Minggu, 26 Oktober 2014
Kamis, 09 Oktober 2014
DILEMA TAMBANG
DILEMA
TAMBANG
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
January 17, 2012 at
10:52am
Saya sedang nonton konser musical Laskar Pelangi bersama keluarga ketika terjadi peristiwa penolakan tambang oleh sekelompok masyarakat yang berujung dengan terjadinya Persitiwa Sabtu Kelabu di Lambu. Peristiwa yang tak seorangpun menginginkannya. Peristiwa yang berawal dari keinginan masyarakat untuk menolak eksplorasi tambang di desa mereka.
Dalam adegan pembukaan konser Laskar
Pelangi itu, lagu lagu yang dilantunkan oleh sekelompok pemainnya sangat persis
menggambarkan apa yang umum terjadi di dalam dunia pertambangan, dimanapun di
dunia, termasuk di Bangka Belitong, yang menjadi setting lokasi film Laskar
Pelangi. Mereka mengatakan “Bangka kaya akan timah, kaya akan tambang, tapi
tambang milik siapa, bukan kami yang punya, kami tetap saja jadi kuli, dari dulu
hingga kini…” sebuah ironi memang. Tapi itulah kenyataannya. Kebijakan
pertambangan kita belum berfihak secara langsung kepada masyarakat sekitarnya,
atau yang dikenal dengan istilah masyarakat lingkar tambang.
Dilema: eksploitasi atau biarkan?
Komoditas tambang, apakah emas,
batubara, timah, mangan, marmer, bahkan batu apung sekalipun, merupakan karunia
Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk “sebesar besarnya kemakmuran manusia itu
sendiri.” Untuk bisa bermanfaat, maka manusia harus punya cara untuk mengangkatnya
dari perut bumi. Setiap jenis tambang memiliki karakter sendiri sendiri. Ada
yang mudah ditambang, langsung jadi uang, karena tempatnya diatas perut bumi.
Seperti tambang emas di Sekotong. Namun ada yang jauh di dalam perut bumi,
sehingga perlu teknologi dan perlu dana yang sangat besar untuk menambangnya.
Sebagai contoh: tambang emas dan tembaga batu hijau di KSB atau Freeport di
Papua. Untuk mengetahui apakah kandungan emas atau tembaga yang ada di perut
bumi batu hijau itu cukup besar untuk ditambang, perlu ada proses eksplorasi.
Perlu dana yang sangat besar dan waktu yang cukup panjang untuk sampai ke tahap
itu. Perlu tenaga ahli atau SDM yang juga mumpuni. Itulah proses eksplorasi.
Untuk kasus batu hijau, yang dieksplorasi oleh sebuah perusahaan multinasional,
perlu waktu mungkin lima tahun dengan dana trilyunan rupiah. Tidak ada jaminan
kalau hasil eksplorasinya positif. Bisa saja hasil eksplorasinya tidak sesuai
dengan prediksi sebelumnya.
Dalam hal ini kasus Busang di Kalimantan, menjadi contoh. Sudah mengeluarkan uang milyaran dolar, ternyata kandungan tambangnya tidak sebesar prediksi awalnya. Bahkan kemudian dinyatakan tidak layak untuk dieksploitasi. Beruntung di Batuhijau. Meski terjadi perubahan kandungan dominan, dimana tadinya diprediksi emas yang dominan, namun ternyata tembaga, tetapi volumenya sangat besar dan sangat layak untuk ditambang. Bahkan sampai tiga puluhan tahun. Dalam studi kelayakannya sudah dapat diprediksi, dalam masa kerja lima sampai enam tahun, perusahaan sudah dapat kembali modal atau mencapai titik impas investasi, yang dikenal dengan istilah Break Event Point (BEP). Jadi masa setelah titik BEP tercapai, perusahaan tinggal menikmati keuntungan saja. Sehingga sangatlah wajar, dalam kontrak karya itu ada proses divestasi yang diwajibkan kepada perusahaan pengelola tambang, yang notabene sahamnya dimiliki oleh orang asing. Semangat divestasi adalah pengalihan saham mayoritas ke perusahaan dalam negeri. Tentu filosofinya agar masa keuntungan tambang itu dapat dinikmati “demi sebesar besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.”
Persoalannya adalah, rakyat Indonesia sangat banyak. Kalaupun keuntungan dari tambang sangat besar, namun ketika kemudian dibagi bagi ke seluruh daerah, jumlahnya menjadi relative kecil. Menurut Undang Undang Minerba dan UU perimbangan keuangan Negara, sebagai daerah penghasil, kabupaten dan provinsi dimana lokasi tambang itu berada berhak mendapatkan bagian prosentase tertentu dari pajak dan royalty yang disetorkan ke Negara. Namun sayangnya, dana sebesar itu menjadi factor pengurang di DAU kita. Artinya, jumlah DAU yang diterima oleh daerah penghasil maupun daerah yang tidak ada tambangnya relative sama. Mungkin itulah makna “bagi rakyat Indonesia” itu. Sehingga jika tidak ada divestasi yang 24% (dan semoga menjadi 31%), maka praktis, NTB dan KSB tidak akan banyak menikmati prevelege dana pajak dan royalty di luar dana yang secara konvensional dibagikan ke setiap daerah. Baik dalam bentuk DAU, DAK, dan lain-lain. Itu dilemma pertama.
Dilemma kedua, tidak ada dana khusus yang diperuntukkan bagi masyarakat lingkar tambang. Artinya, tidak ada kewajiban perusahaan untuk ‘mensejahtera kan’ masyarakat di lingkar tambang. Kalaupun ada dana atau program CSR, bentuknya bermacam-macam, dan tidaklah memadai untuk dapat mempercepat program pengentasan kemiskinan. Kalaupun ada kewajiban untuk merekrut tenaga kerja local, tentu juga sifatnya terbatas, sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasi tertentu. Sehingga hanya sebagian kecil saja dari masyarakat lingkar tambang yang menikmati secara langsung hasil tambang tersebut. Selebihnya hanya menjadi penonton. Karenanya tidak mengherankan kalau pada tahun 90an Prof Mubyarto dari UGM menyimpulkan dalam laporan penelitiannya bahwa hubungan antara tambang dengan kesejahteraan masyarakat sekitarnya tipis sekali, nyaris tidak ada. Persis seperti lagu yang didendangkan para “kuli tambang” dalam Laskar Pelangi itu. Ini dilemma kedua.
Mungkin masih banyak lagi dilemma dilemma dalam urusan pertambangan ini, yang masih bisa diuraikan. Namun intinya adalah: apakah kita akan membiarkan ‘harta karun’ karunia Tuhan itu tersimpan rapi di perut bumi, ataukah kita dapat memanfaatkannya untuk keperluan kehidupan kita hari ini. Jawabannya tentu berpulang kepada kita masing masing; kepada pengambil kebijakan dan tentu kepada rakyat.
Kalau saya ditanya, saya memilih yang kedua, memanfaatkannya untuk keperluan hidup kita hari ini. Namun untuk mencapai missi sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat, tentu banyak kebijakan perundang undangan yang perlu diperbaiki.
Pertama, harus mengedepankan prinsip tambang hijau, artinya yang tidak merusak membabi buta; harus dapat meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.Kedua, harus melibatkan masyarakat setempat sebanyak mungkin, sehingga mereka tidak hanya menjadi ‘penonton’ penggalian tambang di rumah sendiri. Seluruh warga masyarakat lingkar tambang harus mendapat ‘bagian’ dari tambang tersebut, dalam berbagai bentuknya. Mulai dari kesempatan kerja, beasiswa bagi anak anak mereka yang pelajar dan mahasiswa, bahkan semacam BLT bagi warga lingkar tambang yang miskin. Harus ada target pengentasan kemiskinan masyarakat lingkar tambang yang lebih terukur; apakah lima atau sepuluh tahun. Jangan sampai tambang habis, masalah kemiskinan tidak berubah. Ketiga, royalty atau penerimaan apapun dari tambang hendaknya menjadi nilai lebih bagi daerah. Jangan dijadikan factor pengurang DAU sebagaimana terjadi sekarang. Keempat, perusahaan daerah atau perusahaan local hendaknya dapat dilibatkan sebagai mitra bagi pengusaha tambang; sehingga terjadi proses transfer of knowledge bagi SDM perusahan daerah atau swasta local. Kalau bagian rakyat dan pemerintah daerah di tingkatan paling bawah sudah jelas dan memadai, saya yakin tidak akan ada penolakan kehadiran suatu perusahaan tambang di mana saja. Tidak lagi menjadi dilemma. Termasuk di Bima. Wallahu ‘alam bissawab. (Dompu, 4/1/12)
SATU NTB SATU DATA
SATU NTB SATU DATA
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Salah satu hal yang Belanda tidak mau berikan kepada kita
ketika mereka menjajah bangsa kita ratusan tahun adalah terkait dengan penata
usahaan data. Saya katakan demikian
karena sejak zaman dulu hingga sekarang, Belanda sangat terkenal dengan kerapiannya
dalam menata dan menyimpan data yang mereka punya. Termasuk data ejarah, data kependudukan, data
pembangunan, data dimbidang sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Buktinya, berbagai data sejarah yang dimiliki
Indonesia sejaka ratusan tahun silam, masih tersimpan hingga sekarang, di
berbagai perpustakaan di negeri Belanda.
Berbagai dokumen kuno yang sangat bernilai yang merupakan
warisan nenek moyang bangsa Indonesia dalam bentuk tulisan-tulisan ataupun
benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan-kerajaan di Indonesia, dapat kita
temukan di Belanda. Ketika penulis
berkesempatan untuk mengunjungi Belanda tahun 2010 yang lalu, kami
berkesempatan pula mengunjungi museum Leiden.
Kebetulan saat itu yang sedang berada di ruang pameran adalah perhiasan
atau mungkin semacam lencana kerajaan yang berasal dari Kerajaan
Selaparang. Menurut petugasnya, banyak
benda-benda bersejarah dari Indonesia yang sudah dikembalikan ke museum
nasional Indonesia, atas permintaan pemerintah Indonesia. Dengan kata lain,
demikian rapinya Belanda menata usahakan dokumen-dokumen dan data yang mereka
miliki, dan demikian rapinya juga mereka memelihara data tersebut, sehingga
mudah dicari, khususnya bagi para peneliti ataupun para pengambil kebijakan.
Berbeda dengan kita.
Bukan hal yang dianggap aneh, kalau data pembangunan kita tidak sama
antara instansi yang satu dengan yang lain.
Apalagi data yang dimiliki pusat dengan yang dimiliki atau dipublikasi
oleh daerah. Meskipun kita sudah
memiliki BPS yang menurut Undang-undang, lembaga inilah yang berhak untuk
mengeluarkan data resmi di Indonesia.
Itupun masih sering bermasalah;
artinya tidak jarang instansi lain mempersoalkan data yang dipublikasi
oleh BPS.
NTB Satu Data
Gagasan membangun sebuah “Bank Data” yang diakui oleh semua fihak sesungguhnya
merupakan harapan semua kita; khususnya para pimpinan kita di daerah ini. Gubernur NTB, Bapak Dr. TGH M Zainul Majdi,
dalam beberapa kesempatan mempertanyakan tingkat akurasi data yang masuk ke
meja beliau, karena dari sumber yang lain, data untuk satu hal, bisa
berbeda. Beliau sangat cermat dengan
data yang sifatnya kuantitatif. Daya
ingat beliau sangat tinggi. Oleh karena
itu, kalau kita melaporkan sesuatu dengan data yang sifatnya angka-angka, tidak
boleh salah. Karena angka itu akan
beliau ingat terus, sehingga kalau ada masuk data yang sama dengan angka yang
berbeda, pasti akan beliau pertanyakan.
Dalam suatu rapat pimpinan, beliau pernah menanyakan, “kapan kita bisa memiliki
data yang terintegrasi, yang merupakan hasil koordinasi dari semua instansi
terkait, termasuk melibatkan BPS, sehingga kita memiliki satu data untuk satu
persoalan.” Itulah yang kemudian kita
formulasi dengan satu gagasan yang bertajuk NTB Satu Data.
Secara kebetulan di Bappeda ada lembaga donor dari
Australia, yang bernama AIPD, atau Australia Indonesia Partnership for
Decentralization, yang membantu Pemda dalam membangun good governance, termasuk
membangun hal-hal yang berkait dengan data.
Bahkan mereka telah berpengalaman membantu provinsi NTT dengan lembaga
dan kantor “resouce center” nya. Oleh
karena itu, seperti “pucuk dicinta ulam tiba,” ketika gagasan NTB yang ingin
memiliki “satu NTB satu data” kami diskusikan, mereka menyambutnya dengan
antusias. Maka sejak 2011, dimulailah
rencana pembangunan resource center tersebut dengan mengirimkan beberapa staf
dari Pemda untuk study banding ke NTT dan Jawa Barat. Kita ke NTT untuk melihat bentuk kelembagaan
dan bahkan juga gedung data yang dibangun atas bantuan dari AIPD. Sedangkan di Jawa Barat kita mempelajari
seperti apa lembaga sejenis mereka bangun.
Ternyata di Jawa Barat ini sudah memiliki lembaga yang
bernama “Jabar Satu Data.” Lembaga ini
berdiri dan menjadi UPT di bawah Bappeda Jabar, sejak tahun 2010. Mereka punya gedung sendiri, dan sekarang
telah menjadi pusat data yang operasional dan fungsional. Berbagai data yang umum maupun khusus yang
biasanya diterbitkan oleh BPS, mereka terbitkan. Mereka memang sudah menanda tangani kerjasama
dengan BPS, sehingga data yang dikeluarkan harus sinkron. Tidak boleh berbeda. Dalam perkembangannya, pusat data ini juga
memanfaatkan teknologi informasi, sehingga masukan data dari berbagai instansi
di jajaran pemprov atau kabupaten/kota dapat secara cepat di entry. Ada operator data entry yang dilatih, di
setiap instansi. Setelah data masuk dan
terkumpul, barulah kemudian diadakan rapat sinkronisasi dan verifikasi, sebelum
kemudian dipublikasi.
Kira kira seperti itulah, NTB SATU DATA yang ingin
diwujudkan, sebagai implementasi dari diskusi dan juga perjalanan yang cukup
panjang selama ini. Jika tidak ada aral
melintang, pada tanggal 2 September 2014 ini, Gubernur NTB akan meresmikan
pusat data yang diberi nama BALE ITE, yang gedungnya telah selesai direnovasi
di Jalan Majapahit, tidak jauh dari perpustakaan wilayah, atas bantuan dari
AIPD tersebut. Setelah gedung
diresmikan, tentu harus segera ditetapkan bentuk kelembagaannya. Apakah akan meniru Jawa Barat, yakni dalam
bentuk UPT di bawah Bappeda, ataukah bentuk lain, UPT dibawah Badan Perpusda,
atau seperti apa. Yang pasti adalah,
Bale Ite harus menjadi pusat layanan data dan informasi yang terbuka dan
bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat, terlebih bagi para mahasiswa, dosen,
peneliti, dan masyarakat terpelajar lainnya yang selalu haus akan data. Tentu yang utama adalah bagi para pengambil
kebijakan didaerah ini, sehingga data yag tersaji di Bale Ite tersebut,
benar-benar sudah melalui proses uji sahih yang ilmiah. Ada SOPnya, dalam memproduksi dan
mempublikasi data. Dengan demikian,
impian untuk memiliki “Satu NTB Satu Data” di daerah ini benar-benar terwujud.
Wallahu a’lam bissawab. (Jambi, 270814)
Sabtu, 04 Oktober 2014
HIDUP ADALAH PERJALANAN
Hidup adalah Perjalanan: Sekilas Masa Lalu
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Menulis di media, maaf, merupakan salah satu hobi saya sejak duduk di bangku SMP. Beberapa kali tulisan tulisan saya, khususnya waktu itu berbentuk puisi, terpampang di majalah anak-anak “Si Kuncung.” Lantas tulisan tersebut saya pampangkan di majalah dinding sekolah agar lebih banyak lagi teman yang dapat membacanya. Demikian juga ketika duduk di bangku SMA. Saya aktif dan menjadi pengasuh majalah dinding sekolah.
Tatkala di bangku kuliah, tulisan saya seringkali muncul di koran mahasiswa nasional, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Maklum waktu itu sedang gencar gencarnya NKK BKK, sehingga dana cukup banyak tersedia untuk ‘menormalisasi kampus’ dimana termasuk didalamnya terbitan-terbitan majalah atau koran. Juga yang dihajatkan khusus untuk mahasiswa.
Lewat tulisan tulisan saya di koran itulah, saya menjadi dikenal di kampus. Memiliki lebih banyak teman. Termasuk teman-teman di kampus Fakultas Pertanian Unram. Ada beberapa senior dan dosen yang kemudian memperhatikan dan membina saya. Pada ujungnya, saya akhirnya menjadi aktivis kampus. Menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas, memimpin dan mendirikan majalah kampus Sativa, menjadi ketua dan pendiri Racana Pramuka Universitas, menjadi ketua dan pendiri Koran Kampus Mahasiswa Media, menjadi aktivis HMI, menjadi pengurus dari komisariat, cabang, dan terakhir Badko, aktivis Ikatan Senat Mahasiswa Sejenis di Indonesia Timur, dan lain-lain. Itulah salah sebabnya, mengapa saya tidak bisa memenuhi harapan orang tua untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Beberapa teman saya mampu empat tahun, kalau saya, pas enam tahun. Masuk 1980, keluar 1986.
Tapi berkat keaktifan saya itu pula, sebelum saya yudicium, saya ditawari untuk menjadi dosen oleh Dekan Fakultas Pertanian pada waktu itu, yaitu Bp Ir. Norberth Ama Ngongu. Saya ingat betul, salah satu kalimat beliau yang memotivasi saya. “sangatlah rugi daerah ini, kalau orang seperti saudara tidak mau menjadi dosen.” Pada akhirnya saya setuju, tentu setelah mempertimbangkan segala sesuatunya. Termasuk didalamnya, adalah pertimbangan bahwa kalau menjadi dosen, besar peluang untuk kuliah lagi, bahkan sampai ke luar negeri. Sebuah cita-cita saya semenjak duduk di bangku SMP. Pada waktu di SMP saya membayangkan betapa indahnya kalau saya bisa kuliah di luar negeri. Dimanapun.
Ketika pertama kali keluar daerah, waktu itu mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Sibolangit Sumatra Utara, tahun 1977, saya memang kemudian membayangkan kalau suatu ketika saya bisa keliling Indonesia. Setelah itu, berkelana ke luar negeri. Sebuah keinginan dari seorang Pramuka Penggalang, yang berkesempatan mengarungi samudra nan luas, berlayar menggunakan kapal besar dari Surabaya ke Medan, yaitu Kapal haji Mei Abeto, untuk mengikuti jambore tersebut. Beberapa hari di tengah laut, memberi kesempatan kepada saya untuk berhayal, bermimpi bahwa suatu ketika saya akan bisa juga ke daerah lain, atau bahkan ke negara lain. Dengan berlayar mengarungi samudra nan luas, saya dan juga teman-teman menyadari betapa luasnya negara yang bernama Indonesia. Kamipun kemudian menyadari betapa arti penting dan strategisnya negara besar yang bernama NKRI ini. Dalam perjalanan ditengah laut itu pula, dimana berkumpul para pramuka dari berbagai daerah di Indonesia, kami juga menyadari betapa banyaknya suku bangsa yang kemudian menyatukan tekad dalam wadah NKRI. Lagi lagi saya menyimpulkan, betapa kayanya dan luasnya NKRI.
Dari kenangan dalam benak itulah, mungkin, yang kemudian memberikan inspirasi pada saya, bahwa kalau menjadi dosen, harus bisa kuliah ke luar negeri. Titik. Setelah melewati proses seleksi dan sebagainya, maka sejak Maret 1987, resmilah saya memiliki NIP, menjadi PNS, menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unram. Terus terang, menjadi dosen, sebenarnya bukan cita cita saya sewaktu kecil.
Setamat dari bangku SMA, ayahanda saya sebenarnya ingin saya masuk di APDN. “biar kamu bisa menjadi camat, lantas menjadi Bupati, suatu hari nanti.” Kata beliau. Saya sendiri bercita cita menjadi insinyur teknik, lantas menjadi profesional, atau kemudian menjadi pengusaha. Ini terinspirasi dari seorang pengusaha, atau tepatnya pemborong, yang waktu itu cukup terkenal di Mataram. Padahal dia hanya tamat sekolah teknik menengah. ST atau STM. “apalagi kalau kita sarjana,” fikir saya waktu itu. Beberapa tahun, bapak saya pernah tinggal di rumah beliau, yang masih punya hubungan keluarga. Beberapa kali juga saya sempat berkunjung ke sana, dari desa. Maklum waktu itu, kami sekeluarga masih tinggal di desa, tepatnya di desa Kotaraja Lombok Timur, sementara Bapak saya di kota. Setelah saya menamatkan SD, baru kemudian kami boyongan pindah ke Kota Mataram. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1974. Pada awalnya kami menyewa rumah di Gomong Lama. Saya masuk SMPN 2, sementara adik adik saya masuk di SDN 7 (waktu itu) yang lokasinya sekarang berdiri AMM.
Dan waktupun berlalu. Kadang terasa demikian cepat. Kadang juga lambat. Malah kadang menjenuhkan. Tapi itulah namanya perjalanan hidup. Dalam sebuah status di facebook saya pernah menulis…..”life is a journey.” Sewaktu aktif sebagai mentor di HMI, di era delapan puluhan, saya selalu memulai ceramah saya dengan mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Dan mungkin itulah yang senantiasa memotivasi diri saya, memberi semangat hidup bagi saya, untuk menjalani kehidupan ini.
Guru saya adalah air dan matahari, kata orang-orang bijak. Saya percaya sama teori yang mengatakan ikutlah seperti air mengalir. Dimana ada peluang, ke sana air mengalir. Tidak perlu terlalu ngotot untuk hal-hal yang memang terlalu sulit, atau malah tidak mungkin untuk dilampaui. Sementara yang mungkin, dan mudah juga cukup banyak. Mengapa kita tidak memaksimalkan yang seperti itu. Yang mungkin dan mudah.
Demikian pula dengan matahari. Seorang ulama besar dari Lombok Timur, yang juga pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, almagfurlah Maulana Syeikh, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, sering kali mengatakan “guru saya adalah matahari.” Ketika masih nyantri di Madrasah Ibtidakyah NW Kotaraja, tentu filosofi matahari seperti yang Maulana Syeikh katakan itu belum dapat saya fahami. Baru setelah dewasa, banyak belajar kesana kemari, bahkan sampai luar negeri, saya mulai memahami, apa yang beliau maksudkan dengan “guru saya adalah matahari.”
Bahwa matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari, tentu kita tidak pernah akan dapat menikmati kehidupan ini. Matahari juga memberikan pelajaran dengan sifat-sifatnya yang sangat pasti. Terbit di pagi hari, tenggelam di sore hari. Menjadi penanda kehidupan, sekaligus menjadi pengatur kehidupan itu sendiri. Subhanallah. Dari matahari, kita bisa belajar untuk ihlas, yakin, dan istiqomah, seperti apa yang menjadi wasiat almagfurlah Maulana Syeikh. Itulah maknanya, filosofinya, yang dapat menjadi “guru” kita. Guru dalam kehidupan ini.
Memang benar, “hidup adalah perjuangan.” Artinya kita jangan cepat menyerah pada berbagai tantangan kehidupan. Yang dalam makna teori air, “senantiasa memanfaatkan peluang, betapapun kecilnya, tapi tidak terlalu ngotot, untuk sesuatu yang memang tidak mungkin kita lakukan. Karena memang kita harus tetap berjalan, meniti kehidupan kita masing-masing, dari waktu ke waktu. Dan benar juga, “hidup adalah perjalanan.”
Perjalanan-perjalanan yang mengesankan
Oleh ibu dan nenek saya, sewaktu kecil saya dibilang anak yang ‘ganjak.’ Artinya anak yang sering bepergian. Anak yang senang jalan-jalan. Kemana saja jalan. Semasih di desa, sewaktu masih sekolah dasar, kalau ada waktu libur sekolah, saya sering mengajak teman-teman sepermainan untuk jalan-jalan keluar desa. Dengan jalan kaki. Pergi pagi, pulang sore. Kadang kami ke tempat rekeasi di Tetebatu, atau jalan-jalan ke bukit-bukit atau ke sawah-sawah di sekitar desa. Pokoknya jalan-jalan. Setiap Hultah NWDI di Pancor, saya selalu diajak. Dan selama di Pancor, saya juga jalan jalan sendiri mencari kos paman-paman saya yang sekolah di sana.
Ketika di SMP, di Mataram, saya aktif di kepramukaan. Hoby saya yang senang jalan-jalan di sini tersalurkan. Hampir tiap abis kuartalan (bukan semesteran seperti sekarang) kami jalan-jalan. Istilah di pramuka adalah hiking atau mencari tanda jejak. Biasanya menyusuri jalan jalan dan perbukitan yang cukup melelahkan, seperti ke wilayah sekitar desa Mambalan Gunug Sari, atau ke lokasi perkemahan Karang Bayan Kecamatan Narmada. Meskipun daam kepramukaan dikenal istilah satuan terpisah, antara peremuan dan laki-laki, namun untuk kegiatan-kegiatan penjelajahan biasanya kami bersama-sama. Salah satu tugas yang sering saya laksanakan dan mengesankan adalah apabila melewati atau harus menyeberang sungai. Di sini biasanya kawan-kawan putri memerlukan bantuan yang putra, agar bisa melewati arus sungai sehingga tidak terbawa arus sungai. Di situlah saat saat yang biasanya, kita yang putra berkesempatan untuk “saling tolong menolong dan tabah,” kepada kawan-kawan putri. Dan berkesan.
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Menulis di media, maaf, merupakan salah satu hobi saya sejak duduk di bangku SMP. Beberapa kali tulisan tulisan saya, khususnya waktu itu berbentuk puisi, terpampang di majalah anak-anak “Si Kuncung.” Lantas tulisan tersebut saya pampangkan di majalah dinding sekolah agar lebih banyak lagi teman yang dapat membacanya. Demikian juga ketika duduk di bangku SMA. Saya aktif dan menjadi pengasuh majalah dinding sekolah.
Tatkala di bangku kuliah, tulisan saya seringkali muncul di koran mahasiswa nasional, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Maklum waktu itu sedang gencar gencarnya NKK BKK, sehingga dana cukup banyak tersedia untuk ‘menormalisasi kampus’ dimana termasuk didalamnya terbitan-terbitan majalah atau koran. Juga yang dihajatkan khusus untuk mahasiswa.
Lewat tulisan tulisan saya di koran itulah, saya menjadi dikenal di kampus. Memiliki lebih banyak teman. Termasuk teman-teman di kampus Fakultas Pertanian Unram. Ada beberapa senior dan dosen yang kemudian memperhatikan dan membina saya. Pada ujungnya, saya akhirnya menjadi aktivis kampus. Menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas, memimpin dan mendirikan majalah kampus Sativa, menjadi ketua dan pendiri Racana Pramuka Universitas, menjadi ketua dan pendiri Koran Kampus Mahasiswa Media, menjadi aktivis HMI, menjadi pengurus dari komisariat, cabang, dan terakhir Badko, aktivis Ikatan Senat Mahasiswa Sejenis di Indonesia Timur, dan lain-lain. Itulah salah sebabnya, mengapa saya tidak bisa memenuhi harapan orang tua untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Beberapa teman saya mampu empat tahun, kalau saya, pas enam tahun. Masuk 1980, keluar 1986.
Tapi berkat keaktifan saya itu pula, sebelum saya yudicium, saya ditawari untuk menjadi dosen oleh Dekan Fakultas Pertanian pada waktu itu, yaitu Bp Ir. Norberth Ama Ngongu. Saya ingat betul, salah satu kalimat beliau yang memotivasi saya. “sangatlah rugi daerah ini, kalau orang seperti saudara tidak mau menjadi dosen.” Pada akhirnya saya setuju, tentu setelah mempertimbangkan segala sesuatunya. Termasuk didalamnya, adalah pertimbangan bahwa kalau menjadi dosen, besar peluang untuk kuliah lagi, bahkan sampai ke luar negeri. Sebuah cita-cita saya semenjak duduk di bangku SMP. Pada waktu di SMP saya membayangkan betapa indahnya kalau saya bisa kuliah di luar negeri. Dimanapun.
Ketika pertama kali keluar daerah, waktu itu mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Sibolangit Sumatra Utara, tahun 1977, saya memang kemudian membayangkan kalau suatu ketika saya bisa keliling Indonesia. Setelah itu, berkelana ke luar negeri. Sebuah keinginan dari seorang Pramuka Penggalang, yang berkesempatan mengarungi samudra nan luas, berlayar menggunakan kapal besar dari Surabaya ke Medan, yaitu Kapal haji Mei Abeto, untuk mengikuti jambore tersebut. Beberapa hari di tengah laut, memberi kesempatan kepada saya untuk berhayal, bermimpi bahwa suatu ketika saya akan bisa juga ke daerah lain, atau bahkan ke negara lain. Dengan berlayar mengarungi samudra nan luas, saya dan juga teman-teman menyadari betapa luasnya negara yang bernama Indonesia. Kamipun kemudian menyadari betapa arti penting dan strategisnya negara besar yang bernama NKRI ini. Dalam perjalanan ditengah laut itu pula, dimana berkumpul para pramuka dari berbagai daerah di Indonesia, kami juga menyadari betapa banyaknya suku bangsa yang kemudian menyatukan tekad dalam wadah NKRI. Lagi lagi saya menyimpulkan, betapa kayanya dan luasnya NKRI.
Dari kenangan dalam benak itulah, mungkin, yang kemudian memberikan inspirasi pada saya, bahwa kalau menjadi dosen, harus bisa kuliah ke luar negeri. Titik. Setelah melewati proses seleksi dan sebagainya, maka sejak Maret 1987, resmilah saya memiliki NIP, menjadi PNS, menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unram. Terus terang, menjadi dosen, sebenarnya bukan cita cita saya sewaktu kecil.
Setamat dari bangku SMA, ayahanda saya sebenarnya ingin saya masuk di APDN. “biar kamu bisa menjadi camat, lantas menjadi Bupati, suatu hari nanti.” Kata beliau. Saya sendiri bercita cita menjadi insinyur teknik, lantas menjadi profesional, atau kemudian menjadi pengusaha. Ini terinspirasi dari seorang pengusaha, atau tepatnya pemborong, yang waktu itu cukup terkenal di Mataram. Padahal dia hanya tamat sekolah teknik menengah. ST atau STM. “apalagi kalau kita sarjana,” fikir saya waktu itu. Beberapa tahun, bapak saya pernah tinggal di rumah beliau, yang masih punya hubungan keluarga. Beberapa kali juga saya sempat berkunjung ke sana, dari desa. Maklum waktu itu, kami sekeluarga masih tinggal di desa, tepatnya di desa Kotaraja Lombok Timur, sementara Bapak saya di kota. Setelah saya menamatkan SD, baru kemudian kami boyongan pindah ke Kota Mataram. Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1974. Pada awalnya kami menyewa rumah di Gomong Lama. Saya masuk SMPN 2, sementara adik adik saya masuk di SDN 7 (waktu itu) yang lokasinya sekarang berdiri AMM.
Dan waktupun berlalu. Kadang terasa demikian cepat. Kadang juga lambat. Malah kadang menjenuhkan. Tapi itulah namanya perjalanan hidup. Dalam sebuah status di facebook saya pernah menulis…..”life is a journey.” Sewaktu aktif sebagai mentor di HMI, di era delapan puluhan, saya selalu memulai ceramah saya dengan mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Dan mungkin itulah yang senantiasa memotivasi diri saya, memberi semangat hidup bagi saya, untuk menjalani kehidupan ini.
Guru saya adalah air dan matahari, kata orang-orang bijak. Saya percaya sama teori yang mengatakan ikutlah seperti air mengalir. Dimana ada peluang, ke sana air mengalir. Tidak perlu terlalu ngotot untuk hal-hal yang memang terlalu sulit, atau malah tidak mungkin untuk dilampaui. Sementara yang mungkin, dan mudah juga cukup banyak. Mengapa kita tidak memaksimalkan yang seperti itu. Yang mungkin dan mudah.
Demikian pula dengan matahari. Seorang ulama besar dari Lombok Timur, yang juga pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, almagfurlah Maulana Syeikh, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, sering kali mengatakan “guru saya adalah matahari.” Ketika masih nyantri di Madrasah Ibtidakyah NW Kotaraja, tentu filosofi matahari seperti yang Maulana Syeikh katakan itu belum dapat saya fahami. Baru setelah dewasa, banyak belajar kesana kemari, bahkan sampai luar negeri, saya mulai memahami, apa yang beliau maksudkan dengan “guru saya adalah matahari.”
Bahwa matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari, tentu kita tidak pernah akan dapat menikmati kehidupan ini. Matahari juga memberikan pelajaran dengan sifat-sifatnya yang sangat pasti. Terbit di pagi hari, tenggelam di sore hari. Menjadi penanda kehidupan, sekaligus menjadi pengatur kehidupan itu sendiri. Subhanallah. Dari matahari, kita bisa belajar untuk ihlas, yakin, dan istiqomah, seperti apa yang menjadi wasiat almagfurlah Maulana Syeikh. Itulah maknanya, filosofinya, yang dapat menjadi “guru” kita. Guru dalam kehidupan ini.
Memang benar, “hidup adalah perjuangan.” Artinya kita jangan cepat menyerah pada berbagai tantangan kehidupan. Yang dalam makna teori air, “senantiasa memanfaatkan peluang, betapapun kecilnya, tapi tidak terlalu ngotot, untuk sesuatu yang memang tidak mungkin kita lakukan. Karena memang kita harus tetap berjalan, meniti kehidupan kita masing-masing, dari waktu ke waktu. Dan benar juga, “hidup adalah perjalanan.”
Perjalanan-perjalanan yang mengesankan
Oleh ibu dan nenek saya, sewaktu kecil saya dibilang anak yang ‘ganjak.’ Artinya anak yang sering bepergian. Anak yang senang jalan-jalan. Kemana saja jalan. Semasih di desa, sewaktu masih sekolah dasar, kalau ada waktu libur sekolah, saya sering mengajak teman-teman sepermainan untuk jalan-jalan keluar desa. Dengan jalan kaki. Pergi pagi, pulang sore. Kadang kami ke tempat rekeasi di Tetebatu, atau jalan-jalan ke bukit-bukit atau ke sawah-sawah di sekitar desa. Pokoknya jalan-jalan. Setiap Hultah NWDI di Pancor, saya selalu diajak. Dan selama di Pancor, saya juga jalan jalan sendiri mencari kos paman-paman saya yang sekolah di sana.
Ketika di SMP, di Mataram, saya aktif di kepramukaan. Hoby saya yang senang jalan-jalan di sini tersalurkan. Hampir tiap abis kuartalan (bukan semesteran seperti sekarang) kami jalan-jalan. Istilah di pramuka adalah hiking atau mencari tanda jejak. Biasanya menyusuri jalan jalan dan perbukitan yang cukup melelahkan, seperti ke wilayah sekitar desa Mambalan Gunug Sari, atau ke lokasi perkemahan Karang Bayan Kecamatan Narmada. Meskipun daam kepramukaan dikenal istilah satuan terpisah, antara peremuan dan laki-laki, namun untuk kegiatan-kegiatan penjelajahan biasanya kami bersama-sama. Salah satu tugas yang sering saya laksanakan dan mengesankan adalah apabila melewati atau harus menyeberang sungai. Di sini biasanya kawan-kawan putri memerlukan bantuan yang putra, agar bisa melewati arus sungai sehingga tidak terbawa arus sungai. Di situlah saat saat yang biasanya, kita yang putra berkesempatan untuk “saling tolong menolong dan tabah,” kepada kawan-kawan putri. Dan berkesan.
Pada tahun 1977 saya terpilih mewakili
gugus depan saya untuk mengikuti Jambore Nasional (Jamnas) Pramuka di Sibolangit
Sumatra Utara. Itulah kali pertama saya keluar daerah.
Dari Mataram rombongan naik bus ke
surabaya, kemudian dari surabaya ke Sumatra Utara kami naik Kapal Mei Abeto,
kapal laut yang biasanya dipakai untuk perjalanan naik haji. Rombongan dari beberapa propinsi bergabung di
Surabaya, antara lain dari Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan. Perjalanan yang juga mengesankan; karena
beberapa hari kami harus berada di laut lepas, dalam perjalanan dari Tanjung
Perak Surabaya, ke Pelabuhan Belawan Sumatra Utara. Di kapal ini pula
kesempatan bagi kami untuk saling kenal mengenal dengan teman-teman dari daerah
lain.
Pada tahun berikutnya, 1978, saya juga
terpilih mengikuti kegiatan Pramuka Penegak, Raimuna Nasional di Karang Kates
Malang Jawa Timur. Salah satu
pengalaman yang cukup berkesan dalam mengikuti raimuna ini adalah karena salah satu kegiatannya adalah memberi
kesempatan kepada peserta untuk jalan jalan di udara dengan menggunakan pesawat
hercules. Kesempatan yang tentu tidak
saya sia siakan, dan itulah kali pertama saya naik pesawat terbang. Sebelum take off, petugas dari AU
yangmenyertai kami memeriksa semua penumpang, apakah sudah semua pakai sabuk
pengaman. Waktu itu, saya duduk di sebelah kawan penegak putri dari Magetan.
Ketika sang petugas tadi mendekati saya, ternyata sabuk yang ada tinggal
satu. Padahal yang belum pakai sabuk,
kami berdua. Akhirnya, kami diperintah
untuk menggunakan satu sabuk tadi untuk berdua.
Untuk diketahui, tempat duduk di pesawat hercules yang kami naiki bukan
seperti pesawat terbang komersial. Tempat
duduknya bersap dua baris, saling berhadapan.
Sehingga kalaupun satu sabuk saya pakai berdua, tidak terlalu masalah.
Saya masih bisa leluasa bergerak, termasuk ketika teman saya itu mabuk, saya
bisa membantu dia agar mengurangi rasa mabuknya.
Pada tahun 1981, utusan dari Pramuka
saya mengikuti Program Pertukaran Pemuda ASEAN dan Jepang atau yang dikenal
dengan Program Southeast Asian Youth Program atau Nipponmaru Program. Disebut Nipponmaru, karena kapal pesiar yang dipergunakan dalam program ini
bernama Nippon Maru. Selama dua setengah
bulan di laut. Di setiap negara peserta, yaitu Filipina, Indonesia, Singapura,
Malaysia, Thailand dan Jepang, kami singgah dan melakukan berbagai kegiatan di
darat. Acara wajibnya adalah cortesy
call atau kunjungan kehormatan ke kepala-kepala negara masing-masing.
Di Filipina, yang menjadi negara
pertama tempat berkumpul seluruh peserta, kami diterima dan sekaligus dilepas
oleh Presiden Filipina Ferdinand Marcos.
Di Indonesia, kami diterima oleh Wakil Presiden Adam Malik, di Singapura
oleh Perdana Mentri Lee Kwan Yu, Di Malaysia oleh Perdana Mentri Malaysia, di
Thailand oleh Perdana Menteri Thailand, dan di Jepang oleh Perdana Mentri
Jepang langsung Mr. Suzuki.
Gara-gara
tulisan
Sewaktu menjadi mahasiswa di Fakultas
Pertnian Unram, saya senang mengikuti berbagai lomba karya tulis. Dan
alhamdulillah, gara gara itu saya sering ke Jakarta, untuk mengikuti acara
penerimaan hadiahnya. Diantaranya adalah lomba karya tulis yang dilaksanakan
oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam rangkaian acara Musyawarah Nasionalnya.
Alhamdulillah saya dapat menjadi finalis, dan akhirnya juara harapan satu.
Namun dengan itu saya diundang mengikuti acara pembukaan Munas MUI di Jakarta,
dan berkesempatan untuk bersilaturahim dengan tokoh-tokoh agama se
Indonesia. Saya ingat betul waktu itu
saya dapat berbincang-bincang dengan almarhum Gus Dur, almarhum Daud Beraureh,
almarhum Lukman Hakim, dan lain-lain.
Bahkan Gus Dur sempat memegang pundak saya sambil menasihati agar saya
terus menulis.
Saya juga sempat menjadi finalis Lomba
Karya Ilmiah Remaja yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dimana melalui acara itu saya bertemu dengan Menteri Daud Yusuf,
dan tokoh pendidikan Andi Hakim Nasution.
Kami juga diikutkan pada upacara hari kemerdekaan di Istana Negara.
Saya juga pernah menang dalam Lomba
Karya Tulis yang diselenggarakan Departemen Perindustrian, yang memberi
kesempatan saya dan para pemenang lainnya mengunjungi beberapa sentra industri di Jawa
Timur.
Terakhir, tatkala baru masuk jadi
dosen, saya iseng-iseng ikut seleksi
program IATSS Forum di Jepang selama tiga bulan. Hanya menulis lima halaman folio,
saya mengetik dengan mesin ketik biasa, alhamdulillah, pada tahun 1988 saya
lolos bersama dengan 18 orang peserta lain se Indonesia untuk mengikuti Program
International Association of Traffic and Safety Sciences. Kami ber kampus di Suzuka Jepang. Intinya adalah belajar tentang berbagai hal
yang menyangkut kemajuan Jepang, melalui kegiatan ceramah di dalam klas dan
kunjungan ke berbagai daerah di Jepang.
Masa
sekolah di Amerika
Untuk siapapun, saya kira, masa masa sekolah
biasanya adalah masa masa yang paling indah.
Apalagi bila berkesempatan sekolah di luar negeri, di negara maju
seperti Amerika, Australia, atau Jepang.
Sebabnya sederhana, ketika kita sekolah, kita tidak punya beban yang
banyak. Tidak ada tanggung jawab kerja yang berat, kecuali belajar, belajar,
dan belajar. Saking indahnya, banyak juga kawan kawan saya yang terlena, sampai
akhirnya tidak dapat menyelesaikan sekolahnya tepat waktu. Bahkan kemudian gagal.
Saya sendiri pertama kali berangkat
untuk S2 ke USA pada bulan September 1990.
Anak saya yang pertama waktu itu baru berusia lima setengah bulan. Memang terasa agak berat, tapi yaa harus saya
jalani. Beasiswa dari OTO Bappenas waktu itu tidak memungkinkan saya untuk
membawa keluarga. Sehingga selama S2 di The Ohio State University, Columbus OH,
saya menjalaninya sendirian. Baru ketika
S3, dua tahun kemudian, pada tanggal 25 Desember 1992, saya membawa keluarga,
Silmi Rosmala Hayati, dan mamanya. Dua tahun menemani saya, Desember 1994 kami
balik ke Indonesia. Kebetulan waktu itu saya pulang untuk mengambil data
penelitian disertasi selama tiga bulan. September 1995, saya wisuda Doctor of
Philosophy di bidang Rural Sociology dengan disertasi saya yang berjudul:
“Status Attainment, Human Capital, and Religiosity in Indonesia: a case study
of West Nusa Tenggara.”
Dua tahun bersama keluarga dalam tugas
belajar serasa cepat sekali. Mungkin
masa masa itu yang dibilang sebagai masa masa indah, yang takkan
terlupakan. Masa masa yang terbebas dari
tanggung jawab kerja, tanggung jawab di kampus, ataupun di kantor. Tugas saya hanya belajar. Namun untuk
mencukupi kebutuhan hidup, biar ada tambahan untuk dipergunakan jalan jalan
semasa liburan, saya sempatkan juga bekerja part time. Pernah kerja di perpustakaan. Juga pernah di tempat parkir kendaraan. Setiap dua minggu gajian, dan lumayanlah bisa
ditabung, buat rekreasi akhir bulan ataupun setiap liburan musim panas.
Biasanya, setiap liburan panjang,
bersama teman-teman lain kita menyewa minibus, kendaraan yang dapat berisi
sampai delapan orang. Biasanya kita patungan. Pernah ke Wahington DC, New York, Niagara
Falls, bahkan pernah juga nyeberang ke Kanada.
Ke Montreal dan ibukota lamanya, yaitu Quebec. Untuk menikmati Niagara Falls, ternyata lebih
indah kalau dilihat dari sisi Kanada.
Maklum sungai niagara ini adalah pembatas antara negara Amerika Serikat
dengan Kanada.
Salah satu bentuk rekreasi murah meriah
semasa di Amerika, utamanya pada musim semi adalah jalan jalan mencari barang
barang di 'garage sale.' Garage sale
adalah tradisi masyarakat amerika, pada musim semi atau panas. Pada saat itu keluarga menjual barang barang
mereka yang sudah tidak terpakai lagi, dengan harga murah. Mulai dari pakaian, perabotan dapur,
buku-buku bacaan, dan perkakas rumah tangga.
Saya perhatikan, melalui garage sale ini juga mereka bersilaturahmi
antara rumah tangga yang satu dengan rumah tangga yang lain. Juga antara pembeli dan penjual. Jadi masalah laku dan tidak bukan soal. Bagi
kita mahasiswa, yang dicari adalah barang barang peralatan dapur seperti
microwave, pembuat jus, dan lain-lain. Kadang kadang dapat juga buku buku yang
memang masih dibutuhkan. Atau TV atau
video player yang masih baik dengan harga sangat murah. Tapi intinya, jalan-jalan ke tempat loksi
garage sale memang menjadi kenangan sendiri.
Sebuah budaya khas Amrika atau mungkin juga Eropah. Suatu ketika, mungkin budaya itu dapat juga
kita tiru. Agar barang barang yang
mungkin sudah kita tidak perlukan lagi tidak memenuhi ruang-ruang lemari atau
kamar kita. Kita jual murah, atau kita
sedekahkan kepada mereka yang masih membutuhkannya.
Perjalanan
terjauh
Hidup adalah perjalanan. Dan memang
demikianlah adanya. Secara harfiah,
ternyata cukup panjang juga perjalanan yang pernah saya jalani. Hampir semua benua pernah saya tapaki. Kecuali
Afrika. Ya, saya belum pernah ke salah
satu negara yang masuk benua Afrika. Kalau Amerika, Australia, Eropah, dan
tentu saja beberapa negara Asia selain Indonesia, sudah pernah saya
kunjungi. Kecuali untuk sekolah, saya
mengunjungi negara-negara tersebut dalam rangka seminar ilmiah bertaraf
internasional. Yang paling banyak adalah negara negara di Asia,
karena saya menjadi salah seorang pengurus Asian Rural Sociology Association
(ARSA).
Namun yang paling jauh yang pernah saya
lalui adalah ketika mengikuti World Congress of International Rural Sociology Association
di Rio de Janeiro, Brazilia. Kalau nggak
salah ingat, tahun 2000. Makalah yang
saya kirim ke panitia ternyata lolos untuk dipresentasikan dalam kongres
tersebut. Sedangkan untuk pembiayaan
keberangkatannya, saya mendapatkan sponsor dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Depdikbud. Kebetulan waktu itu
ada program khusus bagi mereka yang baru menyelesaikan doktornya.
Saya katakan perjalanan yang terjauh
yang pernah saya jalani, karena memang perjalanan menuju Rio de Janeiro itu
panjang sekali. Bayangkan. Saya
berangkat dari Mataram, menuju Jakarta.
Dari Jakarta ke Singapura. Dari
Singapura kemudian ke London, Inggris.
Baru dari London, terbang ke Sao Paulo, sebelum kemudian terbang Rio de
Janeiro, ibu kota Brazil. Kalau lihat di
peta globe, untuk ke Rio itu, kita harus mengitari tiga perempat belahan bumi.
Yang paling mengesankan adalah ketika
berada di atas samudra atlantik.
Kelihatan di layar tv di atas pesawat, betapa jauhnya perjalanan antara
London dan Brazil, sementara di bawahnya terbentang luas samudra atlatik nan
biru. Subhanallah. Hanya kalimat itu
yang terbersit dalam benak saya, ketika berada di dalam pesawat yang
menerbangkan saya dari London ke Rio.
Berada di tengah-tengah penumpang yang semuanya bule. Hanya saya yang berkulit sawo matang, dari
Indonesia. Perjalanan panjang yang tak
pernah terbayangkan sebelumnya. Dan mungkin
juga setelahnya.
Wallahu ‘alam bissawab.
Langganan:
Postingan (Atom)