KAMPUS MERDEKA
Oleh Rosiady Sayuti, Ph.D.
Ketua Prodi Sosiologi Unram
Banyak yang skeptis ketika Presiden Jokowi mengangkat Nadiem
Anwar Makarim, Bos Gojek, menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi
Kemendikbud yang dipimpinnya menggabungkan kembali Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi di dalamnya. Artinya,
seorang anak muda bernama Nadiem Makarim dan berusia 35 tahun waktu itu akan
mengomandani juga semua lembaga perguruan tinggi yang isinya adalah para
profesor, kaum intelektual, dan para mahasiswa yang kritis.
Namun ternyata, dalam perjalanan waktu, muncul juga berbagai
gebrakannya yang memunculkan pro kontra. Artinya, orang kemudian menjadi
tertarik untuk mengikuti sepak terjangnya dan apa yang akan dilakukannya untuk
memperbaiki berbagai hal terkait dengan
pendidikan di negeri ini. Salah satu yang terakhir diluncurkan adalah apa yang
disebut dengan Kampus Merdeka. Sebagai
seorang ketua Program Studi, yang menjadi ujung tombak pewarna lulusan dan
kualitas mahasiswa di kampus, saya mencermati betul apa yang dimaksudkan oleh
Mas Menteri (demikian beliau ingin dipanggil) sebagai Kampus Merdeka. Beberapa
kali saya putar ulang penjelasan beliau tentang Kampus Merdeka yang telah di
you tube kan.
Ada 4 komponen Kampus Merdeka yang saya kira sangat positif
untuk pengembangan kampus ke depan. Untuk
melaksanakannya tentu memerlukan aturan teknis lebih lanjut agar tidak salah
arah ataupun salah sasaran.
Yang pertama adalah adanya kemudahan untuk membuka Program
Study baru, bagi PT yang akreditasinya A atau B; asal memang lulusannya dapat
cepat terserap di lapangan kerja. Syaratnya ada mitra strategis yang diajak
kerjasama, seperti perusahaan berklas dunia, organisasi nirlaba berklas dunia,
BUMN atau BUMD, ataupun Top 100 PT Berklas dunia.
Kedua, terkait dengan akreditasi, baik PT maupun Prodi. Ada
berbagai perubahan kebijakan yang akan mempermudah proses akreditasi di
perguruan tinggi. Baik untuk reakreditasi maupun untuk memperoleh akreditasi
yang sifatnya internasional. Ada penyederhanaan proses.
Ketiga, kampus merdeka berkait dengan fasilitasi pemerintah
bagi PTN yang ingin menjadi PTN BH dari PTN BLU. Tanpa mengurangi subsidi yang
diperoleh oleh PTN tersebut dari pemerintah.
Tujuannya tentu untuk meningkatkan otonomi kampus dan keleluasaan kewenangan
kampus dalam mengelola PT dalam meningkatkan kualitas luaran.
Terakhir, keempat, dan tentu yang paling menarik adalah
diberikannya hak kepada mahasiswa S1 untuk kuliah atau belajar
sebanyak-banyaknya 3 semester di luar prodinya. Bisa di dalam kampus sendiri
maupun di luar kampusnya sendiri. Untuk ‘magang’ di luar kampusnya sendiri
paling lama dua semester. Dengan kebjakan tersebut, mahasiswa diharapkan akan
dapat menguasai ilmu dan teknologi yang lain di luar bidang ilmu prodinya.
Misalnya seorang mahasiswa di prodi Teknologi Informatika akan berkesempatan
untuk mengambil kuliah di Prodi lain yang dapat melengkapi ilmunya; misalnya
dalam hal ‘product marketing.’ Atau
seorang mahasiswa sosiologi ingin ‘magang di desa’ agar dapat mempraktekkan ilmunya
di masyarakat, sebelum dia tamat S1nya. Dengan demikian, bekalnya untuk terjun
ke masyarakat ketika dia tamat nanti akan menjadi lengkap. Tidak hanya melalui
KKN yang hanya dua bulan. Percaya dirinya akan menjadi lebih tinggi.
Kebijakan ini juga memungkin kan mahasiswa untuk mengikuti
pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Mereka bisa belajar full satu atau dua
semester di kampus di luar negeri, yang kemudian kreditnya diakui di kampus
asalnya. Atau dengan kampus lain di dalam negeri. Hal ini akan memberikan pengalaman luar biasa
bagi seorang mahsiswa S1, yang tentu akan dapat berpengaruh positif pada
mindset mereka. Pertanyaan besarnya tentu, bagaimana dengan pembiayaannya.
Program seperti ini sesungguhnya sudah mulai dilaksanakan di
beberapa kampus besar, seperti UI, UGM, dan lain-lain. Mereka cukup aktif menjalin kerjasama dengan
berbagai perguruan tinggi di Eropah dan Australia. Cuma biayanya biasanya
ditanggung oleh mahasiswa masing-masing.
Untuk itu, berpulang kepada kita, pemerintah, dan masyarakat. Mas
Menteri telah menggelar karpet merah untuk para mahasiswa: belajar
sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Bahkan juga dimana-mana saja yang
mahasiswa anggap pas untuk menimba ilmunya. Tinggal sekarang kesiapan para
mahasiswa, terutama terkait dengan masalah bahasa asing, yang mau tidak mau
harus dikuasai. Kalau terkait dana, saya yakin Allah Maha Kaya. Wallahu a’lam
bissawab. (Mataram, 31/1/20)
Pak Ros.. ini ulasan yg bagus pak. Namun terkait poin 4 banyak kampus yg tdk mampu mencernanya dg baik. Sehingga mrk buru2 merubah kurikulum lalu menghilangkan esensi keilmuan prodinya, gara2 sks yg hrs diperkecil utk mengakomodasi 20 sks belajar di luar prodinya itu.
BalasHapusPak bisa gak bikin model kurikulumnya dikit... berapa kira2 prosentase keilmuan prodi..
Atau bisa gak belajar merdeka ini justru membebaskan prodi dari kurnas yg gak penting tsb contoh matkul Bing, Bind, KWN , Kewirausahaan.. dsb itu...
Pak.. tulis dong ulasannya.. supaya saya bisa share ke teman2 muda yg lagi bingung tapi gak mau ngomong plus nrimo aja...
Ya ya? Memang banyak dosen yg tidak faham dan kemudian apatis..untuk membuat RPS MK berbasis Kolaboratif Partisipatif mereka susah alias nggan
BalasHapus