota DPR RI asal NTB, ketika mengomentari mulai beroperasinya BIL dengan tegas menyatakan: “Justru saya bangga dengan Gubernur NTB, dia muda dan berani. Dia berhasil melanjutkan apa yang telah dirintis pendahulunya…” (Lombok Post, 10 Oktober 2011).

BIL memang paling urgen di antara sekian banyak ‘PR’ peninggalan pemerintahan sebelumnya. BIL tidak sekadar memindahkan bandar udara dari Mataram ke Lombok Tengah, namun sesungguhnya memiliki arti yang strategis. Dengan areal bandara yang telah dipersiapkan lebih dari 550 ha–konon terluas kedua di Indonesia setelah Sukarno Hatta, ke depan BIL dapat menjadi pintu gerbang pariwisata. Bukan semata untuk kawasan timur Indonesia, bahkan kawasan Asia Pasifik, karena posisinya yang terletak di tepian Samudra Hindia. Karena itu, cukup beralasan pula ketika saya menulis bahwa beroperasinya BIL dapat menjadi simbol take off-nya NTB.

Belum mulainya pelaksanaan pembangunan di kawasan Mandalika sampai saat ini, salah satu faktornya karena menunggu beroperasinya BIL. Maka dengan telah mulai beroperasinya BIL, tentu akan mempercepat munculnya investor yang akan menggarap kawasan yang oleh Presiden akan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Nasional (KEK Parnas). Dengan adanya penetapan presiden tersebut, akan menjadi insentif tersendiri bagi para investor, karena berbagai kemudahan yang disediakan. Bagi masyarakat NTB, dimulainya pembangunan kawasan Mandalika tentu akan menjadi lahan baru untuk lapangan kerja, mulai dari proses konstruksi sampai masa operasional kelak.

Menurut pihak BTDC, saat ini telah siap tiga calon mitra strategis yang akan menandatangani memorandum of understanding (MoU) di hadapan Presiden RI pada saat berkunjung ke NTB antara 19-21 Oktober ini. Diharapkan pada awal tahun 2012, proses pembangunan infrastruktur di Mandalika resort dapat dimulai.

PANDANDURE DAN DIVESTASI NEWMONT
Proyek strategis lain yang menjadi PR Gubernur TGB adalah bendungan Pandanduri atau Pandandure–demikian orang Sasak biasa menyebutnya. Proyek ini bahkan telah menjadi “agenda politik” Gubernur dan Bupati Lombok Timur. Itulah sebabnya, sejak dilantik menjadi gubernur, TGB memberikan perhatian khusus pada Pandandure ini. Kepala Dinas PU diberikan tugas untuk mengawal proyek ini dengan meningkatkan intensitas koordinasi dengan Kementrian PU. Beliau sendiri beberapa kali menghadap langsung ke Menteri PU (Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE) untuk mengkonsultasikan progress yang diraih, sekaligus memastikan ground breaking-nya.

Gubernur tidak segan-segan menyampaikan ke Presiden SBY, dalam berbagai kesempatan bahwa Pandandure adalah juga janji kampanye sang Presiden–ketika Pilpres 2009 lalu–kepada masyarakat Lombok, yang akan diselesaikan sebelum masa bhakti SBY berakhir 2014 nanti. Mungkin itulah sebabnya, suatu kali ketika saya turut mendampingi Gubernur menghadap Menteri Pekerjaan Umum, terungkap bahwa Pandandure telah dijadikan prioritas pada Kabinet Indonesia Bersatu II bersama dengan bendungan sejenis di Maluku dan NTT. Persoalannya waktu itu, menurut Menteri, karena biayanya yang relatif besar akan diupayakan dari dana loan luar negeri.
Alhamdulillah, akhirnya Pandandure dimulai, dan bahkan menjadi tempat dicanangkannya proyek MP3EI untuk Koridor 5 bersama Bali dan NTT pada hari Jumat, 27 Mei 2011. Proyek yang akan menghabiskan dana sekitar Rp 600 miliar tersebut diharapkan rampung pada 2014.

Satu lagi PR besar yang telah dapat ditunaikan oleh Gubernur TGB adalah terkait dengan divestasi saham Newmont. Sebuah proses yang sempat deadlock di jaman pemerintah sebelumnya, karena masing-masing pihak bersikukuh pada pendiriannya. Gubernur Serinata, kala itu, menggandeng pihak swasta nasional sebagai pemodal: karena tentu tidak mungkin menggunakan dana dari APBD. Sementara pihak NNT menawarkan diri untuk menjadi pemodal, di mana dana dari pihak mereka akan dipinjamkan kepada pemda untuk membeli saham, yang kemudian dikembalikan dari dividen yang menjadi hak pemda untuk sekian tahun ke depan. Masing-masing bersikukuh, sehingga sampai masa jabatan Mamik Sri–sapaan Serinata–berakhir, proses divestasi ini tidak terealisir. Malahan di kemudian hari proses divestasi ini dibawa ke Mahkamah Arbitrase Internasional, karena tidak terjadinya kesepahaman antara para pihak terkait.

Ketika gubernur NTB berganti, pihak NNT berharap (mungkin) tawaran divestasi ala Newmont akan dapat diterima oleh Gubernur TGB. Namun ternyata tidak juga. Pak Gubernur TGB memilih untuk diadakan beauty contest sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, dalam rangka memilih mitra mana yang paling besar memberikan keuntungan bagi rakyat NTB. Proses divestasi Newmont ini ternyata tidak sederhana. Setelah proses beauty contest selesai dan hasilnya sudah diumumkan, Menteri Keuangan menyatakan kalau pemerintah pusat merekomendasikan agar BUMN-lah yang harus digandeng Pemda. Dengan kata lain, Gubernur diminta menganulir hasil beauty contest. Bahkan pihak DPR melalui komisi terkait sempat juga ‘mempersoalkan’ proses divestasi tersebut. Semua itu tidak membuat Gubernur menyerah. Yakin bahwa apa yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan akan memberikan kemanfaatan bagi rakyat NTB. Seakan tak kenal lelah bolak balik Mataram-Jakarta, hanya demi meyakinkan kepada para pihak agar proses divestasi segera direalisasikan.

Bagi mereka yang ikut langsung dalam berbagai pertemuan dan perdebatan antara Gubernur dengan para pihak, pasti mengakui kemampuan lobi beliau. Dengan kesantunan, namun tetap tegas dan lugas, Gubernur mampu meyakinkan para elit pusat, utamanya Menteri Keuangan, Menteri ESDM dan pimpinan Komisi VII DPR RI–waktu itu–agar menyetujui proses divestasi sesuai mekanisme yang telah ditempuh, demi rakyat NTB, di mana tambang NNT itu beroperasi. Seorang teman di Jakarta, yang intens mengikuti proses divestasi tersebut berkomentar kepada saya, “Kalau bukan TGB, kayaknya nggak mungkin Menteri Keuangan menyerah atau mengalah dalam proses divestasi Newmont.” Wallahu ‘alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar