SURAT TERBUKA KEPADA PAK MENTERI ANIES BASWEDAN
Yang terhormat
Bapak Anies Baswedan,
Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia
Assalamualaikum
warahmatullah wabarakatuh
Alhamdulillah, surat
Bapak yang dibacakan dalam upacara Hari Guru Nasional kemarin telah kami
dengarkan. Surat yang mungkin bagi kami
para guru baru pertama kali dilayangkan oleh seorang menteri. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas perhatian dan gagasan-gagasan Bapak ke depan yang akan
dapat membawa dunia pendidikan di tanah air menjadi lebih baik.
Dalam kesempatan ini,
ijinkan saya untuk membalas surat Bapak, dan menyampaikan beberapa hal yang
mungkin ada manfaatnya bagi Bapak dalam menetapkan kebijakan di dunia
pendidikan untuk masa-masa yang akan datang. Saya membaca di media, kalau
saat-saat ini Bapak tengah mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dengan
kurikulum 2013 dan Ujian Nasional.
Melalui koran pula, kami mengetahui bahwa Bapak telah mendengarkan
langsung beberapa komponen masyarakat pendidikan, terkait dengan kedua hal
tersebut.
Namun tidak ada
salahnya saya kira, kalau melalui surat ini saya menyampaikan pula pendapat
saya; yang mungkin saja berhampiran dengan pendapat dari mereka yang Bapak
telah dengarkan langsung. Atau mungkin saja berbeda.
Pertama, mengenai
kurikulum 2013 atau K-13
Dari segi gagasan,
visi missi yang ingin dicapai dengan penerapan K-13 sesungguhnya sangat mulia.
Sekiranya proses pengajaran dan pendidikan K-13 ini dilakoni oleh seorang guru
yang baik, yang kreatif, dan inovatif, tentu hasilnya akan baik sekali dalam
mengantarkan generasi muda bangsa yang cerdas dan berkarakter mulia. Ibarat kata pepatah, sekali merengkuh dayung,
dua tinga pulau terlampaui. Melalui
penerapan K-13, peserta didik kami tidak hanya akan diasah aspek
kognitif-intelektualnya, namun juga aspek perilaku-psikomotoriknya. Dengan kata lain, mereka tidak hanya akan
terasah kecerdasan intelektualnya, namun juga kecerdasan emosionalnya, bahkan
juga kecerdasan religiusitasnya. Secara teoritis, memang hal tersebut
sepertinya tidak terlalu sulit untuk mencapainya. Apalagi kalau kita bandingkan dengan proses
pengajaran melalui kurikulum sebelumnya, yang penekanannya lebih pada aspek
kognitif atau kecerdasan intelektualya semata.
Yang menjadi persoalan
adalah penerapannya saat ini di sekolah-sekolah. Setelah kurang lebih dua tahun K-13 ini
diimplementasikan, memang perlu dievaluasi secara menyeluruh. Secara sederhana, dapat kami laporkan bahwa
persoalan utama dari penerapan K-13 ini terletak pada guru pembimbing di
klas. Mereka yang kreatif dan inovatif,
dengan K-13 ini menjadi semakin leluasa dalam berkreasi, sehingga murid-murid
menjadi senang, dan pelajaran yang diberikan, sesulit apapun pelajaran
tersebut, akan dirasakan menjadi lebih mudah dan menarik.
Sebaliknya, guru-guru
yang kurang kreatif, apalagi cenderung malas dan pasif, maka mereka hanya akan
‘menyelesaikan’ kewajiban saja di depan klas.
Materi yang diberikan menjadi alakadarnya, menjadi dangkal, dan tidak
akan mendapatkan proses, apalagi outcome yang diharapkan. Di situlah letak
soalnya. Berhadapan dengan guru yang seperti itu, maka muridlah yang jadi
korbannya. Mereka tidak akan mendapatkan proses dan juga hasil yang maksimal. Faktanya,
guru yang seperti ini relatif lebih banyak jumlahnya, bahkan jauh, dibandingkan
dengan yang inovatif dan kreatif.
Persoalan lain dalam
penerapan K-13 ini adalah terkait dengan proses penilaian. Seorang guru diharuskan dapat memantau proses
pembelajaran di klas secara individual, memperhatikan perkembangan setiap anak,
orang per orang setiap hari, minggu, bulan, bahkan sepanjang semester atau
tahun belajar. Seorang guru dituntut
untuk ‘hafal’ proses perkembangan intelektual dan emosional atau perilaku
setiap anak. Ketika mengisi raport
semesteran, itulah yang harus dituliskan, secara deskriftif. Pertanyaannya adalah, mampukah seorang guru
menghafal tingkat perkembangan anak didiknya seperti yang dituntut oleh K-13 dengan
jumlah murid per kelas lebih dari 40 orang. Tidakkah kemudian mereka hanya
mengkopi paste penilaiannya dari murid yang satu dengan murid yang lain?
Dengan kata lain, saya
igin melaporkan ke Bapak Menteri, itulah salah satu persoalan yang kami hadapi
di lapangan dengan K-13 ini. Belum lagi
hal-hal terkait sarana prasarana KBM yang terbatas; yang antara sekolah-sekolah
di daerah perkotaan dengan daerah-daerah perdesaan yang sangat berbeda
kondisinya. Apalagi dengan mereka yang
masuk dalam kategori daerah-daerah terisolir, terluar, tertinggal, dan mungkin
termiskin. Bapak Menteri yang pernah
melihat langsung kondisi masyarakat kita di daerah-daerah seperti itu, melalui
program Indonesia Mengajar, tentu lebih faham dari saya.
Bapak Menteri yang
terhormat;
Hal kedua yang ingin
saya sampaikan melalui surat ini kepada Bapak Menteri adalah terkait dengan
Ujian Nasional. Di media saya membaca,
Bapak Menteri akan mengumumkan kebijakan terkait dengan UN ini pada awal tahun depan.
Untuk itu, belumlah terlambat kiranya kalau beberapa hal terkait UN tersebut
dapat saya utarakan kepada Bapak. Pokok-pokok fikiran yang mungkin saja sudah
ada dalam fikiran Bapak Menteri. Untuk itu saya mohon maaf, sebelumnya.
Ujian Nasional,
seperti halnya diawal kelahirannya yang menuai kontroversi, nampaknya memang
belumlah dapat berjalan ideal sebagaimana tujuan mulia yang hendak
dicapai. Setelah lebih dari lima tahun
dilaksanakan, sudah waktunya memang, UN ini dievaluasi secara menyeluruh. Fakta-fakta yang terjadi di lapangan, justru
membuat UN ini menjadi, mohon maaf, berhala, yang demikian tinggi disakralkan,
namun kemanfaatannya terhadap proses pendidikan di tanah air sangat diragukan. Bapak bisa bayangkan, berbagai aturan dan
protap yang menyertai UN begitu banyaknya sehingga menjadikan UN sebagai
sesuatu yang sangat istimewa. Mulai dari
proses penyusunan soalnya, pembagian soal ke dalam cluster atau kelompok atau
variasi yang konon dimaksudkan agar para siswa tidak saling bekerjasama,
pengawalan soalnya oleh polisi mulai dari pencetakan, pendistribusian ke
daerah-daerah, pendistribusian ke sekolah-sekolah, pengawasan pelaksanaan ujian
itu sendiri yang sangat sakral, dan lain sebagainya. Proses atau protap yang dibuat sedemikian
rupa, dengan asumsi yang sangat tidak mendidik: bahwa lengah sedikit, akan ada
maling pembocor soal siap mengintai, dan membocorkan soal tersebut dengan
berbagai motivasi. Intinya, dengan
proses seperti itu, sangatlah tidak mungkin soal-soal UN itu akan bocor. Sehingga hasil yang dicapai anak-anak adalah
hasil yang sangat murni, yang mencerminkan dua hal: pertama, tingkat penguasaan
seetiap murid terhadap kurikulum mata pelajaran yang diujikan. Kedua, pemerintah akan mendapatkan informasi
pemetaan secara nasional apakah target kurikulum yang telah dibuat telah
tercapai atau tidak. Daerah-daerah mana,
atau sekolah-sekolah mana yang tinggi tingkat kelulusannya menjadi indikator
bahwa pencapaian kurikulum di daerah atau sekolah tersebut telah tercapai.
Sebaliknya, akan diketahui pula daerah-daerah atau sekolah-sekolah mana yang
tingkat kelulusannya rendah atau sangat rendah; berarti ada persoalan di situ.
Namun di situlah
persoalan mulai muncul. Sekolah-sekolah, bahkan kemudian daerah-daerah,
rata-rata tidak mau ‘menerima kenyataan’ sekiranya sekolahnya atau daerahnya
masuk dalam kategori tingkat kelulusan rendah.
Sekolah-sekolah tidak ingin sekolahnya dicap miring oleh masyarakat
gara-gara banyak muridnya yang tidak lulus. Demikian juga kepala-kepala daerah
takut kalau di daerahnya tingkat kelulusan siswanya dianggap rendah; lebih
rendah dari daerah tetangganya.
Maka muncullah
kemudian istilah-istilah ‘tim sukses UN’.
Tentu secara siluman, alias di bawah tangan. Berbagai cara dilakukan agar tim sukses ini
benar-benar sukses mengantarkan kelulusan siswa siswinya. Meski di dalam ruang kelas, guru yang
mengawasi ujian saling silang, artinya mereka tidak boleh mengawasi muridnya
sendiri, namun dalam prakteknya mereka punya semacam ‘memorandum of
understanding.’ Atau dalam bahasa gaulnya, tahu sama tahu lah. Ketika mengawasi
murid yang sedang ujian, terjadi proses pembiaran. Yang penting murid jangan
gaduh. Tapi bekerjasama saling contek, menjadi rahasia umum. Konon ada informasi jawaban yang terkirim
lewat HP, entah dari mana. Yang jelas,
meski di pintu ruang ujian tertulis “dilarang membawa HP masuk ruangan” namun
fakta di lapangan, HP adalah pendamping setia yang menjadi ‘penuntun’ murid
untuk mengerjakan soal ujiannya.
Seorang kawan guru
yang kebetulan berasal dari pelosok sempat saya tanyakan mengenai fenomena UN
di sekolahnya. Beliau menjawab bahwa memang itulah yang terjadi. Ternyata kunci jawaban yang beredar di HP
anak-anak itu ‘banyak benarnya.’ Bahwa
tidak semua anak terpengaruh dengan kunci jawaban seperti ceritera tersebut,
patut kita hargai. Ini pastilah mereka
yang memang pandai di klasnya. Yang jadi
persoalan serius kemudian, ketika diumumkan, ternyata nilai mereka yang tidak
mau terpengaruh oleh kunci jawaban itu lebih rendah dari mereka yang mungkin
sehari-harinya biasa-biasa atau kepandaiannya berada di bawah rata-rata kelas.
Bapak bisa bayangkan, bagaimana perasaan mereka kemudian. Apakah murid yang nilai UN nya tinggi, atau
bahkan masuk kategori tiga besar, namun sebagai hasil contekan akan merasa
bangga? Bagaimana pula perasaan mereka
yang sudah berpayah-payah belajar dan nekad untuk tidak mempercayai kunci
bocoran soal, namun kemudian dikalahkan nilainya oleh mereka yang
sehari-harinya berada dibawah rata-rata kelas?
Tidakkah kita telah berbuat zalim pada keduanya?
Untuk itu, melalui
kesempatan ini saya ingin mengusulkan kepada Bapak Menteri hal-hal terkait UN
sebagai berikut:
1.
UN
boleh jalan terus, tapi jangan dijadikan bahan untuk menentukan kelulusan
seoarang murid. UN sebatas pemetaan secara nasional, untuk mengetahui tingkat
penguasaan murid terhadap kurikulum nasional.
2.
Hasil
UN, tidak boleh dipublikasikan. Cukup
menjadi bahan bagi pemerintah dan bagi sekolah untuk mengevaluasi diri. Karena kalau dipublikasikan, meski sudah tidak
lagi dijadikan bahan kelulusan, tetap saja ada perasaan gengsi dari setiap
daerah untuk merebut posisi tertinggi (nilai rata-rata UN tertinggi). Tetap saja masyarakat akan menunggu, siapa
gerangan, dari sekolah mana dan daerah mana, siswa yang berhasil menempati
rangking tertinggi dalam UN. Ini semacam
kebanggaan bagi setiap kepala daerah; apalagi dalam era pemilukada langsung,
maka ini akan menjadi modal kampanye bagi mereka.
3.
Untuk
kelulusan siswa, kembalikan saja ke sekolah masing-masing. Merekalah, para guru di setiap sekolah yang
tahu persis, tidak hanya siapa-siapa murid mereka yang pantas diluluskan, juga
berapa nilai yang pantas bagi setiap murid yang mereka didik sekian lama di
sekolahnya. Siapa-siapa yang pantas
menjadi rangking satu, dua, tiga dan seterusnya. Secara teoritis, tidak mungkinlah seorang
siswa yang sehari-harinya tidak pernah juara klas, tiba-tiba menggondol
predikat peraih nilai UN tertinggi.
Dengan kebijakan
seperti itu, maka akan berakhirlah masa-masa dimana setiap tahun kami
dihadapkan pada ‘berhala’ yang bernama UN. Akan berakhirlah rasa bersalah kami,
yang membiarkan anak-anak kami berlaku tidak jujur dalam mengerjakan soal-soal
ujiannya. Akan berakhirlah masa-masa dimana kami merasa menzalimi anak-anak
murid kami yang kami banggakan karena kepandaiannya dalam kelas sehari-hari,
tiba menangis tersedu-sedu karena tidak lulus; sementara kawan lainnya yang
biasa-biasa saja lulus bahkan mendapatkan nilai dengan pujian. Kami tahu, itu
semua adalah sesuatu yang tidak benar, tapi kami tak kuasa untuk
menentangnya. Tak kuasa untuk
melawannya. Melawan sistem yang demikian
dahsyat, yang berujung pada pencitraan. Sementara mengorbankan ribuan kepala
murid-murid kami yang kami didik sekian lama, berinteraksi dengan mereka sekian
lama, untuk kemudian kami lepas mereka dengan rasa pedih yang tak terperi,
hanya karena sistem UN yang, mohon maaf, seperti berhala. Berhala yang sangat menakutkan, di setiap
penghujung tahun ajaran.
Bapak Menteri yang
kami cintai,
Kami tahu Bapak adalah
juga bagian dari kami. Kami yakin Bapak telah memamahi apa yang kami uraikan
tadi, jauh sebelum membaca surat ini.
Namun kami yakin, surat ini akan Bapak perhatikan dan akan menjadi
pertimbangan dalam memutuskan kebijakan di dunia pendidikan dimana palunya berada
diujung jari Bapak Menteri. Akhirnya kepada Allah SWT kita berserah diri, dan
kami berdoa, semoga Bapak senantiasa mendapatkan taufik dan hidayahNya dalam
melaksanakan tugas sehari-hari.
Wallahul muwafiq
walhaadi illasyabilirrosyad.
Wassalamualaikum
warahmatullah wabarakatuh.
Rosiady Sayuti
Guru dari NTB