Edmund Husserl dan Fenomenologi
Edmund
Gustav Albrecht Husserl adalah nama asli dari Edmund
Husserl yang disebut - sebut sebagai pencetus teori fenomenologi dalam ilmu filsafat
manusia. Ia lahir di Prostejov, Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian
dari kekaisaran Austria). Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positiv
dalam sains dan filsafat pada masanya dan mengutamakan pengalaman subyektif
sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomenologi obyektif. Ia
dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostejov. Husserl
adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf, karya filsafatnya mempengaruhi
antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib) Eugen Fink, Max
Scheler, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Emmanuel Levinas, Rudolf Carnap,
Hermann Weyl, Marice Merlau Ponty dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886, dia
mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887,
Husserl pindah agama menjadi kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran.
Ia
mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatedozent) dari
tahun 1887, lalu di Gottingen sebagai profesor dari 1901, dan di Frenburg im
Breisgau dari 1916 hingga pensiun pada tahun 1928. Setelah itu ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan Frenburg, hingga
kemudian dilarang menggunakannya karena ia keturunan Yahudi yang saat itu di
pimpin oleh rektor dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya yang juga
anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Frenburg pada
tanggal27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumonia.
Sementara
itu dalam penelurusan Bernet dan kawan - kawannya dalam bukunya "An
Introduction to HUsserlian Phenomenology" dapat ditemukan keseluruhan
karya Husserl, dan di pilahnya dengan kategorisasi yang rinci.Sebagai seorang
fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi
mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa
mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting obyek - obyek merupakan
tujuan aksi - aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah ilmu
setepat - tepatnya dan pada akhirnya kepastian akan diraih.
Lebih
lanjut lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan
manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus
kembali kepada realitas diri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan
"Zuruck zu den sachen Selbst" kembali kepada benda - benda itu
sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan
realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat dan hakekat itu
berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala - gejala yang kita
terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari
pengaruh pandangan - pandangan lain, dan gejala - gejala itu kita cermati, maka
obyek itu berbicara sendiri mengenai hakekatnya dan kita memahaminya berkat
intuisi dalam diri kita.
Namun
demikian yang perlu dipahami adalah bahwa benda realitas ataupun obyek tidaklah
secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui dari
kata benda - benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda
itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutup hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second
look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah
intuisi dalam menemukan hakekat yang disebut dengan Wesenchau melihat (secara
intuitif) hakekat gejala - gejala.
Dalam
melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi,
yaitu penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan
itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau
pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis,
dimana untuk mengetahui sesuatu seorang fenomenolog bersikap netral dengan
tidak menggunakan teori - teori atau pengertian - pengertian yang telah ada
sehingga obyek diberi kesempatan untuk berbicara tentang dirinya sendiri.
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari 2 sudut. Pertama, fenomena
selalu "menunjuk ke luar" atau berhubungan dengan realitas di luar
pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam
kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat
penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi
menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan
contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman - pengalaman yang
berbeda dan buan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di lua
substansi sesungguhnya.
Fenomenologi
adalah ilmu tentang esensi - esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek -
obyek sebagai korelasi kesadaran. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar
esensi - esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhnya
fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan
contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman - pengalaman yang
berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar
substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan
naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan
semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi
naturalisme dan psikologisme. Kita akan terjebak pada dikotomi (subyek-obyek
yang menyesatkan atau bertentangan satu sama lain).
Contohnya
saat mengambil gelas. Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat,
lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini
yang hilang dari pengalaman. Kita kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan
ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl
ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari Brentano-lah Husserl
mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana
dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan atau
bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat). Sebagaimana juga
bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal. Karena
baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode,
karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah - langkah dalam menuju satu
fenomena yang murni.
Menurut
Husserl 'prinsip segala prinsip' ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan
tidak menggunakan perantara apa pun juga) dapat dipakai sebagai kriteria
terakhir dibidang filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung diberikan
kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar "sejauh diberikan".
Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat.
Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada
kita manusia sebagai subyek.
Fenomen
merupakan realitas sendiri yang tampak tidak ada selubung yang memisahkan
realitas dari kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran
selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat
intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan
justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas fenomen harus dimengerti
sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
Maka
sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk
intensionalitas kesadaran. Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu
yang disadari. Supaya ada kesadaran diandalkan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu
subyek yang terbuka untuk obyek - obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu
terarah kepada obyek - obyek disebut intensionalitas. Kiranya tidak dapat
mengatakan bahwa kesadaran mempunyai intensionalitas, karena kesadaran itu
justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah kita sungguh - sungguh melihat
suatu pemandangan itu atau tidak tetapi bila kita masih menyadari perbedaan
antara kedua kemungkinan ini, maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran
tidak pernah pasif, karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu.
Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu
tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek
kesadaran. Namun, interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua
unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran obyek yang
disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Ada
beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni :
1.
Lewat intensionalitas terjadi objektivitas. Artinya bahwa unsur - unsur dalam
arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek terhimpun pada suatu objek tertentu.
2.
Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat
objektifikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa -
peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek ebagai hasil
objektivikasi tersebut.
3
Intensionalitas juga saling menghubungkan segi - segi suatu objek dengan segi -
segi yang mendampinginya
4.
Intensionalitas mengadakan pula konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar