Senin, 10 Maret 2014

Pasangan Sayang Keluarga


Catatan dari Calgary, Canada
MEMBANGUN PASANGAN SAYANG KELUARGA (PASAGA)

Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Agak lama saya mengutak atik terjemahan ke bahasa Indonesia dari istilah Baby Friendly Couples.  Kalau secara ‘leterlek’ mungkin lebih tepat Pasangan Ramah Anak.  Tapi kalau mengatakan ‘ramah anak’, konotasinya tidak terlalu fokus ke keluarga.  Bisa saja ‘ramah anak’ menjadi sangat umum. Kata ‘ramah’ di situ bisa berarti ramah kepada anak siapapun, dan dimanapun.  Padahal dalam konteks program yang sedang kami desain proposalnya dalam rangka Hibah Kompetisi di Grand Challenge Canada senilai dua juta dollar ini, dimaksudkan untuk membangun sistem yang yang secara efektif meningkatkan kemampuan pasangan suami istri, ibu dan bapak, dalam memberikan perhatian, cinta kasih, layanan, sentuhan, kepada si buah hati masing-masing, sejak masih dalam kandungan ibunya, sampai kemudian dia lahir, menjadi bayi, anak balita, remaja, dan seterusnya. 

Melalui program ini nantinya akan didesain bagaimana materi dan model intervensi atau sentuhan yang dapat diberikan kepada setiap pasangan hidup rumah tangga yang berencana untuk memiliki anak.  Program seperti ini menjadi sangat penting dewasa ini mengingat beberapa hal: pertama, adanya kecenderungan global makin menipisnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai berkeluarga atau berumah tangga.  Akibat dari kurangnya pemahaman tersebut, tidak sedikit keluarga yang hancur, gara-gara hal yang sangat sepele.  Yang selalu menjadi korban kemudian, pastilah si anak.  Kedua, belum ada kebijakan atau program khusus yang didesain secara sistematis dalam rangka memberikan ruang bagi setiap pasangan yang ingin menikah atau bahkan telah menikah, yang dapat memberikan ilmu, pemahaman, bahkan ‘life skill’ kepada setiap pasangan sehingga mereka memahami secara benar apa yang seharusnya dilakukan dan difikirkan dalam mengarungi kehidupannya bersama pasangannya.   Tidak seperti ketika akan berangkat haji, dimana jauh-jauh hari dengan sangat rajin kita mengikuti manasik haji.   Ketiga, data yang dimiliki para ahli sangat menghawatirkan. Intinya adalah, tatanan berkeluarga di dunia makin lama makin kabur.  Ikatan emosional antar anggota keluarga juga makin lama makin longgar.  Sifat individualisme, seperti yang kita hawatirkan selama ini, makin lama menjadi budaya baru di masyarakat. 
Dengan ‘rusaknya’ tatanan dalam berkeluarga, maka tidaklah mungkin kita berharap generasi muda kita ke depan akan tumbuh menjadi makin baik.   Padahal, tingkat persaingan ke depan kian hari kian tinggi.  Untuk itu, kualitas sumberdaya manusia kita haruslah menjadi makin baik.

Grand Challenge Canada
Grand Chellenge Canada (GCC) adalah lembaga donor yang didanai sepenuhnya oleh Pemerintah Canada dalam rangka memberikan hibah kepada para peneliti dari dunia ketiga dalam bidang kesehatan. Salah satu programnya bernama Saving Brain Initiatives, atau Inisiatif menyelamatkan otak manusia.  Program ini dilatar belakangi oleh adanya kenyataan sekitar dua ratus juta anak-anak di seluruh dunia yang terancam perkembangan otaknya karena kekurangan gizi, kemiskinan, dan keterlantaran.  Tidak sedikit dari mereka ini yang tidak termasuk keluarga miskin, namun megalami nasib yang tidak baik bagi perkembangan otaknya, karena ketidak mampuan atau ketidak fahaman orang tuanya dalam memelihara dan membangun otak si anak dari masih dalam kandungan sampai pada usia emas (golden age), yaitu sampai usia dua tahun.  Termasuk juga kita di Indonesia.

Dari diskusi yang saya lakukan bersama Dr. Anuraj Shangkar, seorang professor dari Harvard University yang sangat concern dengan NTB,  lahirlah pra proposal yang berjudul Golden Generation Program: An Integrated Community Based Early Childhood Development Initiative in Indonesia.  Alhamdulillah, dari ratusan pra proposal yang masuk, kami salah satu dari empat peneliti yang diundang ke Calgary Canada.  Tujuannya adalah untuk memberikan pengkayaan terhadap berbagai usulan yang masuk dalam rangka membuat proposal lengkapnya; sekaligus sebagai media seleksi bagi para peneliti yang diundang.

Inisiatif atau inovasi yang kami rancang dalam proposal tersebut adalah memberikan pelatihan dan sertifikasi kepada para pasangan suami istri atau calon suami istri sehingga mereka mememiliki pemahaman, ilmu, dan ketrampilan dalam ‘memelihara dan membangun otak’ anaknya kelak.   Artinya, para orang tua harus dapat ilmu tentang tumbuh kembang otak anak manusia, sehingga anak yang dilahirkannya menjadi anak yang cerdas dan sehat.

Terkait dengan gagasan itulah, tentu banyak faktor yang turut mempengaruhi.  Banyak variabel yang mesti diintervensi. Banyak target group yang harus dilayani. Semua itu memerlukan metode ilmiah yang tentu hasilnya akan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pula.  Jika ini berhasil,  tidak kurang dari lima puluh ribu anak se NTB yang akan menjadi komunitas binaan selama dua tahun.  Ratusan kader akan disertifikasi untuk dapat terlibat dalam kegiatan ini.  Demikian juga ratusan lembaga PAUD dan Posyandu juga akan distandarisasi, dalam rangka memenuhi kebutuhan program ini.  Akan ada sertifikat khusus kepada pasangan yang telah memenuhi persyaratan untuk diberi julukan “Baby Friendly Couples” yang untuk bahasa Indonesianya saya terjemahkan menjadi “Pasangan Sayang Keluarga” (PASAGA) itu.   Mungkin ada isitilah lain yang lebih pas; kami masih sangat terbuka untuk menerima masukan.  Yang jelas, apa yang akan dilaksanakan melalui program ini, bagi kita di Nusa Tenggara Barat, merupakan kelanjutan dari program AKINO yang telah dilaksanakan lima tahun ini. Dan menjadi awal dari program kependudukan untuk menyongsong lahirnya Generasi Emas Nua Tenggara Barat 2025. Insya Allah. (Calgary, Canada 18/06/2013).


1 komentar: