2. Learning By Doing:
Memahami Tupoksi
Saya dilantik menjadi Kepala
Bappeda NTB tanggal 6 Oktober 2008, bersama dengan pelantikan pejabat eselon
dua yang lain. Pelantikan diadakan di Ruang Rapat Utama kantor Gubernur. Saya
mengetahui akan dilantik menjadi Kepala Bappeda, ketika mendapatkan undangan
untuk menghadap gubernur dan wakil gubernur, beberapa hari sebelum pelantikan.
Ketika itu, para calon kepala SKPD yang akan dilantik dipanggil satu per satu
untuk kemudian diberikan pengarahan, apa tugas dan kewajiban yang harus
dilaksanakan sebagai kepala SKPD. Kepada saya, pak Gubernur menyampaikan:
“tugas Bappeda yang utama
adalah dalam hal menyusun perencanaan pembangunan; baik lima tahunan maupun
tahunan. Harus fokus di situ. Tidak boleh Bappeda melaksanakan program yang
menjadi tugas skpd lain. Cukup
perencanaannya saja. Garis-garis besarnya. Nanti ada SKPD lain yang akan
melaksanakan konstruksinya. Kita
memiliki visi NTB Bersaing. Nah tugas Bappedalah merumuskan perencanaan
pembangunan setiap tahun, agar visi itu dapat terwujud. Minimal mendekati arah
yang akan dituju. Jangan melenceng kemana-mana. Kita harus fokus. Sebab anggaran kita terbatas. Maka dengan keterbatasan itu, kita harus
dapat mewujudkan sesuatu yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat. Kita harus mampu menurunkan
angka kemiskinan. Sebab tidak ada artinya keberhasilan suatu pembangunan, jika
angka kemiskinan kita tidak turun, apalagi bertambah…” kemudian beliau juga
menyatakan…….”sebagai akademisi, saya berharap pak Rosiady dapat meningkatkan
hubungan antara pemda dengan kampus. Antara praktisi dengan akademisi. Karena bagaimanapun kita membutuhkan proses
perencanaan yang bernuansa akademik. Setiapa kebijakan kita yang strategis
harus didasari atas naskah akademik yang dapat dipertanggung jawabkan. Kita
tidak sekedar berencana, tidak sekedar meneruskan apa yang sudah ada
sebelumnya. Tapi semua harus ada kajian akademiknya. Dan untuk itu, kampus
harus dilibatkan dengan baik….”
Itulah arahan awal pak
Gubernur yang menjadi modal awal saya dalam menjalankan amanah sebagai Kepala
Bappeda.
Menjadi kepala sebuah
instansi memang tidak mudah. Tidak juga ringan.
Apalagi buat saya yang akademisi, yang sehari-harinya bergaul dengan
mahasiswa. Yang tugas sehari hari adalah mengajar, memberikan penugasan, mengoreksi,
dan seterusnya.
Menjadi kepala Bappeda tentu
sangat beda. Saya tahu, banyak kalangan
yang meragukan, apakah saya akan mampu mengemban amanah yang berat itu. Belakangan saya menyadari bahwa jabatan
kepala Bappeda biasanya diamanahkan kepada birokrat senior; yang sudah
berpengalaman memimpin SKPD lain. Karena sejatinya, kepala Bappeda adalah
koordinator perencanaan seluruh SKPD.
Sehingga kepala Bappeda haruslah orang yang sudah berpengalaman di satu
atau dua SKPD lain. Bahkan lebih dari dua.
Baik sebagai kepala dinas atau kepala badan. Dengan demikian dia sudah
memahami bagaimana proses perencanaan di instansinya.
Demikian pula pejabat-pejabat
eselon empat ataupun tiga di bappeda; idealnya mereka yang sudah berpengalaman
menjabat sebagai eselon empat atau tiga di skpd lain. Karena tugas mereka secara teknis adalah
mengkoordinasikan perencanaan skpd-skpd; sehingga, seperti halnya kepala
Bappeda, mereka juga harus memiliki pengalaman menjadi pejabat di skpd lain. Dengan kata lain, idealnya, penempatan pejabat
di Bappeda sifatnya horizontal dari SKPD lain.
Kurang tepat, misalnya eselon empat di skpd lain dipromosikan menjadi
eselon tiga di Bappeda. Apalagi kemudian
staf dari skpd lain, tiba-tiba menjadi pejabat eselon empat di Bappeda.
Kalau kita menoleh ke
balakang, sebelum reformasi, ketika di Bappeda dipimpin oleh Ketua, bukan
Kepala, eselonisasi di Bappeda memang lebih tinggi dibandingkan dengan SKPD
lain. Ini yang lebih tepat sesungguhnya;
karena, sekali lagi, tugas seorang pejabat di Bappeda adalah koordinator di
bidang perencanaan. Bagaimana mungkin
seorang koordinator memiliki eselon yang sama dengan mereka yang dikoordinir.
Ini salah satu kritikan terhadap PP No 41.
Itulah sebabnya, dalam
beberapa kali pertemuan Asosiasi Kepala Bappeda se Indonesia, masalah
eselonering di Bappeda menjadi bahan perbincangan dan bahkan secara resmi
menjadi usulan asosiasi ke Kemenpan.
Intinya adalah agar eselonering di Bappeda ‘dikembalikan’ ke era
sebelumnya; agar eselon kepala Bappeda lebih tinggi dari kepala SKPD lain yang
dikoordinir. Karena menurut logika
birokrasi, itu yang lebih tepat.
Learning by doing
Kembali ke laptop. Bahwa
tugas sebagai kepala Bappeda itu tidak mudah. Sehingga wajar saja kalau di
awal-awal kepemimpinan saya di Bappeda, banyak yang meragukan saya. Bahkan ada
juga teman wartawan yang ‘mengkonfirmasi’ masalah keraguan tersebut kepada
saya. Ya, saya jawab itu hak oranglah untuk menilai. Tugas saya adalah bekerja dan bekerja,
sehingga mereka dapat mengetahui kalau suatu ketika nanti proses perencanaan di
daerah ini dapat terlaksana dengan baik.
Bahwa proses perencanaan di Bappeda dapat berjalan dengan baik;
koordinasi antar bidang yang ada di Bappeda dapat terlaksana dengan baik. Bahkan koordinasi antara bappeda dengan
seluruh SKPD yang dikoordinir dalam hal perencanaannya dapat berjalan dengan
baik. Bahwa semua itu memang dapat
berjalan dengan baik: di bawah kordinator seorang kepala Bappeda yang berasal
bukan dari birokrat murni; melainkan seorang akademisi.
Karena tidaklah cukup kalau
saya mengatakan di koran kalau saya sesungguhnya punya pengalaman memimpin
proses perencanaan dan pengembangan di kampus, dimana saya pernah menjadi
pejaba sebelumnya. Sebagai Pembantu
Rektor IV, tugas utama saya adalah dalam hal kerjasama dan perencanaan
pengembangan kampus. Bahwa di era saya
menjadi PR IV, perencanaan pengembangan kampus Unram diselesaikan, untuk
duapuluh tahun ke depan. Tidak cukup
juga kalau saya mengatakan bahwa saya juga terlibat dalam proses penyusunan
RPJPD NTB 2005-2025. Dan seterusnya. Saya menghadapi semua itu dengan sabar
saja. Dengan penuh permakluman. Tapi
tentu juga dengan penuh kesadaran, bahwa saya harus banyak belajar dan belajar.
Belajar berbagai hal yang sangat teknis, terkait dengan perencanaan
pembangunan.
Dari proses kesadaran itu,
saya mengintensifkan rapat rapat koordinasi, baik internal Bappeda (terutama)
maupun mengundang SKPD-SKPD. Untuk
membahas berbagai persoalan pembangunan di Nusa Tenggara Barat. Hal itu dimulai, ketika saya harus tampil
menyampaikan laporan dalam Musrenbang RPJMD 2009-2013. Sebagai penampilan perdana saya sebagai
birokrat. Pada tanggal …….. November 2008. Sebagai sebuah penampilan yang
mungkin cukup mempengaruhi citra saya ke depan.
Ketika menjadi pemimpin dalam
berbagai rapat itulah saya banyak balajar tentang Tupoksi saya sebagai Kepala
Bappeda. Saya ingat, suatu ketika saya
harus memimpin rapat Tim Anggaran Pemeritnah Daerah (TAPD) dimana kepala
Bappeda sebagai wakil ketua.. Kepala Biro Keuangan sebagai sekretaris. Kepala
Dinas Pendapatan sebagai anggota. Sementara ketuanya adalah Sekretaris
Daerah. Tapi sehari-hari, rapat rapat
dipimpin oleh kepala Bappeda. Dan rapat yang saya ingin ceritakan itu adalah
rapat pertama di ruang rapat kepala Bappeda.
Rapat dihadiri tim TAPD
lengkap. Dari Biro Keuangan, Dispenda, dan Bappeda. Menyadari kalau waktu itu saya masih belum
cukup bekal dalam memimpin rapat, saya hanya menyampaikan sepatah dua patah
kata, untuk kemudian menyerahkan pimpinan rapat kepada Kepala Biro Keuangan.
Namun sebelum menyerahkan palu pimpinan, saya menceriterakan kepada peserta
rapat, kisah seorang tua yang didaulat oleh anak-anak muda di desanya untuk
menjadi ketua Karang Taruna. Ini semata-mata karena hormat mereka kepada orang
tua yang bersangkutan. Suatu ketika, si orang tua tadi memimpin rapat. Setelah
rapat dibuka, si orang tua yang menjadi ketua, bertanya kepada peserta rapat:
“anak-anak sekalian, apakah anak-anak tahu apa yang akan kita rapat kan kali
ini?” mendengar pertanyaan tersebut, serentak para peserta rapat menjawab:
“tidak tahu.” Lalu di orang tua melanjutkan: “karena semua tidak ada yang tahu,
maka rapat saya tutup.” Lantas, si orang tua itu meninggalkan rapat. Maka
gaduhlah suasana rapat itu. Tapi kemudian mereka sampai pada kesimpulan, rapat
akan diulang, beberapa hari kemudian, dan menyepakati jawaban, sekiranya beliau
bertanya lagi.
Dan benarlah, ketika rapat
diulang, pada waktu memulai rapat, si orang tua bertanya lagi: ”apakah
anak-anak tahu apa yang akan dirapatkan hari ini?” dan sesuai dengan kesepakatan,
mereka serentak menjawab: “kami sudah tahu, pak ketua.” Lantas si orang tua
melanjutkan, “ kalau demikian, karena
semua sudah tahu, maka menurut saya rapat tidak perlu dlanjutkan. Dan
dengan demikian rapat saya tutup.” Tok. Maka gaduhlah kembali suasana di rapat
itu.
Meka, mendengar cerita saya
itu, teman-teman TAPD tertawa, dan disela-sela suasana itu saya katakan: “saya
tentu tidak mau seperti orang tua dalam cerita saya tadi. Karena itu, maka saya
persilahkan kepala biro keuangan untuk memimpin rapat.” Di situlah saya banyak
belajar, berbagai hal. Sehingga pada rapat rapat berikutnya, saya sudah tidak
perlu lagi “menyerahkan” pimpinan rapat kepada sekretaris TAPD ataupun yang
lainnya.
Demikian pula dilingkungan
internal Bappeda. Saya meminta semua
kepala bidang untuk mempresentasikan program atau kegiatan yang mereka
rencanakan untuk setahun ke depan.
Dengan demikian, pelan-pelan, namun pasti, saya menjadi makin memahami
Tupoksi Bappeda, dan tugas utama saya sebagai kepala Bappeda. Dari yang
sifatnya umum, sampai pada yang sifatnya khusus. Yang besar maupun yang kecil.
Termasuk ketika, dan ini yang paling sering, menjadi mediator antara Kepal Biro
Keuangan yang tugasnya ‘membelanjakan’ pendapatan, dengan Kepala Dispenda, yang
tugasnya ‘mengumpulkan’ pendapatan. Dan harus dapat mengambil keputusan,
sebelum kemudian dipresentasikan di depan pimpinan maupun di depan para anggota
dewan yang terhormat. Dengan kata lain, semua itu berjalan melalui proses yang
mungkin itulah yang dimaksudkan dengan metode atau proses Learning by doing.
Wallahu a'lam bissawab. (Jkt, 90314)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar