Rabu, 12 Agustus 2015

SAYANGI MATARAM: SATU KELURAHAN SATU MILIAR


SAYANGI MATARAM: SATU KELURAHAN SATU MILIAR, MUNGKINKAH?

Oleh Dr. H. Rosiady Sayuti


Dalam sebuah diskusi tentang bagaimana membangun masyarakat di daerah perkotaan, muncul istilah Saransami, yang merupakan singkatan dari Satu Kelurahan Satu Milyar. Ada gagasan untuk memberikan alokasi dana dari Pemkot ke Pemerintahan Kelurahan sebesar satu milyar rupiah per tahun. Dengan dana sebesar itu diharapkan kemandirian masyarakat berbasis kelurahan atau lingkungan di perkotaan kota Mataram akan makin cepat dapat diwujudkan.  Kelurahan akan makin kreatif dan produktif dalam menggagas dan melaksanakan berbagai program yang terkait langsung dengan persoalan-persoalan di masyarakat.   Mulai dari program percepatan penanggulangan kemiskinan, persoalan kebersihan,  pengangguran, pedagang kaki lima, kali bersih, dan lain-lain.  Juga hal-hal terkait dengan pendidikan dan kesehatan.  Cukup banyak hal-hal yang selama ini ‘tersentralisir’ di Pemkot, akan ‘didesentralisasikan,’ sehingga menjadi lebih mudah dan murah, dan tentu akan menjadi lebih efektif.

Dengan Saransami ini, diharapkan partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan di tingkat kelurahan akan makin tinggi.  Pak Lurah akan memiliki dana untuk berkreasi dan berinovasi terkait dengan pembangunan sumberdaya manusia, maupun untuk menciptakan lingkungan yang bersih.  Sebagian dari dana tersebut dapat diperuntukkan untuk menjamin setiap anak usia sekolah di kelurahannya harus berada di bangku sekolah.  Tidak ada yang tidak ber sekolah atau drop out.  Kreatitivitas para pemudanya dalam berbagai kegiatan olah raga dan kesenian juga terfasilitasi.  Tidak ada waktu yang sia-sia bagi para pemuda. Kegiatan posyandu dan program seribu hari kehidupan manusia yang diharapkan menghasilkan manusia unggul masa depan juga dapat terjamin.  Tidak ada ibu hamil atau keluarga yang punya balita, yang tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.  Demikian pula di bidang kesehatan dan sanitasi lingkungan. Tidak ada warga yang sakit, yang tidak tersentuh aparat kesehatan. Tidak ada rumah yang tidak punya MCK, dan lain-lain.  Dana saransami ini dapat juga dipergunakan untuk memfasilitasi atau menstimuli perbaikan rumah tidak layak huni. Semua informasi berbasis IT.

Intinya, melalui kebijakan Saransami ini, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sosial dan ekonomi bahkan juga agama dan budaya akan makin bergairah.   Dana saransami ini juga dapat dijadikan pemancing untuk meningkatkan partisipasi dunia usaha dalam membangun masyarakat.  CSR dari berbagai perusahaan yang bergerak di kota akan dapat dioptimalkan dan disinergikan.   Demikian pula dana dari Pemerintah pusat ataupun pemerintah provinsi.

Pertanyaannya kemudian adalah untuk Kota Mataram, mungkinkah saransami ini dilaksanakan?  Jawabannya adalah sangat mungkin. Dari mana danya? Ya dari APBD Kota Mataram.

Sebagai gambaran, APBD Kota Mataram tahun 2015 (yang sedang jadi wacana itu) adalah sebesar kurang lebih 1,1 T.   Jumlah kelurahan di Mataram 50.  Jadi kalau Saransami dilaksanakan, kita hanya butuh dana 50 M. Untuk biaya koordinasi kecamatan juga dialokasikan satu milyar per kecamatan, dengan 6 kecamatan, maka kita hanya butuh 56 M.

Dengan Saransami, kita tidak mengurangi pembiayaan untuk sektor pendidikan, kesehatan, ataupun penanggulangan kemiskinan. Kita hanya mengubah sistem pengelolaannya saja. Bahkan kita akan memperkuat sistem pengelolaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di kelurahan ataupun lingkungan, yang selama ini masih banyak tidak dapat diselesaikan dengan baik, ataupun tidak ‘terjangkau.’ Katakanlah untuk pemeliharaan jalan lingkungan yang seringkali berlubang atau tidak terurus, dengan Saransami ini akan menjadi lebih terurus. Atau terjadinya banjir setiap hujan turun agak lama.  Ada fleksibilitas yang dapat diatur tanpa melanggar aturan keuangan yang ada.  Tujuannya adalah agar masyarakat tidak perlu menunggu lama untuk dapat sekedar menutup lubang atau memperbaiki sarana prasarana umum yang memerlukan penanganan sederhana dan cepat.

Kelembagaan adat dan sosial keagamaan juga diharapkan lebih hidup dan dinamis.  Demikian pula halnya dengan kelompok-kelompok kesenian dan olahraga yang menjadi ranah anak-anak muda. Ada porsi khusus dari Saransami yang diperuntukkan untuk mereka.

Terkait dengan penanggulangan kemiskinan dan penanganan para lansia, melalui Saransami ini juga dapat dilaksanakan dengan lebih kreatif.  Pemberian santunan bagi warga lansia, para orang tua jompo, maupun keluarga miskin yang sudah tidak produktif lagi akan dapat diatur dengan baik. Pelibatan para relawan muda dan mereka yang peduli akan menjadi  kian efektif dan produktif. Dengan demikian, saya membayangkan, masyarakat akan menjadi makin dinamis.  Yang lebih penting lagi adalah semua menjadi merasa memiliki kota ini; bersama-sama membangun kota ini.  Dan kalau sudah ini tercipta, maka tidak akan sulit untuk mengajak siapapun bekerja, bergotong royong memelihara kota, membangun kota, menyayangi kota.  Mari kita sayangi kota mataram ini. Meniru ucapan Prabowo, kalau bukan kita, siapa lagi; kalau bukan sekarang, kapan lagi. Wallahu a’lam bissawab.  

MEMBANGUN VISI KOTA


MEMBANGUN VISI KOTA
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Secara sederhana, membangun dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan.  Dengan kata lain, pembangunan adalah perubahan. Tentu perubahan dari suatu keadaan tertentu, menjadi suatu kondisi yang lebih baik, di segala aspek kehidupan; baik itu sosial, politik, ekonomi, infrastruktur, dan lain-lain.

Pembangunan atau perubahan itu sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan. Dalam suatu masyarakat, apalagi yang telah berpendidikan, maka perubahan itu pasti akan terjadi.  Baik cepat atau lambat.  Masyarakat, dengan keberadaan sumberdaya manusia yang nota bene adalah pelaku dari sebuah proses perubahan, secara alamiah pasti akan berkembang.

Kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat, juga sebuah keniscayaan.  Dalam setiap komunitas, selalu saja lahir orang-orang yang memang diberikan amanah oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin di kelompok masing-masing.  Pemimpin itu diperlukan, dalam rangka menjamin berbagai perubahan yang terjadi dalam suatu proses pembangunan, tidak merugikan pembangunan itu sendiri. Dan yang lebih penting, agar perubahan itu mejadi lebih terarah sesuai dengan visi kota yang telah dibangun.

Pentingnya visi
Secara sederhana, visi adalah suatu tujuan yang merupakan kehendak bersama warga kota, ke arah mana pembangunan atau perubahan suatu kota akan menuju.  Visi sebuah kota hendaknya dapat diukur, atau paling tidak dirasakan oleh warga kota. Sebagai contoh, ketika awal kota Mataram terbentuk, dibawah kepemimpinan Drs. H. Mujitahid, visi kota Mataram adalah sebagai Kota Ibadah, yaitu singkatan dari Indah, Bersih, Aman, Damai, dan Harmonis. Sebuah visi sederhana, tapi kemudian ukurannya menjadi mudah untuk diukur ataupun dirasakan oleh warga kota Mataram. Berbeda dengan Mataram Maju dan Religius dan Berbudaya, yang mengukurnya relatif lebih sulit.

Ada juga kota atau daerah yang membangun visinya lebih spesifik.   Misalnya Kota Bandung, sebagai kota jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat); Yogyakarta memiliki visi sebagai kota pendidikan yang berkualitas, berkarakter, dan inklusif, pariwisata berbasis budaya, dan pusat pelayanan jasa yang berwwassan lingkungan dan ekonomi kerakyatan.  Kota Medan, menjadi kota metropolitan yang berdayasaing, nyaman, peduli, dan sejahtera.  Kota Manado,  visinya ingin menjadi kota model ekowisata. Untuk kota Mataram ke depan, berpulang kepada kita.

Kalau kita mengacu kepada konsep MP3EI, dimana NTB bersama dengan Bali dan NTT ditetapkan sebagai gerbang pariwisata nasional, maka visi Kota Mataram hendaknya bagaimana membangun Kota Mataram menuju ke arah kota pariwisata.   Artinya, pembangunan kota Mataram ke depan harus didasari oleh keinginan agar kota Mataram menjadi daerah tujuan utama para wisatawan, baik nusantara ataupun manca negara.

Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk mencapai visi tesebut?  Jawabannya sederhana.  Harus dibangun berbagai destinasi wisata yang menarik, yang akan menjadi ‘buah bibir’ para wisatawan. Yang akan membuat para pelancong tidak merasa cukup sekali saja datang ke Mataram.   Islamic Center yang berada di jantung kota Mataram harus dapat dikemas sedemikian rupa, sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Demikian pula Pura Mayura, dengan nukilan kisah sejarahnya yang pasti menarik. Mungkin pula ada bangunan gereja yang memiliki nilai sejarah, misalnya dibangun sejak zaman penjajahan dan lain-lain.   Mataram memiliki museum negeri yang dapat dikembangkan ke depan.

Mataram juga memiliki kampung kampung tradisional dengan ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota lain di Indonesia.  Misalnya Kekalik dengan penduduknya yang sebagian besar merupakan pengrajin tahu tempe; atau Babakan atau Getap dimana masih banyak dapat ditemukan pengrajin besi atau pande besi.  Atau Sekarbela sebagai pusat pengrajin mutiara.  Atau ada kampung atau desa-kelurahan yang memiliki ke khasan tersendiri, yang kalau dikemas dengan perspektif pariwisata, pasti akan menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan.

Dari segi kesenian, Mataram juga memiliki khasanah luar biasa.  Dasan Agung terkenal dengan kesenian rebana dan (juga) drama cupak gerantang.  Punia, Karang Kelok dan Monjok (pernah) terkenal dengan rudatnya.  Kampung Melayu Ampenan dengan burdah atau ardahnya, dan juga tentu orkes melayunya, dan lain-lain dan lain-lain.

Ada juga gagasan menjadikan kali jangkuk sebagai salah satu destinasi wisata. Dengan mengadakan festival atau kegiatan kesenian yng rutin, dan tentu dengan penataan kali jangkuk yang bersih dan indah.

Kesemuanya itu, mungkin juga banyak yang belum saya tuliskan, adalah potensi yang dapat dikembangkan ketika kita sepakat menjadikan Kota Mataram sebagai Kota Pariwisata. Sebuah visi yang sederhana, tapi memiliki implikasi yang luar biasa.  Apa yang dulu pernah menjadi visi Mataram Kota Ibadah, yaitu Indah, Bersih, Aman, Damai, dan Harmonis, adalah modal utama sebuah daerah destinasi wisata. Demikian juga visi Maju, Religius dan Berbudaya.

Ketika semua warga bersepakat untuk itu, lantas kebijakan pemerintah juga mendukung ke arah itu, maka lima tahun ke depan dan seterusnya, Mataram akan dibanjiri oleh para wisatawan dari berbagai pelahan wilayah di nusantara maupun manca negara.  Bukan hanya sebagai tempat menginap atau makan minum, tapi sebagai sebuah destinasi tersendiri yang menjadikan wisatawan betah berhari-hari.  Indikatornya itu saja. Atau ada fikiran lain? Wallahu a’lam bissawab.  (Jkt, 14/07/15)

MEMBANGUN MATARAM BERBASIS KOTA CERDAS


MEMBANGUN MATARAM BERBASIS KOTA CERDAS
Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Kota Cerdas atau smart City adalah suatu paradigma baru dalam pembangunan perkotaan.   Maksudnya adalah bagaimana sebuah kota dapat dibangun berdasarkan atau dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Mulai dari perencanaannya, sampai pada upaya pelayanan pada masyarakat atau public service nya. Secara sederhana, Kota Cerdas atau Smart City dapat didefinisikan sebagai upaya kota untuk meningkatkan kualitas layanan kepada warganya maupun untuk meningkatkan partisipasi warganya dalam pembangunan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Beberapa sektor pembangunan yang dapat memanfaatkan ITC ini dalam praktek adalah sektor kependudukan, seperti layanan KTP dan perizinan, sektor transportasi umum, pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan sampah dan air.  Bahkan sektor keamanan juga dapat memanfaatkan teknologi komunikasi informasi ini.  Sebagai ilustrasi, ketika tinggal di Amerika Serikat tahun sembilan puluhan, ada kawan yang mendadak harus dibawa ke rumah sakit, dia menelpon ke 911. Dalam waktu sekitar lima menit, ambulans dan perawat datang ke apartemennya, untuk memberikan perawatan. Bahkan pada saat yang sama, datang juga patroli polisi dan pemadam kebakaran.  Rupanya sistem yang dibangun, ketika menelpon ke 911, yang menerima dan merespons tidak hanya bagian kesehatan darurat, tapi juga pos jaga kepolisian dan pemadam kebakaran. Ini salah satu bentuk layanan cepat tanggap pemerintah terhadap kebutuhan warga yang membutuhkan.

Dengan sistem ITC ini pula kita dapat melaksanakan deteksi dini terhadap berbagai kebutuhan dan kondisi masyarakat.  Katakanlah terhadap kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat prasejahtera.  Dengan penerapan sistem ini akan dapat terdeteksi sekiranya ada rumah tangga atau keluarga prasejahtera yang tidak memiliki sesuatu untuk dikonsumsi pada hari itu.  Dalam bahasa yang lebih canggih, dengan penerapan sistem kota cerdas, negara dapat kita hadirkan kapan saja masyarakat membutuhkan. Bahkan untuk hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun.   Bukankah kewajiban negara atau pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.  Sehingga prinsipnya, tidak boleh ada warga yang merasa terabaikan hak-haknya. Siapapun dia, baik dari keluarga berada maupun yang tidak berpunya.

Pelibatan swasta dan relawan
Salah satu faktor kunci keberhasilan Walikota Bandung saat ini adalah kemampuannya dalam membangun partisipasi masyarakat, khususnya dunia swasta dalam menggerakkan pembangunan.   Ternyata, dengan sentuhan pendekatan yang tepat, partisipasi dunia swasta luar biasa besarnya.  Disamping itu, dia juga dapat menggerakkan mahasiswa, pemuda, dan unsur generasi muda lainnya untuk turut serta terlibat langsung dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi kota Bandung.  Ada rasa bangga ikut membangun kota yang ditumbuhkan di kalangan para pemuda tersebut, sehingga mereka secara pro aktif dan sukarela menyumbangkan tenaga dan fikirannya dalam membantu pemerintah membangun masyarakat. Ridwan Kamil berhasil membangun kesadaran warganya, bahwa kota Bandung adalah milik bersama seluruh warga yang harus dijaga dan dipelihara bersama, kebersihannya, kenyamanannya, ketahanan warga dan masyarakatnya, dan lain-lain sebagainya.  Intinya, dia berhasil membangkitkan kepedulian warga Bandung akan keberadaan kotanya.  Dengan kata lain, melalui penerapan sistem Kota Cerdas atau Smart City ini, pak walikota berhasil membangun ‘Rasa Sayang’ warganya terhadap kotanya.

Bagaimana dengan Mataram?
Apabila dibandingkan dengan Bandung, tentu Mataram lebih sederhana. Penduduknya lebih sedikit dan wilayahnya lebih sempit.  Artinya, kalau di Bandung bisa, Mataram harusnya pasti bisa. Apalagi dewasa ini pengguna HP di Mataram hampir merata di setiap rumah tangga.  Ini adalah modal infrastruktur utama. Tinggal ‘menempelkan’ sistem aplikasi sesuai dengan program yang diterapkan maka selesailah urusan smart city. Mulai dari urusan ambulans untuk menjemput warga yang membutuhkan, urusan layanan pendidikan anak-anak, sampai pada urusan patroli polisi untuk membantu warga yang kerampokan ataupun kebakaran yang tiba-tiba, ataupun juga urusan kebersihan kota yang sering bermasalah.  Dengan luas areal jangkauan kota Mataram yang relatif sempit, maka tidak ada alasan bagi petugas negara untuk tidak sampai ke TKP sesegera mungkin.

Dengan sistem smart city ini, tidak diperlukan petugas patroli lalu lalang setiap saat di lingkungan pemukiman, yang dapat menjadi penyumbang kemacetan lalu lintas. Mereka cukup stand by di posko masing-masing. Bahkan dengan sistem relawan yang juga dapat dikembangkan, petugas-petugas terkait dapat saja berasal dari warga setempat, sehingga pertolongan pertama atau respons darurat dapat segera secara real time dapat dilaksanakan. Mari membangun kota dengan kebersamaan. Mari bangun rasa bangga menjadi warga kota Mataram, dan rasa bangga telah turut serta didalam membantu warga yang membutuhkan. Sekecil apapun bantuan itu. Mari Sayangi Mataram.Wallahu a’lam bissawab. (Jkt 14/07/15)