ADALAH
benar apa yang dikatakan para futurist dunia, seperti Fukuyama, Putnam, Maslow,
dan lain lain bahwa makin hari dunia makin mengglobal. Artinya hubungan antara
satu negara dengan Negara lain, antara satu bangsa dengan bangsa lain, bahkan
hubungan antara personal yang satu dengan personal yang lain, makin menjadi
jadi. Hubungan tersebut tidak lagi sebatas hubungan social, hubungan
kekerabatan, namun menjadi hubungan ekonomi dan saling ketergantungan.
Bayangkan,
jika Jepang tidak membina hubungan baik dengan Negara lain, kemana produk
produk mobil dan sepeda motor mereka yang jutaan per hari itu akan dipasarkan?
Demikian juga Amerika, Eropah dan lain lain.
Demikian pula halnya dengan Negara Negara yang masih terkebalakang atau
dalam istilah sosiologinya disebut sebagai developing countries, atau Negara
sedang berkembang. Ketika kemampuan mereka masih sangat terbatas untuk
menghasilkan produk produk yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, seperti alat
transportasi, alat alat produksi pertanian, dan lain lain. Dengan bahasa yang lebih sederhana, dunia
antara bangsa ini kian hari kian saling tergantung. Baik antara sesama Negara
maju, ataupun antara Negara maju dengan Negara yang sedang berkembang.
Jika pada
zaman dahulu, hubungan antara Negara ini kemudian diterjemahkan secara sepihak
oleh Negara maju, yang kemudian terjadilah penjajahan. Negara maju menjajah
Negara lain, dengan mengeksploitasi berbagai sumberdya alam dan juga sumberdaya
manusianya. Tujuannya tidak lain, dan sesungguhnya sama seperti yang ada
sekarang, yaitu untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Sekarang,
umumnya semua Negara sudah melek, sudah memiliki kapasitas sebagai Negara
bangsa, sehingga tidak lagi dapat dieksploitasi dengan menggunakan metoda
penjajahan. Maka yang digalakkan dan terjadi kemudian adalah hubungan
perdagangan, hubungan bilateral ataupun multilateral yang pada dasarnya
kemudian tercipta hubungan yang saling menguntungkan.
Peraturan
pemerintah di Indonesia yang ada sekarang memungkinkan daerah membuka atau
merintis hubungan langsung dengan pemerintah daerah di luar negeri. Maka
terjadilah apa yang kemudian disebut sebagai twin city, sister city, atau kota
kembar. Ini biasanya terjadi antara satu kota di Indonesia dengan satu kota di
Negara lain. Yogyakarta menjalin hubungan sister city dalam istilah ini dengan
Kyoto di Jepang. Hubungan antara
provinsi disebut sister province, seperti hubungan antara Papua dengan salah
satu provinsi di China.
Manfaat
dari hubungan seperti ini tentunya banyak; diantaranya adalah memungkinkan
terjadinya pertukaran staf dalam arti kita belajar ke sana melalui proses yang
tidak terlalu berbelit belit; atau mendatangkan mereka ke Indonesia. Demikian
juga dalam hal bisnis, hubungan perdagangan bisa menjadi lebih lancar, apabila
kita memiliki pelaku bisnis yang mampu melihat peluang dengan baik. Ada
showroom atau outlet daerah kita yang dapat dibangun di Negara tersebut, yang
sekaligus dapat menjadi pusat informasi bagi mereka yang tertarik untuk
berhubungan dengan daerah kita.
Mengapa
dengan Utrecht–Belanda?
Ketika
Gubernur NTB, Kepala Bappeda, Kepala Biro Umum, Kadis Dikpora Lombok Timur, dan
lain-lain berkunjung ke Belanda beberapa waktu lalu, tujuannya adalah untuk itu.
Yakni membangun kerjasama lintas daerah lintas Negara. Ada kontak person kita yang ada di Belanda
yang selama setahun belakangan ini telah mengambil inisiatif dan menegerjakan
berbagai persiapan yang diperlukan untuk terwujudnya kerjasama antara NTB dengan
Utrecht. Mengapa dengan Utrecht? Karena kontak person tersebut kebetulan
bermukim di Utrecht, Belanda; dan secara kebetulan ada koleganya yang menjadi
staf ahli Gubernur Utrecht, sehingga komunikasi dengan PemProv Utrecht
diharapkan dapat lebih lancar.
Utrecht
adalah salah satu dari dua belas provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi
tertinggi di Belanda. Saya hampir tak percaya ketika di terangkan kalau di
provinsi ini ada seribu dua ratus lebih perusahaan internasional memiliki
kantor atau aktivitas produktif. Baik dari Jepang, Amerika, Australia, Jerman,
dan lain lain.
Mengapa
demikian banyak? Karena mungkin provinsi ini mampu memberikan layanan yang
terbaik bagi para investor untuk berinvestasi di Utrecht. Ada kemudahan
perijinan dan fasilitas sarana prasarana yang diberikan kepada para pemilik
modal, sehingga mereka berlomba lomba untuk mendirikan pabrik atau minimal
semacam ‘kantor penghubung’nya di daerah ini, yang akan menjadi jendelanya
untuk merebut pasar Eropah. Dan yang pasti, akan menciptakan langan kerja bagi
penduduk Utrecht. Itulah salah satu yang dapat kita pelajari di Utrecht. Banyak
lagi yang lainnya, termasuk bagaimana kita dapat mengisi kekurangan tenaga
perawat di Belanda yang konon ribuan banyaknya. Karena tanpa mendatangkan investasi
luar untuk masuk ke daerah kita, ataupun peluang kerja di Negara lain bagi
masyarakat kita, maka pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat kita akan menjadi sangat lambat. Karena peran pemerintah
sesungguhnya tidak lebih dari 20 persen saja. Sesuai dengan kapasitas fiscal
yang dapat tercipta dari kemampuan financial yang dimiliki. Wallahu ‘alam
bissawab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar