Rabu, 18 September 2013

SETELAH KEMISKINAN DAN DROP OUT SEKOLAH TURUN


SETELAH KEMISKINAN DAN DROP OUT SEKOLAH TURUN, LALU?

Oleh Dr. Rosiady Sayuti

Salah satu arahan yang sangat tegas dan terang benderang yang disampaikan oleh pak Gubernur TGH Muhammad Zainul Majdi di awal beliau memerintah bersama dengan wakilnya Bapak H. Badrul Munir, adalah terkait dengan masalah kemiskinan. Beliau mengatakan bahwa “esensi dari pemerintahan ini adalah bagaimana kita berihtiar untuk menurunkan angka kemiskinan. Percuma saja kita dapat berhasil membuat jalan mulus, gedung mewah, telekomunikasi lancar, ataupun listrik tidak pernah padam, manakala angka kemiskinan kita tidak menurun, dari posisinya pada hari ini.”  Sebuah pernyataan yang sekaligus merupakan arah kebijakan yang harus dapat diterjemahkan oleh setiap aparat pemerintah Provinsi NTB.  Artinya, setiap kepala SKPD harus dapat mengarahkan setiap kegiatan dan program yang akan dilaksanakan untuk menjawab, seberapa banyak orang dari keluarga miskin yang akan tersentuh oleh program yang mereka akan laksanakan.

Kepala Dinas PU misalnya, memiliki tugas mengidentifikasi berapa banyak jaringan irigasi dan juga jalan jalan usaha tani maupun infrastruktur jalan pada umumnya yang harus diselesaikan sehingga dapat mengungkit perekonomian masyarakat, khususnya dari keluarga miskin.  Bagaimana dia harus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten kota, sehingga program provinsi dan kabupaten/kota bersinergi untuk memaksimalkan manfaat dari program yang dilaksanakan.  Demikian pula Kepala Dinas Pertanian, bersama dengan dinas terkait di rumpun pertanian. Mereka tidak boleh bekerja sendiri sendiri.  Haruslah ada koordinasi antar dinas sejenis, yang saling berhubungan. Berapa banyak lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga para buruh tani yang bekerja dan para petani pemilik tanah bisa meningkat pendapatannya.  Apakah melalui program intensifikasi, ataupun ekstensifikasi.   Meningkatkan produktivitas lahan, atau memperluas areal tanam. Termasuk mencetak sawah sawah baru ataupun menghijaukan lahan kering yang ada. Maklum, lahan kering kita di NTB ini masih cukup luas dan banyak yang belum dapat dimanfaatkan oleh petani secara optimal.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) yang menjadi leading sektor untuk penanggulangan kemiskinan ini bersama dengan BPS mengidentifikasi kantong kantong kemiskinan di NTB.  Berbagai program penanggulangan kemiskinan dari pusat seperti PNPM dan lainnya harus dapat menyentuh langsung kantong kantong kemiskinan tesebut.  Tentu bersama dengan instansi terkait seperti Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Bappeda, dan lainnya.  Intinya adalah, masalah penanggulangan kemiskinan itu tidak dapat dan tidak akan maksimal dilaksanakan tanpa adanya koordinas yang efektif dan produktif antar instansi. Bahkan kalau mungkin juga dengan lembaga lembaga masyarakat non pemerintah dan dunia usaha.  Di situlah peran penting seorang Kepala Daerah akan nampak; sebagai seorang koordinator, motivator, bahkan juga inspirator.

Hasilnya?
Data yang dipublikasikan oleh BPS, menunjukkan bahwa NTB telah dinyatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan dalam masa waktu empat tahun terakhir ini.  Secara statistik, tercatat telah terjadi penurunan dari 24,99 persen pada tahun 2008 menjadi 18,63 persen pada tahun 2012., rata-rata 1,43 persen per tahun.  Memang harus diakui bahwa penurunan tersebut belum mencapai target yang dicanangkan dalam RPJMD 2009-2013 yaitu sebesar 2 persen rata-rata pertahun.  Namun angka tersebut telah membawa nama baik NTB di jajaran provinsi-provinsi sedang berkembang di Indonesia.  NTB termasuk dalam deretan empat besar tingkat penurunan angka kemiskinan pada tahun 2012, sebagaimana dirilis oleh BPS.   Tiga provinsi di atas NTB adalah Papua, Maluku, dan NTT yang nota bene memiliki kapasitas fiskal jauh di atas NTB.  Kapasitas fiskal maksudnya adalah jumlah anggaran pembangunan di bagi ke jumlah penduduk.

Drop out sekolah
Masalah lain yang menjadi perhatian Pak Gubernur  dalam memimpin daerah ini adalah masalah pendidikan.   Sebagai seorang yang kesehariannya bergelut di dunia pendidikan, tentu hal ini sangat mudah untuk difahami. Tapi dari kacamata politik, menginvestasikan dana yang sangat besar untuk dunia pendidikan, sesungguhnya “kurang menguntungkan.” Mengapa? Karena investasi di pendidikan itu adalah investasi jangka panjang, yang hasilnya tidak akan langsung dapat dilihat atau bahkan dirasakan oleh masyarakat.  Apalagi untuk daerah NTB, yang penduduknya relatif besar dan terpencar.  Tidak seperti Gorontalo atau Maluku Utara atau Bengkulu.  Namun demikian,  saya ingat betul Pak Gub berkata ….”saya sangat sadari itu. Bahwa kalau kita mematok anggaran 20 persen untuk pendidikan, artinya kita harus mengurangi anggaran yang seharusnya bisa kita alokasikan untuk infrastruktur yang langsung dapat dilihat oleh masyarakat. Namun persoalannya, kalau pendidikan ini kita tidak prioritaskan, maka kualitas SDM kita akan tetap rendah dan tidak akan bisa bersaing dengan SDM dari daerah lain di masa-masa yang akan datang.  Apalagi ketika kita menghadapi era pasar bebas, atau era globalisasi ke depan.” Maka sejak tahun anggaran 2009, NTB termasuk dalam sedikit provinsi yang mengalokasikan tidak kurang 20 persen APBDnya untuk urusan pendidikan.  Dan sebagian besar dari yang 20 persen itu untuk bantuan siswa miskin (BSM), yang langsung dapat dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga miskin untuk membeli keperluan sekolah.  Sebagian lainnya untuk bantuan guru non pns, rehab ruang kelas, dan juga bantuan ke Perguruan Tinggi.   Termasuk beasiswa bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi namun mampu secara akademik, yang melanjutkan pendidikan untuk jenjang S1, S2, dan bahkan S3. Dengan demikian, tidak boleh lagi ada alasan mereka untuk tidak menyekolahkan anaknya, dari SD atau MI sampai ke SMA, MA, atau SMK, bahkan ke jenjang Pendidikan Tinggi.

Data dari Dinas Dikpora maupun dari BPS menunjukkan bahwa angka Drop Out Sekolah maupun Madrasah di NTB menurun drastis.   Terutama di madrasah dan sekolah swasta yang nota bene sebagian besar siswanya berasal dari keluarga miskin.  Pada tahun 2008, angka drop out di SD/MI mencapai 1,17 persen persen, pada tahun 2011 turun menjadi 0,90 persen. Untuk tingkat SMP/MTs, 2008  sebesar 3,93 persen, pada tahun 2011 turun menjadi 0,92 persen.  Yang agak tinggi adalah pada tingkat SMA/MA/SMK, pada tahun 2008  sebesar 8,03 persen, pada tahun 2011 turun menjadi 1,88 persen.


Pertanyaannya adalah, apakah dengan berbagai prestasi tersebut, IPM NTB sudah meningkat? Jawabannya, kalau dilihat dari segi nilai indeksnya, jawabannya adalah ya.  IPM NTB sudah meningkat dari 64,12 pada tahun 2008 menjadi 66,23 pada tahun 2011.  Ini artinya berbagai variabel pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang menjadi tolok ukur IPM kita sudah menjadi semakin baik.  Bahwa posisinya secara nasional tidak berubah, tetap 32, memang ya juga. Ini karena provinsi lain juga meningkat indeksnya. Wallahu ‘alam bissawab. (Jayapura, 14 Oktober 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar