Presentasi di Filipina tetang Kandang Kolektif
Asian Rural Sociology
Association (ARSA) adalah organisasi para ahli Sosiologi Pedesaan tingkat Asia,
yang saya ikut terlibat membidani kelahirannya.
Waktu itu saya baru saja menyelesaikan program master saya di Ohio State
University, Amerika Serikat. Waktu itu,
pada tahun 1992, saya baru saja selesai mempertahankan tesis Master saya. Kebetulan tidak lama setelah itu, ada Kongres
International Rural Sociology Association atau IRSA di Pennsylvania State
University, dimana saya ikut menjadi peserta.
Saya juga ikut presentasi, mempresentasikan materi dalam tesis master
saya, yaitu tentang peran NGO dalam pembangunan.
Pada saat kongres inilah saya
ikut dalam pertemuan khusus para peserta dari Asia, yang digagas oleh beberapa
professor dari Jepang. Hadir dalam
pertemuan itu para anggota delegasi dari beberapa negara Asia yang ikut dalam
Kongres, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, Bangladesh, Pakistan,
Malaysia, dan Indonesia. Dari Indonesia,
yang ikut Kongres ada beberapa orang.
Namun yang ikut dan aktif dalam pertemuan tersebut saya sendiri.
Sehingga dalam penanda tanganan deklarasi pembentukan ARSA, sayalah yang
mewakili Indonesia. Secara resmi kemudian saya masuk menjadi working group
pembentukan Asian Rural Sociology Association (ARSA). Koordintor atau ketuanya berasal dari
Jepang. Namanya Professor …….
Beberapa tahun kemudian, ARSA
ini resmi berdiri dan menjadi anggota International Rural Sociology Associaton
(IRSA). Ketika pertemuan dua tahunannya
diadakan di Rio de Jenairo, Brazil, tahun 2001, saya terpilih menjadi vice
presidennya. Sedangkan Presiden atau
ketuanya adalah Professor ……. Dari Nagoya University, Jepang. Pada tahun 2004,
saya menjadi tuan rumah pertemuan dua tahunannya, yang kami adakan di
Jayakarta, Sengigi. Hampir pada setiap
pertemuannya, di Bangkok, di Beijing, di Nagoya, dan terakhir di Filipina, saya
selalu diundang. Meskipun saya tidak lagi menjadi vice president, tapi saya
tetap menjadi council member atau dewan pengurus ARSA yang mewakili Indonesia.
Pada tahun 2010, pertemuan
dua tahunannya diadakan di Filipina.
Saya diundang sebagai salah satu keynote speaker. Makalah yang saya presentasikan pada waktu
itu berjudul: …………………….
Pada kesempatan ini saya
menyampaikan berbagai keunikan dari kandang kolektif yang mungkin di tempat
lain tidak ada. Bahwa dengan kandang kolektif itu berbaga persoalan yang
sering menjadi kendala peternak dalam mengembangkan ternaknya dapat
diatasi. Mulai dari persoalan keamanan,
pakan ternak, pengendalian penyakit, sampai pada aspek pemasaran.
Secara teoritis, sebuah
budaya memang berasal dari tuntutan sosial; perilaku sosial yang kemudian
terjadi berulang ulang karena persoalan kebutuhan. Kandang kolektif menjadi budaya peternak di
Lomok karena adanya tuntutan dari proses beternak itu sendiri; dengan adanya
berbagai persoalan yang seringkali mereka hadapi. Salah satu persoalan adalah karena relatif
terbatasnya skala usaha mereka. Setiap
rumah tangga peternakan umumnya hanya menguasai dua sampai tiga ekor ternak
sapi. Dari skala usaha ekonomi, jumlah
ini masih belum layak. Di satu sisi,
kemampuan peternak itu sendiri memang terbatas.
Khususnya kemampuan dalam menyediakan pakan bagi ternaknya.
Oleh karena itu, dengan
menggunakan kandang kolektif, persoalan pakan ini, sekaligus skala usaha
keekonomian dapat diatasi, karena dengan ber kelompok, usaha ternak dapat
menjadi lebih eifisien. Masalah pakan
dapat diatasi; bahkan juga pemasarannya.
Dengan sistem kandang
kolektif, kegiatan penyuluhan juga dapat dilaksanakan secara lebih
terorganisir. Para peternak dapat befungsi sebagai manajer, sekaligus tenaga
kerja bagi ternak masing-masing. Di
lokasi kandang kolektif yang telah maju,
kelembagaan menjadi modal sosial yang dapat diandalkan untuk memperkokoh
posisi tawar peternak. Perubahan mindset
atau pola fikir peternak, sehingga mereka dapat lebih beorientasi komersial,
tidak sekedar memenuhi hobi atau kesenangan semata, dapat dilaksanakan.
Perubahan mindset ini
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam rangka memajukan
peternakan di Nusa Tenggara Barat, khususnya di Pulau Lombok. Artinya, pola fikir beternak sebagai hobi,
yang dari hitungan ekonomi kurang menguntngkan, harus dapat diubah menjadi pola
fikir komersial. Artinya, beternak
haruslah menjadi suatu usaha keluarga yang memiliki nilai keekonomian
tertentu. Beternak harus dapat
menguntungkan.
Hal lain terkait ini adalah,
menjadikan kegiatan beternak sebagai kegiatan usaha utama. Bukan kegiatan usaha sampingan.
Menjadikan kegiatan beternak
sebagai kegiatan usaha utama juga memerlukan langkah strategis yang harus
dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat. Hal
ini mengingat masih belum banyak peternak-peternak di NTB yang sudah mapan atau
maju, karena menjadikan kegiatan beternak sebagai kegiatan utamanya. Bahkan harus diciptakan peternak-peternak
handal yang mampu mengelola agrobisnis peternak sedemikian rupa, sehingga bukan
hanya bergerak di ranah peningkatan produksi, tapi juga pada ranah industri
olahan hasil peternakannya. Bila perlu
mereka telah dapat membangun rumah potong hewan sendiri, dan tidak lagi menjual
sapi hidup, atau daging sapi, tapi sudah dalam bentuk hasil olaha, seperti
bakso, abon, sosis, dan lain-lain.
Bagaimana caranya? Di situlah
manfaat kandang kolektif, untuk dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan usaha
peternakan ke depan. Tinggal bagaimana intervensi pemerintah untuk proses
pengembangan tersebut, mulai dari diffusi inovasi dan teknologinya, sampai pada
penguatan permodalannya. Karena kalau bicara pasar, Indonesia masih sangat luas
dengan pasar yang masih sangat terbuka.
Kalau kita tidak segera bertindak, maka pasar kita yang demikian
potensial, hanya akan menjadi rebutan para pedagang dari luar daerah, bahkan luar
negeri. Dan kegiatan beternak di masyarakat kita masih lekat dengan masalah
hobi. Bukan kegiatan ekonomi. Wallahu
a’lam bissawab. (Mataram, 130414)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar