SETELAH KEMISKINAN DAN DROP OUT SEKOLAH TURUN, LALU?
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Salah satu arahan yang sangat tegas dan terang benderang
yang disampaikan oleh pak Gubernur TGH Muhammad Zainul Majdi di awal beliau
memerintah bersama dengan wakilnya Bapak H. Badrul Munir, adalah terkait dengan
masalah kemiskinan. Beliau mengatakan bahwa “esensi dari pemerintahan ini
adalah bagaimana kita berihtiar untuk menurunkan angka kemiskinan. Percuma saja
kita dapat berhasil membuat jalan mulus, gedung mewah, telekomunikasi lancar,
ataupun listrik tidak pernah padam, manakala angka kemiskinan kita tidak
menurun, dari posisinya pada hari ini.”
Sebuah pernyataan yang sekaligus merupakan arah kebijakan yang harus
dapat diterjemahkan oleh setiap aparat pemerintah Provinsi NTB. Artinya, setiap kepala SKPD harus dapat
mengarahkan setiap kegiatan dan program yang akan dilaksanakan untuk menjawab,
seberapa banyak orang dari keluarga miskin yang akan tersentuh oleh program
yang mereka akan laksanakan.
Kepala Dinas PU misalnya, memiliki tugas mengidentifikasi
berapa banyak jaringan irigasi dan juga jalan jalan usaha tani maupun
infrastruktur jalan pada umumnya yang harus diselesaikan sehingga dapat
mengungkit perekonomian masyarakat, khususnya dari keluarga miskin. Bagaimana dia harus berkoordinasi dengan
pemerintah kabupaten kota, sehingga program provinsi dan kabupaten/kota
bersinergi untuk memaksimalkan manfaat dari program yang dilaksanakan. Demikian pula Kepala Dinas Pertanian, bersama
dengan dinas terkait di rumpun pertanian. Mereka tidak boleh bekerja sendiri
sendiri. Haruslah ada koordinasi antar
dinas sejenis, yang saling berhubungan. Berapa banyak lahan pertanian yang
dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga para buruh tani yang bekerja dan
para petani pemilik tanah bisa meningkat pendapatannya. Apakah melalui program intensifikasi, ataupun
ekstensifikasi. Meningkatkan
produktivitas lahan, atau memperluas areal tanam. Termasuk mencetak sawah sawah
baru ataupun menghijaukan lahan kering yang ada. Maklum, lahan kering kita di
NTB ini masih cukup luas dan banyak yang belum dapat dimanfaatkan oleh petani
secara optimal.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
(BPMPD) yang menjadi leading sektor untuk penanggulangan kemiskinan ini bersama
dengan BPS mengidentifikasi kantong kantong kemiskinan di NTB. Berbagai program penanggulangan kemiskinan
dari pusat seperti PNPM dan lainnya harus dapat menyentuh langsung kantong
kantong kemiskinan tesebut. Tentu
bersama dengan instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja,
Bappeda, dan lainnya. Intinya adalah,
masalah penanggulangan kemiskinan itu tidak dapat dan tidak akan maksimal
dilaksanakan tanpa adanya koordinas yang efektif dan produktif antar instansi.
Bahkan kalau mungkin juga dengan lembaga lembaga masyarakat non pemerintah dan
dunia usaha. Di situlah peran penting seorang
Kepala Daerah akan nampak; sebagai seorang koordinator, motivator, bahkan juga
inspirator.
Hasilnya?
Data yang dipublikasikan oleh BPS, menunjukkan bahwa NTB
telah dinyatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan dalam masa waktu empat
tahun terakhir ini. Secara statistik,
tercatat telah terjadi penurunan dari 24,99 persen pada tahun 2008 menjadi 18,63
persen pada tahun 2012., rata-rata 1,43 persen per tahun. Memang harus diakui bahwa penurunan tersebut
belum mencapai target yang dicanangkan dalam RPJMD 2009-2013 yaitu sebesar 2
persen rata-rata pertahun. Namun angka
tersebut telah membawa nama baik NTB di jajaran provinsi-provinsi sedang
berkembang di Indonesia. NTB termasuk
dalam deretan empat besar tingkat penurunan angka kemiskinan pada tahun 2012,
sebagaimana dirilis oleh BPS. Tiga
provinsi di atas NTB adalah Papua, Maluku, dan NTT yang nota bene memiliki kapasitas
fiskal jauh di atas NTB. Kapasitas
fiskal maksudnya adalah jumlah anggaran pembangunan di bagi ke jumlah penduduk.
Drop out sekolah
Masalah lain yang menjadi perhatian Pak Gubernur dalam memimpin daerah ini adalah masalah
pendidikan. Sebagai seorang yang
kesehariannya bergelut di dunia pendidikan, tentu hal ini sangat mudah untuk
difahami. Tapi dari kacamata politik, menginvestasikan dana yang sangat besar
untuk dunia pendidikan, sesungguhnya “kurang menguntungkan.” Mengapa? Karena
investasi di pendidikan itu adalah investasi jangka panjang, yang hasilnya
tidak akan langsung dapat dilihat atau bahkan dirasakan oleh masyarakat. Apalagi untuk daerah NTB, yang penduduknya
relatif besar dan terpencar. Tidak
seperti Gorontalo atau Maluku Utara atau Bengkulu. Namun demikian, saya ingat betul Pak Gub berkata ….”saya
sangat sadari itu. Bahwa kalau kita mematok anggaran 20 persen untuk
pendidikan, artinya kita harus mengurangi anggaran yang seharusnya bisa kita
alokasikan untuk infrastruktur yang langsung dapat dilihat oleh masyarakat.
Namun persoalannya, kalau pendidikan ini kita tidak prioritaskan, maka kualitas
SDM kita akan tetap rendah dan tidak akan bisa bersaing dengan SDM dari daerah
lain di masa-masa yang akan datang.
Apalagi ketika kita menghadapi era pasar bebas, atau era globalisasi ke
depan.” Maka sejak tahun anggaran 2009, NTB termasuk dalam sedikit provinsi
yang mengalokasikan tidak kurang 20 persen APBDnya untuk urusan
pendidikan. Dan sebagian besar dari yang
20 persen itu untuk bantuan siswa miskin (BSM), yang langsung dapat
dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga miskin untuk membeli keperluan
sekolah. Sebagian lainnya untuk bantuan
guru non pns, rehab ruang kelas, dan juga bantuan ke Perguruan Tinggi. Termasuk beasiswa bagi mereka yang tidak
mampu secara ekonomi namun mampu secara akademik, yang melanjutkan pendidikan
untuk jenjang S1, S2, dan bahkan S3. Dengan demikian, tidak boleh lagi ada
alasan mereka untuk tidak menyekolahkan anaknya, dari SD atau MI sampai ke SMA,
MA, atau SMK, bahkan ke jenjang Pendidikan Tinggi.
Data dari Dinas Dikpora maupun dari BPS menunjukkan bahwa
angka Drop Out Sekolah maupun Madrasah di NTB menurun drastis. Terutama di madrasah dan sekolah swasta yang
nota bene sebagian besar siswanya berasal dari keluarga miskin. Pada tahun 2008, angka drop out di SD/MI
mencapai 1,17 persen persen, pada tahun 2011 turun menjadi 0,90 persen. Untuk
tingkat SMP/MTs, 2008 sebesar 3,93 persen,
pada tahun 2011 turun menjadi 0,92 persen.
Yang agak tinggi adalah pada tingkat SMA/MA/SMK, pada tahun 2008 sebesar 8,03 persen, pada tahun 2011 turun
menjadi 1,88 persen.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan berbagai prestasi
tersebut, IPM NTB sudah meningkat? Jawabannya, kalau dilihat dari segi nilai
indeksnya, jawabannya adalah ya. IPM NTB
sudah meningkat dari 64,12 pada tahun 2008 menjadi 66,23 pada tahun 2011. Ini artinya berbagai variabel pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi yang menjadi tolok ukur IPM kita sudah menjadi semakin
baik. Bahwa posisinya secara nasional
tidak berubah, tetap 32, memang ya juga. Ini karena provinsi lain juga
meningkat indeksnya. Wallahu ‘alam bissawab. (Jayapura, 14 Oktober 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar