Kamis, 24 November 2016

Menyederhanakan SPJ


Menyederhanakan SPJ
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Sekretaris Daerah Provinsi NTB

Ketika memberikan sambutan dalam cara penyerahan penghargaan kepada Kementrian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang telah lima kali atau lebih mendapatkan status WTP di Istana Negara beberapa waktu yang lalu, Bapak Presiden Jokowi menekankan perlu penyederhanaan mekanisme dan dokumentasi Laporan atau Surat Pertanggung Jawaban keuangan negara.  Beliau sangat gerah dengan masih demikian rumit dan banyaknya kertas yang harus dipergunakan dalam rangka penyelesaian LPJ atau SPJ tersebut. “kalau ada orang lembur di kantor, pasti mereka mengerjakan SPJ. Begitu juga kalau ada tumpukan kertas di meja, pasti itu urusannya dengan SPJ,” ungkap beliau dengan nada dan raut muka yang sangat serius.

Memang beliau orang yang sangat praktis.  Tidak mau yang jelimet-jelimet. Ketika menjadi walikota Solo, beliau yang mempelopori proses perijinan yang biasanya hitungan bulan atau minggu menjadi hitungan hari. Bahkan menjadi hitungan jam. Namun terkait dengan apa yang dikeluhkan tadi, sistem akuntansi kita sesungguhnya yang harus dibenahi. Paradigma yang selama ini menjadi anutan para akuntan, dan kemudian dituangkan menjadi keebijakan dalam pemeriksaan laporan pertanggung jawaban adalah, semakin banyak dokumen yang harus disediakan untuk membuktikan adanya sebuah transaksi penggunaan keuangan negara, akan semakin baik dan semakin terjamin akuntabiitasnya. Jadi, disamakan dengan berperkara di pengadilan. Semakin banyak saksi semakin baik. Sehingga, semakin kecil kemungkinan seseorang untuk melakukan manipulasi atau kecurangan, misalnya dalam hal pengadaan barang jasa, perjalanan dinas, dan lain-lain.

Sebagai ilustrasi, untuk mempertanggung jawabkan suatu perjalanan dinas, dokumen yang harus ada adalah ijin bepergian, undangan, surat perintah tugas, surat perintah perjalanan dinas atau SPPD, bukti transportasi yang dipergunakan seperti tiket dan boarding pass (kalau naik pesawat), tiket taksi atau bus, kwitansi hotel, dan laporan hasil perjalanan. Di beberapa kementrian ditambah lagi dengan foto. Dan seterusnya.  Artinya, untuk membuktikan bahwa seseorang tidak melakukan perjalanan fiktif, sekian banyak dokumen harus disiapkan. Itulah yang diperiksa. Tujuan pemeriksaan sebenarnya sederhana, benarkan seseorang itu melakukan perjalanan dinas. Dasarnya apa, bepergian pakai apa, kegiatan yang dihadiri apa, menginap dimana, kapan pergi kapan pulang, dan laporannya seperti apa.  Sementara kalau untuk pengadaan barang jasa, dokumenn yang harus disiapkan per item barang adalah dokumen perencanaannya sebagai dasar pengadaan, dokumen terkait spesifikasi barang, dokumen proses pengadaan, beli langsung atau mekanisme lelang yang menjadi dokumen tersendiri dan cukup tebal, dokumen terkait proses eksekusinya berupa SK-SK (mulai dari SK Kepala Daerah, SK Kepala Dinas, SK Kepala Bidang, SK Kepala Seksi, SK Panitia Pengadaan, dan lain-lain), dokumen terkait serah terima barang dari panitia pengadaan ke panitia penerimaan dan pemeriksa barang, dokumen serah terima ke pengguna akhir, dan lain lain.

Bisa dibayangkan betapa tebalnya dan begitu banyaknya pejabat yang harus tanda tangan untuk pembuktian bahwa barang yang sudah direncanakan untuk diadakan itu benar proses pengadaannya. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin banyak dokumen yang harus ditanda tangani, dan tentu akibatnya semakin lama atau semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tanda tangan - tanda tangan tersebut.  Padahal idealnya, semakin tinggi jabatan seseorang, seharusnya semakin banyak waktu yang dipergunakan untuk memikirkan hal hal yang sifatnya kebijakan, untuk berinovasi, bukan hal hal yang sifatnya teknis administrasi.

Pertanyaannya adalah, mungkinkah berbagai hal tersebut disederhanakan?  Tidakkah penyederhanaan akan berpengaruh terhadap akuntabilitas? Tidakkah akan memperbesar peluang orang atau oknum untuk manipulatif, berbuat tidak jujur?

Kata-kata ‘fiktif’ dan ‘mark up,’ ‘memperkaya diri atau orang lain’ adalah kata-kata kunci yang berpotensi untuk terjadinya kerugian negara, yang pada ujungnya menimbulkan terjadinya tindak pidana korupsi. Sebenarnya ke situ arah dari instrumen sistem pelaporan pertanggung jawaban diarahkan. Mekanisme dan sistem yang diimplementasikan dalam pembuatan LPJ atau SPJ harus mampu dengan mudah untuk mendeteksi terjadinya salah satu atau ketiga kata ‘sakti’ tersebut.  Apakah seseorang melakukan perjalanan fiktif, belanja fiktif, atau me ‘mark up’ harga barang dan atau jasa yang dibeli? Inti dari sistem pelaporan yang dibuat sesungguhnya adalah itu.  Oleh pemeriksa, pastilah yang dicari adalah hal-hal tersebut. Untuk pembuktiannya, dalam sistem yang ada sekarang, mekanisme dan dokumen yang harus disediakan, menurut Bapak Presiden, masih terlalu banyak. Artinya, masih bisa disederhanakan. Apalagi dalam era diigital sekarang ini, seharusnya penyederhanaan sistem pelaporan pertanggung jawaban itu tidaklah terlampau sulit. Kalau sekarang sudah mulai dipraktekkan e-planning dan e-budgetting, saya kira sudah waktunya diformulasikan e-reporting.

Saya membayangkan untuk pertanggung jawaban sebuah perjalanan dinas, misalnya, kita cukup membuka aplikasi e-reporting perjalanan, dimana kita dapat mengisi berbagai informasi yang diperlukan, seperti dasar bepergian (undangan dan/atau perintah tugas), waktu, kota tujuan, acara yang dihadiri. Sementara untuk bukti fisik kehadiran, cukup kita mengapload foto yang membuktikan kehadiran kita di acara tersebut. Tidak perlu ada tanda tangan panitia atau pejabat setempat. Sedangkan untuk menunjukkan berapa lama atau berapa hari, kita bisa mengapload bukti berupa boardingpass elektronik yang kita terima dari travel tempat kita membeli tiket pesawat. Sementara untuk bukti penginapan, menurut saya tidak diperlukan.  Karena untuk penginapan ini, bisa ditanggung panitia, bisa kita tanggung sendiri.  Bendahara kantor akan memberikan biaya perjalanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, real cost untuk trasportasi, dan akomodasi sesuai dengan kebijakan yang ada. Dengan kata lain, untuk akomodasi tidak diperlukan bukti fisik seperti kwitansi hotel dan lain lain.  

Paradigma ataupun asumsi yang terbangun selama ini dalam pembuatan juklak juknis pertanggung jawaban penggunaan keuangan negara sudah waktunya dirubah.  Kalau selama ini asumsinya adalah: dalam penggunaan keuangan negara sebagian besar pegawai berpotensi dan cenderung untuk melakukan kecurangan, hanya sedikit yang jujur. Kita rubah menjadi sebaliknya, sebagian besar pegawai pasti jujur, kecuali hanya sedikit yang memang bermental curang.   Dengan perubahan paradigma tersebut, para pemeriksa, para auditor, tidak akan akan pening kepalanya jika tidak menemukan sesuatu kesalahan ketika melakukan pemeriksaan. Termasuk ketika memeriksa laporan pengadaan barang jasa, yang juga harus disederhanakan prosesnya.

Dengan perubahan mindset para pemeriksa tadi, kita akan dapat memperbaiki sistem dan mekanisme Laporan Pertanggung Jawaban menjadi lebih sederhana, praktis, tanpa mengurangi akuntabilitasnya sedikitpun.  Dan Bapak Presiden Jokowi tidak akan lagi melihat tumpukan kertas berlabelkan SPJ di setiap kantor yang beliau kunjungi. Wallahu a’lam bissawab.

Sabtu, 05 Maret 2016

UN 2016 DAN INDEKS INTEGRITAS


UN 2016 DAN INDEKS INTEGRITAS
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kadis Dikpora Provinsi NTB


Gawe Nasional yang bernama UN kini sudah mulai ditabuh lagi. Pada waktu acara rembuk nasional pendidikan akhir  Februari 2016 yang lalu, Bapak Mendikbud Anies Baswedan meluncurkan Indeks Integritas semua Satuan Pendidikan dan Daerah se Indonesia. Dari indeks tersebut setiap daerah dan  sekolah akan mengetahui apakah daerah atau sekolahnya dalam posisi (1) Indeks Tinggi, Nilai UN juga tinggi; (2) Indeks Tinggi Nilai UN rendah: (3) Indeks Rendah Nilai UN tinggi; atau (4) Indeks rendah, nilai UN juga rendah.

Indeks tinggi atau rendah tersebut diukur dari sejauh mana kecurangan terjadi di suatu sekolah; secara sederhana, kalau 80% dari peserta ujian di sekolah itu jawaban salahnya di soal yang sama, maka indeksnya menjadi 20.  Tapi kalau hanya 10%, dari jumlah peserta ujian punya kesalahan di soal yang sama, maka nilai indeksnya 90.  Setelah itu baru dicek kebenaran jawabannya.

