UN 2015 DAN PERTARUHAN KEJUJURAN
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora Provinsi NTB
Gawe Nasional yang bernama UN kini sudah mulai ditabuh. Pada
hari Rabu, 25 Februari 2015, telah diadakan Sosialisasi UN tingkat pusat, yang
dihadiri oleh unsur-unsur Dikpora Provinsi, Perguruan Tinggi, dan LPMP. Acara
yang dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan itu
tentu menjadi sangat menarik, mengingat terjadinya perubahan kebijakan yang
sangat mendasar. Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan
siswa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005, pasal
68. Kini, PP tersebut sedang dalam proses perubahan, untuk melegalkan bahwa UN
tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa.
Lantas pertanyaannya adalah, untuk apa UN tetap
dipertahankan? Sesuai dengan isi pasal 68, PP tersebut, maka tiga fungsi yang lain
dari UN tetap dipertahankan, yaitu sebagai: (1) alat untuk pemetaan mutu
program dan/atau satuan pendidikan; (2) sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya; dan (3) dasar untuk melakukan pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan kata lain, pelaksanaan UN dengan biaya yang luar
biasa besar, tetap ada manfaatnya. Bahkan ke depan, menurut Bapak Anies
Baswedan, UN ini akan diupayakan mendapatkan pengakuan internasional, yang
nilainya kemudian dapat dipergunakan untuk masuk ke perguruan tinggi ternama di
luar negeri, sekelas Cambridge International Examination di Inggris atau
American College Testing Program (ACT Test) di Amerika Serikat.
Apa yang salah selama
ini?
Saya tidak ingin mengulas kembali apa yang pernah saya tulis
dalam “Surat Terbuka” kepada Bapak Menteri Anies Baswedan beberapa waktu yang
lalu. Faktanya adalah, tujuan ke tiga dari UN sebagaimana diatur dalam PP
tersebut diatas, tidak dapat dilaksanakan, karena ‘tidak ada korelasi yang
nyata,’ antara ketersediaan infrastruktur pendidikan dengan nilai rata-rata UN
di satuan pendidikan tersebut. Sekolah-sekolah
atau madarasah madrasah yang berada di pelosok negeri, yang kalau dicermati
infrastrukturnya kurang memadai, justru nilai rata-rata UN siswa nya
tinggi-tinggi. Atau sebaliknya, ada sekolah-sekolah di kota yang dari segi
infrastrukturnya cukup baik, namun nilai UN rata-rata siswanya jeblok.
Dengan adanya kebijakan baru terkait “UN tidak lagi menjadi
unsur penentu kelulusan siswa” akan terjadi paling tidak tiga hal: (1)
Pelaksanaan UN benar-benar dilaksanakan dengan jujur: baik murid maupun
gurunya. Tidak boleh lagi ada kecurangan yang dibiarkan; ketidak jujuran yang
difasilitasi; dan kebocoran soal yang ditutup-tutupi.
(2) Kepala setiap satuan pendidikan tidak perlu khawatir
akan mendapat sanksi atau teguran dari kepala daerah atau kepala dinasnya,
hanya karena nilai UN di sekolahnya jelek atau banyak siswanya yang tidak
lulus. Justru kalau ternyata nilai UN
nya jelek, Pemerintah atau Kementrian/Dinas akan memberikan perhatian khusus,
apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas satuan pendidikan tersebut. Mungkin laboratoriumnya yang perlu dibenahi,
atau guru-gurunya perlu ditambah, atau bahkan ruang kelasnya harus diperbanyak,
dan sebagainya. Intinya adalah, dari
hasil UN tersebut akan dapat dijabarkan suatu kebijakan yang dapat membantu
suatu satuan pendidikan meningkatkan kualitasnya.
(3). Masyarakat tidak perlu memiliki kehawatiran yang
berlebihan terhadap nasib anak-anaknya; lulus UN atau tidak lulus UN. Ketika
kelulusan siswa menjadi tanggung jawab penuh ibu dan bapak guru di sekolah, maka
tentu para orang tua akan lebih ihlas untuk menerima hasil proses pendidikan
anak-anaknya. Tidak lagi ada yang
mengatakan “hasil pendidikan tiga tahun ditentukan oleh ujian nasional yang
tiga hari.” Dengan mengembalikan
kedaulatan satuan pendidikan dalam menentukan ‘nasib’ murid-muridnya, bukan
berarti setiap anak akan ‘pasti lulus.’
Dalam teori kurva normal, pastilah diantara sekian banyak
siswa, sebagian kecil ada yang kurang pandai, yang daya serap terhadap mata
pelajaran kurang atau rendah, sebagian besar dalam kondisi medioker atau
normal, dan sebagian kecil lainnya dalam kondisi sangat pandai, atau daya
serapnya tinggi. Itu teorinya. Tinggal berpulang pada para guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran dan proses pendidikan di setiap satuan pendididikan.
Bisa saja, menurut teori tersebut, bandulnya akan bergeser ke kanan, artinya
prosentase mereka yang berada pada arah sangat pandai yang tinggi; atau
bergeser ke kiri, dimana sebagian besar dari murid-muridnya memiliki daya serap
rendah. Itulah fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya.
Harapan Pak Menteri
Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi
terkait UN diharapkan berdampak positif terhadap upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan di tanah air. Pada
saat yang sama, diharapkan UN dapat menjadi barometer berklas internasional
yang nilainya diakui secara internasional. “jumlah peserta UN kita terbesar ke
empat di dunia,” kata pak Menteri, “sehingga kita harus berjuang agar nilai UN
kita dapat diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan tingkat dunia.” Maksudnya,
dengan nilai UN yang tinggi, siswa yang bersangkutan akan dapat diterima tanpa
tes lagi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Kata kuncinya hanya
satu, pungkas pak Menteri: “UN yang kita laksanakan kredibel atau tidak.” Menurut para ahli evaluasi pendidikan,
tidaklah sulit untuk mengukur tingkat kredibilitas UN tersebut. Wallahu a’lam
bissawab.