Kamis, 17 April 2014

MEMBANGUN TANPA UANG NEGARA



ADALAH Dr. Sondiamar, staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, yang pertama kali saya dengar mengeluarkan istilah seperti judul tulisan ini. Bagaimana kita bisa membangun daerah atau Negara ini tanpa uang Negara. Maksudnya? Tentu dengan menggunakan uang dari swasta murni, atau masyarakat itu sendiri.

Caranya? Itulah yang dia ungkapkan ketika menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam acara seminar percepatan pembangunan infrastruktur strategis di Mataram, beberapa waktu lalu, atas undangan Bappeda NTB. Membangun tidak selalu harus menggunakan uang negara, kata dia. Dan memang demikianlah adanya, senyatanya.

Kapasitas dana pemerintah untuk membangun bangsa ini sesungguhnya hanya 20 persen saja dari yang dibutuhkan. Bahkan bisa kurang dari itu.  Jawa Timur, sebagai contoh. Kalau APBD-nya sih kurang lebih Rp 10 tiliun saja. Tapi, dana pembangunan yang bergerak di Jawa Timur per tahun tidak kurang dari Rp 100 triliun. Fantastis: tapi dari mana uangnya? Ya, itulah yang dimaksudkan Sondiamar. “Dari pihak swasta,” sebutnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan pengaturan (peraturan perundang-undangan) mengenai hal ini sudah sangat lengkap.

Sehari sebelum menjadi pembicara, kami sempat mengajak Sondiamar, yang ahli kelautan atau pelabuhan laut tersebut, jalan-jalan ke Teluk Awang. Ia tampak sangat terkesan dengan mulut teluk yang sangat ideal, dengan panjang sekitar 2,5 kilometer itu. Demikian pula dengan potensi daratannya yang relatif landai dan cukup luas. Sejurus ia melontarkan pemikiran, “kalau saja pemerintah yang menguasai lahan daratannya, maka akan sangat mudah untuk ‘menjual’ kawasan tersebut kepada para pemilik kapal-kapal besar dunia untuk dijadikan pelabuhan internasional.”

Tapi lambat atau cepat, menurutnya, pelabuhan alternatif setelah Singapura sangat diperlukan, di sepanjang jalur lalu lintas internasional yang melewati Selat Lombok. Karena kapal kapal dunia akan menjadi semakin besar dan semakin berat, sementara Selat Malaka akan menjadi semakin padat namun tidak semakin dalam. Oleh karena itu, ALKI di Indonesialah alternatif satu-satunya. Termasuk Selat Lombok.

Kita bisa membuat “Singapura Besar di Lombok,” ujar Sondiamar mengutip kawannya yang di Eropah sana. Kawan-kawan Sondiamar yang ahli kepelabuhanan melihat potensi Lombok yang luar biasa ke depan. Syaratnya tentu, para pengambil kebijakan harus dapat memanfaatkan potensi strategis letak Pulau Lombok dan Selat Lombok, seperti yang seringkali kita ungkapkan dalam berbagai presentasi.

Persoalanya memang, ya, satu itu. Kapasitas fiskal NTB yang tidak memungkinkan untuk mewujudkan impianmenjadikan Lombok sebagai Singapura Besar (karena memang luasnya jauh
lebih besar ketimbang Singapura). Satu-satunya jalan adalah menarik investor, membuat kebijakan yang menarik bagi para investor, dan aktif berpromosi kemana-mana. Yang tidak kalah pentingnya lagi, dan sudah kita mulai lakukan adalah menyelesaikan persoalan infrastruktur jalan, listrik, fasilitas air minum, dan lain-lain. Tak kalah pentingnya juga adalah mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) agar tidak menjadi penonton di panggung sendiri.

Ketika saya ajukan pertanyaan kepada Sondiamar, bagaimana caranya menarik investor agar mereka mau membuat pelabuhan di Teluk Awang? Beliau bilang, siapkan lahan sepuluh ribu hektare, berikan mereka secara “cuma-cuma,” artinya Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Pemanfaatan Lahan (HPL), atau apalah namanya. Yang jelas untuk yang 10 ribu hektare, mereka tidak perlu keluarkan duit. Ijinnya jangan berbelit-belit. Nah, bukankah, setelah lahan tersebut mulai terbangun, harga lahan di sekitarnya akan meningkat tajam? Mungkin lebih dari sepuluh kali lipat dari harga sebelumnya? Di situlah letak kompensasinya.

Pembelinya nanti juga pasti mereka, atau kawan-kawan mereka, mitra kerja mereka sesama investor, untuk membangun industri, membangun kawasan kota baru. Dan karena yang membuat pelabuhan itu para pemilik kapal, maka pastilah pelabuhan tersebut akan menjadi ramai. “Kalau kita yang bangun pelabuhan, belum tentu ramai, belum tentu ada yang mau singgah juga,” kata Sondiamar. Masuk akal juga, pikir saya.

Yang terbersit di benak saya kemudian, jikalau kita kumpulkan semua para pemilik lahan, lantas kita buatkan perusahaan atau koperasi, atau apapun namanya, dan inilah yang akan membangun komunikasi dengan pemerintah. Untuk selanjutnya pemerintah berkomunikasi dengan investor. Katakanlah terkumpul lahan 15-20 ribu hektare. Setengahnya kita ‘gratiskan’ kepada para investor, seperti yang dikatakan Sondiamar. Kemudian setengahnya lagi dijual.

Dengan hasil penjualan yang setengah bagian itu, sesungguhnya kita akan mendapatkan uang yang sekaligus termasuk nilai lahan yang kita gratiskan. Padahal yang kita gratiskan pun tidak kita lepas percuma. Dapat saja dia menjadi saham kita kelak, yang royalti atau dividennya dapat kita nikmati, ketika perusahaan yang membangun di atas tanah tersebut mulai mendapatkan keuntungan kelak di kemudian hari. Sesederhana itu. It’s that a simple.

Pertanyaannya adalah kapan kita mulai, dan siapa yang akan memulai? Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar