SATU NTB SATU DATA
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Salah satu hal yang Belanda tidak mau berikan kepada kita
ketika mereka menjajah bangsa kita ratusan tahun adalah terkait dengan penata
usahaan data. Saya katakan demikian
karena sejak zaman dulu hingga sekarang, Belanda sangat terkenal dengan kerapiannya
dalam menata dan menyimpan data yang mereka punya. Termasuk data ejarah, data kependudukan, data
pembangunan, data dimbidang sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Buktinya, berbagai data sejarah yang dimiliki
Indonesia sejaka ratusan tahun silam, masih tersimpan hingga sekarang, di
berbagai perpustakaan di negeri Belanda.
Berbagai dokumen kuno yang sangat bernilai yang merupakan
warisan nenek moyang bangsa Indonesia dalam bentuk tulisan-tulisan ataupun
benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan-kerajaan di Indonesia, dapat kita
temukan di Belanda. Ketika penulis
berkesempatan untuk mengunjungi Belanda tahun 2010 yang lalu, kami
berkesempatan pula mengunjungi museum Leiden.
Kebetulan saat itu yang sedang berada di ruang pameran adalah perhiasan
atau mungkin semacam lencana kerajaan yang berasal dari Kerajaan
Selaparang. Menurut petugasnya, banyak
benda-benda bersejarah dari Indonesia yang sudah dikembalikan ke museum
nasional Indonesia, atas permintaan pemerintah Indonesia. Dengan kata lain,
demikian rapinya Belanda menata usahakan dokumen-dokumen dan data yang mereka
miliki, dan demikian rapinya juga mereka memelihara data tersebut, sehingga
mudah dicari, khususnya bagi para peneliti ataupun para pengambil kebijakan.
Berbeda dengan kita.
Bukan hal yang dianggap aneh, kalau data pembangunan kita tidak sama
antara instansi yang satu dengan yang lain.
Apalagi data yang dimiliki pusat dengan yang dimiliki atau dipublikasi
oleh daerah. Meskipun kita sudah
memiliki BPS yang menurut Undang-undang, lembaga inilah yang berhak untuk
mengeluarkan data resmi di Indonesia.
Itupun masih sering bermasalah;
artinya tidak jarang instansi lain mempersoalkan data yang dipublikasi
oleh BPS.
NTB Satu Data
Gagasan membangun sebuah “Bank Data” yang diakui oleh semua fihak sesungguhnya
merupakan harapan semua kita; khususnya para pimpinan kita di daerah ini. Gubernur NTB, Bapak Dr. TGH M Zainul Majdi,
dalam beberapa kesempatan mempertanyakan tingkat akurasi data yang masuk ke
meja beliau, karena dari sumber yang lain, data untuk satu hal, bisa
berbeda. Beliau sangat cermat dengan
data yang sifatnya kuantitatif. Daya
ingat beliau sangat tinggi. Oleh karena
itu, kalau kita melaporkan sesuatu dengan data yang sifatnya angka-angka, tidak
boleh salah. Karena angka itu akan
beliau ingat terus, sehingga kalau ada masuk data yang sama dengan angka yang
berbeda, pasti akan beliau pertanyakan.
Dalam suatu rapat pimpinan, beliau pernah menanyakan, “kapan kita bisa memiliki
data yang terintegrasi, yang merupakan hasil koordinasi dari semua instansi
terkait, termasuk melibatkan BPS, sehingga kita memiliki satu data untuk satu
persoalan.” Itulah yang kemudian kita
formulasi dengan satu gagasan yang bertajuk NTB Satu Data.
Secara kebetulan di Bappeda ada lembaga donor dari
Australia, yang bernama AIPD, atau Australia Indonesia Partnership for
Decentralization, yang membantu Pemda dalam membangun good governance, termasuk
membangun hal-hal yang berkait dengan data.
Bahkan mereka telah berpengalaman membantu provinsi NTT dengan lembaga
dan kantor “resouce center” nya. Oleh
karena itu, seperti “pucuk dicinta ulam tiba,” ketika gagasan NTB yang ingin
memiliki “satu NTB satu data” kami diskusikan, mereka menyambutnya dengan
antusias. Maka sejak 2011, dimulailah
rencana pembangunan resource center tersebut dengan mengirimkan beberapa staf
dari Pemda untuk study banding ke NTT dan Jawa Barat. Kita ke NTT untuk melihat bentuk kelembagaan
dan bahkan juga gedung data yang dibangun atas bantuan dari AIPD. Sedangkan di Jawa Barat kita mempelajari
seperti apa lembaga sejenis mereka bangun.
Ternyata di Jawa Barat ini sudah memiliki lembaga yang
bernama “Jabar Satu Data.” Lembaga ini
berdiri dan menjadi UPT di bawah Bappeda Jabar, sejak tahun 2010. Mereka punya gedung sendiri, dan sekarang
telah menjadi pusat data yang operasional dan fungsional. Berbagai data yang umum maupun khusus yang
biasanya diterbitkan oleh BPS, mereka terbitkan. Mereka memang sudah menanda tangani kerjasama
dengan BPS, sehingga data yang dikeluarkan harus sinkron. Tidak boleh berbeda. Dalam perkembangannya, pusat data ini juga
memanfaatkan teknologi informasi, sehingga masukan data dari berbagai instansi
di jajaran pemprov atau kabupaten/kota dapat secara cepat di entry. Ada operator data entry yang dilatih, di
setiap instansi. Setelah data masuk dan
terkumpul, barulah kemudian diadakan rapat sinkronisasi dan verifikasi, sebelum
kemudian dipublikasi.
Kira kira seperti itulah, NTB SATU DATA yang ingin
diwujudkan, sebagai implementasi dari diskusi dan juga perjalanan yang cukup
panjang selama ini. Jika tidak ada aral
melintang, pada tanggal 2 September 2014 ini, Gubernur NTB akan meresmikan
pusat data yang diberi nama BALE ITE, yang gedungnya telah selesai direnovasi
di Jalan Majapahit, tidak jauh dari perpustakaan wilayah, atas bantuan dari
AIPD tersebut. Setelah gedung
diresmikan, tentu harus segera ditetapkan bentuk kelembagaannya. Apakah akan meniru Jawa Barat, yakni dalam
bentuk UPT di bawah Bappeda, ataukah bentuk lain, UPT dibawah Badan Perpusda,
atau seperti apa. Yang pasti adalah,
Bale Ite harus menjadi pusat layanan data dan informasi yang terbuka dan
bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat, terlebih bagi para mahasiswa, dosen,
peneliti, dan masyarakat terpelajar lainnya yang selalu haus akan data. Tentu yang utama adalah bagi para pengambil
kebijakan didaerah ini, sehingga data yag tersaji di Bale Ite tersebut,
benar-benar sudah melalui proses uji sahih yang ilmiah. Ada SOPnya, dalam memproduksi dan
mempublikasi data. Dengan demikian,
impian untuk memiliki “Satu NTB Satu Data” di daerah ini benar-benar terwujud.
Wallahu a’lam bissawab. (Jambi, 270814)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar