Senin, 28 April 2014

AIR MENGALIR DI ERA TGB

Air mengalir di Era TGB
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Ketika memberikan arahan kepada jajaran Bappeda NTB menjelang Musrenbang Provini NTB 2014, Bapak Gubernur, Dr. TGH M Zainul Majdi menyatakan bahwa: “kita sudah dapat melaksanakan dengan baik tugas kita terkait dengan infrastruktur jalan.  Saya ingin, lima tahun ke depan, kita dapat menyelesaikan tugas kita untuk meningkatkan akses masyarakat terkait air bersih.  Masih banyak anggota masyarakat kita di desa-desa, khususnya daerah Lombok Selatan yang masih kesulitan dengan air. Khususnya pada bulan-bulan tertentu.  Bahkan kadang-kadang itu menjadi alasan mereka tidak shalat. Karena tidak ada air untuk ber wudlu. Nah, kalau itu kita biarkan,  tidak ada upaya untuk mengatasi, maka kita tentu ikut berdosa.  Saya sebagai gubernur juga ikut dosa.”  Sebuah ungkapan yang tulus dari seorang pemimpin yang agamis.  Yang faham betul tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin ummat. 

Persoalan air memang masih merupakan persoalan di sebagian desa-desa kita yang berada di wilayah selatan pulau Lombok dan beberapa wilayah di Pulau Sumbawa.  Memang tidak sepanjang tahun.  Tapi pada bulan-bulan tertentu, banyak keluarga yang harus mengangkut air dari sumbernya yang jaraknya satu sampai tiga kilometer.

Ketika menemani Prof. Emil Salim ke beberapa desa binaan WFP di wilayah Lombok selatan dua tahun yang lalu, beliau melihat sendiri berbagai infrastruktur  air bersih yang telah terbangun; namun banyak yang sudah tidak fungsional lagi.  Dari wawancara singkat dengan beberapa warga, dapat  disimpulkan bahwa masyarakat setempat mungkin sudah tidak lagi mempersoalkan kondisi dan situasi yang dihadapi.   Semua sudah dianggap biasa.   Mengambil air dengan jarak yang relatif jauh, dianggap sudah biasa.   Kalaupun kemudian, seperti yang diceriterakan oleh Pak Gubernur, mereka tidak menjalankan kewajiban shalatnya karena tidak ada air untuk berwudlu, juga mungkin dianggap biasa. Nauzubillah.

Yang menjadi persoalan adalah, apabila pemerintah, yang nota bene memiliki tanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur sumberdaya air bagi warganya, menyerah begitu saja terhadap hal tersebut.  Memang, sudah sekian banyak program pemerintah telah dilaksanakan untuk mengatasi persoalan air bagi masyarakat, khususnya di daerah-daerah kering.  Baik program yang sumbernya APBN maupun bantuan luar negeri.  Namun hingga kini, belum ada yang benar-benar sustain, yang benar-benar dapat membuat air mengalir sampai ke rumah, sepanjang tahun.  Padahal dari segi potensi sumberdaya air yang dimiliki, khususnya di Pulau Lombok, semestinya air yang ada, volumenya cukup memadai.  Indikasinya, masih banyak air sungai kita yang mengalir begitu saja hingga ke laut tanpa ada intervensi untuk memanfaatkannya, baik sebagai air irigasi ataupun air bersih.

Oleh karena itu, apa yang Bapak Gubernur risaukan dan arahkan kepada para perencana pembangunan di NTB, merupakan sesuatu yang sangat strategis dan harus dapat dilaksanakan. Menurut data BPS NTB, untuk daerah perkotaan, kondisi akses masyarakat terhadap air bersih pada tahun 2013 adalah 79,35%, sedangkan daerah perdesaan 71,42%. Dari kondisi tersebut, menurut perencanaan dalam RPJMD NTB 2013-2018, diharapkan pada tahun 2018 akan dapat meningkat, paling tidak menjadi 87,56% untuk daerah perkotaan dan 81,87% untuk daerah perdesaan.

Untuk mencapai, bahkan kalau mungkin melampaui target tersebut, harus segera disusun roadmap percepatan peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih Nusa Tenggara Barat; kemudian diproses menjadi peraturan daerah.   Kalau NTB sukses menjadi nomor tiga nasional dalam bidang kebinamargaan, atau pembangunan infrastruktur jalan raya, karena didukung Perda multiyears, saya kira untuk percepatan peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih juga dapat dilaksanakan dengan pola yang sama.   Sehingga jelas program dan kegiatan yang akan dilaksanakan selama tiga sampai lima tahun ke depan, dan berapa anggaran yang dibutuhkan. Sehingga kalau untuk buta aksara kita mengenal istilah Absano atau angka buta aksara nol, terkait sanitasi kita mengenal BASNO (Buang air sembarangan nol) maka lima tahun ke depan, mengapa kita tidak bertekad membuat  MAsyarakat yang Tidak memiliki Akses terhadap air berSIH NOL atau boleh disingkat MATASIHNO.


Dengan Gerakan Matasihno, atau apapun namanya, masyarakat di daerah yang selama ini kesulitan dengan air, khususnya pada musim-musim panas, akan mendapatkan akses air yang relatif sama dengan masyarakat di desa atau daerah lain di NTB.  Dalam lima tahun ke depan tidak akan ada lagi warga yang tidak bisa shalat karena tidak ada air untuk berwudlu.  Tidak perlu lagi ada ibu-ibu atau anak-anak remaja harus mengambil air sepanjang satu sampai tiga kilometer.   Tidak boleh lagi ada warga kelas dua, karena akses terhadap air, di daerah ini. Karena semua kita, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan pelayanan minimum.  Termasuk di dalamnya, hak terhadap layanan air bersih. Caranya adalah dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada, baik teknologi maupun finansial.  Sehingga di era TGB ini, air benar-benar dapat mengalir sampai ke rumah-rumah, di seluruh wilayah NTB, dan sepanjang tahun. Insya Allah (Jkt, 250414).

1 komentar:

  1. Progaram MATASIHNO, harus disusun roadmapnya, di Kota Mataram aja, banyak yang memanpaatkan sumur gali yg kandungan colynya masih tinggi. saat ini supley air PDAM pada beberapa lokasi dimataram semakin berkurang. perlu dikembangkan SUMUR SEHAT, dengan cara pengambilan air tanah pada akuifer lapisan pertama sekitar kedalaman 20 meter atau lebih.

    BalasHapus