Rabu, 18 September 2013

WORLD CLASS RESEARCH UNIVERSITY


Dari Indonesia Update 2012: World Class  Research vs Locally Relevant Quality University

Oleh  Dr.  Rosiady Sayuti


Saya beruntung mendapat kesempatan menghadiri Indonesia Update Conference 2012 di Australian National University. Penyelenggaranya adalah Indonesia Project yang konon sudah berlangsung bertahun tahun.  Pada forum tahunan inilah dibicarakan berbagai progress maupun tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam tahun berjalan dan yang akan datang. Para Indonesianis dari seluruh Australia berkumpul dalam forum ini. Narasumbernya juga berasal dari tokoh tokoh dan para akademisi tersohor dari Indonesia seperti Prof. Fasli Jalal, Anies Baswedan, Thee Kian Wie, dan lain lain.

Salah satu topik yang diperbicangkan adalah terkait dengan peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi, dengan maraknya berbagai PT di tanah air yang berjargon world-class University alias Universitas klas dunia.  Target yang dikejar adalah PT tersebut masuk dalam rangking, entah yang ke seribu, lima ratus, seratus, atau bahkan jika mungkin di bawah seratus, dalam deretan universitas bergengsi di Asia atau dunia. 

Pertanyaannya adalah, apakah semua PT kita harus ‘jor-joran’ menjadi world-class university, sebagai ‘jualannya’ sehingga menjadi menarik bagi para calon mahasiswa? Atau ada bahan ‘jualan’ lain yang dapat menjadi branding, sehingga tetap menjadi favorit? Apa sesungguhnya yang menjadi daya tarik bagi  setiap calon mahasiswa untuk memilih PT yang akan dimasukinya? 

Berbagai pertanyaan tadi menjadi bahan diskusi para peserta conference, yang datang dari berbagai penjuru Australia. Saya sendiri mempertanyakan apakah memang seharusnya semua PT di Indonesia ‘berwawasan global’ menjadi world class research university? Atau cukup lah dengan kiprah menjadi center of excellence bagi kemajuan pembangunan di daerah atau di kawasan dimana PT tersebut berada.

Membangun sebuah perguruan tinggi berkualitas memang tidaklah mudah. Apalagi menjadikannya masuk dalam rangking dunia. Banyak faktor yang mempengaruhi. Banyak kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah perguruan tinggi untuk dapat mensejajarkan diri dengan PT lain yang lebih berkualitas, yang sudah memiliki reputasi tinggi, seperti UI, UGM, ITB, ITS, dan lain lainnya. Salah satunya adalah publikasi dari para professor dan tenaga pengajar di PT tersebut; di jurnal ilmiah yang juga telah diakui kualitasnya (baca: terakreditasi).  Yang tidak kalah penting, dan bahkan paling penting adalah kulitas proses belajar mengajar yang terjadi di sebuah perguruan tinggi.  Kualitas belajar mengajar ini dipengaruhi oleh dua unsur penting juga, yaitu kualitas tenaga pengajar dan kualitas mahasiswanya.

Persoalan yang terjadi pada perguruan tinggi di daerah daerah, seperti NTB, NTT, atau Indonesia bagian timur pada umumnya adalah kualitas input yang masuk ke PT tersebut relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan kualitas mereka yang masuk di PT PT di Pulau Jawa.  

Diastika Rahwidiati dan Rivandra Royono dari AusAID Jakarta yang mempresentasikan hasil penelitian terkait fenomena PT di Indonesia mengungkapkan bahwa di NTT, mereka yang masuk Undana umumnya bukan dari kelompok sepuluh terbaik di SMA-SMA dari NTT. Karena mereka yang masuk sepuluh terbaik umumnya memilih melanjutkan studi ke Pulau Jawa.  Fenomena itulah yang mempersulit peningkatan kualitas belajar mengajar di PT yang ada di daerah.  Dengan kata lain, ketika input yang masuk di sebuah PT demikian rendah, bagaimana kita bisa berharap kualitas outputnya berkualitas.  Apalagi kemudian kita bermimpi untuk menjadi world class university? Tapi apapula yang harus di ‘jual’ agar PT tetap diminati?

Jawabannya, menurut kedua peneliti di atas adalah memberikan pendidikan yang “locally relevant quality,” yang lulusannya dapat berkontribusi terhadap pembagunan atau kebutuhan daerah.  Artinya, mereka memahami apa yang dibutuhkan daerah, peluang kerja seperti apa yang mungkin dibutuhkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya.  Sehingga ketika mereka lulus dari PT, mereka dapat langsung terserap di daerahnya, baik sebagai pegawai ataupun memanfaatkan peluang pasar atau ekonomi yang ada untuk berwirausaha secara mandiri.   Demikian pula bagi para professor dan tenaga akademik lainnya.  Mereka seyogyanya dapat memberikan kontribusi melalui berbagai hasil penelitian yang dilakukan, terkait upaya pemecahan masalah yang ada di daerah.  Dengan demikian, keberadaan sebuah PT di setiap daerah akan dirasakan eksistensinya oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat.  Mungkin ini yang dimaksudkan oleh ungkapan hendaknya sebuah Perguruan Tinggi jangan jadi menara gading yang keanggunannya hanya dapat dinikmati dari kejauhan; namun hendaknya menjadi sumber mata air, dimana keberadaannya dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Menjadi perguruan tinggi yang “locally relevant institution”  kiranya jauh lebih mudah dan cepat, serta lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar.  Tentu, tanpa harus mengekang, bahkan terus mendorong, mereka (tidak banyak memang) yang berpotensi untuk ‘go global’ di bidangnya.  Wallahu ‘alam bissawab.  (Sydney, 23 September 2012)



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar