Minggu, 13 April 2014

Presentasi di Filipina


Presentasi  di Filipina tetang Kandang Kolektif


Asian Rural Sociology Association (ARSA) adalah organisasi para ahli Sosiologi Pedesaan tingkat Asia, yang saya ikut terlibat membidani kelahirannya.  Waktu itu saya baru saja menyelesaikan program master saya di Ohio State University, Amerika Serikat.  Waktu itu, pada tahun 1992, saya baru saja selesai mempertahankan tesis Master saya.  Kebetulan tidak lama setelah itu, ada Kongres International Rural Sociology Association atau IRSA di Pennsylvania State University, dimana saya ikut menjadi peserta.  Saya juga ikut presentasi, mempresentasikan materi dalam tesis master saya, yaitu tentang peran NGO dalam pembangunan.

Pada saat kongres inilah saya ikut dalam pertemuan khusus para peserta dari Asia, yang digagas oleh beberapa professor dari Jepang.  Hadir dalam pertemuan itu para anggota delegasi dari beberapa negara Asia yang ikut dalam Kongres, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.  Dari Indonesia, yang ikut Kongres ada beberapa orang.  Namun yang ikut dan aktif dalam pertemuan tersebut saya sendiri. Sehingga dalam penanda tanganan deklarasi pembentukan ARSA, sayalah yang mewakili Indonesia. Secara resmi kemudian saya masuk menjadi working group pembentukan Asian Rural Sociology Association (ARSA).  Koordintor atau ketuanya berasal dari Jepang.  Namanya Professor …….

Beberapa tahun kemudian, ARSA ini resmi berdiri dan menjadi anggota International Rural Sociology Associaton (IRSA).  Ketika pertemuan dua tahunannya diadakan di Rio de Jenairo, Brazil, tahun 2001, saya terpilih menjadi vice presidennya.  Sedangkan Presiden atau ketuanya adalah Professor ……. Dari Nagoya University, Jepang. Pada tahun 2004, saya menjadi tuan rumah pertemuan dua tahunannya, yang kami adakan di Jayakarta, Sengigi.  Hampir pada setiap pertemuannya, di Bangkok, di Beijing, di Nagoya, dan terakhir di Filipina, saya selalu diundang. Meskipun saya tidak lagi menjadi vice president, tapi saya tetap menjadi council member atau dewan pengurus ARSA yang mewakili Indonesia.

Pada tahun 2010, pertemuan dua tahunannya diadakan di Filipina.  Saya diundang sebagai salah satu keynote speaker.  Makalah yang saya presentasikan pada waktu itu berjudul: …………………….
Pada kesempatan ini saya menyampaikan berbagai keunikan dari kandang kolektif yang mungkin di tempat lain tidak ada.  Bahwa dengan  kandang kolektif itu berbaga persoalan yang sering menjadi kendala peternak dalam mengembangkan ternaknya dapat diatasi.  Mulai dari persoalan keamanan, pakan ternak, pengendalian penyakit, sampai pada aspek pemasaran.

Secara teoritis, sebuah budaya memang berasal dari tuntutan sosial; perilaku sosial yang kemudian terjadi berulang ulang karena persoalan kebutuhan.  Kandang kolektif menjadi budaya peternak di Lomok karena adanya tuntutan dari proses beternak itu sendiri; dengan adanya berbagai persoalan yang seringkali mereka hadapi.  Salah satu persoalan adalah karena relatif terbatasnya skala usaha mereka.  Setiap rumah tangga peternakan umumnya hanya menguasai dua sampai tiga ekor ternak sapi.  Dari skala usaha ekonomi, jumlah ini masih belum layak.  Di satu sisi, kemampuan peternak itu sendiri memang terbatas.  Khususnya kemampuan dalam menyediakan pakan bagi ternaknya.

Oleh karena itu, dengan menggunakan kandang kolektif, persoalan pakan ini, sekaligus skala usaha keekonomian dapat diatasi, karena dengan ber kelompok, usaha ternak dapat menjadi lebih eifisien.  Masalah pakan dapat diatasi; bahkan juga pemasarannya.

Dengan sistem kandang kolektif, kegiatan penyuluhan juga dapat dilaksanakan secara lebih terorganisir. Para peternak dapat befungsi sebagai manajer, sekaligus tenaga kerja bagi ternak masing-masing.   Di lokasi kandang kolektif yang telah maju,  kelembagaan menjadi modal sosial yang dapat diandalkan untuk memperkokoh posisi tawar peternak.  Perubahan mindset atau pola fikir peternak, sehingga mereka dapat lebih beorientasi komersial, tidak sekedar memenuhi hobi atau kesenangan semata, dapat dilaksanakan.

Perubahan mindset ini merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam rangka memajukan peternakan di Nusa Tenggara Barat, khususnya di Pulau Lombok.  Artinya, pola fikir beternak sebagai hobi, yang dari hitungan ekonomi kurang menguntngkan, harus dapat diubah menjadi pola fikir komersial.  Artinya, beternak haruslah menjadi suatu usaha keluarga yang memiliki nilai keekonomian tertentu.   Beternak harus dapat menguntungkan.

Hal lain terkait ini adalah, menjadikan kegiatan beternak sebagai kegiatan usaha utama.  Bukan kegiatan usaha sampingan.  

Menjadikan kegiatan beternak sebagai kegiatan usaha utama juga memerlukan langkah strategis yang harus dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat.  Hal ini mengingat masih belum banyak peternak-peternak di NTB yang sudah mapan atau maju, karena menjadikan kegiatan beternak sebagai kegiatan utamanya.   Bahkan harus diciptakan peternak-peternak handal yang mampu mengelola agrobisnis peternak sedemikian rupa, sehingga bukan hanya bergerak di ranah peningkatan produksi, tapi juga pada ranah industri olahan hasil peternakannya.  Bila perlu mereka telah dapat membangun rumah potong hewan sendiri, dan tidak lagi menjual sapi hidup, atau daging sapi, tapi sudah dalam bentuk hasil olaha, seperti bakso, abon, sosis, dan lain-lain.

Bagaimana caranya? Di situlah manfaat kandang kolektif, untuk dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan usaha peternakan ke depan. Tinggal bagaimana intervensi pemerintah untuk proses pengembangan tersebut, mulai dari diffusi inovasi dan teknologinya, sampai pada penguatan permodalannya. Karena kalau bicara pasar, Indonesia masih sangat luas dengan pasar yang masih sangat terbuka.   Kalau kita tidak segera bertindak, maka pasar kita yang demikian potensial, hanya akan menjadi rebutan para pedagang dari luar daerah, bahkan luar negeri. Dan kegiatan beternak di masyarakat kita masih lekat dengan masalah hobi.  Bukan kegiatan ekonomi. Wallahu a’lam bissawab. (Mataram, 130414)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar