Kamis, 16 April 2020

KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI


KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI

Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram


Saya ingin mengawali tulisan ini dengan dua cerita menarik. Yang pertama, bagaimana gembiranya Archimedes, seorang pemikir zaman Yunani kuno, ketika menemukan apa yang kemudian kita kenal dengan Hukum Archimedes. Yaitu ketika dia memperhatikan permukaan air meninggi bahkan meleluap keluar bak mandi, ketika dia memasukkan badannya ke bak mandinya.  Dan bagaimana kemudian ternyata permukaan air di bak mandinya menurun atau surut ketika dia bediri dan kemudian keluar dari bak mandi tersebut. Saking gembiranya dengan fenomena yang dilihatnya itu, konon Archimedes berlari keluar rumah sambil berteriak, “eureka, eureka, I have found it.” Dia lupa kalau waktu itu dia belum pakai pakaian, alias telanjang.  Mengapa dia begitu gembira?  Karena dia waktu itu lagi berfikir bagaimana menukur volume sebuah benda yang tak beraturan bentuknya, seperti mahkota seorang raja. Dan dengan cara “seperti dia mandi di bak” itulah ternyata cara yang tepat dengan hasil yang juga pasti tepat. Maka lahirlah Hukum Archimedes yang terkenal itu.

Cerita kedua, adalah cerita Durkheim, seorang sosiolog klasik, yang penasaran, bagaimana cara mengukur tingkat solidaritas suatu masyarakat. Karena masalah solidaritas itu tentu bukan sesuatu yang kasat mata. Apa lagi yang diukur adalah dalam tingkatan suatu bangsa atau dalam wilayah suatu negara.  Atau mengukur  dan membandingkan tingkat solidaritas antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain, atau antara anggota dalam suatu organisasi yang satu dengan anggota organisasi yang lain.  Maka yang Durkheim lakukan dan kemudian menjadi salah satu karyanya yang monumental adalah dengan menghitung jumlah orang yang bunuh diri dalam suatu kurun waktu tertentu. Kesimpulannya, pada masyarakat yang jumlah orang bunuh dirinya tinggi, maka pasti di situ tingkat solidaritasnya rendah. Dan sebalikna, pada masyarakat yang tingkat bunuh dirinya rendah, tingkat solidaritas masyarakatnya tinggi.

Lantas, apa hubungannya dengan fenomena masyarakat kita dalam masa physical distancing yang sangat dianjurkan dewasa ini. (Saya tidak mengatakan social distancing, karena dalam pandangan orang sosiologi, social distancing itu bermakna negatif.  Saya faham juga ,  bahwa yang dimaksudkan dengan social distancing oleh pemerintah selama ini sesungguhnya, dan dalam praktiknya, adalah physical distancing, membuat jarak fisik antar sesama secara sengaja).

Berfikir sosiologis, artinya kita berfikir secara rasional dan berdasarkan fenomena yang kita yakini kebenarannya (ada bukti emprisnya). Atas dasar fikiran kita itu, kemudian kita bertindak, yang tindakan kita itu tidak murni hanya untuk kepentingan diri kita sendiri, namun juga karena kita memikirkan dampaknya bagi orang lain. Dengan corona ini, kita memutuskan untuk tinggal di rumah saja, bekerja dari rumah dan bahkan beribadah dari rumah.  Sesuatu yang kita terpaksa lakukan, bukan semata karena anjuran pemerintah, tapi kita memahami bahwa tindakan itu memiliki dampak untuk diri kita sendiri, keluarga, dan juga dampaknya terhadap orang lain. 

Secara empiris kita mengetahui, begitu cepat dan dahsyat penyebaran virus corona ini, hanya karena orang berjabat tangan, atau berinteraksi intens dengan carier, si pembawa virus, yang bisa saja tanpa gejala apapun.  Ribuan orang sudah meninggal karena secara empiris sudah terbukti mereka terinfeksi.   Maka kemudian kita menjadi yakin bahwa physical distancing adalah strategi yang kita yakini dapat diterapkan untuk menghentikan laju penyebaran virus corona itu.

Pertanyaannya kemudian berapa lama? Sampai kapan? Dan jawabannya juga sudah gamblang, yaa sampai secara empiris di negara itu atau wilayah itu tidak ada lagi bukti baru orang terinfeksi.  Tidak ada lagi tambahan orang yang terinfeksi dalam suatu kurun waktu tertentu. Dan tentu tidak ada lagi PDP dan ODP atau bahkan OTG baru dalam waktu tertentu.

Untuk Indonesia, sudah kita baca berbagai skenario. Ada  versi UI, versi IPB, versi ITB, versi UGM, dan versi BNPB dan Bappenas. Ada yang mengatakan puncaknya di Indonesia akan terjadi pada pertengah April, dan kemudian setelah itu menurun. Kalau sudah menurun, artinya sudah tidak ada lagi “pendatang baru.” Yang ada adalah mereka yang terinfeksi oleh mereka yang sudah masuk dalam target group. Apakah yang sudah positif, masih suspect, atau PDP dan ODP.   Sebagai contoh di Lombok Timur.  Tambahan dua orang positif tempohari itu adalah mereka yang memang sudah masuk dalam kategori PDP atau ODP, karena dipastikan pernah berinterkasi dengan pasien positif 01 atau 02.  Cuma dengan dinyatakan mereka positif, maka haruslah dicari lagi, kalau-kalau ada orang lain lagi yang pernah berinteraksi dengan pasien yang sekarang ber nomor 09 dan 10, yang belum masuk dalam kategori PDP atau ODP sebelumnya.  Begitu seterusnya, sehingga dalam skenario-skenario yang ada, semua menskenariokan corona  ini akan dinyatakan berlalu dua bulan setelah masa puncak terjadi.  Mudah-mudahan skenario optimis yang menyatakan puncaknya April  ini yang akan menjadi kenyataan, sehingga, dua bulan setelahnya, yaitu pada bulan Juni  kehidupan kita sudah akan  kembali normal. Insha Allah.

Dari dua cerita di awal tulisan ini, kita mungkin bisa mendapat inspirasi untuk dua hal dalam masa physiscal distancing ini. Yang pertama, adalah bagaimana kita dapat mengukur “volume” atau mereka yang kemudian dinyatakan positif corona dan berapa banyak yang kemudian terdampak.  Yang kedua, adalah kita mengukur ulang tingkat solidaritas sosial kita, sebagai suatu bangsa, dan secara internal sebagai sebuah keluarga.  Sebuah penelitian dari Charities Aid Foundation yang berpusat di Inggris tahun lalu mendudukkan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling dermawan di dunia. Ini artinya kita memiliki tingkat solidaritas sosial yang tinggi.  Di luar yang dua  itu, menarik juga titipan pertanyaan seorang teman, produk apakah  yang dapat kita hasilkan sebagai seorang profesional,  selama masa kita stay at home yang cukup lama kali ini? Wallahu a’lam bissawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar