Kamis, 17 April 2014

BIL OPERASIONAL, NTB TAKE OFF, INSYA ALLAH



KETIKA menghadiri acara groundbreaking (menandai dimulainya pembangunan atau sering juga diartikan sebagai peletakan batu pertama) BIL pada hari Sabtu, tanggal 19 Januari 2008, saya sempat menulis sms ke beberapa teman, yang intinya saya menyatakanbahwa BIL inilah kelak yang akan menjadi pertanda take off-nya masyarakat Nusa Tenggara Barat. Waktu itu yang melaksanakan ground breaking adalah Bapak Ir Hatta Radjasa–yang kala itu menjabat Menteri Perhubungan, didampingi Gubernur NTB Bapak HL Serinata.Berbagai macam perasaan para hadirin pada waktu itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ada rasa haru, bahagia, bangga, dan tentu sedih juga. Semua berbaur menjadi satu. Setelah sekian lama tak jelas ceritanya, BIL akhirnya mulai dibangun. Banyak yang optimis. Namun tidak sedikit yang sebaliknya, pesimis. Akankah BIL akan menjadi Bandara Udara Internasional yang kemudian operasional, suatu hari kelak. Sebuah pertanyaan yang saya yakin menghantui semua hadirin pada waktu itu. Sikap pesimis, dan bahkan skeptik, tentu dibarengi dengan berbagai alasan masing-masing.

Pak menteri sendiri seakan tidak percaya terhadap apa yang dilakukan. Beliau bercerita bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menghalanginya untuk melakukan acara ground breaking itu. Dengan berbagai alasan yang berbeda. “Tapi karena ini adalah suatu pekerjaan yang baik, di tempat yang baik, dengan niat yang baik, untuk kesejahteraan masyarakat, saya berketetapan hati untuk datang ke sini. Apapun resikonya …,” ungkap beliau yang disongsong riuh tepuk tangan meriah para undangan.

Dan benar saja: terjadilah acara itu melalui deru sirene dan peragaan pergerakan alat berat, sebagai pertanda dimulainya pembangunan bandara internasional Lombok yang kemudian kita kenal dengan istilah, “BIL”, itu. Alhamdulillahi rabbil alamin.
Kini, di hari-hari menjelang mulai beroperasinya BIL, Sabtu, 1 Oktober 2011, tentu banyak orang yang tidak bisa tidur nyenyak. Sebab membayangkan akan mulai beroperasinya BIL, tentu akan membuat dua perasaan yang berbeda juga. Mereka yang senang dan merekayang tidak senang.

Yang berpikiran positif dan yang berpikiran (mungkin, maaf) negatif. Sesuatu yang sesungguhnya sangat lazim, dan biasa terjadi di mana-mana. Kalau meminjamalur pikirnya Hatta Radjasa–ketika melaksanakan ground breaking di awal 2008 lalu, yang menyatakan bahwa mereka yang kelihatannya tidak setuju dengan pembangunan BIL, sesungguhnya bukan tidak setuju, akan tetapi ragu-ragu. Meragukan apakah benar-benar pemerintah mau membangun bandara internasional di tengah-tengah pulau yang belum banyakdikenal masyarakat dunia. Kalau memakai istilah bahasa inggris, ‘in the middle of nowhere.’ Apakah benar, pemerintah akan membangun bandara baru, padahal bandara yang sudah ada sekarang, konon, banyak yang merugi alias lebih besar biaya operasional daripada pemasukan.

Apakah jumlah penumpang yang masuk ke NTB sedemikian banyaknya, sehingga bandara yang ada sudah tidak mampu memuat lagi? Bahkan ada tokoh yang menyangsikan niat tersebut karena di APBN tidak ada nomenklateur atau pos anggarannya. Dan banyak lagi alasan yang dipakai untuk menjadi ragu tadi. Sementara yang setuju menjadi makin berdebar-debar,  karena apabila ini benar-benarterjadi, pastilah roda ekonomi di daerah ini akan berputar lebih kencang lagi. Akan terjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah sekitar BIL. Akan terjadi perputaran uang yang makin bertambah, aktivitas ekonomi masyarakat akan semakin dinamis. Yang pada gilirannya, daerah wisata Lombok bagian selatan yang selama ini ibarat the sleeping beauty akanbangun dari tidur panjangnya. Akan sangat mempermudah para investor pariwisata untuk menanamkan investasinya di wilayah ini.
Lahirnya BIL akan menjadi seorang ‘pangeran’ yang kedatangannya akan membuat sang putri jelita terbangun dari tidur panjangnya. Dan putri itulah yang kini kemudian kita kenal dengan kawasan pariwisata, Mandalika. Yang sebentar lagi akan diresmikan menjadi kawasan ekonomi khusus pariwisata nasional Mandalika.

NTB TAKE OFF

Pengalaman di berbagai daerah yang membangun bandara menunjukkan fenomena sepertiyang digambarkan di atas. Terbangunnya bandara internasional Ngurah Rai, Denpasar, kemudian disusul beroperasinya bandara baru di Makassar dan Surabaya adalah contoh yang menunjukkan ‘kemampuan’sebuah bandara menjadi trigger atau pemicu pertumbuhan ekonomi suatu kawasan.

Secara sederhana bisa dijelaskan oleh teori ekonomi bahwa dengan beroperasinya sebuahbandara, tentu akan semakin banyak investor yang tertarik untuk datang dan menebarkan investasinya. Apakah dengan membangun pusat perbelanjaan, membangun pabrik, membangun perhotelan, dan lain-lain. Yang pasti, dengan berbagai pembangunan tersebut akan dapat membuka lapangan kerja, sehingga akan mengurangi dampak pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian, pendapatan masyarakat pun akan semakin meningkat.

Apabila pendapatan meningkat, maka akan diimbangi dengan pola konsumsi yang  semakin meningkat pula. Meningkatnya konsumsi akan mempengaruhi omset para pedagang bahan makanan. Juga produktivitas para petani akan meningkat pula. Mereka inilah yang secara langsung merasakan peningkatan omset, yang pada gilirannya menambah keuntungan. Maka para pedagang dan petani akan meningkat asetnya. Yang tadinya tidak punya sepeda motor menjadi punya sepeda motor. Yang tadinya tidak pernah terpikir akan punya mobil, menjadi punya mobil. Yang tadinya tergolong pengusaha mikro menjadi pengusaha kecil, menengah, dan bahkan ada yang sangat progresif menjadi pengusaha besar.

Demikianlah seterusnya, sehingga dalam postur atau struktur ekonomi daerah ini akan nampak sebuah kondisi di mana proporsi penduduk dengan pendapatan  menengah ke atas akan menjadi semakin banyak.

Peran dunia swasta dalam pembangunan akan menjadi semakin menonjol dan bahkan dominan, dibandingkan dengan peran atau dana dari pemerintah. Boleh saja dana pemerintah,
baik dalam bentuk APBD atau APBN sekalipun di bawah Rp 10 T, namun investasi swasta antara 5-10 kali lipatnya. Kalau ini terjadi, inilah kemudian yang dimaksud Prof WW Rostow dalam “Stage of Development”-nya sebagai fase take off atau fase tinggal landas, sebagai kelanjutan dari kondisi pra tinggal landas–di mana peran pemerintah masih sangat dominan.

Selamat take off masyarakat NTB. Semoga kemiskinan di daerah ini makin berkurang, Insya Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar