MEMBANGUN VISI KOTA
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Secara sederhana, membangun dapat diartikan sebagai upaya
untuk melakukan perubahan. Dengan kata
lain, pembangunan adalah perubahan. Tentu perubahan dari suatu keadaan
tertentu, menjadi suatu kondisi yang lebih baik, di segala aspek kehidupan;
baik itu sosial, politik, ekonomi, infrastruktur, dan lain-lain.
Pembangunan atau perubahan itu sesungguhnya adalah sebuah
keniscayaan. Dalam suatu masyarakat, apalagi yang telah berpendidikan, maka
perubahan itu pasti akan terjadi. Baik
cepat atau lambat. Masyarakat, dengan
keberadaan sumberdaya manusia yang nota bene adalah pelaku dari sebuah proses
perubahan, secara alamiah pasti akan berkembang.
Kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat, juga
sebuah keniscayaan. Dalam setiap
komunitas, selalu saja lahir orang-orang yang memang diberikan amanah oleh
Tuhan untuk menjadi pemimpin di kelompok masing-masing. Pemimpin itu diperlukan, dalam rangka
menjamin berbagai perubahan yang terjadi dalam suatu proses pembangunan, tidak
merugikan pembangunan itu sendiri. Dan yang lebih penting, agar perubahan itu
mejadi lebih terarah sesuai dengan visi kota yang telah dibangun.
Pentingnya visi
Secara sederhana, visi adalah suatu tujuan yang merupakan
kehendak bersama warga kota, ke arah mana pembangunan atau perubahan suatu kota
akan menuju. Visi sebuah kota hendaknya
dapat diukur, atau paling tidak dirasakan oleh warga kota. Sebagai contoh,
ketika awal kota Mataram terbentuk, dibawah kepemimpinan Drs. H. Mujitahid, visi
kota Mataram adalah sebagai Kota Ibadah, yaitu singkatan dari Indah, Bersih,
Aman, Damai, dan Harmonis. Sebuah visi sederhana, tapi kemudian ukurannya
menjadi mudah untuk diukur ataupun dirasakan oleh warga kota Mataram. Berbeda
dengan Mataram Maju dan Religius dan Berbudaya, yang mengukurnya relatif lebih
sulit.
Ada juga kota atau daerah yang membangun visinya lebih
spesifik. Misalnya Kota Bandung,
sebagai kota jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat); Yogyakarta
memiliki visi sebagai kota pendidikan yang berkualitas, berkarakter, dan
inklusif, pariwisata berbasis budaya, dan pusat pelayanan jasa yang berwwassan
lingkungan dan ekonomi kerakyatan. Kota
Medan, menjadi kota metropolitan yang berdayasaing, nyaman, peduli, dan
sejahtera. Kota Manado, visinya ingin menjadi kota model ekowisata.
Untuk kota Mataram ke depan, berpulang kepada kita.
Kalau kita mengacu kepada konsep MP3EI, dimana NTB bersama
dengan Bali dan NTT ditetapkan sebagai gerbang pariwisata nasional, maka visi
Kota Mataram hendaknya bagaimana membangun Kota Mataram menuju ke arah kota
pariwisata. Artinya, pembangunan kota
Mataram ke depan harus didasari oleh keinginan agar kota Mataram menjadi daerah
tujuan utama para wisatawan, baik nusantara ataupun manca negara.
Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk
mencapai visi tesebut? Jawabannya
sederhana. Harus dibangun berbagai
destinasi wisata yang menarik, yang akan menjadi ‘buah bibir’ para wisatawan.
Yang akan membuat para pelancong tidak merasa cukup sekali saja datang ke
Mataram. Islamic Center yang berada di
jantung kota Mataram harus dapat dikemas sedemikian rupa, sehingga memiliki
daya tarik tersendiri. Demikian pula Pura Mayura, dengan nukilan kisah sejarahnya
yang pasti menarik. Mungkin pula ada bangunan gereja yang memiliki nilai
sejarah, misalnya dibangun sejak zaman penjajahan dan lain-lain. Mataram memiliki museum negeri yang dapat
dikembangkan ke depan.
Mataram juga memiliki kampung kampung tradisional dengan
ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota lain di Indonesia. Misalnya Kekalik dengan penduduknya yang
sebagian besar merupakan pengrajin tahu tempe; atau Babakan atau Getap dimana masih
banyak dapat ditemukan pengrajin besi atau pande besi. Atau Sekarbela sebagai pusat pengrajin mutiara. Atau ada kampung atau desa-kelurahan yang
memiliki ke khasan tersendiri, yang kalau dikemas dengan perspektif pariwisata,
pasti akan menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan.
Dari segi kesenian, Mataram juga memiliki khasanah luar biasa. Dasan Agung terkenal dengan kesenian rebana
dan (juga) drama cupak gerantang. Punia,
Karang Kelok dan Monjok (pernah) terkenal dengan rudatnya. Kampung Melayu Ampenan dengan burdah atau ardahnya,
dan juga tentu orkes melayunya, dan lain-lain dan lain-lain.
Ada juga gagasan menjadikan kali jangkuk sebagai salah satu
destinasi wisata. Dengan mengadakan festival atau kegiatan kesenian yng rutin,
dan tentu dengan penataan kali jangkuk yang bersih dan indah.
Kesemuanya itu, mungkin juga banyak yang belum saya
tuliskan, adalah potensi yang dapat dikembangkan ketika kita sepakat menjadikan
Kota Mataram sebagai Kota Pariwisata. Sebuah visi yang sederhana, tapi memiliki
implikasi yang luar biasa. Apa yang dulu
pernah menjadi visi Mataram Kota Ibadah, yaitu Indah, Bersih, Aman, Damai, dan
Harmonis, adalah modal utama sebuah daerah destinasi wisata. Demikian juga visi
Maju, Religius dan Berbudaya.
Ketika semua warga bersepakat untuk itu, lantas kebijakan
pemerintah juga mendukung ke arah itu, maka lima tahun ke depan dan seterusnya,
Mataram akan dibanjiri oleh para wisatawan dari berbagai pelahan wilayah di
nusantara maupun manca negara. Bukan
hanya sebagai tempat menginap atau makan minum, tapi sebagai sebuah destinasi
tersendiri yang menjadikan wisatawan betah berhari-hari. Indikatornya itu saja. Atau ada fikiran lain?
Wallahu a’lam bissawab. (Jkt, 14/07/15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar