KORONA DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mataram
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan dua cerita menarik.
Yang pertama, bagaimana gembiranya Archimedes, seorang pemikir zaman Yunani
kuno, ketika menemukan apa yang kemudian kita kenal dengan Hukum Archimedes.
Yaitu ketika dia memperhatikan permukaan air meninggi bahkan meleluap keluar
bak mandi, ketika dia memasukkan badannya ke bak mandinya. Dan bagaimana kemudian ternyata permukaan air
di bak mandinya menurun atau surut ketika dia bediri dan kemudian keluar dari
bak mandi tersebut. Saking gembiranya dengan fenomena yang dilihatnya itu,
konon Archimedes berlari keluar rumah sambil berteriak, “eureka, eureka, I have
found it.” Dia lupa kalau waktu itu dia belum pakai pakaian, alias
telanjang. Mengapa dia begitu
gembira? Karena dia waktu itu lagi
berfikir bagaimana menukur volume sebuah benda yang tak beraturan bentuknya,
seperti mahkota seorang raja. Dan dengan cara “seperti dia mandi di bak” itulah
ternyata cara yang tepat dengan hasil yang juga pasti tepat. Maka lahirlah
Hukum Archimedes yang terkenal itu.
Cerita kedua, adalah cerita Durkheim, seorang sosiolog
klasik, yang penasaran, bagaimana cara mengukur tingkat solidaritas suatu
masyarakat. Karena masalah solidaritas itu tentu bukan sesuatu yang kasat mata.
Apa lagi yang diukur adalah dalam tingkatan suatu bangsa atau dalam wilayah
suatu negara. Atau mengukur dan membandingkan tingkat solidaritas antara
pemeluk agama yang satu dengan yang lain, atau antara anggota dalam suatu
organisasi yang satu dengan anggota organisasi yang lain. Maka yang Durkheim lakukan dan kemudian
menjadi salah satu karyanya yang monumental adalah dengan menghitung jumlah
orang yang bunuh diri dalam suatu kurun waktu tertentu. Kesimpulannya, pada
masyarakat yang jumlah orang bunuh dirinya tinggi, maka pasti di situ tingkat
solidaritasnya rendah. Dan sebalikna, pada masyarakat yang tingkat bunuh
dirinya rendah, tingkat solidaritas masyarakatnya tinggi.
Lantas, apa hubungannya dengan fenomena masyarakat kita
dalam masa physical distancing yang
sangat dianjurkan dewasa ini. (Saya tidak mengatakan social distancing, karena dalam pandangan orang sosiologi, social
distancing itu bermakna negatif. Saya
faham juga , bahwa yang dimaksudkan
dengan social distancing oleh pemerintah selama ini sesungguhnya, dan dalam
praktiknya, adalah physical distancing, membuat jarak fisik antar sesama secara
sengaja).
Berfikir sosiologis, artinya kita berfikir secara rasional
dan berdasarkan fenomena yang kita yakini kebenarannya (ada bukti emprisnya).
Atas dasar fikiran kita itu, kemudian kita bertindak, yang tindakan kita itu
tidak murni hanya untuk kepentingan diri kita sendiri, namun juga karena kita
memikirkan dampaknya bagi orang lain. Dengan corona ini, kita memutuskan untuk
tinggal di rumah saja, bekerja dari rumah dan bahkan beribadah dari rumah. Sesuatu yang kita terpaksa lakukan, bukan
semata karena anjuran pemerintah, tapi kita memahami bahwa tindakan itu
memiliki dampak untuk diri kita sendiri, keluarga, dan juga dampaknya terhadap
orang lain.
Secara empiris kita mengetahui, begitu cepat dan dahsyat
penyebaran virus corona ini, hanya karena orang berjabat tangan, atau
berinteraksi intens dengan carier, si pembawa virus, yang bisa saja tanpa
gejala apapun. Ribuan orang sudah
meninggal karena secara empiris sudah terbukti mereka terinfeksi. Maka kemudian kita menjadi yakin bahwa
physical distancing adalah strategi yang kita yakini dapat diterapkan untuk
menghentikan laju penyebaran virus corona itu.
Pertanyaannya kemudian berapa lama? Sampai kapan? Dan
jawabannya juga sudah gamblang, yaa sampai secara empiris di negara itu atau
wilayah itu tidak ada lagi bukti baru orang terinfeksi. Tidak ada lagi tambahan orang yang terinfeksi
dalam suatu kurun waktu tertentu. Dan tentu tidak ada lagi PDP dan ODP atau
bahkan OTG baru dalam waktu tertentu.
Untuk Indonesia, sudah kita baca berbagai skenario. Ada versi UI, versi IPB, versi ITB, versi UGM,
dan versi BNPB dan Bappenas. Ada yang mengatakan puncaknya di Indonesia akan
terjadi pada pertengah April, dan kemudian setelah itu menurun. Kalau sudah
menurun, artinya sudah tidak ada lagi “pendatang baru.” Yang ada adalah mereka
yang terinfeksi oleh mereka yang sudah masuk dalam target group. Apakah yang
sudah positif, masih suspect, atau PDP dan ODP. Sebagai contoh di Lombok Timur. Tambahan dua orang positif tempohari itu
adalah mereka yang memang sudah masuk dalam kategori PDP atau ODP, karena
dipastikan pernah berinterkasi dengan pasien positif 01 atau 02. Cuma dengan dinyatakan mereka positif, maka
haruslah dicari lagi, kalau-kalau ada orang lain lagi yang pernah berinteraksi
dengan pasien yang sekarang ber nomor 09 dan 10, yang belum masuk dalam
kategori PDP atau ODP sebelumnya. Begitu
seterusnya, sehingga dalam skenario-skenario yang ada, semua menskenariokan
corona ini akan dinyatakan berlalu dua
bulan setelah masa puncak terjadi.
Mudah-mudahan skenario optimis yang menyatakan puncaknya April ini yang akan menjadi kenyataan, sehingga, dua
bulan setelahnya, yaitu pada bulan Juni
kehidupan kita sudah akan kembali
normal. Insha Allah.
Dari dua cerita di awal tulisan ini, kita mungkin bisa
mendapat inspirasi untuk dua hal dalam masa physiscal
distancing ini. Yang pertama, adalah bagaimana kita dapat mengukur “volume”
atau mereka yang kemudian dinyatakan positif corona dan berapa banyak yang
kemudian terdampak. Yang kedua, adalah
kita mengukur ulang tingkat solidaritas sosial kita, sebagai suatu bangsa, dan
secara internal sebagai sebuah keluarga.
Sebuah penelitian dari Charities Aid Foundation yang berpusat di Inggris
tahun lalu mendudukkan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling
dermawan di dunia. Ini artinya kita memiliki tingkat solidaritas sosial yang
tinggi. Di luar yang dua itu, menarik juga titipan pertanyaan seorang
teman, produk apakah yang dapat kita
hasilkan sebagai seorang profesional, selama masa kita stay at home yang cukup lama kali ini? Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar