KETIKA
menghadiri acara groundbreaking (menandai dimulainya pembangunan atau sering
juga diartikan sebagai peletakan batu pertama) BIL pada hari Sabtu, tanggal 19
Januari 2008, saya sempat menulis sms ke beberapa teman, yang intinya saya
menyatakanbahwa BIL inilah kelak yang akan menjadi pertanda take off-nya
masyarakat Nusa Tenggara Barat. Waktu itu yang melaksanakan ground breaking
adalah Bapak Ir Hatta Radjasa–yang kala itu menjabat Menteri Perhubungan,
didampingi Gubernur NTB Bapak HL Serinata.Berbagai macam perasaan para hadirin
pada waktu itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ada rasa haru, bahagia,
bangga, dan tentu sedih juga. Semua berbaur menjadi satu. Setelah sekian lama
tak jelas ceritanya, BIL akhirnya mulai dibangun. Banyak yang optimis. Namun
tidak sedikit yang sebaliknya, pesimis. Akankah BIL akan menjadi Bandara Udara
Internasional yang kemudian operasional, suatu hari kelak. Sebuah pertanyaan
yang saya yakin menghantui semua hadirin pada waktu itu. Sikap pesimis, dan
bahkan skeptik, tentu dibarengi dengan berbagai alasan masing-masing.
Pak
menteri sendiri seakan tidak percaya terhadap apa yang dilakukan. Beliau
bercerita bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menghalanginya untuk melakukan
acara ground breaking itu. Dengan berbagai alasan yang berbeda. “Tapi karena
ini adalah suatu pekerjaan yang baik, di tempat yang baik, dengan niat yang
baik, untuk kesejahteraan masyarakat, saya berketetapan hati untuk datang ke
sini. Apapun resikonya …,” ungkap beliau yang disongsong riuh tepuk tangan
meriah para undangan.
Dan benar
saja: terjadilah acara itu melalui deru sirene dan peragaan pergerakan alat
berat, sebagai pertanda dimulainya pembangunan bandara internasional Lombok
yang kemudian kita kenal dengan istilah, “BIL”, itu. Alhamdulillahi rabbil
alamin.
Kini, di
hari-hari menjelang mulai beroperasinya BIL, Sabtu, 1 Oktober 2011, tentu
banyak orang yang tidak bisa tidur nyenyak. Sebab membayangkan akan mulai
beroperasinya BIL, tentu akan membuat dua perasaan yang berbeda juga. Mereka
yang senang dan merekayang tidak senang.
Yang
berpikiran positif dan yang berpikiran (mungkin, maaf) negatif. Sesuatu yang
sesungguhnya sangat lazim, dan biasa terjadi di mana-mana. Kalau meminjamalur
pikirnya Hatta Radjasa–ketika melaksanakan ground breaking di awal 2008 lalu,
yang menyatakan bahwa mereka yang kelihatannya tidak setuju dengan pembangunan
BIL, sesungguhnya bukan tidak setuju, akan tetapi ragu-ragu. Meragukan apakah
benar-benar pemerintah mau membangun bandara internasional di tengah-tengah
pulau yang belum banyakdikenal masyarakat dunia. Kalau memakai istilah bahasa
inggris, ‘in the middle of nowhere.’ Apakah benar, pemerintah akan membangun
bandara baru, padahal bandara yang sudah ada sekarang, konon, banyak yang
merugi alias lebih besar biaya operasional daripada pemasukan.
Apakah
jumlah penumpang yang masuk ke NTB sedemikian banyaknya, sehingga bandara yang
ada sudah tidak mampu memuat lagi? Bahkan ada tokoh yang menyangsikan niat
tersebut karena di APBN tidak ada nomenklateur atau pos anggarannya. Dan banyak
lagi alasan yang dipakai untuk menjadi ragu tadi. Sementara yang setuju menjadi
makin berdebar-debar, karena apabila ini
benar-benarterjadi, pastilah roda ekonomi di daerah ini akan berputar lebih
kencang lagi. Akan terjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah sekitar
BIL. Akan terjadi perputaran uang yang makin bertambah, aktivitas ekonomi
masyarakat akan semakin dinamis. Yang pada gilirannya, daerah wisata Lombok
bagian selatan yang selama ini ibarat the sleeping beauty akanbangun dari tidur
panjangnya. Akan sangat mempermudah para investor pariwisata untuk menanamkan
investasinya di wilayah ini.
Lahirnya
BIL akan menjadi seorang ‘pangeran’ yang kedatangannya akan membuat sang putri
jelita terbangun dari tidur panjangnya. Dan putri itulah yang kini kemudian
kita kenal dengan kawasan pariwisata, Mandalika. Yang sebentar lagi akan
diresmikan menjadi kawasan ekonomi khusus pariwisata nasional Mandalika.
NTB TAKE
OFF
Pengalaman
di berbagai daerah yang membangun bandara menunjukkan fenomena sepertiyang
digambarkan di atas. Terbangunnya bandara internasional Ngurah Rai, Denpasar,
kemudian disusul beroperasinya bandara baru di Makassar dan Surabaya adalah
contoh yang menunjukkan ‘kemampuan’sebuah bandara menjadi trigger atau pemicu
pertumbuhan ekonomi suatu kawasan.
Secara
sederhana bisa dijelaskan oleh teori ekonomi bahwa dengan beroperasinya
sebuahbandara, tentu akan semakin banyak investor yang tertarik untuk datang
dan menebarkan investasinya. Apakah dengan membangun pusat perbelanjaan,
membangun pabrik, membangun perhotelan, dan lain-lain. Yang pasti, dengan
berbagai pembangunan tersebut akan dapat membuka lapangan kerja, sehingga akan
mengurangi dampak pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian, pendapatan
masyarakat pun akan semakin meningkat.
Apabila
pendapatan meningkat, maka akan diimbangi dengan pola konsumsi yang semakin meningkat pula. Meningkatnya konsumsi
akan mempengaruhi omset para pedagang bahan makanan. Juga produktivitas para
petani akan meningkat pula. Mereka inilah yang secara langsung merasakan
peningkatan omset, yang pada gilirannya menambah keuntungan. Maka para pedagang
dan petani akan meningkat asetnya. Yang tadinya tidak punya sepeda motor
menjadi punya sepeda motor. Yang tadinya tidak pernah terpikir akan punya
mobil, menjadi punya mobil. Yang tadinya tergolong pengusaha mikro menjadi
pengusaha kecil, menengah, dan bahkan ada yang sangat progresif menjadi
pengusaha besar.
Demikianlah
seterusnya, sehingga dalam postur atau struktur ekonomi daerah ini akan nampak
sebuah kondisi di mana proporsi penduduk dengan pendapatan menengah ke atas akan menjadi semakin banyak.
Peran
dunia swasta dalam pembangunan akan menjadi semakin menonjol dan bahkan
dominan, dibandingkan dengan peran atau dana dari pemerintah. Boleh saja dana
pemerintah,
baik dalam
bentuk APBD atau APBN sekalipun di bawah Rp 10 T, namun investasi swasta antara
5-10 kali lipatnya. Kalau ini terjadi, inilah kemudian yang dimaksud Prof WW
Rostow dalam “Stage of Development”-nya sebagai fase take off atau fase tinggal
landas, sebagai kelanjutan dari kondisi pra tinggal landas–di mana peran
pemerintah masih sangat dominan.
Selamat
take off masyarakat NTB. Semoga kemiskinan di daerah ini makin berkurang, Insya
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar