Kamis, 27 November 2014

Surat Utk Yth Bapak Menteri Anies Baswedan



SURAT TERBUKA KEPADA PAK MENTERI ANIES BASWEDAN

Yang terhormat
Bapak Anies Baswedan, Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Alhamdulillah, surat Bapak yang dibacakan dalam upacara Hari Guru Nasional kemarin telah kami dengarkan.  Surat yang mungkin bagi kami para guru baru pertama kali dilayangkan oleh seorang menteri. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih yang tak  terhingga atas perhatian dan gagasan-gagasan Bapak ke depan yang akan dapat membawa dunia pendidikan di tanah air menjadi lebih baik.

Dalam kesempatan ini, ijinkan saya untuk membalas surat Bapak, dan menyampaikan beberapa hal yang mungkin ada manfaatnya bagi Bapak dalam menetapkan kebijakan di dunia pendidikan untuk masa-masa yang akan datang. Saya membaca di media, kalau saat-saat ini Bapak tengah mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan kurikulum 2013 dan Ujian Nasional.  Melalui koran pula, kami mengetahui bahwa Bapak telah mendengarkan langsung beberapa komponen masyarakat pendidikan, terkait dengan kedua hal tersebut.

Namun tidak ada salahnya saya kira, kalau melalui surat ini saya menyampaikan pula pendapat saya; yang mungkin saja berhampiran dengan pendapat dari mereka yang Bapak telah dengarkan langsung. Atau mungkin saja berbeda.

Pertama, mengenai kurikulum 2013 atau K-13

Dari segi gagasan, visi missi yang ingin dicapai dengan penerapan K-13 sesungguhnya sangat mulia. Sekiranya proses pengajaran dan pendidikan K-13 ini dilakoni oleh seorang guru yang baik, yang kreatif, dan inovatif, tentu hasilnya akan baik sekali dalam mengantarkan generasi muda bangsa yang cerdas dan berkarakter mulia.  Ibarat kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tinga pulau terlampaui.  Melalui penerapan K-13, peserta didik kami tidak hanya akan diasah aspek kognitif-intelektualnya, namun juga aspek perilaku-psikomotoriknya.  Dengan kata lain, mereka tidak hanya akan terasah kecerdasan intelektualnya, namun juga kecerdasan emosionalnya, bahkan juga kecerdasan religiusitasnya. Secara teoritis, memang hal tersebut sepertinya tidak terlalu sulit untuk mencapainya.  Apalagi kalau kita bandingkan dengan proses pengajaran melalui kurikulum sebelumnya, yang penekanannya lebih pada aspek kognitif atau kecerdasan intelektualya semata.

Yang menjadi persoalan adalah penerapannya saat ini di sekolah-sekolah.   Setelah kurang lebih dua tahun K-13 ini diimplementasikan, memang perlu dievaluasi secara menyeluruh.  Secara sederhana, dapat kami laporkan bahwa persoalan utama dari penerapan K-13 ini terletak pada guru pembimbing di klas.  Mereka yang kreatif dan inovatif, dengan K-13 ini menjadi semakin leluasa dalam berkreasi, sehingga murid-murid menjadi senang, dan pelajaran yang diberikan, sesulit apapun pelajaran tersebut, akan dirasakan menjadi lebih mudah dan menarik.

Sebaliknya, guru-guru yang kurang kreatif, apalagi cenderung malas dan pasif, maka mereka hanya akan ‘menyelesaikan’ kewajiban saja di depan klas.  Materi yang diberikan menjadi alakadarnya, menjadi dangkal, dan tidak akan mendapatkan proses, apalagi outcome yang diharapkan. Di situlah letak soalnya. Berhadapan dengan guru yang seperti itu, maka muridlah yang jadi korbannya. Mereka tidak akan mendapatkan proses dan juga hasil yang maksimal. Faktanya, guru yang seperti ini relatif lebih banyak jumlahnya, bahkan jauh, dibandingkan dengan yang inovatif dan kreatif.

Persoalan lain dalam penerapan K-13 ini adalah terkait dengan proses penilaian.  Seorang guru diharuskan dapat memantau proses pembelajaran di klas secara individual, memperhatikan perkembangan setiap anak, orang per orang setiap hari, minggu, bulan, bahkan sepanjang semester atau tahun belajar.  Seorang guru dituntut untuk ‘hafal’ proses perkembangan intelektual dan emosional atau perilaku setiap anak.  Ketika mengisi raport semesteran, itulah yang harus dituliskan, secara deskriftif.  Pertanyaannya adalah, mampukah seorang guru menghafal tingkat perkembangan anak didiknya seperti yang dituntut oleh K-13 dengan jumlah murid per kelas lebih dari 40 orang. Tidakkah kemudian mereka hanya mengkopi paste penilaiannya dari murid yang satu dengan murid yang lain?
Dengan kata lain, saya igin melaporkan ke Bapak Menteri, itulah salah satu persoalan yang kami hadapi di lapangan dengan K-13 ini.  Belum lagi hal-hal terkait sarana prasarana KBM yang terbatas; yang antara sekolah-sekolah di daerah perkotaan dengan daerah-daerah perdesaan yang sangat berbeda kondisinya.  Apalagi dengan mereka yang masuk dalam kategori daerah-daerah terisolir, terluar, tertinggal, dan mungkin termiskin.  Bapak Menteri yang pernah melihat langsung kondisi masyarakat kita di daerah-daerah seperti itu, melalui program Indonesia Mengajar, tentu lebih faham dari saya.

Bapak Menteri yang terhormat;

Hal kedua yang ingin saya sampaikan melalui surat ini kepada Bapak Menteri adalah terkait dengan Ujian Nasional.  Di media saya membaca, Bapak Menteri akan mengumumkan kebijakan terkait dengan UN ini pada awal tahun depan. Untuk itu, belumlah terlambat kiranya kalau beberapa hal terkait UN tersebut dapat saya utarakan kepada Bapak. Pokok-pokok fikiran yang mungkin saja sudah ada dalam fikiran Bapak Menteri. Untuk itu saya mohon maaf, sebelumnya.

Ujian Nasional, seperti halnya diawal kelahirannya yang menuai kontroversi, nampaknya memang belumlah dapat berjalan ideal sebagaimana tujuan mulia yang hendak dicapai.  Setelah lebih dari lima tahun dilaksanakan, sudah waktunya memang, UN ini dievaluasi secara menyeluruh.  Fakta-fakta yang terjadi di lapangan, justru membuat UN ini menjadi, mohon maaf, berhala, yang demikian tinggi disakralkan, namun kemanfaatannya terhadap proses pendidikan di tanah air sangat diragukan.  Bapak bisa bayangkan, berbagai aturan dan protap yang menyertai UN begitu banyaknya sehingga menjadikan UN sebagai sesuatu yang sangat istimewa.  Mulai dari proses penyusunan soalnya, pembagian soal ke dalam cluster atau kelompok atau variasi yang konon dimaksudkan agar para siswa tidak saling bekerjasama, pengawalan soalnya oleh polisi mulai dari pencetakan, pendistribusian ke daerah-daerah, pendistribusian ke sekolah-sekolah, pengawasan pelaksanaan ujian itu sendiri yang sangat sakral, dan lain sebagainya.  Proses atau protap yang dibuat sedemikian rupa, dengan asumsi yang sangat tidak mendidik: bahwa lengah sedikit, akan ada maling pembocor soal siap mengintai, dan membocorkan soal tersebut dengan berbagai motivasi.  Intinya, dengan proses seperti itu, sangatlah tidak mungkin soal-soal UN itu akan bocor.  Sehingga hasil yang dicapai anak-anak adalah hasil yang sangat murni, yang mencerminkan dua hal: pertama, tingkat penguasaan seetiap murid terhadap kurikulum mata pelajaran yang diujikan.  Kedua, pemerintah akan mendapatkan informasi pemetaan secara nasional apakah target kurikulum yang telah dibuat telah tercapai atau tidak.  Daerah-daerah mana, atau sekolah-sekolah mana yang tinggi tingkat kelulusannya menjadi indikator bahwa pencapaian kurikulum di daerah atau sekolah tersebut telah tercapai. Sebaliknya, akan diketahui pula daerah-daerah atau sekolah-sekolah mana yang tingkat kelulusannya rendah atau sangat rendah; berarti ada persoalan di situ.

Namun di situlah persoalan mulai muncul. Sekolah-sekolah, bahkan kemudian daerah-daerah, rata-rata tidak mau ‘menerima kenyataan’ sekiranya sekolahnya atau daerahnya masuk dalam kategori tingkat kelulusan rendah.  Sekolah-sekolah tidak ingin sekolahnya dicap miring oleh masyarakat gara-gara banyak muridnya yang tidak lulus. Demikian juga kepala-kepala daerah takut kalau di daerahnya tingkat kelulusan siswanya dianggap rendah; lebih rendah dari daerah tetangganya.

Maka muncullah kemudian istilah-istilah ‘tim sukses UN’.  Tentu secara siluman, alias di bawah tangan.  Berbagai cara dilakukan agar tim sukses ini benar-benar sukses mengantarkan kelulusan siswa siswinya.  Meski di dalam ruang kelas, guru yang mengawasi ujian saling silang, artinya mereka tidak boleh mengawasi muridnya sendiri, namun dalam prakteknya mereka punya semacam ‘memorandum of understanding.’ Atau dalam bahasa gaulnya, tahu sama tahu lah. Ketika mengawasi murid yang sedang ujian, terjadi proses pembiaran. Yang penting murid jangan gaduh. Tapi bekerjasama saling contek, menjadi rahasia umum.  Konon ada informasi jawaban yang terkirim lewat HP, entah dari mana.  Yang jelas, meski di pintu ruang ujian tertulis “dilarang membawa HP masuk ruangan” namun fakta di lapangan, HP adalah pendamping setia yang menjadi ‘penuntun’ murid untuk mengerjakan soal ujiannya.

Seorang kawan guru yang kebetulan berasal dari pelosok sempat saya tanyakan mengenai fenomena UN di sekolahnya. Beliau menjawab bahwa memang itulah yang terjadi.  Ternyata kunci jawaban yang beredar di HP anak-anak itu ‘banyak benarnya.’   Bahwa tidak semua anak terpengaruh dengan kunci jawaban seperti ceritera tersebut, patut kita hargai.  Ini pastilah mereka yang memang pandai di klasnya.  Yang jadi persoalan serius kemudian, ketika diumumkan, ternyata nilai mereka yang tidak mau terpengaruh oleh kunci jawaban itu lebih rendah dari mereka yang mungkin sehari-harinya biasa-biasa atau kepandaiannya berada di bawah rata-rata kelas. Bapak bisa bayangkan, bagaimana perasaan mereka kemudian.   Apakah murid yang nilai UN nya tinggi, atau bahkan masuk kategori tiga besar, namun sebagai hasil contekan akan merasa bangga?  Bagaimana pula perasaan mereka yang sudah berpayah-payah belajar dan nekad untuk tidak mempercayai kunci bocoran soal, namun kemudian dikalahkan nilainya oleh mereka yang sehari-harinya berada dibawah rata-rata kelas?  Tidakkah kita telah berbuat zalim pada keduanya?

Untuk itu, melalui kesempatan ini saya ingin mengusulkan kepada Bapak Menteri hal-hal terkait UN sebagai berikut:

1.      UN boleh jalan terus, tapi jangan dijadikan bahan untuk menentukan kelulusan seoarang murid. UN sebatas pemetaan secara nasional, untuk mengetahui tingkat penguasaan murid terhadap kurikulum nasional.
2.      Hasil UN, tidak boleh dipublikasikan.  Cukup menjadi bahan bagi pemerintah dan bagi sekolah untuk mengevaluasi diri.  Karena kalau dipublikasikan, meski sudah tidak lagi dijadikan bahan kelulusan, tetap saja ada perasaan gengsi dari setiap daerah untuk merebut posisi tertinggi (nilai rata-rata UN tertinggi).  Tetap saja masyarakat akan menunggu, siapa gerangan, dari sekolah mana dan daerah mana, siswa yang berhasil menempati rangking tertinggi dalam UN.  Ini semacam kebanggaan bagi setiap kepala daerah; apalagi dalam era pemilukada langsung, maka ini akan menjadi modal kampanye bagi mereka.
3.      Untuk kelulusan siswa, kembalikan saja ke sekolah masing-masing.  Merekalah, para guru di setiap sekolah yang tahu persis, tidak hanya siapa-siapa murid mereka yang pantas diluluskan, juga berapa nilai yang pantas bagi setiap murid yang mereka didik sekian lama di sekolahnya.  Siapa-siapa yang pantas menjadi rangking satu, dua, tiga dan seterusnya.  Secara teoritis, tidak mungkinlah seorang siswa yang sehari-harinya tidak pernah juara klas, tiba-tiba menggondol predikat peraih nilai UN tertinggi.

Dengan kebijakan seperti itu, maka akan berakhirlah masa-masa dimana setiap tahun kami dihadapkan pada ‘berhala’ yang bernama UN. Akan berakhirlah rasa bersalah kami, yang membiarkan anak-anak kami berlaku tidak jujur dalam mengerjakan soal-soal ujiannya. Akan berakhirlah masa-masa dimana kami merasa menzalimi anak-anak murid kami yang kami banggakan karena kepandaiannya dalam kelas sehari-hari, tiba menangis tersedu-sedu karena tidak lulus; sementara kawan lainnya yang biasa-biasa saja lulus bahkan mendapatkan nilai dengan pujian. Kami tahu, itu semua adalah sesuatu yang tidak benar, tapi kami tak kuasa untuk menentangnya.  Tak kuasa untuk melawannya.  Melawan sistem yang demikian dahsyat, yang berujung pada pencitraan. Sementara mengorbankan ribuan kepala murid-murid kami yang kami didik sekian lama, berinteraksi dengan mereka sekian lama, untuk kemudian kami lepas mereka dengan rasa pedih yang tak terperi, hanya karena sistem UN yang, mohon maaf, seperti berhala.  Berhala yang sangat menakutkan, di setiap penghujung tahun ajaran.

Bapak Menteri yang kami cintai,
Kami tahu Bapak adalah juga bagian dari kami. Kami yakin Bapak telah memamahi apa yang kami uraikan tadi, jauh sebelum membaca surat ini.  Namun kami yakin, surat ini akan Bapak perhatikan dan akan menjadi pertimbangan dalam memutuskan kebijakan di dunia pendidikan dimana palunya berada diujung jari Bapak Menteri. Akhirnya kepada Allah SWT kita berserah diri, dan kami berdoa, semoga Bapak senantiasa mendapatkan taufik dan hidayahNya dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

Wallahul muwafiq walhaadi illasyabilirrosyad.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.


Rosiady Sayuti
Guru dari NTB