Kamis, 16 April 2020

Kampus Merdeka


KAMPUS MERDEKA
Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Unram



Banyak yang skeptis ketika Presiden Jokowi mengangkat Nadiem Anwar Makarim, Bos Gojek, menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi Kemendikbud yang dipimpinnya menggabungkan kembali Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di dalamnya.   Artinya, seorang anak muda bernama Nadiem Makarim dan berusia 35 tahun waktu itu akan mengomandani juga semua lembaga perguruan tinggi yang isinya adalah para profesor, kaum intelektual, dan para mahasiswa yang kritis.

Namun ternyata, dalam perjalanan waktu, muncul juga berbagai gebrakannya yang memunculkan pro kontra. Artinya, orang kemudian menjadi tertarik untuk mengikuti sepak terjangnya dan apa yang akan dilakukannya untuk memperbaiki  berbagai hal terkait dengan pendidikan di negeri ini. Salah satu yang terakhir diluncurkan adalah apa yang disebut dengan Kampus Merdeka.  Sebagai seorang ketua Program Studi, yang menjadi ujung tombak pewarna lulusan dan kualitas mahasiswa di kampus, saya mencermati betul apa yang dimaksudkan oleh Mas Menteri (demikian beliau ingin dipanggil) sebagai Kampus Merdeka. Beberapa kali saya putar ulang penjelasan beliau tentang Kampus Merdeka yang telah di you tube kan.

Ada 4 komponen Kampus Merdeka yang saya kira sangat positif untuk pengembangan kampus ke depan.  Untuk melaksanakannya tentu memerlukan aturan teknis lebih lanjut agar tidak salah arah ataupun salah sasaran.

Yang pertama adalah adanya kemudahan untuk membuka Program Study baru, bagi PT yang akreditasinya A atau B; asal memang lulusannya dapat cepat terserap di lapangan kerja. Syaratnya ada mitra strategis yang diajak kerjasama, seperti perusahaan berklas dunia, organisasi nirlaba berklas dunia, BUMN atau BUMD, ataupun Top 100 PT Berklas dunia.

Kedua, terkait dengan akreditasi, baik PT maupun Prodi. Ada berbagai perubahan kebijakan yang akan mempermudah proses akreditasi di perguruan tinggi. Baik untuk reakreditasi maupun untuk memperoleh akreditasi yang sifatnya internasional. Ada penyederhanaan proses.

Ketiga, kampus merdeka berkait dengan fasilitasi pemerintah bagi PTN yang ingin menjadi PTN BH dari PTN BLU. Tanpa mengurangi subsidi yang diperoleh oleh PTN tersebut dari pemerintah.  Tujuannya tentu untuk meningkatkan otonomi kampus dan keleluasaan kewenangan kampus dalam mengelola PT dalam meningkatkan kualitas luaran.

Terakhir, keempat, dan tentu yang paling menarik adalah diberikannya hak kepada mahasiswa S1 untuk kuliah atau belajar sebanyak-banyaknya 3 semester di luar prodinya. Bisa di dalam kampus sendiri maupun di luar kampusnya sendiri. Untuk ‘magang’ di luar kampusnya sendiri paling lama dua semester. Dengan kebjakan tersebut, mahasiswa diharapkan akan dapat menguasai ilmu dan teknologi yang lain di luar bidang ilmu prodinya. Misalnya seorang mahasiswa di prodi Teknologi Informatika akan berkesempatan untuk mengambil kuliah di Prodi lain yang dapat melengkapi ilmunya; misalnya dalam hal ‘product marketing.’  Atau seorang mahasiswa sosiologi ingin ‘magang di desa’ agar dapat mempraktekkan ilmunya di masyarakat, sebelum dia tamat S1nya. Dengan demikian, bekalnya untuk terjun ke masyarakat ketika dia tamat nanti akan menjadi lengkap. Tidak hanya melalui KKN yang hanya dua bulan. Percaya dirinya akan menjadi lebih tinggi. 

Kebijakan ini juga memungkin kan mahasiswa untuk mengikuti pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Mereka bisa belajar full satu atau dua semester di kampus di luar negeri, yang kemudian kreditnya diakui di kampus asalnya. Atau dengan kampus lain di dalam negeri.  Hal ini akan memberikan pengalaman luar biasa bagi seorang mahsiswa S1, yang tentu akan dapat berpengaruh positif pada mindset mereka. Pertanyaan besarnya tentu, bagaimana dengan pembiayaannya.

Program seperti ini sesungguhnya sudah mulai dilaksanakan di beberapa kampus besar, seperti UI, UGM, dan lain-lain.   Mereka cukup aktif menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi di Eropah dan Australia. Cuma biayanya biasanya ditanggung oleh mahasiswa masing-masing.  Untuk itu, berpulang kepada kita, pemerintah, dan masyarakat. Mas Menteri telah menggelar karpet merah untuk para mahasiswa: belajar sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Bahkan juga dimana-mana saja yang mahasiswa anggap pas untuk menimba ilmunya. Tinggal sekarang kesiapan para mahasiswa, terutama terkait dengan masalah bahasa asing, yang mau tidak mau harus dikuasai. Kalau terkait dana, saya yakin Allah Maha Kaya. Wallahu a’lam bissawab. (Mataram, 31/1/20)

2 komentar:

  1. Pak Ros.. ini ulasan yg bagus pak. Namun terkait poin 4 banyak kampus yg tdk mampu mencernanya dg baik. Sehingga mrk buru2 merubah kurikulum lalu menghilangkan esensi keilmuan prodinya, gara2 sks yg hrs diperkecil utk mengakomodasi 20 sks belajar di luar prodinya itu.
    Pak bisa gak bikin model kurikulumnya dikit... berapa kira2 prosentase keilmuan prodi..
    Atau bisa gak belajar merdeka ini justru membebaskan prodi dari kurnas yg gak penting tsb contoh matkul Bing, Bind, KWN , Kewirausahaan.. dsb itu...
    Pak.. tulis dong ulasannya.. supaya saya bisa share ke teman2 muda yg lagi bingung tapi gak mau ngomong plus nrimo aja...

    BalasHapus
  2. Ya ya? Memang banyak dosen yg tidak faham dan kemudian apatis..untuk membuat RPS MK berbasis Kolaboratif Partisipatif mereka susah alias nggan

    BalasHapus