ADALAH Dr.
Sondiamar, staf ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, yang pertama
kali saya dengar mengeluarkan istilah seperti judul tulisan ini. Bagaimana kita
bisa membangun daerah atau Negara ini tanpa uang Negara. Maksudnya? Tentu
dengan menggunakan uang dari swasta murni, atau masyarakat itu sendiri.
Caranya?
Itulah yang dia ungkapkan ketika menjadi pembicara kunci (keynote speaker)
dalam acara seminar percepatan pembangunan infrastruktur strategis di Mataram,
beberapa waktu lalu, atas undangan Bappeda NTB. Membangun tidak selalu harus
menggunakan uang negara, kata dia. Dan memang demikianlah adanya, senyatanya.
Kapasitas
dana pemerintah untuk membangun bangsa ini sesungguhnya hanya 20 persen saja
dari yang dibutuhkan. Bahkan bisa kurang dari itu. Jawa Timur, sebagai contoh. Kalau APBD-nya
sih kurang lebih Rp 10 tiliun saja. Tapi, dana pembangunan yang bergerak di
Jawa Timur per tahun tidak kurang dari Rp 100 triliun. Fantastis: tapi dari
mana uangnya? Ya, itulah yang dimaksudkan Sondiamar. “Dari pihak swasta,”
sebutnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan pengaturan (peraturan perundang-undangan)
mengenai hal ini sudah sangat lengkap.
Sehari
sebelum menjadi pembicara, kami sempat mengajak Sondiamar, yang ahli kelautan atau
pelabuhan laut tersebut, jalan-jalan ke Teluk Awang. Ia tampak sangat terkesan
dengan mulut teluk yang sangat ideal, dengan panjang sekitar 2,5 kilometer itu.
Demikian pula dengan potensi daratannya yang relatif landai dan cukup luas.
Sejurus ia melontarkan pemikiran, “kalau saja pemerintah yang menguasai lahan
daratannya, maka akan sangat mudah untuk ‘menjual’ kawasan tersebut kepada para
pemilik kapal-kapal besar dunia untuk dijadikan pelabuhan internasional.”
Tapi
lambat atau cepat, menurutnya, pelabuhan alternatif setelah Singapura sangat
diperlukan, di sepanjang jalur lalu lintas internasional yang melewati Selat
Lombok. Karena kapal kapal dunia akan menjadi semakin besar dan semakin berat,
sementara Selat Malaka akan menjadi semakin padat namun tidak semakin dalam.
Oleh karena itu, ALKI di Indonesialah alternatif satu-satunya. Termasuk Selat Lombok.
Kita bisa
membuat “Singapura Besar di Lombok,” ujar Sondiamar mengutip kawannya yang di
Eropah sana. Kawan-kawan Sondiamar yang ahli kepelabuhanan melihat potensi
Lombok yang luar biasa ke depan. Syaratnya tentu, para pengambil kebijakan
harus dapat memanfaatkan potensi strategis letak Pulau Lombok dan Selat Lombok,
seperti yang seringkali kita ungkapkan dalam berbagai presentasi.
Persoalanya
memang, ya, satu itu. Kapasitas fiskal NTB yang tidak memungkinkan untuk
mewujudkan impianmenjadikan Lombok sebagai Singapura Besar (karena memang
luasnya jauh
lebih
besar ketimbang Singapura). Satu-satunya jalan adalah menarik investor, membuat
kebijakan yang menarik bagi para investor, dan aktif berpromosi kemana-mana.
Yang tidak kalah pentingnya lagi, dan sudah kita mulai lakukan adalah
menyelesaikan persoalan infrastruktur jalan, listrik, fasilitas air minum, dan
lain-lain. Tak kalah pentingnya juga adalah mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM)
agar tidak menjadi penonton di panggung sendiri.
Ketika
saya ajukan pertanyaan kepada Sondiamar, bagaimana caranya menarik investor agar
mereka mau membuat pelabuhan di Teluk Awang? Beliau bilang, siapkan lahan
sepuluh ribu hektare, berikan mereka secara “cuma-cuma,” artinya Hak Guna Usaha
(HGU), atau Hak Pemanfaatan Lahan (HPL), atau apalah namanya. Yang jelas untuk
yang 10 ribu hektare, mereka tidak perlu keluarkan duit. Ijinnya jangan berbelit-belit.
Nah, bukankah, setelah lahan tersebut mulai terbangun, harga lahan di
sekitarnya akan meningkat tajam? Mungkin lebih dari sepuluh kali lipat dari
harga sebelumnya? Di situlah letak kompensasinya.
Pembelinya
nanti juga pasti mereka, atau kawan-kawan mereka, mitra kerja mereka sesama
investor, untuk membangun industri, membangun kawasan kota baru. Dan karena
yang membuat pelabuhan itu para pemilik kapal, maka pastilah pelabuhan tersebut
akan menjadi ramai. “Kalau kita yang bangun pelabuhan, belum tentu ramai, belum
tentu ada yang mau singgah juga,” kata Sondiamar. Masuk akal juga, pikir saya.
Yang
terbersit di benak saya kemudian, jikalau kita kumpulkan semua para pemilik
lahan, lantas kita buatkan perusahaan atau koperasi, atau apapun namanya, dan
inilah yang akan membangun komunikasi dengan pemerintah. Untuk selanjutnya
pemerintah berkomunikasi dengan investor. Katakanlah terkumpul lahan 15-20 ribu
hektare. Setengahnya kita ‘gratiskan’ kepada para investor, seperti yang
dikatakan Sondiamar. Kemudian setengahnya lagi dijual.
Dengan
hasil penjualan yang setengah bagian itu, sesungguhnya kita akan mendapatkan
uang yang sekaligus termasuk nilai lahan yang kita gratiskan. Padahal yang kita
gratiskan pun tidak kita lepas percuma. Dapat saja dia menjadi saham kita
kelak, yang royalti atau dividennya dapat kita nikmati, ketika perusahaan yang
membangun di atas tanah tersebut mulai mendapatkan keuntungan kelak di kemudian
hari. Sesederhana itu. It’s that a simple.
Pertanyaannya
adalah kapan kita mulai, dan siapa yang akan memulai? Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar