Catatan dari Calgary, Canada
MEMBANGUN PASANGAN SAYANG KELUARGA (PASAGA)
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Agak lama saya mengutak atik
terjemahan ke bahasa Indonesia dari istilah Baby
Friendly Couples. Kalau secara
‘leterlek’ mungkin lebih tepat Pasangan Ramah Anak. Tapi kalau mengatakan ‘ramah anak’,
konotasinya tidak terlalu fokus ke keluarga.
Bisa saja ‘ramah anak’ menjadi sangat umum. Kata ‘ramah’ di situ bisa
berarti ramah kepada anak siapapun, dan dimanapun. Padahal dalam konteks program yang sedang
kami desain proposalnya dalam rangka Hibah Kompetisi di Grand Challenge Canada
senilai dua juta dollar ini, dimaksudkan untuk membangun sistem yang yang secara
efektif meningkatkan kemampuan pasangan suami istri, ibu dan bapak, dalam
memberikan perhatian, cinta kasih, layanan, sentuhan, kepada si buah hati
masing-masing, sejak masih dalam kandungan ibunya, sampai kemudian dia lahir,
menjadi bayi, anak balita, remaja, dan seterusnya.
Melalui program ini nantinya
akan didesain bagaimana materi dan model intervensi atau sentuhan yang dapat
diberikan kepada setiap pasangan hidup rumah tangga yang berencana untuk
memiliki anak. Program seperti ini
menjadi sangat penting dewasa ini mengingat beberapa hal: pertama, adanya
kecenderungan global makin menipisnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai
berkeluarga atau berumah tangga. Akibat
dari kurangnya pemahaman tersebut, tidak sedikit keluarga yang hancur, gara-gara
hal yang sangat sepele. Yang selalu menjadi
korban kemudian, pastilah si anak.
Kedua, belum ada kebijakan atau program khusus yang didesain secara
sistematis dalam rangka memberikan ruang bagi setiap pasangan yang ingin
menikah atau bahkan telah menikah, yang dapat memberikan ilmu, pemahaman,
bahkan ‘life skill’ kepada setiap pasangan sehingga mereka memahami secara
benar apa yang seharusnya dilakukan dan difikirkan dalam mengarungi
kehidupannya bersama pasangannya. Tidak
seperti ketika akan berangkat haji, dimana jauh-jauh hari dengan sangat rajin
kita mengikuti manasik haji. Ketiga,
data yang dimiliki para ahli sangat menghawatirkan. Intinya adalah, tatanan
berkeluarga di dunia makin lama makin kabur.
Ikatan emosional antar anggota keluarga juga makin lama makin
longgar. Sifat individualisme, seperti
yang kita hawatirkan selama ini, makin lama menjadi budaya baru di masyarakat.
Dengan ‘rusaknya’ tatanan
dalam berkeluarga, maka tidaklah mungkin kita berharap generasi muda kita ke
depan akan tumbuh menjadi makin baik.
Padahal, tingkat persaingan ke depan kian hari kian tinggi. Untuk itu, kualitas sumberdaya manusia kita
haruslah menjadi makin baik.
Grand Challenge Canada
Grand Chellenge Canada (GCC)
adalah lembaga donor yang didanai sepenuhnya oleh Pemerintah Canada dalam
rangka memberikan hibah kepada para peneliti dari dunia ketiga dalam bidang
kesehatan. Salah satu programnya bernama Saving Brain Initiatives, atau
Inisiatif menyelamatkan otak manusia.
Program ini dilatar belakangi oleh adanya kenyataan sekitar dua ratus
juta anak-anak di seluruh dunia yang terancam perkembangan otaknya karena
kekurangan gizi, kemiskinan, dan keterlantaran.
Tidak sedikit dari mereka ini yang tidak termasuk keluarga miskin, namun
megalami nasib yang tidak baik bagi perkembangan otaknya, karena ketidak
mampuan atau ketidak fahaman orang tuanya dalam memelihara dan membangun otak
si anak dari masih dalam kandungan sampai pada usia emas (golden age), yaitu sampai usia dua tahun. Termasuk juga kita di Indonesia.
Dari diskusi yang saya
lakukan bersama Dr. Anuraj Shangkar, seorang professor dari Harvard University
yang sangat concern dengan NTB, lahirlah
pra proposal yang berjudul Golden
Generation Program: An Integrated Community Based Early Childhood Development
Initiative in Indonesia.
Alhamdulillah, dari ratusan pra proposal yang masuk, kami salah satu
dari empat peneliti yang diundang ke Calgary Canada. Tujuannya adalah untuk memberikan pengkayaan
terhadap berbagai usulan yang masuk dalam rangka membuat proposal lengkapnya;
sekaligus sebagai media seleksi bagi para peneliti yang diundang.
Inisiatif atau inovasi yang
kami rancang dalam proposal tersebut adalah memberikan pelatihan dan
sertifikasi kepada para pasangan suami istri atau calon suami istri sehingga
mereka mememiliki pemahaman, ilmu, dan ketrampilan dalam ‘memelihara dan
membangun otak’ anaknya kelak. Artinya,
para orang tua harus dapat ilmu tentang tumbuh kembang otak anak manusia,
sehingga anak yang dilahirkannya menjadi anak yang cerdas dan sehat.
Terkait dengan gagasan
itulah, tentu banyak faktor yang turut mempengaruhi. Banyak variabel yang mesti diintervensi.
Banyak target group yang harus dilayani. Semua itu memerlukan metode ilmiah
yang tentu hasilnya akan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pula. Jika ini berhasil, tidak kurang dari lima puluh ribu anak se NTB
yang akan menjadi komunitas binaan selama dua tahun. Ratusan kader akan disertifikasi untuk dapat
terlibat dalam kegiatan ini. Demikian
juga ratusan lembaga PAUD dan Posyandu juga akan distandarisasi, dalam rangka
memenuhi kebutuhan program ini. Akan ada
sertifikat khusus kepada pasangan yang telah memenuhi persyaratan untuk diberi
julukan “Baby Friendly Couples” yang untuk bahasa Indonesianya saya terjemahkan
menjadi “Pasangan Sayang Keluarga” (PASAGA) itu. Mungkin ada isitilah lain yang lebih pas;
kami masih sangat terbuka untuk menerima masukan. Yang jelas, apa yang akan dilaksanakan
melalui program ini, bagi kita di Nusa Tenggara Barat, merupakan kelanjutan
dari program AKINO yang telah dilaksanakan lima tahun ini. Dan menjadi awal
dari program kependudukan untuk menyongsong lahirnya Generasi Emas Nua Tenggara
Barat 2025. Insya Allah. (Calgary, Canada 18/06/2013).
Menginspirasi
BalasHapus