Kamis, 09 Oktober 2014

DILEMA TAMBANG


DILEMA TAMBANG
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
January 17, 2012 at 10:52am

Saya sedang nonton konser musical Laskar Pelangi bersama keluarga  ketika terjadi peristiwa penolakan tambang oleh sekelompok masyarakat yang berujung dengan terjadinya Persitiwa Sabtu Kelabu di Lambu. Peristiwa yang tak seorangpun menginginkannya. Peristiwa yang berawal dari keinginan masyarakat untuk menolak eksplorasi tambang di desa mereka.
Dalam adegan pembukaan konser Laskar Pelangi itu, lagu lagu yang dilantunkan oleh sekelompok pemainnya sangat persis menggambarkan apa yang umum terjadi di dalam dunia pertambangan, dimanapun di dunia, termasuk di Bangka Belitong, yang menjadi setting lokasi film Laskar Pelangi. Mereka mengatakan “Bangka kaya akan timah, kaya akan tambang, tapi tambang milik siapa, bukan kami yang punya, kami tetap saja jadi kuli, dari dulu hingga kini…”  sebuah ironi memang. Tapi itulah kenyataannya. Kebijakan pertambangan kita belum berfihak secara langsung kepada masyarakat sekitarnya, atau yang dikenal dengan istilah masyarakat lingkar tambang.

Dilema: eksploitasi atau biarkan?
Komoditas tambang, apakah emas, batubara, timah, mangan, marmer, bahkan batu apung sekalipun, merupakan karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk “sebesar besarnya kemakmuran manusia itu sendiri.” Untuk bisa bermanfaat, maka manusia harus punya cara untuk mengangkatnya dari perut bumi. Setiap jenis tambang memiliki karakter sendiri sendiri. Ada yang mudah ditambang, langsung jadi uang, karena tempatnya diatas perut bumi. Seperti tambang emas di Sekotong. Namun ada yang jauh di dalam perut bumi, sehingga perlu teknologi dan perlu dana yang sangat besar untuk menambangnya. Sebagai contoh: tambang emas dan tembaga batu hijau di KSB atau Freeport di Papua. Untuk mengetahui apakah kandungan emas atau tembaga yang ada di perut bumi batu hijau itu cukup besar untuk ditambang, perlu ada proses eksplorasi. Perlu dana yang sangat besar dan waktu yang cukup panjang untuk sampai ke tahap itu. Perlu tenaga ahli atau SDM yang juga mumpuni. Itulah proses eksplorasi. Untuk kasus batu hijau, yang dieksplorasi oleh sebuah perusahaan multinasional, perlu waktu mungkin lima tahun dengan dana trilyunan rupiah. Tidak ada jaminan kalau hasil eksplorasinya positif. Bisa saja hasil eksplorasinya tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya.

Dalam hal ini kasus Busang di Kalimantan, menjadi contoh. Sudah mengeluarkan uang milyaran dolar, ternyata kandungan tambangnya tidak sebesar prediksi awalnya. Bahkan kemudian dinyatakan tidak layak untuk dieksploitasi.  Beruntung di Batuhijau. Meski terjadi perubahan kandungan dominan, dimana tadinya diprediksi emas yang dominan, namun ternyata tembaga, tetapi volumenya sangat besar dan sangat layak untuk ditambang. Bahkan sampai tiga puluhan tahun.  Dalam studi kelayakannya sudah dapat diprediksi, dalam masa kerja lima sampai enam tahun, perusahaan sudah dapat kembali modal atau mencapai titik impas investasi, yang dikenal dengan istilah Break Event Point (BEP). Jadi masa setelah titik BEP tercapai, perusahaan tinggal menikmati keuntungan saja. Sehingga sangatlah wajar, dalam kontrak karya itu ada proses divestasi yang diwajibkan kepada perusahaan pengelola tambang, yang notabene sahamnya dimiliki oleh orang asing. Semangat divestasi adalah pengalihan saham mayoritas ke perusahaan dalam negeri. Tentu filosofinya agar masa keuntungan tambang itu dapat dinikmati “demi sebesar besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.”

Persoalannya adalah, rakyat Indonesia sangat banyak. Kalaupun keuntungan dari tambang sangat besar, namun ketika kemudian dibagi bagi ke seluruh daerah, jumlahnya menjadi relative kecil. Menurut Undang Undang Minerba dan UU perimbangan keuangan Negara, sebagai daerah penghasil, kabupaten dan provinsi dimana lokasi tambang itu berada berhak mendapatkan bagian prosentase tertentu dari pajak dan royalty yang disetorkan ke Negara. Namun sayangnya, dana sebesar itu menjadi factor pengurang di DAU kita. Artinya, jumlah DAU yang diterima oleh daerah penghasil maupun daerah yang tidak ada tambangnya relative sama. Mungkin itulah makna “bagi rakyat Indonesia” itu.  Sehingga jika tidak ada divestasi yang 24% (dan semoga menjadi 31%),  maka praktis, NTB dan KSB tidak akan banyak menikmati prevelege dana pajak dan royalty di luar dana yang secara konvensional dibagikan ke setiap daerah. Baik dalam bentuk DAU, DAK, dan lain-lain. Itu dilemma pertama.

Dilemma kedua, tidak ada dana khusus yang diperuntukkan bagi masyarakat lingkar tambang. Artinya, tidak ada kewajiban perusahaan untuk ‘mensejahtera kan’ masyarakat di lingkar tambang.  Kalaupun ada dana atau program CSR, bentuknya bermacam-macam, dan tidaklah memadai untuk dapat mempercepat program pengentasan kemiskinan.  Kalaupun ada kewajiban untuk merekrut tenaga kerja local, tentu juga sifatnya terbatas, sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasi tertentu. Sehingga hanya sebagian kecil saja dari masyarakat lingkar tambang yang menikmati secara langsung hasil tambang tersebut. Selebihnya hanya menjadi penonton.  Karenanya tidak mengherankan kalau pada tahun 90an Prof Mubyarto dari UGM menyimpulkan dalam laporan penelitiannya bahwa hubungan antara tambang dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya tipis sekali, nyaris tidak ada. Persis seperti lagu yang didendangkan para “kuli tambang” dalam Laskar Pelangi itu. Ini dilemma kedua.

Mungkin masih banyak lagi dilemma dilemma  dalam urusan pertambangan ini, yang masih bisa diuraikan. Namun intinya adalah: apakah kita akan membiarkan ‘harta karun’ karunia Tuhan itu tersimpan rapi di perut bumi, ataukah kita dapat memanfaatkannya untuk keperluan kehidupan kita hari ini.  Jawabannya tentu berpulang kepada kita masing masing; kepada pengambil kebijakan dan tentu kepada rakyat.

Kalau saya ditanya, saya memilih yang kedua, memanfaatkannya untuk keperluan hidup kita hari ini. Namun untuk mencapai missi sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat, tentu banyak kebijakan perundang undangan yang perlu diperbaiki.

Pertama, harus mengedepankan prinsip tambang hijau, artinya yang tidak merusak membabi buta; harus dapat meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.Kedua, harus melibatkan masyarakat setempat sebanyak mungkin, sehingga mereka tidak hanya menjadi ‘penonton’ penggalian tambang di rumah sendiri. Seluruh warga masyarakat lingkar tambang harus mendapat ‘bagian’ dari tambang tersebut, dalam berbagai bentuknya. Mulai dari kesempatan kerja, beasiswa bagi anak anak mereka yang pelajar dan mahasiswa, bahkan semacam BLT bagi warga lingkar tambang yang miskin. Harus ada target pengentasan kemiskinan masyarakat lingkar tambang yang lebih terukur; apakah lima atau sepuluh tahun. Jangan sampai tambang habis, masalah kemiskinan tidak berubah. Ketiga, royalty atau penerimaan apapun dari tambang hendaknya menjadi nilai lebih bagi daerah. Jangan dijadikan factor pengurang DAU sebagaimana terjadi sekarang. Keempat, perusahaan daerah atau perusahaan local hendaknya dapat dilibatkan sebagai mitra bagi pengusaha tambang; sehingga terjadi proses transfer of knowledge bagi SDM perusahan daerah atau swasta local.  Kalau bagian rakyat dan pemerintah daerah di tingkatan paling bawah sudah jelas dan memadai, saya yakin tidak akan ada penolakan kehadiran suatu perusahaan tambang di mana saja. Tidak lagi menjadi dilemma. Termasuk di Bima. Wallahu ‘alam bissawab. (Dompu, 4/1/12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar