Membangun LECI, meniru Cina
atau Singapura?
LECI, atau Lombok as Ecocity
Island adalah sebuah gagasan untuk membangun Pulau Lombok dengan mengedepankan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Bahkan sering saya katakan, ini adalah sebuah paradigma. Paradigma pembangunan, yang memang didasari
pada suatu kaidah keilmuan, bagaimana kita membangun dengan memperhatikan
teori-teori pembangunan. Teori-teori
adalah pilihan-pilihan. Kita harus memilih dari berbagai teori yang ada.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan
(lahan, kota,
bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa
depan." Menurut Brundtland Report dari PBB, (1987), pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable
development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Banyak
laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005,
yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Untuk
sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan
ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka
panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep
"pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi
itu sendiri terbatas.
Pilihan terhadap "sustainable development paradigm" kemudian
dijabarkan dalam bentuk LECI didasarkan pada kenyataan bahwa Nusa Tenggara
Barat adalah gugusan pulau-pulau kecil, atau relatif kecil. Ada lebih dari 280 pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Sementara ‘main island’nya adalah Lombok dan
Sumbawa. Yang juga relatif kecil.
Lombok, khususnya, dengan luas sekitar 5000 km persegi dan dihuni lebih
dari 3 juta manusia, menjadi pulau yang terpadat ketiga di Indonesia, setelah
Jawa dan Bali. Artinya, jika tidak
dikelola dengan baik, dengan pilihan kebijakan yang tepat, maka daya dukung
Pulau Lombok terhadap kehidupan di atasnya, akan dapat segera tergerus.
Lombok, dengan luas areal pulaunya yang relatif kecil itu
lambat laun pasti akan menjadi Kota Pulau; seperti halnya Singapura sekarang.
Desa-desa dan kelurahan akan berkembang sedemikian rupa, sehingga pada waktunya
nanti tidak akan ada pembatasnya. Jika
sekarang masih dapat dilihat dengan jelas, pembatas antara desa yang satu
dengan yang lain, yaitu bentangan sawah atau rimbunnya kebun, maka suatu ketika
nanti, bentangan swah dan kebun itu akan menjadi bangunan-bangunan dengan
karakter yang jauh berbeda sama sekali dibandingkan dengan pertanaman yang
memberi rona kehidupan masyarakat.
Belajar dari Singapura dan China
Kalau kita lihat model pembangunan di Singapura, maka hal
pertama yang akan mengesankan kita adalah infrastruktur jalannya yang baik
sekali. Baik dalam hal penataannya,
maupun dalam hal kualitas serta volume ruas jalan-jalan tersebut. Mungkin tidak ada jalan di Singapura yang
sempit. Semua ruas jalan lebar-lebar,
sehingga dapat ditata menjadi dua jalur, empat lajur. Bahkan ada yang dua jalur, enam lajur. Sehingga kemana saja kita bepergian, kita
dapat dengan mudah mengendarai kendaraan umum ataupun pribadi. Padahal luas Singapura, mungkin sepersepuluh
luas Pulau Lombok.
Menyadari luas wilayahnya yang seperti itu, sejak awal,
desain pembangunan property di Singapura dibuat keatas. Artinya, tidak ada rumah atau pemukiman penduduk
atau kantor yang tidak bertingkat. Kalau
dalam bahasa melayu, rumah pangsa. Sebab
lahan mereka memang sangat terbatas.
Dengan jumlah penduduk yang relatif padat, mereka memang tidak ada
pilihan lain. Kalaupun mereka melakukan
reklamasi pantai, potensinya juga terbatas, disamping memerlukan biaya yang
tidak sedikit.
Namun yang menarik, meski daratannya sangat luas, ketika
saya mengunjungi Beijing China, dan sempat berkeliling ke daerah pedsaan di
China, ternyata pola ‘”membangun ke atas” ini juga diterapkan di
pedesaan-pedesaan di China. Program ini
dimulai di awal era delapan puluh atau sembilan puluhan. Desa-desa yang padat penduduknya, dengan
pola pemukiman yang konvnesional, menyebabkan dua hal: pertama, laju alih
fungsi lahan pertanian sangat tinggi.
Persawahan dengan cepat berganti menjadi tempat pemukiman, pembangunan perumahan penduduk, yang memang tidak mungkin dihindari. Kedua, dengan pola pemukiman padat seperti
itu, rumah yang dibangun kecil-kecil, dan area terbuka hijuanya menjadi sangat
terbatas, ataupun bahkan tidak ada.
Anak-anak menjadi tidak memiliki tempat untuk bermain di luar jam
sekolah.
Nampaknya dari fenomena ini kemudian China membuat kebijakan
apa yang disebut “rural restoration”
yang intinya, membangun pemukiman dengan pola ke atas. Sehingga, katakanlah satu kampung yang padat
dengan penduduk, katakanlah seribu KK, pola pemukiman padat tanpa ada RTHnya,
maka kampung itu diratakan dulu dengan tanah.
Rumah-rumah di situ kemudian dihancurkan, dan disitulah dibangun rumah
tingkat yang kemudian dapat menampung seribu KK. Karena membangun ke atas, maka lingkungan
yang tadinya tidak memiliki RTH, akan memiliki RTH yang cukup, untuk keperluan
pelestarian lingkungan dan juga untuk tempat bermain anak-anak atau
keluarga. Dengan demikian, tumbuh
kembang anak dan generasi muda pedesaan di China akan menjadi lebih baik ke
depan. Lingkungan pedesaan juga akan
menjadi lebih asri. Laju alih fungsi
lahan pertanian juga akan dapat dikendalikan.
Dalam fikiran saya, kita dapat membangun Pulau Lombok seperti
itu. Meniru apa yang telah dilakukan
oleh Singapura dan China. Dalam hal
konektivitas, semua sudut di Lombok ini, khususnya sumbu-sumbu pertumbuhan
ekonomi harus dapat terhubungkan dengan infrastruktur jalan yang lebar dan
mulus. Laju konversi lahan pertanian
harus dapat dikendalikan dengan pola pendekatan “membangun ke atas.” Dengan pola membangun ke atas ini, kita akan
tetap dapat mempertahankan ruang terbuka hijau, ruang yang luas untuk anak-anak
bermain, atau tempat kita ‘menghirup udara segar.’ Rumah-rumah susun, seperti di Cina, tidak
saja mewarnai kota-kota besar, tapi juga desa-desa. Bahkan desa-desa di Cina yang tadinya padat
dengan pemukiman tradisional dan tidak memiliki RTH, banyak yang sudah dipoles
ulang. Rumah-rumah tersebut diratakan
dengan tanah, kemudian dibangun rumah susun yang tinggi, sehingga dapat
menyisakan paling tidak 30-40% nya sebagai RTH-nya. SPM di bidang perumahan menjadi lebih
komplit; ada rumah, ada ruang terbuka hijaunya, atau tempat bermain anak dan
juga tempat berolah raga keluarga.
Bukankah untuk kehidupan yang sehat, kita membutuhkan disamping pangan,
sandang, dan papan, juga olah raga dan rekreasi. Maka, ketika dengan pola
perumahan konvensional ternyata tidak dapat memenuhi salah satu kebutuhan
tersebut, dalam hal ini adalah RTH, maka China segera mengadakan restorasi. Merubah
pola pembangunan horizontal menjadi vertikal. Inilah yang mungkin menarik untuk
kita tiru, dalam konteks membangun Lombok as Ecocity Island, atau LECI. Wallahu
a’lam bissawab. (Mataram, 170414)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar