Kamis, 17 April 2014

LECI, MENIRU SINGAPURA DAN CHINA



Membangun LECI, meniru Cina atau Singapura?

LECI, atau Lombok as Ecocity Island adalah sebuah gagasan untuk membangun Pulau Lombok dengan mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.  Bahkan sering saya katakan, ini adalah sebuah paradigma.  Paradigma pembangunan, yang memang didasari pada suatu kaidah keilmuan, bagaimana kita membangun dengan memperhatikan teori-teori pembangunan.  Teori-teori adalah pilihan-pilihan. Kita harus memilih dari berbagai teori yang ada.

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan." Menurut Brundtland Report dari PBB, (1987), pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas. 

Pilihan terhadap "sustainable development paradigm" kemudian dijabarkan dalam bentuk LECI didasarkan pada kenyataan bahwa Nusa Tenggara Barat adalah gugusan pulau-pulau kecil, atau relatif kecil.  Ada lebih dari 280 pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni.  Sementara ‘main island’nya adalah Lombok dan Sumbawa. Yang juga relatif kecil.  Lombok, khususnya, dengan luas sekitar 5000 km persegi dan dihuni lebih dari 3 juta manusia, menjadi pulau yang terpadat ketiga di Indonesia, setelah Jawa dan Bali.   Artinya, jika tidak dikelola dengan baik, dengan pilihan kebijakan yang tepat, maka daya dukung Pulau Lombok terhadap kehidupan di atasnya, akan dapat segera tergerus.

Lombok, dengan luas areal pulaunya yang relatif kecil itu lambat laun pasti akan menjadi Kota Pulau; seperti halnya Singapura sekarang. Desa-desa dan kelurahan akan berkembang sedemikian rupa, sehingga pada waktunya nanti tidak akan ada pembatasnya.  Jika sekarang masih dapat dilihat dengan jelas, pembatas antara desa yang satu dengan yang lain, yaitu bentangan sawah atau rimbunnya kebun, maka suatu ketika nanti, bentangan swah dan kebun itu akan menjadi bangunan-bangunan dengan karakter yang jauh berbeda sama sekali dibandingkan dengan pertanaman yang memberi rona kehidupan masyarakat.

Belajar dari Singapura dan China
Kalau kita lihat model pembangunan di Singapura, maka hal pertama yang akan mengesankan kita adalah infrastruktur jalannya yang baik sekali.  Baik dalam hal penataannya, maupun dalam hal kualitas serta volume ruas jalan-jalan tersebut.  Mungkin tidak ada jalan di Singapura yang sempit.  Semua ruas jalan lebar-lebar, sehingga dapat ditata menjadi dua jalur, empat lajur.  Bahkan ada yang dua jalur, enam lajur.   Sehingga kemana saja kita bepergian, kita dapat dengan mudah mengendarai kendaraan umum ataupun pribadi.  Padahal luas Singapura, mungkin sepersepuluh luas Pulau Lombok.

Menyadari luas wilayahnya yang seperti itu, sejak awal, desain pembangunan property di Singapura dibuat keatas.  Artinya, tidak ada rumah atau pemukiman penduduk atau kantor yang tidak bertingkat.  Kalau dalam bahasa melayu, rumah pangsa.  Sebab lahan mereka memang sangat terbatas.  Dengan jumlah penduduk yang relatif padat, mereka memang tidak ada pilihan lain.  Kalaupun mereka melakukan reklamasi pantai, potensinya juga terbatas, disamping memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Namun yang menarik, meski daratannya sangat luas, ketika saya mengunjungi Beijing China, dan sempat berkeliling ke daerah pedsaan di China, ternyata pola ‘”membangun ke atas” ini juga diterapkan di pedesaan-pedesaan di China.  Program ini dimulai di awal era delapan puluh atau sembilan puluhan.   Desa-desa yang padat penduduknya, dengan pola pemukiman yang konvnesional, menyebabkan dua hal: pertama, laju alih fungsi lahan pertanian sangat tinggi.  Persawahan dengan cepat berganti menjadi tempat pemukiman, pembangunan perumahan penduduk, yang memang tidak mungkin dihindari.  Kedua, dengan pola pemukiman padat seperti itu, rumah yang dibangun kecil-kecil, dan area terbuka hijuanya menjadi sangat terbatas, ataupun bahkan tidak ada.  Anak-anak menjadi tidak memiliki tempat untuk bermain di luar jam sekolah.

Nampaknya dari fenomena ini kemudian China membuat kebijakan apa yang disebut “rural restoration”  yang intinya, membangun pemukiman dengan pola ke atas.  Sehingga, katakanlah satu kampung yang padat dengan penduduk, katakanlah seribu KK, pola pemukiman padat tanpa ada RTHnya, maka kampung itu diratakan dulu dengan tanah.  Rumah-rumah di situ kemudian dihancurkan, dan disitulah dibangun rumah tingkat yang kemudian dapat menampung seribu KK.   Karena membangun ke atas, maka lingkungan yang tadinya tidak memiliki RTH, akan memiliki RTH yang cukup, untuk keperluan pelestarian lingkungan dan juga untuk tempat bermain anak-anak atau keluarga.  Dengan demikian, tumbuh kembang anak dan generasi muda pedesaan di China akan menjadi lebih baik ke depan.  Lingkungan pedesaan juga akan menjadi lebih asri.  Laju alih fungsi lahan pertanian juga akan dapat dikendalikan.

Dalam fikiran saya, kita dapat membangun Pulau Lombok  seperti itu.  Meniru apa yang telah dilakukan oleh Singapura dan China.   Dalam hal konektivitas, semua sudut di Lombok ini, khususnya sumbu-sumbu pertumbuhan ekonomi harus dapat terhubungkan dengan infrastruktur jalan yang lebar dan mulus.   Laju konversi lahan pertanian harus dapat dikendalikan dengan pola pendekatan “membangun ke atas.”  Dengan pola membangun ke atas ini, kita akan tetap dapat mempertahankan ruang terbuka hijau, ruang yang luas untuk anak-anak bermain, atau tempat kita ‘menghirup udara segar.’  Rumah-rumah susun, seperti di Cina, tidak saja mewarnai kota-kota besar, tapi juga desa-desa.   Bahkan desa-desa di Cina yang tadinya padat dengan pemukiman tradisional dan tidak memiliki RTH, banyak yang sudah dipoles ulang.  Rumah-rumah tersebut diratakan dengan tanah, kemudian dibangun rumah susun yang tinggi, sehingga dapat menyisakan paling tidak 30-40% nya sebagai RTH-nya.  SPM di bidang perumahan menjadi lebih komplit; ada rumah, ada ruang terbuka hijaunya, atau tempat bermain anak dan juga tempat berolah raga keluarga.  Bukankah untuk kehidupan yang sehat, kita membutuhkan disamping pangan, sandang, dan papan, juga olah raga dan rekreasi. Maka, ketika dengan pola perumahan konvensional ternyata tidak dapat memenuhi salah satu kebutuhan tersebut, dalam hal ini adalah RTH, maka China segera mengadakan restorasi. Merubah pola pembangunan horizontal menjadi vertikal. Inilah yang mungkin menarik untuk kita tiru, dalam konteks membangun Lombok as Ecocity Island, atau LECI. Wallahu a’lam bissawab. (Mataram, 170414)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar