Senin, 10 Maret 2014

LEARNING BY DOING


2. Learning By Doing: Memahami Tupoksi


Saya dilantik menjadi Kepala Bappeda NTB tanggal 6 Oktober 2008, bersama dengan pelantikan pejabat eselon dua yang lain. Pelantikan diadakan di Ruang Rapat Utama kantor Gubernur. Saya mengetahui akan dilantik menjadi Kepala Bappeda, ketika mendapatkan undangan untuk menghadap gubernur dan wakil gubernur, beberapa hari sebelum pelantikan. Ketika itu, para calon kepala SKPD yang akan dilantik dipanggil satu per satu untuk kemudian diberikan pengarahan, apa tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai kepala SKPD. Kepada saya, pak Gubernur menyampaikan:

“tugas Bappeda yang utama adalah dalam hal menyusun perencanaan pembangunan; baik lima tahunan maupun tahunan. Harus fokus di situ. Tidak boleh Bappeda melaksanakan program yang menjadi tugas skpd lain.  Cukup perencanaannya saja. Garis-garis besarnya. Nanti ada SKPD lain yang akan melaksanakan konstruksinya.  Kita memiliki visi NTB Bersaing. Nah tugas Bappedalah merumuskan perencanaan pembangunan setiap tahun, agar visi itu dapat terwujud. Minimal mendekati arah yang akan dituju. Jangan melenceng kemana-mana. Kita harus fokus.  Sebab anggaran kita terbatas.  Maka dengan keterbatasan itu, kita harus dapat mewujudkan sesuatu yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat.  Kita harus mampu menurunkan angka kemiskinan. Sebab tidak ada artinya keberhasilan suatu pembangunan, jika angka kemiskinan kita tidak turun, apalagi bertambah…” kemudian beliau juga menyatakan…….”sebagai akademisi, saya berharap pak Rosiady dapat meningkatkan hubungan antara pemda dengan kampus. Antara praktisi dengan akademisi.  Karena bagaimanapun kita membutuhkan proses perencanaan yang bernuansa akademik. Setiapa kebijakan kita yang strategis harus didasari atas naskah akademik yang dapat dipertanggung jawabkan. Kita tidak sekedar berencana, tidak sekedar meneruskan apa yang sudah ada sebelumnya. Tapi semua harus ada kajian akademiknya. Dan untuk itu, kampus harus dilibatkan dengan baik….”

Itulah arahan awal pak Gubernur yang menjadi modal awal saya dalam menjalankan amanah sebagai Kepala Bappeda.

Menjadi kepala sebuah instansi memang tidak mudah. Tidak juga ringan.  Apalagi buat saya yang akademisi, yang sehari-harinya bergaul dengan mahasiswa. Yang tugas sehari hari adalah mengajar, memberikan penugasan, mengoreksi, dan seterusnya. 

Menjadi kepala Bappeda tentu sangat beda.  Saya tahu, banyak kalangan yang meragukan, apakah saya akan mampu mengemban amanah yang berat itu.  Belakangan saya menyadari bahwa jabatan kepala Bappeda biasanya diamanahkan kepada birokrat senior; yang sudah berpengalaman memimpin SKPD lain. Karena sejatinya, kepala Bappeda adalah koordinator perencanaan seluruh SKPD.  Sehingga kepala Bappeda haruslah orang yang sudah berpengalaman di satu atau dua SKPD lain. Bahkan lebih dari dua.  Baik sebagai kepala dinas atau kepala badan. Dengan demikian dia sudah memahami bagaimana proses perencanaan di instansinya.

Demikian pula pejabat-pejabat eselon empat ataupun tiga di bappeda; idealnya mereka yang sudah berpengalaman menjabat sebagai eselon empat atau tiga di skpd lain.   Karena tugas mereka secara teknis adalah mengkoordinasikan perencanaan skpd-skpd; sehingga, seperti halnya kepala Bappeda, mereka juga harus memiliki pengalaman menjadi pejabat di skpd lain.  Dengan kata lain, idealnya, penempatan pejabat di Bappeda sifatnya horizontal dari SKPD lain.  Kurang tepat, misalnya eselon empat di skpd lain dipromosikan menjadi eselon tiga di Bappeda.  Apalagi kemudian staf dari skpd lain, tiba-tiba menjadi pejabat eselon empat di Bappeda.

Kalau kita menoleh ke balakang, sebelum reformasi, ketika di Bappeda dipimpin oleh Ketua, bukan Kepala, eselonisasi di Bappeda memang lebih tinggi dibandingkan dengan SKPD lain.  Ini yang lebih tepat sesungguhnya; karena, sekali lagi, tugas seorang pejabat di Bappeda adalah koordinator di bidang perencanaan.   Bagaimana mungkin seorang koordinator memiliki eselon yang sama dengan mereka yang dikoordinir. Ini salah satu kritikan terhadap PP No 41.
Itulah sebabnya, dalam beberapa kali pertemuan Asosiasi Kepala Bappeda se Indonesia, masalah eselonering di Bappeda menjadi bahan perbincangan dan bahkan secara resmi menjadi usulan asosiasi ke Kemenpan.  Intinya adalah agar eselonering di Bappeda ‘dikembalikan’ ke era sebelumnya; agar eselon kepala Bappeda lebih tinggi dari kepala SKPD lain yang dikoordinir.  Karena menurut logika birokrasi, itu yang lebih tepat.

Learning by doing

Kembali ke laptop. Bahwa tugas sebagai kepala Bappeda itu tidak mudah. Sehingga wajar saja kalau di awal-awal kepemimpinan saya di Bappeda, banyak yang meragukan saya. Bahkan ada juga teman wartawan yang ‘mengkonfirmasi’ masalah keraguan tersebut kepada saya. Ya, saya jawab itu hak oranglah untuk menilai.  Tugas saya adalah bekerja dan bekerja, sehingga mereka dapat mengetahui kalau suatu ketika nanti proses perencanaan di daerah ini dapat terlaksana dengan baik.  Bahwa proses perencanaan di Bappeda dapat berjalan dengan baik; koordinasi antar bidang yang ada di Bappeda dapat terlaksana dengan baik.  Bahkan koordinasi antara bappeda dengan seluruh SKPD yang dikoordinir dalam hal perencanaannya dapat berjalan dengan baik.  Bahwa semua itu memang dapat berjalan dengan baik: di bawah kordinator seorang kepala Bappeda yang berasal bukan dari birokrat murni; melainkan seorang akademisi.

Karena tidaklah cukup kalau saya mengatakan di koran kalau saya sesungguhnya punya pengalaman memimpin proses perencanaan dan pengembangan di kampus, dimana saya pernah menjadi pejaba sebelumnya.  Sebagai Pembantu Rektor IV, tugas utama saya adalah dalam hal kerjasama dan perencanaan pengembangan kampus.  Bahwa di era saya menjadi PR IV, perencanaan pengembangan kampus Unram diselesaikan, untuk duapuluh tahun ke depan.  Tidak cukup juga kalau saya mengatakan bahwa saya juga terlibat dalam proses penyusunan RPJPD NTB 2005-2025. Dan seterusnya. Saya menghadapi semua itu dengan sabar saja.  Dengan penuh permakluman. Tapi tentu juga dengan penuh kesadaran, bahwa saya harus banyak belajar dan belajar. Belajar berbagai hal yang sangat teknis, terkait dengan perencanaan pembangunan.

Dari proses kesadaran itu, saya mengintensifkan rapat rapat koordinasi, baik internal Bappeda (terutama) maupun mengundang SKPD-SKPD.  Untuk membahas berbagai persoalan pembangunan di Nusa Tenggara Barat.  Hal itu dimulai, ketika saya harus tampil menyampaikan laporan dalam Musrenbang RPJMD 2009-2013.  Sebagai penampilan perdana saya sebagai birokrat. Pada tanggal …….. November 2008. Sebagai sebuah penampilan yang mungkin cukup mempengaruhi citra saya ke depan.

Ketika menjadi pemimpin dalam berbagai rapat itulah saya banyak balajar tentang Tupoksi saya sebagai Kepala Bappeda.  Saya ingat, suatu ketika saya harus memimpin rapat Tim Anggaran Pemeritnah Daerah (TAPD) dimana kepala Bappeda sebagai wakil ketua.. Kepala Biro Keuangan sebagai sekretaris. Kepala Dinas Pendapatan sebagai anggota. Sementara ketuanya adalah Sekretaris Daerah.  Tapi sehari-hari, rapat rapat dipimpin oleh kepala Bappeda. Dan rapat yang saya ingin ceritakan itu adalah rapat pertama di ruang rapat kepala Bappeda.

Rapat dihadiri tim TAPD lengkap. Dari Biro Keuangan, Dispenda, dan Bappeda.  Menyadari kalau waktu itu saya masih belum cukup bekal dalam memimpin rapat, saya hanya menyampaikan sepatah dua patah kata, untuk kemudian menyerahkan pimpinan rapat kepada Kepala Biro Keuangan. Namun sebelum menyerahkan palu pimpinan, saya menceriterakan kepada peserta rapat, kisah seorang tua yang didaulat oleh anak-anak muda di desanya untuk menjadi ketua Karang Taruna. Ini semata-mata karena hormat mereka kepada orang tua yang bersangkutan. Suatu ketika, si orang tua tadi memimpin rapat. Setelah rapat dibuka, si orang tua yang menjadi ketua, bertanya kepada peserta rapat: “anak-anak sekalian, apakah anak-anak tahu apa yang akan kita rapat kan kali ini?” mendengar pertanyaan tersebut, serentak para peserta rapat menjawab: “tidak tahu.” Lalu di orang tua melanjutkan: “karena semua tidak ada yang tahu, maka rapat saya tutup.” Lantas, si orang tua itu meninggalkan rapat. Maka gaduhlah suasana rapat itu. Tapi kemudian mereka sampai pada kesimpulan, rapat akan diulang, beberapa hari kemudian, dan menyepakati jawaban, sekiranya beliau bertanya lagi.

Dan benarlah, ketika rapat diulang, pada waktu memulai rapat, si orang tua bertanya lagi: ”apakah anak-anak tahu apa yang akan dirapatkan hari ini?” dan sesuai dengan kesepakatan, mereka serentak menjawab: “kami sudah tahu, pak ketua.” Lantas si orang tua melanjutkan, “ kalau demikian, karena  semua sudah tahu, maka menurut saya rapat tidak perlu dlanjutkan. Dan dengan demikian rapat saya tutup.” Tok. Maka gaduhlah kembali suasana di rapat itu.

Meka, mendengar cerita saya itu, teman-teman TAPD tertawa, dan disela-sela suasana itu saya katakan: “saya tentu tidak mau seperti orang tua dalam cerita saya tadi. Karena itu, maka saya persilahkan kepala biro keuangan untuk memimpin rapat.” Di situlah saya banyak belajar, berbagai hal. Sehingga pada rapat rapat berikutnya, saya sudah tidak perlu lagi “menyerahkan” pimpinan rapat kepada sekretaris TAPD ataupun yang lainnya.

Demikian pula dilingkungan internal Bappeda.  Saya meminta semua kepala bidang untuk mempresentasikan program atau kegiatan yang mereka rencanakan untuk setahun ke depan.  Dengan demikian, pelan-pelan, namun pasti, saya menjadi makin memahami Tupoksi Bappeda, dan tugas utama saya sebagai kepala Bappeda. Dari yang sifatnya umum, sampai pada yang sifatnya khusus. Yang besar maupun yang kecil. Termasuk ketika, dan ini yang paling sering, menjadi mediator antara Kepal Biro Keuangan yang tugasnya ‘membelanjakan’ pendapatan, dengan Kepala Dispenda, yang tugasnya ‘mengumpulkan’ pendapatan. Dan harus dapat mengambil keputusan, sebelum kemudian dipresentasikan di depan pimpinan maupun di depan para anggota dewan yang terhormat. Dengan kata lain, semua itu berjalan melalui proses yang mungkin itulah yang dimaksudkan dengan metode atau proses Learning by doing. Wallahu a'lam bissawab. (Jkt, 90314)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar