Hidup adalah Perjalanan: Sekilas Masa Lalu
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Menulis di media, maaf, merupakan salah satu hobi saya sejak duduk di
bangku SMP. Beberapa kali tulisan tulisan saya, khususnya waktu itu berbentuk
puisi, terpampang di majalah anak-anak “Si Kuncung.” Lantas tulisan tersebut
saya pampangkan di majalah dinding sekolah agar lebih banyak lagi teman
yang dapat membacanya. Demikian juga ketika duduk di bangku SMA.
Saya aktif dan menjadi pengasuh majalah dinding sekolah.
Tatkala di bangku kuliah, tulisan saya seringkali muncul di koran mahasiswa
nasional, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Maklum
waktu itu sedang gencar gencarnya NKK BKK, sehingga dana cukup banyak tersedia
untuk ‘menormalisasi kampus’ dimana termasuk didalamnya terbitan-terbitan
majalah atau koran. Juga yang dihajatkan khusus untuk mahasiswa.
Lewat tulisan tulisan saya di koran itulah, saya menjadi dikenal di kampus.
Memiliki lebih banyak teman. Termasuk teman-teman di kampus Fakultas Pertanian
Unram. Ada beberapa senior dan dosen yang kemudian memperhatikan dan membina
saya. Pada ujungnya, saya akhirnya menjadi aktivis kampus. Menjadi Ketua Senat
Mahasiswa Fakultas, memimpin dan mendirikan majalah kampus Sativa, menjadi
ketua dan pendiri Racana Pramuka Universitas, menjadi ketua dan pendiri Koran
Kampus Mahasiswa Media, menjadi aktivis HMI, menjadi pengurus dari komisariat,
cabang, dan terakhir Badko, aktivis Ikatan Senat Mahasiswa Sejenis di Indonesia
Timur, dan lain-lain. Itulah salah sebabnya, mengapa saya tidak bisa memenuhi
harapan orang tua untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Beberapa teman saya
mampu empat tahun, kalau saya, pas enam tahun. Masuk 1980, keluar 1986.
Tapi berkat keaktifan saya itu pula, sebelum saya yudicium, saya ditawari untuk
menjadi dosen oleh Dekan Fakultas Pertanian pada waktu itu, yaitu Bp Ir.
Norberth Ama Ngongu. Saya ingat betul, salah satu kalimat beliau yang
memotivasi saya. “sangatlah rugi daerah ini, kalau orang seperti saudara tidak
mau menjadi dosen.” Pada akhirnya saya setuju, tentu setelah mempertimbangkan
segala sesuatunya. Termasuk didalamnya, adalah pertimbangan bahwa kalau menjadi
dosen, besar peluang untuk kuliah lagi, bahkan sampai ke luar
negeri. Sebuah cita-cita saya semenjak duduk di bangku SMP. Pada waktu
di SMP saya membayangkan betapa indahnya kalau saya bisa kuliah di luar negeri.
Dimanapun.
Ketika pertama kali keluar daerah, waktu itu mengikuti Jambore Nasional Pramuka
di Sibolangit Sumatra Utara, tahun 1977, saya memang kemudian membayangkan kalau
suatu ketika saya bisa keliling Indonesia. Setelah itu, berkelana ke luar
negeri. Sebuah keinginan dari seorang Pramuka Penggalang, yang
berkesempatan mengarungi samudra nan luas, berlayar menggunakan kapal besar
dari Surabaya ke Medan, yaitu Kapal haji Mei Abeto, untuk mengikuti jambore
tersebut. Beberapa hari di tengah laut, memberi kesempatan kepada saya untuk
berhayal, bermimpi bahwa suatu ketika saya akan bisa juga ke daerah lain, atau
bahkan ke negara lain. Dengan berlayar mengarungi samudra nan luas,
saya dan juga teman-teman menyadari betapa luasnya negara yang bernama
Indonesia. Kamipun kemudian menyadari betapa arti penting dan
strategisnya negara besar yang bernama NKRI ini. Dalam perjalanan ditengah
laut itu pula, dimana berkumpul para pramuka dari berbagai daerah di Indonesia,
kami juga menyadari betapa banyaknya suku bangsa yang kemudian menyatukan tekad
dalam wadah NKRI. Lagi lagi saya menyimpulkan, betapa kayanya dan luasnya NKRI.
Dari kenangan dalam benak itulah, mungkin, yang kemudian memberikan inspirasi
pada saya, bahwa kalau menjadi dosen, harus bisa kuliah ke luar negeri. Titik.
Setelah melewati proses seleksi dan sebagainya, maka sejak Maret 1987, resmilah
saya memiliki NIP, menjadi PNS, menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unram.
Terus terang, menjadi dosen, sebenarnya bukan cita cita saya sewaktu kecil.
Setamat dari bangku SMA, ayahanda saya sebenarnya ingin saya masuk di APDN.
“biar kamu bisa menjadi camat, lantas menjadi Bupati, suatu hari nanti.” Kata
beliau. Saya sendiri bercita cita menjadi insinyur teknik, lantas menjadi
profesional, atau kemudian menjadi pengusaha. Ini terinspirasi dari
seorang pengusaha, atau tepatnya pemborong, yang waktu itu cukup terkenal di
Mataram. Padahal dia hanya tamat sekolah teknik menengah. ST atau STM. “apalagi
kalau kita sarjana,” fikir saya waktu itu. Beberapa tahun, bapak saya
pernah tinggal di rumah beliau, yang masih punya hubungan keluarga. Beberapa
kali juga saya sempat berkunjung ke sana, dari desa. Maklum waktu itu, kami
sekeluarga masih tinggal di desa, tepatnya di desa Kotaraja Lombok Timur,
sementara Bapak saya di kota. Setelah saya menamatkan SD, baru kemudian kami
boyongan pindah ke Kota Mataram. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1974. Pada
awalnya kami menyewa rumah di Gomong Lama. Saya masuk SMPN 2, sementara adik
adik saya masuk di SDN 7 (waktu itu) yang lokasinya sekarang berdiri AMM.
Dan waktupun berlalu. Kadang terasa demikian cepat. Kadang juga lambat. Malah
kadang menjenuhkan. Tapi itulah namanya perjalanan hidup. Dalam sebuah status
di facebook saya pernah menulis…..”life is a journey.” Sewaktu
aktif sebagai mentor di HMI, di era delapan puluhan, saya selalu memulai
ceramah saya dengan mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Dan mungkin itulah
yang senantiasa memotivasi diri saya, memberi semangat hidup bagi saya, untuk
menjalani kehidupan ini.
Guru saya adalah air dan matahari, kata orang-orang bijak. Saya percaya sama
teori yang mengatakan ikutlah seperti air mengalir. Dimana ada peluang, ke sana
air mengalir. Tidak perlu terlalu ngotot untuk hal-hal yang memang terlalu
sulit, atau malah tidak mungkin untuk dilampaui. Sementara yang mungkin,
dan mudah juga cukup banyak. Mengapa kita tidak memaksimalkan yang seperti itu.
Yang mungkin dan mudah.
Demikian pula dengan matahari. Seorang ulama besar dari Lombok Timur, yang juga
pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, almagfurlah Maulana Syeikh, TGKH Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, sering kali mengatakan “guru saya adalah
matahari.” Ketika masih nyantri di Madrasah Ibtidakyah NW Kotaraja, tentu
filosofi matahari seperti yang Maulana Syeikh katakan itu belum dapat saya
fahami. Baru setelah dewasa, banyak belajar kesana kemari, bahkan sampai
luar negeri, saya mulai memahami, apa yang beliau maksudkan dengan “guru saya
adalah matahari.”
Bahwa matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari, tentu kita
tidak pernah akan dapat menikmati kehidupan ini. Matahari juga memberikan
pelajaran dengan sifat-sifatnya yang sangat pasti. Terbit di pagi hari,
tenggelam di sore hari. Menjadi penanda kehidupan, sekaligus menjadi pengatur
kehidupan itu sendiri. Subhanallah. Dari matahari, kita bisa belajar untuk
ihlas, yakin, dan istiqomah, seperti apa yang menjadi wasiat almagfurlah
Maulana Syeikh. Itulah maknanya, filosofinya, yang dapat menjadi “guru” kita. Guru
dalam kehidupan ini.
Memang benar, “hidup adalah perjuangan.” Artinya kita jangan cepat menyerah
pada berbagai tantangan kehidupan. Yang dalam makna teori air, “senantiasa
memanfaatkan peluang, betapapun kecilnya, tapi tidak terlalu ngotot, untuk
sesuatu yang memang tidak mungkin kita lakukan. Karena memang kita harus tetap
berjalan, meniti kehidupan kita masing-masing, dari waktu ke waktu. Dan benar
juga, “hidup adalah perjalanan.”
Perjalanan-perjalanan yang mengesankan
Oleh ibu dan nenek saya, sewaktu kecil saya dibilang anak yang ‘ganjak.’
Artinya anak yang sering bepergian. Anak yang senang jalan-jalan. Kemana
saja jalan. Semasih di desa, sewaktu masih sekolah dasar, kalau ada waktu
libur sekolah, saya sering mengajak teman-teman sepermainan untuk jalan-jalan
keluar desa. Dengan jalan kaki. Pergi pagi, pulang sore. Kadang kami ke tempat
rekeasi di Tetebatu, atau jalan-jalan ke bukit-bukit atau ke sawah-sawah di
sekitar desa. Pokoknya jalan-jalan. Setiap Hultah NWDI di Pancor, saya selalu diajak. Dan selama di Pancor, saya juga jalan jalan sendiri mencari kos paman-paman saya yang sekolah di sana.
Ketika di SMP, di Mataram, saya aktif di kepramukaan. Hoby saya yang senang
jalan-jalan di sini tersalurkan. Hampir tiap abis kuartalan (bukan semesteran
seperti sekarang) kami jalan-jalan. Istilah di pramuka adalah hiking atau
mencari tanda jejak. Biasanya menyusuri jalan jalan dan perbukitan yang cukup
melelahkan, seperti ke wilayah sekitar desa Mambalan Gunug Sari, atau ke lokasi
perkemahan Karang Bayan Kecamatan Narmada.
Meskipun daam kepramukaan dikenal istilah satuan terpisah, antara
peremuan dan laki-laki, namun untuk kegiatan-kegiatan penjelajahan biasanya
kami bersama-sama. Salah satu tugas yang
sering saya laksanakan dan mengesankan adalah apabila melewati atau harus
menyeberang sungai. Di sini biasanya kawan-kawan putri memerlukan bantuan yang
putra, agar bisa melewati arus sungai sehingga tidak terbawa arus sungai. Di
situlah saat saat yang biasanya, kita yang putra berkesempatan untuk “saling
tolong menolong dan tabah,” kepada kawan-kawan putri. Dan berkesan.
Pada tahun 1977 saya terpilih mewakili
gugus depan saya untuk mengikuti Jambore Nasional (Jamnas) Pramuka di Sibolangit
Sumatra Utara. Itulah kali pertama saya keluar daerah.
Dari Mataram rombongan naik bus ke
surabaya, kemudian dari surabaya ke Sumatra Utara kami naik Kapal Mei Abeto,
kapal laut yang biasanya dipakai untuk perjalanan naik haji. Rombongan dari beberapa propinsi bergabung di
Surabaya, antara lain dari Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan. Perjalanan yang juga mengesankan; karena
beberapa hari kami harus berada di laut lepas, dalam perjalanan dari Tanjung
Perak Surabaya, ke Pelabuhan Belawan Sumatra Utara. Di kapal ini pula
kesempatan bagi kami untuk saling kenal mengenal dengan teman-teman dari daerah
lain.
Pada tahun berikutnya, 1978, saya juga
terpilih mengikuti kegiatan Pramuka Penegak, Raimuna Nasional di Karang Kates
Malang Jawa Timur. Salah satu
pengalaman yang cukup berkesan dalam mengikuti raimuna ini adalah karena salah satu kegiatannya adalah memberi
kesempatan kepada peserta untuk jalan jalan di udara dengan menggunakan pesawat
hercules. Kesempatan yang tentu tidak
saya sia siakan, dan itulah kali pertama saya naik pesawat terbang. Sebelum take off, petugas dari AU
yangmenyertai kami memeriksa semua penumpang, apakah sudah semua pakai sabuk
pengaman. Waktu itu, saya duduk di sebelah kawan penegak putri dari Magetan.
Ketika sang petugas tadi mendekati saya, ternyata sabuk yang ada tinggal
satu. Padahal yang belum pakai sabuk,
kami berdua. Akhirnya, kami diperintah
untuk menggunakan satu sabuk tadi untuk berdua.
Untuk diketahui, tempat duduk di pesawat hercules yang kami naiki bukan
seperti pesawat terbang komersial. Tempat
duduknya bersap dua baris, saling berhadapan.
Sehingga kalaupun satu sabuk saya pakai berdua, tidak terlalu masalah.
Saya masih bisa leluasa bergerak, termasuk ketika teman saya itu mabuk, saya
bisa membantu dia agar mengurangi rasa mabuknya.
Pada tahun 1981, utusan dari Pramuka
saya mengikuti Program Pertukaran Pemuda ASEAN dan Jepang atau yang dikenal
dengan Program Southeast Asian Youth Program atau Nipponmaru Program. Disebut Nipponmaru, karena kapal pesiar yang dipergunakan dalam program ini
bernama Nippon Maru. Selama dua setengah
bulan di laut. Di setiap negara peserta, yaitu Filipina, Indonesia, Singapura,
Malaysia, Thailand dan Jepang, kami singgah dan melakukan berbagai kegiatan di
darat. Acara wajibnya adalah cortesy
call atau kunjungan kehormatan ke kepala-kepala negara masing-masing.
Di Filipina, yang menjadi negara
pertama tempat berkumpul seluruh peserta, kami diterima dan sekaligus dilepas
oleh Presiden Filipina Ferdinand Marcos.
Di Indonesia, kami diterima oleh Wakil Presiden Adam Malik, di Singapura
oleh Perdana Mentri Lee Kwan Yu, Di Malaysia oleh Perdana Mentri Malaysia, di
Thailand oleh Perdana Menteri Thailand, dan di Jepang oleh Perdana Mentri
Jepang langsung Mr. Suzuki.
Gara-gara
tulisan
Sewaktu menjadi mahasiswa di Fakultas
Pertnian Unram, saya senang mengikuti berbagai lomba karya tulis. Dan
alhamdulillah, gara gara itu saya sering ke Jakarta, untuk mengikuti acara
penerimaan hadiahnya. Diantaranya adalah lomba karya tulis yang dilaksanakan
oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam rangkaian acara Musyawarah Nasionalnya.
Alhamdulillah saya dapat menjadi finalis, dan akhirnya juara harapan satu.
Namun dengan itu saya diundang mengikuti acara pembukaan Munas MUI di Jakarta,
dan berkesempatan untuk bersilaturahim dengan tokoh-tokoh agama se
Indonesia. Saya ingat betul waktu itu
saya dapat berbincang-bincang dengan almarhum Gus Dur, almarhum Daud Beraureh,
almarhum Lukman Hakim, dan lain-lain.
Bahkan Gus Dur sempat memegang pundak saya sambil menasihati agar saya
terus menulis.
Saya juga sempat menjadi finalis Lomba
Karya Ilmiah Remaja yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dimana melalui acara itu saya bertemu dengan Menteri Daud Yusuf,
dan tokoh pendidikan Andi Hakim Nasution.
Kami juga diikutkan pada upacara hari kemerdekaan di Istana Negara.
Saya juga pernah menang dalam Lomba
Karya Tulis yang diselenggarakan Departemen Perindustrian, yang memberi
kesempatan saya dan para pemenang lainnya mengunjungi beberapa sentra industri di Jawa
Timur.
Terakhir, tatkala baru masuk jadi
dosen, saya iseng-iseng ikut seleksi
program IATSS Forum di Jepang selama tiga bulan. Hanya menulis lima halaman folio,
saya mengetik dengan mesin ketik biasa, alhamdulillah, pada tahun 1988 saya
lolos bersama dengan 18 orang peserta lain se Indonesia untuk mengikuti Program
International Association of Traffic and Safety Sciences. Kami ber kampus di Suzuka Jepang. Intinya adalah belajar tentang berbagai hal
yang menyangkut kemajuan Jepang, melalui kegiatan ceramah di dalam klas dan
kunjungan ke berbagai daerah di Jepang.
Masa
sekolah di Amerika
Untuk siapapun, saya kira, masa masa sekolah
biasanya adalah masa masa yang paling indah.
Apalagi bila berkesempatan sekolah di luar negeri, di negara maju
seperti Amerika, Australia, atau Jepang.
Sebabnya sederhana, ketika kita sekolah, kita tidak punya beban yang
banyak. Tidak ada tanggung jawab kerja yang berat, kecuali belajar, belajar,
dan belajar. Saking indahnya, banyak juga kawan kawan saya yang terlena, sampai
akhirnya tidak dapat menyelesaikan sekolahnya tepat waktu. Bahkan kemudian gagal.
Saya sendiri pertama kali berangkat
untuk S2 ke USA pada bulan September 1990.
Anak saya yang pertama waktu itu baru berusia lima setengah bulan. Memang terasa agak berat, tapi yaa harus saya
jalani. Beasiswa dari OTO Bappenas waktu itu tidak memungkinkan saya untuk
membawa keluarga. Sehingga selama S2 di The Ohio State University, Columbus OH,
saya menjalaninya sendirian. Baru ketika
S3, dua tahun kemudian, pada tanggal 25 Desember 1992, saya membawa keluarga,
Silmi Rosmala Hayati, dan mamanya. Dua tahun menemani saya, Desember 1994 kami
balik ke Indonesia. Kebetulan waktu itu saya pulang untuk mengambil data
penelitian disertasi selama tiga bulan. September 1995, saya wisuda Doctor of
Philosophy di bidang Rural Sociology dengan disertasi saya yang berjudul:
“Status Attainment, Human Capital, and Religiosity in Indonesia: a case study
of West Nusa Tenggara.”
Dua tahun bersama keluarga dalam tugas
belajar serasa cepat sekali. Mungkin
masa masa itu yang dibilang sebagai masa masa indah, yang takkan
terlupakan. Masa masa yang terbebas dari
tanggung jawab kerja, tanggung jawab di kampus, ataupun di kantor. Tugas saya hanya belajar. Namun untuk
mencukupi kebutuhan hidup, biar ada tambahan untuk dipergunakan jalan jalan
semasa liburan, saya sempatkan juga bekerja part time. Pernah kerja di perpustakaan. Juga pernah di tempat parkir kendaraan. Setiap dua minggu gajian, dan lumayanlah bisa
ditabung, buat rekreasi akhir bulan ataupun setiap liburan musim panas.
Biasanya, setiap liburan panjang,
bersama teman-teman lain kita menyewa minibus, kendaraan yang dapat berisi
sampai delapan orang. Biasanya kita patungan. Pernah ke Wahington DC, New York, Niagara
Falls, bahkan pernah juga nyeberang ke Kanada.
Ke Montreal dan ibukota lamanya, yaitu Quebec. Untuk menikmati Niagara Falls, ternyata lebih
indah kalau dilihat dari sisi Kanada.
Maklum sungai niagara ini adalah pembatas antara negara Amerika Serikat
dengan Kanada.
Salah satu bentuk rekreasi murah meriah
semasa di Amerika, utamanya pada musim semi adalah jalan jalan mencari barang
barang di 'garage sale.' Garage sale
adalah tradisi masyarakat amerika, pada musim semi atau panas. Pada saat itu keluarga menjual barang barang
mereka yang sudah tidak terpakai lagi, dengan harga murah. Mulai dari pakaian, perabotan dapur,
buku-buku bacaan, dan perkakas rumah tangga.
Saya perhatikan, melalui garage sale ini juga mereka bersilaturahmi
antara rumah tangga yang satu dengan rumah tangga yang lain. Juga antara pembeli dan penjual. Jadi masalah laku dan tidak bukan soal. Bagi
kita mahasiswa, yang dicari adalah barang barang peralatan dapur seperti
microwave, pembuat jus, dan lain-lain. Kadang kadang dapat juga buku buku yang
memang masih dibutuhkan. Atau TV atau
video player yang masih baik dengan harga sangat murah. Tapi intinya, jalan-jalan ke tempat loksi
garage sale memang menjadi kenangan sendiri.
Sebuah budaya khas Amrika atau mungkin juga Eropah. Suatu ketika, mungkin budaya itu dapat juga
kita tiru. Agar barang barang yang
mungkin sudah kita tidak perlukan lagi tidak memenuhi ruang-ruang lemari atau
kamar kita. Kita jual murah, atau kita
sedekahkan kepada mereka yang masih membutuhkannya.
Perjalanan
terjauh
Hidup adalah perjalanan. Dan memang
demikianlah adanya. Secara harfiah,
ternyata cukup panjang juga perjalanan yang pernah saya jalani. Hampir semua benua pernah saya tapaki. Kecuali
Afrika. Ya, saya belum pernah ke salah
satu negara yang masuk benua Afrika. Kalau Amerika, Australia, Eropah, dan
tentu saja beberapa negara Asia selain Indonesia, sudah pernah saya
kunjungi. Kecuali untuk sekolah, saya
mengunjungi negara-negara tersebut dalam rangka seminar ilmiah bertaraf
internasional. Yang paling banyak adalah negara negara di Asia,
karena saya menjadi salah seorang pengurus Asian Rural Sociology Association
(ARSA).
Namun yang paling jauh yang pernah saya
lalui adalah ketika mengikuti World Congress of International Rural Sociology Association
di Rio de Janeiro, Brazilia. Kalau nggak
salah ingat, tahun 2000. Makalah yang
saya kirim ke panitia ternyata lolos untuk dipresentasikan dalam kongres
tersebut. Sedangkan untuk pembiayaan
keberangkatannya, saya mendapatkan sponsor dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Depdikbud. Kebetulan waktu itu
ada program khusus bagi mereka yang baru menyelesaikan doktornya.
Saya katakan perjalanan yang terjauh
yang pernah saya jalani, karena memang perjalanan menuju Rio de Janeiro itu
panjang sekali. Bayangkan. Saya
berangkat dari Mataram, menuju Jakarta.
Dari Jakarta ke Singapura. Dari
Singapura kemudian ke London, Inggris.
Baru dari London, terbang ke Sao Paulo, sebelum kemudian terbang Rio de
Janeiro, ibu kota Brazil. Kalau lihat di
peta globe, untuk ke Rio itu, kita harus mengitari tiga perempat belahan bumi.
Yang paling mengesankan adalah ketika
berada di atas samudra atlantik.
Kelihatan di layar tv di atas pesawat, betapa jauhnya perjalanan antara
London dan Brazil, sementara di bawahnya terbentang luas samudra atlatik nan
biru. Subhanallah. Hanya kalimat itu
yang terbersit dalam benak saya, ketika berada di dalam pesawat yang
menerbangkan saya dari London ke Rio.
Berada di tengah-tengah penumpang yang semuanya bule. Hanya saya yang berkulit sawo matang, dari
Indonesia. Perjalanan panjang yang tak
pernah terbayangkan sebelumnya. Dan mungkin
juga setelahnya.
Wallahu ‘alam bissawab.