Merajut Rencana, Meraih
Pangripta
Catatan Kecil Kepala Bappeda
NTB, 2008-2013
Hidup adalah Perjalanan:
Sekilas Masa Lalu Saya
Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Menulis di media, maaf, merupakan salah satu hobi saya sejak duduk di
bangku SMP. Beberapa kali tulisan tulisan saya, khususnya waktu itu berbentuk
puisi, terpampang di majalah anak-anak “Si Kuncung.” Lantas tulisan tersebut
saya pampangkan di majalah dinding sekolah. Sehingga lebih banyak lagi teman
yang dapat membacanya. Demikian juga
ketika duduk di bangku SMA. Saya aktif dan menjadi pengasuh majalah dinding
sekolah.
Tatkala di bangku kuliah,
tulisan saya seringkalimuncul di koran mahasiswa nasional, yang diterbitkan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Maklum waktu itu sedang gencar gencarnya NKK BKK, sehingga dana cukup
banyak tersedia untuk ‘menormalisasi kampus’ dimana termasuk didalamnya
terbitan-terbitan majalah atau koran. Juga yang dihajatkan khusus untuk
mahasiswa.
Lewat tulisan tulisan saya di
koran itulah, saya menjadi dikenal di kampus. Memiliki lebih banyak teman.
Termasuk teman-teman di kampus sendiri, Fakultas Pertanian Unram. Ada beberapa
senior dan dosen yang kemudian memperhatikan dan membina saya. Pada ujungnya,
saya kemudian menjadi aktivis kampus. Menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas,
memimpin dan mendirikan majalah kampus Sativa, menjadi ketua dan pendiri Racana
Pramuka Universitas, menjadi ketua dan pendiri Koran Kampus Mahasiswa Media,
menjadi aktivis HMI, aktivis Ikatan Senat Mahasiswa Sejenis di Indonesia Timur,
dan lain-lain. Itulah salah sebabnya, mengapa saya tidak bisa memenuhi harapan
orang tua untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Beberapa teman saya mampu
empat tahun, kalau saya, pas enam tahun. Masuk 1980, keluar 1986.
Tapi berkat itu pula, sebelum
saya yudicium, saya ditawari untuk menjadi dosen oleh Dekan Fakultas Pertanian
pada waktu itu, yaitu Bp Ir. Norberth Ama Ngongu. Saya ingat betul, salah satu
kalimat beliau yang memotivasi saya. “sangatlah rugi daerah ini, kalau orang
seperti saudara tidak mau menjadi dosen.” Pada akhirnya saya setuju, tentu
setelah mempertimbangkan segala sesuatunya. Termasuk didalamnya, adalah
pertimbangan bahwa kalau menjadi dosen, besar peluang untuk kuliah lagi, di
luar negeri. Sebuah cita-cita saya
semenjak duduk di bangku SMP. Betapa indahnya kalau saya bisa kuliah di luar
negeri. Dimanapun.
Ketika pertama kali keluar
daerah, waktu itu mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Sibolangit Sumatra
Utara, tahun 1977, saya memang kemudian membayangkan kalau suatu ketika saya
bisa keliling Indonesia. Setelah itu, berkelana ke luar negeri. Sebuah keinginan dari seorang Pramuka
Penggalang, yang berkesempatan mengarungi samudra nan luas, berlayar
menggunakan kapal besar dari Surabaya ke Medan, untuk mengikuti jambore
tersebut. Beberapa hari di tengah laut, memberi kesempatan kepada saya untuk
berhayal, bermimpi bahwa suatu ketika saya akan bisa juga ke daerah lain, atau
bahkan ke negara lain.
Dari kenangan dalam benak
itulah, mungkin, yang kemudian memberikan inspirasi pada saya, bahwa kalau
menjadi dosen, harus bisa kuliah ke luar negeri. Titik. Maka, setelah melewati
proses seleksi dan sebagainya, maka sejak Maret 1987, resmilah saya memiliki
NIP, menjadi PNS, menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unram. Terus terang,
menjadi dosen, bukan cita cita saya sewaktu kecil.
