Sabtu, 15 Maret 2014

Mengajar Tanpa Menggurui


6. Menyatukan persepsi: ilmu dosen terpakai  (teknik bulkonah….)

Memang benar, yang namanya ilmu itu pasti bermanfaat. Termasuk juga ketika seorang dosen diamanahkan menjadi pimpinan birokrasi. Satu dunia yang sangat berbeda dengan dunia akademisi.

Memimpin kaum birokrat tentu tidak sama dengan memimpin para mahasiswa. Memberikan penjelasan kepada para staf di sebuah kantor, pastilah tidak sama dengan mengajar di depan ruang kuliah. Proses transfer of knowledge di Perguruan Tinggi pasti beda dengan proses di alam birokrasi. Kalaupun dicari persamaanya, mungkin ada satu: yaitu bagaimana agar apa yang kita jelaskan dapat difahami oleh mereka yang mendengarkan.  Kita harus dapat meyakinkan mereka, bahwa apa yang kita jelaskan sangat bermafaat bagi peningkatan ilmu pengetahuan mereka. Bahwa ilmu pengetahuan itu penting.  Teori itu penting.  Belajar sepanjang hayat itu penting.

Faktanya, banyak pegawai yang sangat rajin membaca ketika masih menjadi staf biasa.   Rajin pula mengikuti kursus atau training di sana sini.  Setiap ada peluang untuk mengikuti kursus, selalu tidak dilewatkan. Eh, begitu diangkat menjadi pimpinan di kantor, katakanlah menjadi kepala seksi atau kepala sub bagian, kegiatan membacanya mulai mengendor. Dia asik dengan kegiatan birokrasinya.  Dia kemudian menjadi demikian sibuk, sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menyambangi perpustakaan di kantornya, mencari cari buku baru yang dapat dilahap di sela-sela kesibukan menerima, membaca, mempelajari, dan mendisposisi berbagai dokumen yang ditugaskan oleh pimpinannya.

Suatu ketika dalam perjalanan saya menjadi Kepala Bappeda, saya sempat mewajibkan setiap pejabat yang bepergian untuk menyumbangkan sebuah buku saja ke perpustakaan kantor.   Ini untuk menambah koleksi perpustakaan dan sekaligus meningkatkan minat pegawai Bappeda untuk membaca.   Para karyawan saya himbau untuk rajin-rajin membaca.  Rajin-rajin ke perpustakaan.   Karena tanpa membaca, peningkatan ilmu pengetahuan kita pasti akan sangat lambat. Apalagi informasi hanya didominasi oleh info dari layar kaca alias televisi.

Saya katakan kepada teman-teman di Bappeda, kalau bekerja di Bappeda memiliki nilai tambah, dibandingkan dengan SKPD lain.  "Bedanya, di Bappeda kita harus rajin membaca, sebab berbagai dokumen produk Bappeda tidak mungkin hanya kata-kata tanpa makna.  Harus ada sumbernya, harus ada teorinya, dan harus ada maknanya.  Nah, tanpa kita banyak membaca, tidak mungkin kita akan menghasilkan produk dokumen yang berkualitas."   Mungkin 'petuah' ini yang merasuk ke teman-teman di Bappeda sehingga pada tahun 2012-2013, berbagai dokumen yang dihasilkan mendapat penghargaan nasional. Penghargaan Pangripta Nusantara, sebagai juara tiga se Indonesia, bagi Bappeda luar Jawa Bali; dan MDGs bahkan menjadi Juara Satu Nasional untuk seluruh kategori. 

Mengajar, bukan menggurui

Sebagai dosen, tentu adalah profesi saya untuk mengajarkan sesuatu kepada para mahasiswa.   Dengan metode pengajaran yang saya kuasai, yang menjadi style saya tentu, saya senang kalau mahasiswa kemudian dengan mudah, dapat memahami apa yang saya terangkan.  Kalau kemudian mereka saya ajak diskusi, bisa ‘nyambung.’ Begitupun ketika ujian akhir, mereka saya harapkan lulus semua.  Artinya semua bisa.

Saya akan sedih kalau ternyata hanya sedikit mahasiswa yang lulus atau mendapatkan nilai baik pada mata kuliah yang saya ajarkan. Apalagi kalau kemudian sebagian besar tidak lulus.  Saya berasumsi, pasti cara mengajar saya yang salah. Demikian pula dengan pembimbingan skripsi. Saya akan senang kalau mahasiswa bisa memperbaiki tulisannya sesuai dengan yang saya harapkan. Bahkan kemudian merasakan manfaat dari proses pembimbingan yang saya lakoni.

Pernah di suatu sore, ada mantan mahasiswa saya yang dengan suka cita menelpon saya, memberitahukan kalau dia lulus di Angkatan Udara karena saya.  Saya heran campur bangga, …”koq bisa karena saya?” lantas dia menjelaskan bahwa sayalah yang megajar dia membuat kalimat kalimat pendek dan efektif, sehingga ketika tes tulis di TNI Angkatan Udara dia lulus.  “Pak disini, gaya tulisa yang bapak ajarkan itulah yang disenangi oleh komandan.” Kata Burhanuddin SP, yang sekarang mungkin sudah berpangat Kapten atau Letkol. Anehnya, tidak lama setelah itu, saya juga mendapat telpon dari mahasiswa yang lain, yang diterima di Angkatan Laut. Mungkin dengan ilmu yang sama, alhamdulillah.

Kini, berhadapan dengan para birokrat di Bappeda tentu saya tidak bisa memperlakukan mereka sama dengan mahasiswa.  Saya tidak ingin ‘menggurui’ mereka.  Atau menggurui siapapun.   Kalau pun saya harus menjelaskan mereka sesuatu teori yang relevan dengan topik pembicaraan, tentu gaya yang saya pergunakan berbeda.

Antara 'menggurui' dan 'mengajari' mungkin tidak mudah untuk dibedakan.  Secara sederhana, di balik kata menggurui,tersimpan kesan antara guru dan murid.  Dalam posisi yang tidak setara.  Antara guru yang serba tahu, dan murid yang tidak tahu dan harus diberitahu.   Proses menggurui biasanya menjadi satu arah, dari guru ke murid.  Sementara dalam konsep 'mengajari' atau 'mengajarkan' harus ada proses dua arah.  Posisi antara pengajar dengan pembelajar juga relatif setara.  Ada dialog, bukan hanya monolog.  Ada diskusi, bukan hanya instruksi.


Ketika saya harus menjelaskan bahwa dengan BULKONAH (bulat-bulat, kotak-kota, panah-panah) kita dapat memberikan penjelasan hanya dengan satu diagram, kawan-kawan di bappeda senyum senyum saja.  Maklum selama ini, ilmu atau teknik itu belum banyak difahami. Atau belum banyak yang faham dan bisa mempraktekkan.  Apalagi dimasukkan dalam bagian dari dokumen resmi seperti KUA PPAS, ataupun RKPD yang relatif ‘sakral.’ Artinya sistimatika berbagai dokumen tersebut sudah ada pakemnya.  Sudah ada permendagri atau edaran kepala Bappenas, dan sebagainya.   Tapi prinsipnya, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan di atasnya, kan tidak haram juga. Apalagi kemudian menjadi bagian yang mempermudah pembaca untuk memahami substansi yang ada dalam dokumen tersebut.

Dari diskusi ke diskusi akhirnya teman-teman di Bappeda tidak berkeberatan untuk memasukkan style Bulkonah dalam dokumen RKPD ataupun dokumen perencanaan lainnya.  Disamping juga berbagai variasi dan inovasi lain yang membuat berbagai dokumen ‘made in bappeda’ makin colourful.  Tidak monoton. Tujuannya tidak lain agar masyarakat menjadi lebih tertarik untuk membaca berbagai dokumen tersebut, dan menjadi lebih mudah untuk difahami.  Bukankah partisipasi aktif yang kita harapkan dari masyarakat akan dapat kita tingkatkan, ketika kita mampu menyajikan dokumen perencanaan yang baik, menarik, dan mudah dicerna.   Wallahu a’lam bissawab (Banda Aceh 130314)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar