MENUJU BIROKRASI KLAS DUNIA
Oleh Dr. Rosiady Husanenie Sayuti
Asisten I Bidang Pemerintahan dan Tata Praja
Setda Provinsi Nusa Tenggara Barat
Alhamdulillah, cukup banyak ilmu yang saya peroleh dalam
mengikuti Diklatpim Tingkat II yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi
Negara (LAN) RI di Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (PKP2A)
kampus Jatinangor, Jawa Barat. Diklat
itu sendiri diselenggarakan selama kurang lebih 70 hari, sejak 3 September
sampai dengan 8 Nopember 2013.
Salah satu topik yang menarik dalam Diklatpim ini adalah
adanya visi dari LAN s untuk mewujudkan birokrasi Indonesia menjadi birokrasi
kelas dunia. Tidak kurang dari Kepala
LAN sendiri membicarakan masalah itu.
Demikian pula para pembicara yang lain.
Ini artinya, “menjadi birokrasi kelas dunia” itu sudah tidak lagi
sekedar menjadi jargon, tapi sudah masuk
dalam blue print atau grand design pembangunan aparatur pada Kementrian Negara
Pembinaan Aparatur dan Reformasi
Birokrasi. Kelahiran UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sedang difinalisasikan
di DPR, juga merupakan bagian dari grand design itu. Konon, dalam ujian tulis calon PNS yang akan
dilaksanakan dalam waktu dekat ini, materinya sudah mencerminkan visi itu. Pemerintah sudah mulai meletakkan dasar-dasar
pada mindset para calon PNS,
bagaimana mereka berkiprah ke depan; bagaimana mereka menata diri, menata
perilaku dan cara berfikir, sehingga kualitasnya tidak kalah sama PNS dari
negara lain.
Apa itu Kelas Dunia?
Isitilah kualitas kelas dunia sudah umum dipakai di dunia
Perguruan Tinggi. Ada isitilah (yang
diapakai untuk promosi): World Class
University atau Universitas Klas Dunia.
Tidak lain maksudnya adalah kualitas pengajar dan lulusan Perguruan
Tinggi tersebut tidak jauh beda dengan kualitas Perguruan Tinggi yang ada di
negara-negara maju. Dari sisi SDM dan
infrastruktur, ada semacam benchmark
yang dipergunakan, misalnya: seberapa banyak penelitian dan publikasi ilmiah
dengan kualitas internasional telah dihasilkan; berapa banyak professornya yang
sudah ‘berkelas dunia.’ Seberapa banyak pendapat atau publikasi para professor
tersebut telah dikutip oleh para peneliti atau pengajar lain dari kampus lain
(yang dikenal dengan istilah citation
index). Dan lain-lain.
Sementara itu, untuk membangun “birokrasi ber kelas dunia”
tentu indikatornya berbeda. Menurut Sekertaris Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Reformasi Birokrasi Tasdik Kinanto, inti dari birokrasi
berkelas dunia itu adalah birokrasi yang profesional, akuntabel
dan melayani. Menurut Togar Arifin
Silaban, yang menulis buku tentang World
Class Bureaucracy, “birokrasi kelas dunia adalah sistem yang mengelola
administrasi pemerintahan dengan prinsip-prinsip good
governance. Disana ada profesionalisme birokrat yang tinggi,
kompetensi tinggi, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Etos kerja para
birokrat berada pada kematangan dan kedewasaan sistem birokrasi. Sistem bekerja
efisien dan efektif.”
Dengan kata lain, birokrasi klas dunia
itu intinya pada dua sumbu: sumbu pertama adalah aparatur SDM itu sendiri; dan
yang kedua adalah pada sistem, tata kelola administrasi atau governance.
Antara SDM dan system, menurut teory System Thinking yang kami dalami selama Diklatpim ini, saling
mempengaruhi. SDM yang baik akan
melahirkan system yang baik. System yang
baik, akan mewujudkan birokrasi yang baik pula.
Dari mana mulainya?
Kalau itu pertanyaannya, saya akan
menjawab tanpa ragu: SDMnya. Inilah yang
kita benahi terlebih dahulu. System yang
ada sekarang kita laksanakan sebagaimana mestinya; karena asumsinya, system
yang ada sekarang sudah baik. Ketika
suatu hari kwalifikasi SDM yang kita bangun dan kembangkan telah meningkat,
maka dengan sendirinya mereka akan dapat menakar, apakah system yang ada
sekarang sudah cocok, atau perlu disempurnakan; dalam rangka memenuhi tuntutan
layanan yang disediakan untuk publik.
Bukankah, seperti yang disampaikan Sektretaris Menpan di atas, bahwa
ujung dari kualitas birokrasi itu sesungguhnya adalah kepuasan publik terhadap
jasa layanan yang mereka sajikan. Apa
yang aparat birokrasi kerjakan sehari-hari di kantor tidak lain sesungguhnya
adalah bagaimana meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap layanan birokrasi
sehari-hari. Karena esensi dari
terbentuknya sebuah negara adalah bagaimana rakyat atau penduduk di negara itu
dapat terlayani kebutuhannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kalau kondisi pada hari ini, kesan umum
terhadap pelayanan birokrasi masih belum ideal.
Bahkan jauh dari ideal. Masih cukup banyak terdengar kasus-kasus yang
terjadi yang melibatkan aparatur yang kemudian muncul isitilah arogansi
aparatur, ego sektoral, tidak profesional, asal-asalan, dan lain-lain. Kesemuanya itu mencerminkan kualitas aparatur
kita saat ini. Bahkan tidak sedikit dari
kalangan aparatur yang justru ‘minta dilayani’ oleh masyarakat, bukan
menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat.
Saya ingat ketika masih kuliah di
Amerika Serikat. Dalam sebuah
perjalanan, saya tersesat, dan masuk ke suatu kantor untuk menanyakan arah yang
harus saya lalui. Begitu mereka tahu
masalah saya, secara langsung salah seorang dari pegawai yang ada di kantor itu
kemudian menemui saya dan bahkan ke luar dari gedung itu untuk menunjukkan ke
arah mana saya harus mengendarai kendaraan saya. Dia rupanya merasa tidak cukup hanya dengan
menunjukkan peta yang saya bawa. Dia
harus yakin bahwa saya faham apa yang dia jelaskan. Seperti itulah, mungkin,
pelayanan yang seharusnya diberikan oleh aparatur yang nota bene berlabel klas
dunia. Profesional, artinya faham yang mereka harus kerjakan, faham apa yang
mereka harus berikan, dan faham bahwa apa yang diberikan itu adalah sesuai
dengan apa yang dikehendaki masyarakat.
Bahkan mereka juga harus faham, apakah masyarakat puas atau tidak dengan
layanan yang mereka berikan. “As simple
as that,” kata orang Amerika tadi, setelah melihat dari raut wajah saya, kalau
saya faham kemana saya harus menuju, agar tidak tersesat. Wallahu ‘alam bissawab. (Jatinangor,
19/10/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar