AGAK
berbeda dengan pertemuan di Cipanas. Pertemuan para petinggi negeri ini di
Tampaksiring yang dipimpin langsung oleh presiden SBY memokuskan pada tiga hal
prioritas. Program pro rakyat, justice for all,dan pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs). Meski kemudian komisinya ditambah satu judul lagi,
yaitu percepatan pembangunan ekonomi.
Yang tidak
kalah menariknya, pada momen kali ini jumlah peserta juga bertambah. Ini
menandakan atensi dan intensitas yang menggembirakan. Kondisi ini terbaca dari
hadirnya para praktisi maupun pengamat ekonomi, serta rektor sejumlah perguruan
tinggi. Ditambah lagi beberapa petinggi lembaga donor dan perwakilan masyarakat
sipil (LSM).
Meski
diliputi hujan lebat, pertemuan tetap berjalan khidmatsesuai agenda yang telah
disusun rapih oleh Bappenas. Fokus untuk program Pro Rakyat adalah terkait
dengan tiga klaster dalam pengentasan kemiskinan. Mencakup penanggulangan
kemiskinan (PK) berbasis keluarga, PK berbasis pemberdayaan masyarakat, dan PK
berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Terkait program justice for all,
programnya fokus pada keadilan bagi anak, keadilan bagi perempuan,
ketenagakerjaan, bantuan hukum, reformasi hukum dan peradilan, dan kelompok
miskin dan terpinggirkan. Lalu tentang pencapaian tujuan MDGs: pembahasannya
pada upaya penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, pencapaian pendidikan dasar
untuk semua, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, kesehatan anak dan
ibu, pengendalian penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, jaminan
kelestarian lingkungan hidup, dan percepatan pencapaian MDGs secara
keseluruhan.
Para
menteri, gubernur, kepala-kepala Bappeda, BPMPD, dibagi ke dalam komisi-komisi
yang membahas ketiga aspek di atas. Sementara pimpinan sidang kelompok
diserahkan langsung ke para menko dan pemakalahnya, yaitu para menteri terkait.
Saya sendiri, ikut dalam kelompok pembangunan pro rakyat. Di mana membahas soal
perkembangan dan sejauh mana pelaksanaan kegiatan PNPM, PKH, dan kegiatan
subsidi langsung kepada masyarakat lainnya. Intinya adalah pembahasan sejauh
mana program penanggulangan kemiskinan telah berjalan dan secara efektif telah
dapat menurunkan prosentase kemiskinan dari tahun ke tahun.
Terkait
penurunan angka kemiskinan ini, target nasional pada tahun 2014 adalah 8
persen. Asumsinya: setahun paling tidak dapat diturunkan hingga 2 persen. Angka
ini selaras dengan MDGs 2015. Secara implisit, saya mendapatkan informasi bahwa
manakala pada tahun tersebut masih ada daerahdaerah yang tidak dapat mencapai
angka rata-rata nasional, maka mereka harus berupaya sendiri melalui sumberdaya
dan sumberdana yang dicari sendiri. Karena setelah 2015, berbagai program
penanggulangan kemiskinan sudah tidak akan ada lagi yang khusus, seperti PNPM
sekarang ini.
Presiden
SBY dengan tegas menyatakan bahwa daerah-daerah yang masih berada di bawah
rata-rata nasional pada berbagai indikator kesejahteraan akan menjadi tanggung
jawab keras para kepala daerah. Terutama dengan mendekatkan diri pada angka
rata-rata nasional. Di situlah tugas berat kita di NTB. Berdasarkan data
terakhir, angka kemiskinan di NTB masih di atas 22 persen, sementara nasonal
sudah berada pada posisi 15 persen. Sekiranya kita sukses menurunkan angka
kemiskinan dua persen saja per tahun, maka di tahun 2015 kita baru akan
mencapai sekitar 14 persen. Syukur-syukur menjadi 12 atau jika ada lompatan
menjadi 10 persen. Mimpinya sih begitu.
Pertanyaannya
adalah, apakah mimpi tersebut dapat menjadi kenyataan? Dalam sebuah kesempatan,
Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA., mengemukakan bahwa untuk dapat
meninggalkan ketertinggalan, NTB harus bisa bermimpi. Menurutnya, Kaum Yahudi
bisa maju seperti sekarang ini karena didorong oleh nilai-nilai budayanya.
Adalah sebuah kebiasaan masyarakat Yahudi untuk meletakkan cita-citanya pada
sesuatu yang tidak mungkin untuk diraih, namun mereka berupaya mencari cara
yang paling mungkin untuk meraihnya. Wallahu alam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar