Selasa, 29 Oktober 2019

Bahan Bacaan FENOMENOLOGI (2)



Bagaimana Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl

Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.
 
              Metode Fenomenologi Edmund Husserl 
 
Dalam pemikiran Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni. Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai kebenaran itu. Akan tetapi, Husserl melihat bahwa sesungguhnya di dalam filsafat itu sendiri tiada kesesuaian dan kesepakatan karena tidak adanya metode yang tepat sebagai pegangan yang dapat diandalkan. Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu slogan yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah metode fenomenologis.
 
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.
Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. 

        Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni:
  1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu.
  2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektivikasi tadi dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tadi.
  3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan segi-segi yang mendampinginya.
  4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusi. 
  5.  
“Konstitusi” merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Sebagai contoh dari konstitusi:  “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl sulalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.
 
Benda-benda tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu penundaan segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung. Maksudnya adalah melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Agar orang dapat memahami sebagaimana adanya, ia harus memusatkan perhatian kepada fenomena tersebut tanpa prasangka dan tanpa memberi teori sama sekali, akan tetapi tertuju kepada barang / hal itu sendiri, sehingga hakikat barang itu dapat mengungkapkan dirinya sendiri.
 
Yang menarik dan sangat penting dari metode fenomenologi Edmund Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya. Dalam metode brackketing dengan berbagai reduksi-reduksi yang Husserl ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk menetapkan sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai inquiry pengalaman “supra-empiris” lewat intuisi yang bersifat apriori.
 
Husserl agaknya telah mampu menyetesiskan sekaligus mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat bertolak belakang, yaitu idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat di satu pihak ia menafikan sama sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran transedental sebagai kebenaran tertinggi.
Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.

BAHAN BACAAN FENOMENOLOGI (1)



Edmund Husserl dan Fenomenologi

Edmund Gustav Albrecht Husserl adalah nama asli dari Edmund Husserl yang disebut - sebut sebagai pencetus teori fenomenologi dalam ilmu filsafat manusia. Ia lahir di Prostejov, Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari kekaisaran Austria). Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positiv dalam sains dan filsafat pada masanya dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomenologi obyektif. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostejov.  Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf, karya filsafatnya mempengaruhi antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib) Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Emmanuel Levinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Marice Merlau Ponty dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886, dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887, Husserl pindah agama menjadi kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran.

Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatedozent) dari tahun 1887, lalu di Gottingen sebagai profesor dari 1901, dan di Frenburg im Breisgau dari 1916 hingga pensiun pada tahun 1928. Setelah itu ia melanjutkan penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan Frenburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya karena ia keturunan Yahudi yang saat itu di pimpin oleh rektor dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya yang juga anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Frenburg pada tanggal27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumonia.

Sementara itu dalam penelurusan Bernet dan kawan - kawannya dalam bukunya "An Introduction to HUsserlian Phenomenology" dapat ditemukan keseluruhan karya Husserl, dan di pilahnya dengan kategorisasi yang rinci.Sebagai seorang fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting obyek - obyek merupakan tujuan aksi - aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah ilmu setepat - tepatnya dan pada akhirnya kepastian akan diraih.

Lebih lanjut lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali kepada realitas diri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan "Zuruck zu den sachen Selbst" kembali kepada benda - benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala - gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan - pandangan lain, dan gejala - gejala itu kita cermati, maka obyek itu berbicara sendiri mengenai hakekatnya dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.

Namun demikian yang perlu dipahami adalah bahwa benda realitas ataupun obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui dari kata benda - benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutup hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat yang disebut dengan Wesenchau melihat (secara intuitif) hakekat gejala - gejala.

Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori - teori atau pengertian - pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk berbicara tentang dirinya sendiri.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena selalu "menunjuk ke luar" atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman - pengalaman yang berbeda dan buan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di lua substansi sesungguhnya.

Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi - esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek - obyek sebagai korelasi kesadaran. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar esensi - esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhnya fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman - pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikologisme. Kita akan terjebak pada dikotomi (subyek-obyek yang menyesatkan atau bertentangan satu sama lain).

Contohnya saat mengambil gelas. Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman. Kita kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah - langkah dalam menuju satu fenomena yang murni.

Menurut Husserl 'prinsip segala prinsip' ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan perantara apa pun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar "sejauh diberikan". Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada kita manusia sebagai subyek.

Fenomen merupakan realitas sendiri yang tampak tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.

Maka sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran. Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek - obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek - obyek disebut intensionalitas. Kiranya tidak dapat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai intensionalitas, karena kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah kita sungguh - sungguh melihat suatu pemandangan itu atau tidak tetapi bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini, maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif, karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun, interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.

Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni :
1. Lewat intensionalitas terjadi objektivitas. Artinya bahwa unsur - unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek terhimpun pada suatu objek tertentu.
2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat objektifikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa - peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek ebagai hasil objektivikasi tersebut.
3 Intensionalitas juga saling menghubungkan segi - segi suatu objek dengan segi - segi yang mendampinginya
4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.

MATERI KULIAH TEORI SOSIAL MODERN


Presentasi berjudul: "FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE"— Transcript presentasi:

1 FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE
 
2 Pengertian Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomenadan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai”yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. 

3 Donny (2005: 150) menuliskan fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran. Fenomenologi juga merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. 

4 Ciri-ciri fenomenologi
Cenderung mempertanyakannya dengan naturalisme atau objektivisme dan positivisme yang telah berkembang sejak renaisans dalam pengetahuan modern dan teknologi. Memastikan kognisi yang mengacu pada yang dinamakan ‘Evidenz’ = kesadaran akan suatu benda. Percaya bahwa tidak hanya satu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya. 

5 Tujuan Fenomenologi Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain  sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari  tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. (Rini Sudarmanti, 2005) tujuan  fenomenologi yaitu untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat memberi nilai atau dan bagaimana memberi penghargaan. Fenomenologi berusaha untuk memahami bagaimana orang membangun makna dan konsep kunci inter-subjektivitas. Pengalaman di dunia berdasarkan pemikiran, adalah intersubjektif karena kita mengalami dunia dan juga melalui orang lain. 

6 Menurut Polkinghorne (Creswell,1998: 51-52)  sebuah studi fenomenologis menjelaskan arti dari pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena. Fenomenolog mengeksplorasi struktur kesadaran dalam pengalaman manusia. Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti (Smith, etc., 2009: 11). 

7 Tokoh yang pertama memperkanalkan fenomenologi sebagai metode adalah Husserl. Husserl mengenalkan cara mengekspos makna dengan mengeksplisitkan struktur pengalaman yang masih implisit. Konsep lain fenomenologis yaitu Intensionalitas dan Intersubyektifitas, dan juga mengenal istilah phenomenologik Herme-neutik yang diperkenalkan oleh Heidegger. 

8 Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran individu, yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas (intentionality), menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan obyek yang menjadi perhatian pada proses itu. Intensionalitas adalah keterarahan kesa-daran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupa-kan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek. 

9 Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009) dimulai dari serangkaian reduksi-reduksi.
Reduksi dibutuhkan supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek. Reduksi-reduksi ini yang menying-kirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama, menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Kedua, menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Ketiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri). 

10 Fenomenologi juga mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung atau refleksi terhadap gejala/fenomena. Dengan refleksi ini akan mendapatkan pengertian yang benar dan sedalam-dalamnya. Dalam fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya. Fokus fenomenologi bukan pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. 

11 Alfred Schults sebagaimana dituliskan oleh Smith, etc
Alfred Schults sebagaimana dituliskan oleh Smith, etc., (2009: 15)mengadopsi dan mengembangkan fenomenologi ini dengan pendekatan interpretatif praktis. Teori tentang interpretative ini bermula dari teori hermeneutik. Dalam studi fenomenologis ini dibantu dengan Analisis Fenomenologi Interpretatif (AFI) atau Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA). IPA dalam Smith dan Osborn (2009:97-99) bertujuan untuk mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan sosialnya. Sasaran utamanya adalah makna berbagai pengalaman, peristiwa, status yang dimiliki oleh partispan. Juga berusaha mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada pesepsi atau pendapat personal seseorang individu tentang obyek atau peristiwa. 

12 IPA berusaha memahami secara “seperti apa” dari sudut pandang partisipan untuk dapat berdiri pada posisi mereka. “Memahami” dalam hal ini memiliki dua arti, yakni memahami-interpretasi dalam arti mengidentifikasi atau berempati dan makna kedua memahami dalam arti berusaha memaknai. IPA menekankan pembentukan-makna baik dari sisi partisipan maupun peneliti sehingga kognisi menjadi analisis sentral, hal ini berarti terdapat aliansi teoritis yang menarik dengan paradigma kognitif yang sering digunakan dalam psikologi kontemporer yang membahas proses mental. 

13 Prosedur Penelitian Tidak ada panduan resmi melakukan penelitian fenomenologi. Langkah ini dibuat sekedar membantu mahasiswa melakukan penelitian dengan fenomenologi dengan berlandaskan pada paradigma interpretivismen: Masalah Penelitian Mempertanyakan makna suatu peristiwa atau tindakan bagi seseorang Misal : Bagaimana Kehidupan Guy bagi seseorang ? Obyek dan Subyek Obyek Penelitian : Sesuatu yang ingin dikaji, makna kehidupan guy Subyek penelitian: Seseorang yang berperilaku Guy Sumber Data Key Informan : Guy Informan : Keluarga si Guy, Pakar Psikologi, Pakar Budaya, dan Pakar Agama 

14 Teknik Pengumpulan Data
Depth Interview Observasi Partisipasi Keabsahan Data Triangulasi Data Triangulasi Metode Triangulasi sumber 6. Analisa Data Tahap-tahap Interpretative Phenomenological Analysis yang dilaksanakan sebagai berikut: 1) Reading and re-reading; 2) Initial noting; 3) Developing Emergent themes; 4) Searching for connections across emergent themes; 5) Moving the next cases; and 6) Looking for patterns across cases. 

15 Referensi 
Moustakas, Clark Phenomenological Research Methods. California: SAGE Publications. 
Littlejohn, S. W Theories of Human Communication 6th Edition. Belmont, CA: Wadsworth. 
Creswell, John W Research Design: Qualitative & quantitativee approach. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage. Denzim, Norman K., and Lincoln, Yvonna S.(Editor) Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage. 
Denny Moeryadi Pemikiran Fenomenologi menurut Edmund Husserl. Dipublikasi oleh jurnalstudi.blogspot. 
Donny Fenomenologi dan Hermeneutika: sebuah Perbandingan. Dipublikasi oleh kalamenau.blogspot. 
Lindlof, Thomas R Qualitative communication research method. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage. 
Myers, M. D. "Qualitative research in information systems," Journal. MIS Quarterly. 21;2; 1997; pp MISQ Discovery, archival version, discovery/MISQD_isworld/. 
Morse, Janice M Critical issues in qualitative research method. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage. 
Smith, Jonathan A., Flowers, Paul., and Larkin. Michael Interpretative phenomenological analysis: Theory, method and research. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington: Sage. 
Smith, Jonathan A. (ed.) Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset. Terjemahan dari Qualitative Psychology A Practical Guide to Research Method. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wengraf, Tom Qualitative research interviewing. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.