4. Leadership style: mengubah atmosfir kerja
Salah satu faktor yang
membuat saya tidak terlalu lama ‘menyesuaikan diri’ di lingkungan Bappeda,
adalah karena secara pribadi saya sudah kenal baik dengan para pejabat eselon
tiga dan beberapa eselon empat Bappeda.
Maklum selama ini cukup banyak kegiatan saya yang berkaitan dan membuat
saya sering berinteraksi dengan teman-teman Bappeda. Terutama ketika saya menjadi Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perdesaan Universitas Mataram. Beberapa kegiatan penelitian yang kami
lakukan didanai oleh Pemda NTB, dalam hal ini Bappeda.
Saya juga terlibat dalam
beberapa tim adhoc yang ada di Bappeda.
Demikian juga di dalam organisasi Dewan Riset Daerah (DRD) yang menjadi
leading sektornya Bappeda, saya juga terlibat sebagai pengurus. Tapi mungkin bukan hanya itu. Konon, leadership style atau gaya
kepemimpinan saya juga turut memberikan andil, mengapa saya merasa relatif cepat
‘feel at home’ di Bappeda. Proses
perkenalan dan adaptasi saya dengan teman-teman, yaa saya selalu memanggil
mereka teman-teman, di Bappeda relatif cepat.
Dalam memimpin, saya
menerapkan prinsip-prinsip pendidikan bagi orang dewasa. Sebagai seorang dosen, tentu saya faham
bagaimana teknik belajar orang dewasa. Bagaimana mengajarkan sesuatu kepada
orang dewasa. Pada suatu ketika, bahkan
saya juga ulangi di beberapa kesempatan, saya mengatakan: “sebagai sesama orang
dewasa, saya tahu persis kita tidak senang apabila ada yang marahi kita. Meskipun
kita mungkin di fihak yang salah. Oleh karena itu, kalau saya tahu bapak atau
ibu ada berbuat salah, saya tidak akan marah. Malah saya akan tersenyum. Karena
kalau saya marah, apalagi marah besar, pasti akan bapak ibu akan malu sama
saya. Akan teringat terus sampai kapanpun. Tapi kalau bapak ibu salah, lantas
saya tersenyum, maka pastilah bapak ibu akan malu pada diri sendiri. Ya
kan?” kemudian saya lanjutkan, …”yang
penting kemudian bapak ibu, tahu kesalahannya dimana. Sadar bahwa ada yang
salah, sehingga dapat memperbaikinya. Yang paling bahaya adalah apabila kita
tidak pernah sadar kesalahan kita, sehingga yang salah kita anggap benar. Itu
saja.”
Dalam sebuah evaluasi tentang
kepemimpinan, dimana termasuk yang dinilai didalamnya adalah tingkat
keberterimaan di SKPD yang dipimpin, konon saya masuk tiga atau lima besar
terbaik. Saya katakan konon, karena pak
Gubernur atau Wakil Gubernur yang memerintahkan tim evaluasi yang dipimpin oleh
Bapak Muazar Habibi pada waktu itu, tidak pernah mengumumkan secara resmi hasil
evaluasinya. Mungkin sebagai bahan
masukan secara internal saja, dalam rangka proses pembinaan para pejabat eselon
dua yang menjadi tanggung jawab beliau beliau.
Kalau menurut pengakuan Pak Bayu
Windya, ketika sambutan perpisahan sewaktu beliau dipromosi ke eselon dua, “pak
kepala telah mampu memberikan motivasi
dan membuka ruang kreasi bagi kita di Bappeda ini. Kita merasa dihargai, sehingga kita merasakan
adanya kebebasan dalam berpendapat, memberikan masukan, berinisiatif terhadap
sesuatu, tanpa merasa takut atau ragu-ragu.
Saya kira style kepemimpinan seperti itu sangat pas untuk kita di
Bappeda ini. Sebuah instansi yang
memerlukan pikiran-pikiran cerdas dalam penyusunan berbagai dokumen
perencanaan, tidak hanya oleh para pimpinan tapi juga oleh para staf. Kita
telah diajar, bagaimana harus berfikir cerdas, yang tidak hanya ‘running
bussiness as usual. Tapi bagaimana kita bisa ‘thinking out of the box.’ Istilah
kerennya.” Mungkin pak Bayu agak berlebihan, tapi itulah yang beliau sampaikan.
Sebagai manusia, tentu saya
juga bisa marah. Wulan dan Edy, bawahan langsung saya selama hampir lima tahun
tahu persisi kapan saya marah. Bagaimana kalau saya marah. Mereka juga tahu apa
yang harus dilakukan kalau saya dalam kondisi marah. Meskipun tentu jarang-jarang. Bahkan jarang
sekali.
Salah satu peristiwa yang
membuat saya ‘agak marah’ adalah ketika sedikit sekali karyawan Bappeda yang
ikut senam pagi. Akhirnya pada apel pagi di hari berikutnya saya terpaksa
marah. Mungkin agak emosional. Tapi setelah
itu, ya redalah. Tidak berlama-lama. Demikian pula ketika salah seorang pimpinan
berbuat kesalahan. Dengan gaya saya, saya menegur yang bersangkutan, sambil
ketawa-ketawa, tapi cukup mengena. Yang bersagkutan
juga ikut tertawa, meski dengan wajah yang agak memerah. Dan saya, tahu, beliau
faham kalau saya agak marah dengan apa yang telah dilakukan. Faham kalau dia
bersalah. Dan yakin, faham untuk memperbaikinya. Itu saja. Kalau meminjam
kalimatnya pak Achmad Makchul, “bapak bisa menyalahkan tanpa merendahkan.” Wallahu
a’lam bissawab. (Banda Aceh, 130314)
Menginspirasi
BalasHapus