Setamat dari bangku SMA,
orang tua saya sebenarnya ingin saya masuk di APDN. “biar kamu bisa menjadi
camat, lantas menjadi Bupati, suatu hari nanti.” Kata beliau. Saya sendiri bercita cita menjadi insinyur
teknik, lantas menjadi profesional, atau kemudian menjadi pengusaha. Ini terinspirasi dari seorang pengusaha, atau
tepatnya pemborong, yang waktu itu cukup terkenal di Mataram. Padahal dia hanya
tamat sekolah teknik menengah. ST atau STM. “apalagi kalau kita sarjana,” fikir
saya waktu itu. Beberapa tahun, bapak
saya pernah tinggal di rumah orang itu, yang masih punya hubungan keluarga.
Beberapa kali juga saya sempat berkunjung ke sana, dari desa. Maklum waktu itu,
kami sekeluarga masih tinggal di desa, sementara Bapak saya di kota. Setelah
saya menamatkan SD, baru kemudian kami boyongan pindah ke kota Mataram.
Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1974. Pada awalnya kami menyewa rumah di Gomong
Lama. Saya masuk SMPN 2, adik adik saya masuk di SDN 7 (waktu itu) yang lokasinya
sekarang berdiri AMM.
Dan waktupun berlalu. Kadang
terasa demikian cepat. Kadang juga lambat. Malah menjenuhkan. Tapi itulah
namanya perjalanan hidup. Dalam sebuah status di facebook saya pernah
menulis…..”life is a journey.” Sewaktu
aktif sebagai mentor di HMI, di era delapan puluhan, saya selalu memulai
ceramah saya dengan mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Dan mungkin itulah
yang senantiasa memotivasi diri saya, memberi semangat hidup bagi saya, untuk
menjalani kehidupan ini.
Guru saya adalah air dan
matahari. Saya percaya sama teori yang mengatakan ikutlah seperti air mengalir.
Dimana ada peluang, ke sana air mengalir. Tidak perlu terlalu ngotot untuk
hal-hal yang memang terlalu sulit, atau malah tidak mungkin untuk dilampaui. Sementara yang mungkin, dan mudah juga cukup
banyak. Mengapa kita tidak memaksimalkan yang seperti itu. Yang mungkin dan
mudah.
Demikian pula dengan
matahari. Seorang ulama besar dari Lombok Timur, yang juga pendiri organisasi
Nahdlatul Wathan, almagfurlah Maulana Syeikh, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Majid, sering kali mengatakan “guru saya adalah matahari.” Ketika masih nyantri di Madrasah Ibtidakyah
NW Kotaraja, tentu filosofi matahari seperti yang Maulana Syeikh katakan itu
belum dapat saya fahami. Baru setelah
dewasa, banyak belajar kesana kemari, bahkan sampai luar negeri, saya mulai
memahami, apa yang beliau maksudkan dengan “guru saya adalah matahari.”
Bahwa matahari adalah sumber
kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari, tentu kita tidak pernah akan dapat
menikmati kehidupan ini. Matahari juga memberikan pelajaran dengan
sifat-sifatnya yang sangat pasti. Terbit di pagi hari, tenggelam di sore hari.
Menjadi penanda kehidupan, sekaligus menjadi pengatur kehidupan itu sendiri.
Subhanallah. Dari matahari, kita bisa belajar untuk ihlas, yakin, dan
istiqomah, seperti apa yang menjadi wasiat almagfurlah Maulana Syeikh. Itulah
maknanya, filosofinya, yang dapat menjadi “guru” kita. Guru dalam kehidupan
ini.
Memang benar, “hidup adalah
perjuangan.” Artinya kita jangan cepat menyerah pada berbagai tantangan
kehidupan. Yang dalam makna teori air, “senantiasa memanfaatkan peluang,
betapapun kecilnya, tapi tidak terlalu ngotot, untuk sesuatu yang memang tidak
mungkin kita lakukan. Karena memang kita harus tetap berjalan, meniti kehidupan
kita masing-masing, dari waktu ke waktu. Dan benar juga, “hidup adalah
perjalanan.” Wallahu ‘alam bissawab. (Jakarta, 100314)
Sangat inspiratif pak...
BalasHapusTulisan yg membakar semangat.
Terima kasih sdh berbagi