Ada sekolah yang indeksnya rendah, nilai rata rata UNnya juga rendah. Ini artinya, kunci jawaban yang beredar di sekolah tersebut adalah kunci yang salah. Tapi ada sekolah yang indeksnya tinggi, tapi nilai Unnya rendah; ini artinya mereka rata-rata jujur. Tidak ada kunci jawaban yang beredar, tidak ada kerja sama antar siswa yang dibiarkan. Mungkin karena soalnya yang memang tidak bisa mereka selesaikan dengan benar.

Dengan adanya kebijakan baru terkait “UN tidak lagi menjadi unsur penentu kelulusan siswa” akan terjadi paling tidak tiga hal: (1) Pelaksanaan UN benar-benar dilaksanakan dengan jujur: baik murid maupun gurunya. Tidak boleh lagi ada kecurangan yang dibiarkan; ketidak jujuran yang difasilitasi; dan kebocoran soal yang ditutup-tutupi.

(2) Kepala setiap satuan pendidikan tidak perlu khawatir akan mendapat sanksi atau teguran dari kepala daerah atau kepala dinasnya, hanya karena nilai UN di sekolahnya jelek atau banyak siswanya yang tidak lulus.   Justru kalau ternyata nilai UN nya jelek, Pemerintah atau Kementrian/Dinas akan memberikan perhatian khusus, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas satuan pendidikan tersebut.  Mungkin laboratoriumnya yang perlu dibenahi, atau guru-gurunya perlu ditambah, atau bahkan ruang kelasnya harus diperbanyak, dan sebagainya.  Intinya adalah, dari hasil UN tersebut akan dapat dijabarkan suatu kebijakan yang dapat membantu suatu satuan pendidikan meningkatkan kualitasnya.

(3). Masyarakat tidak perlu memiliki kehawatiran yang berlebihan terhadap nasib anak-anaknya; lulus UN atau tidak lulus UN. Ketika kelulusan siswa menjadi tanggung jawab penuh ibu dan bapak guru di sekolah, maka tentu para orang tua akan lebih ihlas untuk menerima hasil proses pendidikan anak-anaknya.  Tidak lagi ada yang mengatakan “hasil pendidikan tiga tahun ditentukan oleh ujian nasional yang tiga hari.”  Dengan mengembalikan kedaulatan satuan pendidikan dalam menentukan ‘nasib’ murid-muridnya, bukan berarti setiap anak akan ‘pasti lulus.’

Dalam teori kurva normal, pastilah diantara sekian banyak siswa, sebagian kecil ada yang kurang pandai, yang daya serap terhadap mata pelajaran kurang atau rendah; sementara sebagian besar dalam kondisi medioker atau normal, dan sebagian kecil lainnya dalam kondisi sangat pandai, atau daya serapnya tinggi. Itu teorinya. Tinggal berpulang pada para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan proses pendidikan di setiap satuan pendididikan. Bisa saja, menurut teori tersebut, bandulnya akan bergeser ke kanan, artinya prosentase mereka yang berada pada arah sangat pandai yang tinggi; atau bergeser ke kiri, dimana sebagian besar dari murid-muridnya memiliki daya serap rendah. Itulah fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya.

Perubahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintahan terkait UN diharapkan berdampak positif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.  Pada saat yang sama, diharapkan UN dapat menjadi barometer berklas internasional yang nilainya diakui secara internasional. “Jumlah peserta UN kita terbesar ke empat di dunia,” kata pak Menteri, “sehingga kita harus berjuang agar nilai UN kita dapat diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan tingkat dunia.” Maksudnya, dengan nilai UN yang tinggi, siswa yang bersangkutan akan dapat diterima tanpa tes lagi di perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia. Kata kuncinya hanya satu, pungkas pak Menteri: “UN yang kita laksanakan harus kredibel.”  

Menurut para ahli evaluasi pendidikan, tidaklah sulit untuk mengukur tingkat kredibilitas UN tersebut. Itulah yang kemudian diukur dengan mengeluarkan Indeks Integritas, seperti yang saya uraikan di depan.  Sekarang berpulang kepada kita masing-masing, mau mengedepankan kejujuran yang diukur dengan indeks integritas tersebut, atau masih terbuai dengan Nilai UN yang harus tinggi, meski tingkat kejujuran anak-anak kita dipertaruhkan. Kalimat mana yang akan kita ungkapkan: “maaf, nilai UN anak-anak saya rata-rata rendah; tapi saya bangga, mereka sangat jujur”…. Atau….. “maaf, meskipun nilai rata-rata UN anak-anak saya tinggi, tapi saya sedih karena ternyata, indeks integritas sekolah kami rendah.” Wallahu a’lam bissawab.