Dari Indonesia Update 2012:
World Class Research vs Locally Relevant
Quality University
Oleh Dr.
Rosiady Sayuti
Saya beruntung mendapat kesempatan menghadiri Indonesia
Update Conference 2012 di Australian National University. Penyelenggaranya
adalah Indonesia Project yang konon sudah berlangsung bertahun tahun. Pada forum tahunan inilah dibicarakan
berbagai progress maupun tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam tahun
berjalan dan yang akan datang. Para Indonesianis dari seluruh Australia berkumpul
dalam forum ini. Narasumbernya juga berasal dari tokoh tokoh dan para akademisi
tersohor dari Indonesia seperti Prof. Fasli Jalal, Anies Baswedan, Thee Kian Wie,
dan lain lain.
Salah satu topik yang diperbicangkan adalah terkait dengan
peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi, dengan maraknya berbagai PT di tanah
air yang berjargon world-class University alias Universitas klas dunia. Target yang dikejar adalah PT tersebut masuk
dalam rangking, entah yang ke seribu, lima ratus, seratus, atau bahkan jika
mungkin di bawah seratus, dalam deretan universitas bergengsi di Asia atau
dunia.
Pertanyaannya adalah, apakah semua PT kita harus ‘jor-joran’
menjadi world-class university, sebagai ‘jualannya’ sehingga menjadi menarik
bagi para calon mahasiswa? Atau ada bahan ‘jualan’ lain yang dapat menjadi
branding, sehingga tetap menjadi favorit? Apa sesungguhnya yang menjadi daya
tarik bagi setiap calon mahasiswa untuk
memilih PT yang akan dimasukinya?
Berbagai pertanyaan tadi menjadi bahan diskusi para peserta
conference, yang datang dari berbagai penjuru Australia. Saya sendiri
mempertanyakan apakah memang seharusnya semua PT di Indonesia ‘berwawasan
global’ menjadi world class research university? Atau cukup lah dengan kiprah
menjadi center of excellence bagi kemajuan pembangunan di daerah atau di
kawasan dimana PT tersebut berada.
Membangun sebuah perguruan tinggi berkualitas memang
tidaklah mudah. Apalagi menjadikannya masuk dalam rangking dunia. Banyak faktor
yang mempengaruhi. Banyak kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah perguruan
tinggi untuk dapat mensejajarkan diri dengan PT lain yang lebih berkualitas,
yang sudah memiliki reputasi tinggi, seperti UI, UGM, ITB, ITS, dan lain
lainnya. Salah satunya adalah publikasi dari para professor dan tenaga pengajar
di PT tersebut; di jurnal ilmiah yang juga telah diakui kualitasnya (baca:
terakreditasi). Yang tidak kalah
penting, dan bahkan paling penting adalah kulitas proses belajar mengajar yang
terjadi di sebuah perguruan tinggi.
Kualitas belajar mengajar ini dipengaruhi oleh dua unsur penting juga,
yaitu kualitas tenaga pengajar dan kualitas mahasiswanya.
Persoalan yang terjadi pada perguruan tinggi di daerah
daerah, seperti NTB, NTT, atau Indonesia bagian timur pada umumnya adalah
kualitas input yang masuk ke PT tersebut relatif jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kualitas mereka yang masuk di PT PT di Pulau Jawa.
Diastika Rahwidiati dan Rivandra Royono dari AusAID Jakarta
yang mempresentasikan hasil penelitian terkait fenomena PT di Indonesia mengungkapkan
bahwa di NTT, mereka yang masuk Undana umumnya bukan dari kelompok sepuluh
terbaik di SMA-SMA dari NTT. Karena mereka yang masuk sepuluh terbaik umumnya
memilih melanjutkan studi ke Pulau Jawa.
Fenomena itulah yang mempersulit peningkatan kualitas belajar mengajar
di PT yang ada di daerah. Dengan kata
lain, ketika input yang masuk di sebuah PT demikian rendah, bagaimana kita bisa
berharap kualitas outputnya berkualitas.
Apalagi kemudian kita bermimpi untuk menjadi world class university?
Tapi apapula yang harus di ‘jual’ agar PT tetap diminati?
Jawabannya, menurut kedua peneliti di atas adalah memberikan
pendidikan yang “locally relevant quality,” yang lulusannya dapat berkontribusi
terhadap pembagunan atau kebutuhan daerah.
Artinya, mereka memahami apa yang dibutuhkan daerah, peluang kerja
seperti apa yang mungkin dibutuhkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya. Sehingga ketika mereka lulus dari PT, mereka
dapat langsung terserap di daerahnya, baik sebagai pegawai ataupun memanfaatkan
peluang pasar atau ekonomi yang ada untuk berwirausaha secara mandiri. Demikian pula bagi para professor dan tenaga
akademik lainnya. Mereka seyogyanya
dapat memberikan kontribusi melalui berbagai hasil penelitian yang dilakukan,
terkait upaya pemecahan masalah yang ada di daerah. Dengan demikian, keberadaan sebuah PT di
setiap daerah akan dirasakan eksistensinya oleh masyarakat dan pemerintah
daerah setempat. Mungkin ini yang dimaksudkan
oleh ungkapan hendaknya sebuah Perguruan Tinggi jangan jadi menara gading yang
keanggunannya hanya dapat dinikmati dari kejauhan; namun hendaknya menjadi
sumber mata air, dimana keberadaannya dirasakan secara langsung manfaatnya oleh
masyarakat sekitar. Menjadi perguruan tinggi yang “locally relevant
institution” kiranya jauh lebih mudah
dan cepat, serta lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Tentu, tanpa harus mengekang, bahkan terus
mendorong, mereka (tidak banyak memang) yang berpotensi untuk ‘go global’ di
bidangnya. Wallahu ‘alam bissawab. (Sydney, 23 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar