Bagaimana Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl
Fenomenologi menghendaki ilmu
pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa
prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat
koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.
Dalam pemikiran Husserl, konsep
fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Baginya
fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat
tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh
langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni. Husserl yakin bahwa ada
kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai kebenaran itu. Akan tetapi,
Husserl melihat bahwa sesungguhnya di dalam filsafat itu sendiri tiada
kesesuaian dan kesepakatan karena tidak adanya metode yang tepat sebagai
pegangan yang dapat diandalkan. Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah
adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan
realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu slogan yang
terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst
(terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu,
sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat
dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah
metode fenomenologis.
Menurut Husserl “prinsip segala
prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan
pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang
Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman
dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari
situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada
saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.
“Fenomen” merupakan realitas
sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita.,
realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah
pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran
menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur
hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas,
fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
- Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu.
- Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tadi.
- Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya.
- Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.
“Konstitusi” merupakan proses tampaknya
fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran.
Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan
konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.
Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin
ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak
lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi
oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang
dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Sebagai
contoh dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang
saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas
itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi
persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek
telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis
dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu
yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi
sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia.
Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu
konstitusi dalam filsafat Husserl sulalu diartikan sebagai “konstitusi
genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran
adalah merupakan suatu aspek historis.
Benda-benda tidaklah secara langsung
memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam
pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan
itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang
menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat
yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi.
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi,
yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek sebelum
pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau
pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang
artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung. Maksudnya adalah
melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha
melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Agar orang dapat memahami
sebagaimana adanya, ia harus memusatkan perhatian kepada fenomena tersebut
tanpa prasangka dan tanpa memberi teori sama sekali, akan tetapi tertuju kepada
barang / hal itu sendiri, sehingga hakikat barang itu dapat mengungkapkan
dirinya sendiri.
Yang menarik dan sangat penting dari
metode fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan
cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi
dengan secermat-cermatnya. Dalam metode brackketing dengan berbagai
reduksi-reduksi yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang
cukup untuk menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja
ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada
berbagai inquiry pengalaman “supra-empiris” lewat intuisi yang bersifat
apriori.
Husserl agaknya telah mampu
menyetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat
bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat di satu
pihak ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di
pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar
jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran
transedental sebagai kebenaran tertinggi.
Metode fenomenologi mulai dengan orang
yang mengetahui dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi.
Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi
atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung
dalam bentuknya yang murni.